Sunday, June 27, 2010

Mukaddimah Buku “SALAFI EKSTREM”

Mukaddimah Buku “SALAFI EKSTREM”

Mukaddimah

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin, wahdahu laa syarikalah, lahul Mulku wa lahul Hamdu Yuhyi wa Yumitu wa Huwa ‘ala kulli syai’in Qadiir. Shalwatullah wa salamuhu ‘ala Rasulil mubin Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallim tasliman katsira. Amma ba’du.

Siapapun yang memiliki hati nurani, pasti bisa merasakan bahwa perselisihan itu berat, meletihkan, menguras energi. Apalagi perselisihan antar sesama Muslim, antar sesama aktivis dakwah, antar sesama elemen-elemen Islam. Sungguh, bukan akhlak terpuji dan bukan pula tanda kebenaran iman, dengan melazimkan diri selalu berselisih dengan sesama Muslim, berbahagia dengan pertengkaran, merasa jemu jika hari-hari tidak diisi dengan perseteruan. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita semua dari fitnah perselisihan yang membinasakan. Amin.

Namun suatu saat, keadaan memaksa kita untuk berselisih, menerjuni konflik pemikiran berkesinambungan, menunjukkan pendirian yang dipegang, serta membantah kesesatan dan kemungkaran. Semua itu diterjuni bukan hanya karena alasan-alasan khusus, tetapi dengan niatan menolong agama Allah sekuat kesanggupan. Perselisihan jelas sangat meletihkan, tetapi membiarkan Syariat Agama Allah menjadi bulan-bulanan manusia tidak bertanggung-jawab, akibatnya akan lebih meletihkan lagi. Pengaruh kesesatan pemikiran tidak hanya menimpa satu dua orang dalam satu generasi, tetapi ia bisa menyebar luas di tengah-tengah kaum Muslimin, lalu diwariskan dari generasi ke generasi.

Setelah menulis Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak (DSDB), saya berharap hal itu dipahami sebagai koreksi balik terhadap pihak-pihak tertentu yang sangat sering mengoreksi orang lain. Prinsipnya sederhana saja: “Siapa yang suka mengoreksi, maka dia juga berhak dikoreksi.” Itulah prinsip dasarnya. Namun, perselisihan itu ternyata belumlah usai, bahkan memunculkan kenyataan-kenyataan baru. Alhamdulillah atas pertolongan Allah ketika kita diberi kesempatan untuk menyampaikan koreksi kepada sebagian kaum Muslimin; dan alhamdulillah pula atas segala kenyataan kemudian yang harus terjadi. Setiap ketentuan-Nya, insya Allah menjadi takdir terbaik yang harus berlaku, atas diri saya, Anda, mereka, Ummat Islam, dan kita semua.

Kenyataan baru yang sangat terasa di masa-masa sekarang ialah munculnya pembelaan membabi-buta dari kalangan sebagian Salafi yang tidak menerima koreksi-koreksi yang ditujukan kepada mereka, termasuk koreksi yang muncul di DSDB I & II. Pembelaan itu dipublikasikan lewat internet. Ternyata, mereka membuat pembelaan-pembelaan yang sangat tidak manusiawi. Demi menolong kehormatan kelompok dan membela slogan-slogan yang dianggap sudah permanen, mereka menyebarkan tulisan-tulisan fitnah, provokasi, kedustaan, sarkasme, penghinaan, adu-domba, dan sebagainya. Menyaksikan perilaku seperti itu, sampai ada yang berkomentar, “PKI saja tidak bersikap seperti mereka!”

Bagi orang-orang itu (selanjutnya disebut Salafi ekstrem),[1] bisa jadi mereka merasa telah menunaikan jihad agung, meraih ghanimah pahala berlimpah, mencetak amal kebajikan menakjubkan, mendapat semerbak wangi puji-pujian, serta mencapai keridhaan Allah, Rasul, dan seluruh makhluk di bumi dan di langit. Tetapi dari keseluruhan sikap yang mereka tunjukkan, ia justru semakin menegaskan kesesatan pemahaman mereka selama ini. Semakin keras mereka menyerang, semakin teliti mereka melakukan tajassus (mencari-cari kesalahan), semakin terkuak kebathilan manhaj dan pemikirannya. Tidaklah “jihad” mereka bertambah gencar, melainkan semakin menelanjangi kehormatan dirinya sendiri.

Dari sisi lain, ada masalah besar yang harus dicermati. Para pemuda Salafi ekstrem itu, mereka telah melakukan permusuhan terhadap sekian banyak lembaga-lembaga dakwah Islam di Indonesia. Perkara inilah yang paling berat dan sangat riskan jika dibiarkan begitu saja.

Salah satu contoh, yaitu kebiasaan orang-orang itu menelanjangi aktivitas suatu lembaga Islam dan mencari-cari informasi seputar kehidupan para dai dan tokoh-tokoh Muslim yang concern dengan dakwah Islam. Setelah mendapatkannya, mereka susun semua itu dalam tulisan-tulisan terperinci, lalu disiarkan lewat internet, sehingga bisa dibuka oleh seluruh manusia di muka bumi. Cara seperti ini merupakan kemungkaran akbar, sebab mereka membuka rahasia-rahasia Ummat Islam di hadapan kawan dan lawan. Jika diketahui sesama Muslim, ia bisa merusak hubungan Ukhuwwah Islamiyyah; jika diketahui orang-orang non Muslim, mereka akan mendapat “ghanimah” informasi secara cuma-cuma.

Buku ini berjudul, “WAJAH SALAFI EKSTREM DI DUNIA INTERNET: Propaganda Menyebarkan Fitnah dan Permusuhan”. Sebagaimana judulnya, dalam buku ini saya mencoba membahas kemungkaran pemuda-pemuda Salafi ekstrem yang menyebarkan fitnah-fitnah berbahaya melalui media internet. Perbuatan mereka bisa disamakan dengan makar untuk merobohkan dakwah Islam.

Sebagai penulis, saya tidak mengharamkan kritik, bantahan, atau perdebatan yang bersifat ilmiah. Toh, setiap orang memiliki hak untuk berpendapat, dan diri saya sendiri tidak luput dari berbagai salah dan kekurangan. Adanya perdebatan yang sehat, saling mengemukakan argumentasi, dan menguji kekuatan dalil; tentu seperti itulah yang diharapkan. Insya Allah, kita akan merujuk setiap kebenaran yang ditopang oleh alasan-alasan kuat dan shahih. Alhamdulillah. Namun jika sudah menyangkut fitnah, permusuhan, dan makar terhadap dakwah Islam, tentu ia merupakan masalah lain yang perlu dihadapi dengan pendekatan berbeda.

Melalui buku ini saya ingin menasehatkan kepada para pengguna internet (netters), agar mereka menjauhi situs-situs internet yang penuh fitnah, dusta, dan permusuhan. Apa yang ada disana adalah tumpukan fitnah menyala-nyala. Anda jangan pernah sekali pun mempercayai tulisan-tulisan itu, meskipun hanya satu kalimat saja. Bahkan kalau mereka menyebut terjemah Al Qur’an, jangan langsung diterima, tetapi periksalah dulu ke terjemah aslinya. Nanti akan saya tunjukkan sebagian bukti-bukti, bahwa apa yang mereka tulis tidak bisa dipercaya. Hal itu juga berlaku terhadap tulisan dan media-media internet serupa.

Kepada para pemuda Salafi ekstrem, seperti Abu Abdillah Ibrahim, Abdul Hadi, Abdul Ghafur, dan lain-lain, saya ajak Anda kembali ke jalan yang lurus, berdakwah secara ihsan, meletakkan ilmu pada tempatnya, dan menghentikan segala provokasi keji yang sangat berat timbangannya di sisi Allah Ta’ala. Masih ada waktu untuk berbenah, sebelum ruh sampai di tenggorokan, sebelum matahari belum terbit dari Barat. Berhentilah dari memusuhi elemen-elemen dakwah Islam, mulailah hidup baru, membina kebajikan demi kebajikan, mengganti seluruh perbuatan-perbuatan fasid (merusak) yang selama ini dilakukan. Jika karena ketinggian hati, Anda semua enggan untuk berbenah atau bertaubat kepada Allah, maka ketinggian hati itu pula yang dulu membuat iblis dilaknati sampai akhir jaman.

Dan kepada kaum Muslimin yang diberi anugerah kemampuan, mohon manfaatkan kemampuan Anda untuk melindungi Ummat Islam dari merebaknya fitnah-fitnah yang menyebar dari situs-situs tercela itu. Jika mampu melakukan bantahan, bantahlah; jika bisa memberi nasehat, sampaikan nasehat; jika bersedia berdoa, doakan agar Allah menghentikan semua itu. Amin.

Terakhir, saya sampaikan ucapan terimakasih setulusnya kepada semua pihak yang telah membantu penulisan, penerbitan, dan penyebaran buku ini. Khususnya ucapan terimakasih kepada Penerbit AD DIFA’ Press dan jajarannya. Mohon dimaafkan atas segala kesalahan dan kekurangan yang ada.

Semoga Allah menolong kita untuk meniti jalan yang diridhai-Nya, memaafkan dosa-dosa kita, serta memberikan kesyukuran atas berbagai kebaikan yang dikaruniakan-Nya. Semakin hari perilaku manusia semakin tidak terkendali, hanya pertolongan dan perlindungan-Nya yang bisa diandalkan. Ya Allah ya Rabbi, ringankanlah beban-beban kesulitan yang terpikul di pundak kami dan gembirakan hati kami dengan berita-berita menyenangkan tentang kemenangan agama-Mu. Amin Allahumma amin.

Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Wa shallallah ‘alan Nabiy Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in.

AM. Waskito.

Wednesday, June 9, 2010

Mimpi Buruk Israel Bernama Kapal Bantuan Kemanusiaan


Pasca pembajakan kapal Rachel Corrie yang membawa bantuan kemanusiaan untuk rakyat Gaza di perairan Gaza, berita mengenai pengiriman kapal-kapal bantuan kemanusiaan baru dari menghiasi seluruh pemberitaan media-media massa.

Trasformasi terbaru mengenai upaya pembatalan blokade rakyat Gaza secara khusus dan pembebasan Palestina secara umum dengan sendirinya menjadi kartu truf bagi bangsa Palestina. Sebaliknya, pengiriman kapal bantuan kemanusiaan telah menjadi mimpi buruk bagi rezim Zionis Israel. Karena bila pengiriman tresebut berlangsung terus-menerus, maka pondasi rezim ini akan goyah. Itu artinya masa kehancuran rezim buatan Barat ini semakin dekat.

Pernyataan kesiapan Recep Tayyip Erdogan, Perdana Menteri Turki untuk ikut dalam kapal bantuan kemanusiaan, sekaligus melawat Gaza pasca sikap anti-Zionis-nya berhasil merenggut waktu tidur para pejabat Zionis Israel. Pernyataan itu membuat mimpi buruk bagi Zionis Israel menjadi semakin meluas. Dengan kata lain, langkah Erdogan, bila itu terjadi, akan menjadi sebuah langkah baru yang sangat membahayakan eksistensi Israel.

Gelombang anti-Zionis yang semakin memuncak ditambah dukungan yang semakin luas terhadap warga Gaza dan bangsa Palestina di seluruh dunia dapat disaksikan dari aksi-aksi unjuk rasa yang dilakukan masyarakat internasional di pelbagai penjuru dunia. Bila rasa kebencian terhadap Zionis Israel dan dukungan terhadap Palestina terus berlangsung yang dinyatakan lewat pengiriman konvoi-konvoi kapal bantuan kemanusiaan, Zionis Israel harus mengakui bahwa aksi ini dapat menggoyahkan sendi-sendi rezim ini yang dibangun secara haram di tanah Palestina.

Bila kapal-kapal bantuan kemanusiaan yang berisikan para aktivis kemanusiaan dan perdamaian dari seluruh dunia berkumpul di perairan internasional dekat Gaza dipandang sebagai manuver manusia-manusia merdeka dan aksi solidaritas terhadap Gaza, niscaya rezim Zionis dan para pendukungnya berada dalam kondisi yang sulit. Tidak hanya itu, membayangkan terjadinya peristiwa tersebut saja sangat menyiksa mereka.

Sekaitan dengan hal ini, Manouchehr Mottaki, Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran dalam sidang istimewa sekretariat pelaksana Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang diselenggarakan hari Ahad (06/6) di Jeddah meminta masyarakat internasional, khususnya negara-negara Islam melakukan aksi nyata dan segera terhadap rezim Zionis Israel. Untuk itu Menlu Mottaki mengusulkan agar negara-negara Islam secara simbolik mengirimkan kapal bantuan kemanusiaan ke Gaza. Menurut Mottaki, aksi ini harus dilakukan berkali-kali dan dengan pelbagai cara. Dengan demikian, diharapkan kejahatan Zionis Israel dan para pendukungnya harus menyadari sedang berhadap-hadapan dengan kekuatan hati nurani manusia yang tak terkalahkan.

Dalam pidatonya, Mottaki mengatakan, "Kami membutuhkan puluhan kapal bantuan kemanusiaan dengan bendera dari pelbagai negara menuju Gaza." "Sangat tepat bila dalam periode masa genting ini, setiap negara anggota OKI mengirimkan sebuah kapal bantuan kemanusiaan ke Gaza sebagai langkah awal," tambah Mottaki.

Bila usulan ini diterima oleh negara-negara anggota OKI, setidak-tidaknya akan ada 54 kapal sebagai perwakilan 1,5 miliar umat Islam yang akan menuju tanah air Palestina yang dirampas oleh para imigran Zionis. Bila gerakan simbolik ini dilakukan oleh negara-negara Islam, pembebasan al-Quds sebagai kiblat pertama umat Islam menjadi sesuatu hal yang mungkin.

Bila merunut ke belakang, pembentukan Organisasi Konferensi Islam oleh negara-negara Islam bermula ketika rezim Zionis Israel membakar Masjidul Aqsa, kiblat pertama umat Islam, pada 21 Agustus 1969. Demi mengutuk kejahatan itu, pada bulan September tahun yang sama, negara-negara Islam berkumpul di Rabat, Maroko dan secara resmi membentuk OKI pada bulan Mei 1971. Kini OKI telah memasuki usianya yang ke-40 dan mereka dapat kembali mengambil keputusan bersama menghapus kanker bernama rezim Zionis Israel untuk selamanya.

Bila mencermati negara-negara Islam yang membentuk sepertiga anggota PBB dan posisi strategis mereka di dunia, tentu saja mereka dapat melakukan apa saja yang mereka inginkan. Betapa tidak, 74 persen cadangan minyak dunia dan 50 persen cadangan gas dunia dikuasai negara-negara Islam. Dengan catatan ini saja, semestinya negara-negara Islam tidak punya masalah bila ingin melaksanakan tanggung jawabnya di hadapan Palestina.

Tanggung jawab terhadap bangsa Palestina ini secara transparan dimasukkan dalam butir kelima dari tujuh tujuan pendirian OKI yang diratifikasi tahun 1972. Butir kelima itu menyebutkan, "Mengkoordinasi seluruh upaya demi melindungi tempat-tempat suci, membantu perang yang dilakukan bangsa Palestina dan bantuan kepada mereka demi meraih hak-hak dan pembebasan tanah air mereka."

Apakah dengan berlalunya 40 tahun dari ratifikasi butir kelima dari piagam OKI, masih belum cukupkah bagi mereka untuk melaksanakan butir ini dengan mengirimkan kapal bantuan kemanusiaan mereka ke Gaza?(IRIB/SL)

Siapa Pelatih Militer Taliban?‎

Tentara Inggris melatih dan memberikan bantuan dana kepada gerilyawan Taliban di ‎wilayah selatan Afganistan. Hal itu diungkap salah seorang anggota Taliban.

Press TV ‎melaporkan, Mulla Abdussalam Hanafi kepada situs pemberitaan Beneva mengatakan, ‎dalam beberapa tahun terakhir gerilyawan Taliban mendapat pelatihan militer dari ‎tentara Inggris. Tak hanya itu, setiap bulan Inggris juga memberi 300 dolar kepada ‎masing-masing anggota Taliban.‎

Mulla Abdussalam Hanafi adalah salah seorang senior di jaringan Taliban. Dia sempat ‎menjabat sebagai Gubernur Uruzgan saat Taliban berkuasa di Afganistan. Fakta ‎tersebut diungkap Hanafi setelah Inggris secara terbuka membeberkan prakarsa ‎damai dengan Taliban.‎

Tahun 2001, AS yang dibantu Inggris dan sejumlah negara sekutunya menyerang ‎Afganistan dengan alasan untuk menumpas kelompok Taliban. Serangan dan ‎pendudukan Afganistan hanya membuat negara itu tenggelam dalam ketidakamanan ‎dan kekacauan. Warga sipil adalah pihak yang paling banyak menderita akibat invasi ‎dan pendudukan asing di Afganistan.(IRIB/AHF/PH)‎

Wednesday, June 2, 2010

Khilafah dan Gerakan Transnasional




Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam untuk umat Islam sedunia. Para fukaha men-ta‘rif-kan Khilafah sebagai: ri’âsat[un] ‘âmmat[un] li al-muslimîn jamî‘[an] fî ad-dunyâ li iqâmati ahkâmi syar‘i al-Islâmi wa hamli ad-da‘wah al-islâmiyyah ilâ al-‘âlam (kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum syariah Islam dan mengemban dakwah ke seluruh dunia).

Dengan demikian, Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam sebagaimana sistem pemerintahan republik, kerajaan, kekaisaran, dan lain-lain. Hanya saja, selama ini literatur-literatur yang diajarkan di sekolah atau perguruan tinggi seolah-olah telah sengaja tidak mau menyebut Khilafah sebagai suatu sistem pemerintahan. Biasanya yang diajarkan adalah republik yang merupakan lawan dari kerajaan, sistem demokrasi yang merupakan lawan dari totaliter, atau sistem demokrasi liberal dari kalangan kapitalis yang merupakan lawan dari demokrasi rakyat/proletariat dari kalangan sosialis-komunis. Para akademisi seolah-olah menganggap sistem Khilafah itu tidak pernah ada.

Padahal sistem Khilafah itu tegak sejak pemerintahan yang diwariskan oleh Baginda Rasulullah saw. kepada kaum Muslim (Beliau menyebutkan dalam hadis bahwa yang akan memerintah setelah beliau adalah para khalifah) generasi pertama, yakni Khulafaur Rasyidin pada abad ke tujuh, hingga khalifah terakhir pada masa Khilafah Utsmaniyah jatuh pada tahun 1924. Bagaimana mungkin negara yang terus-menerus tegak, walau mengalami jatuh-bangun, hingga 13 abad tanpa suatu sistem? Padahal sistem demokrasi kapitalis yang hari ini berkuasa di muka bumi faktanya baru tegak setelah Revolusi Prancis 1789, yakni baru berumur 218 tahun. Demokrasi rakyat versi komunis pun cuma berumur tidak sampai seabad (1917-1991). Di sinilah ketidakjujuran tampak nyata! Islam dianggap agama seperti Kristen, Budha, atau yang lain yang tidak memiliki ideologi dan sistem pemerintahan.

Namun, belakangan ada fenomena menarik. Pasca Perang Dingin dan runtuhnya Uni Soviet tahun 1991, sistem demokrasi kapitalis yang diemban negara-negara Barat yang dikomandani AS merasa perlu adanya musuh bersama yang menggantikan ideologi komunis yang diemban Uni Soviet demi menjaga kelestarian sistem mereka. Mereka merujuk Huntington, bahwa musuh yang bisa dipasang adalah Islam. Namun, karena Islam adalah agama yang dipeluk oleh sekitar 1,5 miliar kaum Muslim, tidak strategis kalau mereka mengumumkan perang secara terbuka terhadap Islam. Karena itulah, Bush mengoreksi istilah Perang Salib dengan war on terorism setelah menyerbu Afganistan tahun 2001. Selanjutnya NIC (National Inteligent Council) menyebut-nyebut bahwa salah satu skenario yang bakal muncul sebagai kekuasaan yang mendominasi dunia tahun 2020 adalah Khilafah. Bush pun tidak kuat menahan diri untuk menyatakan bahwa kaum teroris akan mendirikan imperium dari Spanyol hingga Indonesia. Pejabat militer AS juga menyebut kalau tentara AS keluar dari Irak, mereka (kaum teroris) akan menegakkan Khilafah di Irak!

Jadi, musuh utama Barat adalah Islam. Untuk menipu Dunia Islam, mereka menyatakan bahwa mereka tidak memusuhi Islam, tetapi memusuhi teroris. Teroris itu adalah mereka yang menyerukan penegakan syariah Islam dan Khilafah! Oleh karena itu, segala bentuk operasi pemberantasan terorisme di Dunia Islam, baik oleh AS dan sekutu-sekutu Baratnya maupun para kompradornya di Dunia Islam tidak akan keluar dari skenario global war on terorism yang sejatinya adalah global war on Islam!

Belakangan muncul seruan dari kalangan non-pemerintah tentang apa yang disebut dengan kewaspadaan terhadap ideologi transnasional. Yang dimaksud ideologi transnasional adalah gerakan politik dari Timur Tengah yang datang ke Indonesia yang mengatasnamakan agama. Bahkan menurut suatu sumber, secara tegas disebut bahwa gerakan politik atas nama agama tersebut adalah Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Tuduhan melakukan kekerasan ditimpakan pada gerakan-gerakan ini, termasuk Hizbut Tahrir. Jelas ini adalah kebohongan. Sebab, siapa pun di negeri ini yang benar-benar melihat dengan mata kepala sendiri aktivitas Hizbut Tahrir dalam demo-demo yang digelarnya sejak AS menyerbu Afganistan tahun 2001 hingga hari ini, baik dalam skala massa besar maupun kecil, tidak akan berani menyimpulkan bahwa massa Hizbut Tahrir melakukan tindakan kekerasan. Polisi sekalipun yang biasa mendampingi aksi HTI tidak akan berani mengarang cerita seperti itu. Bahkan Kapolda Metro Jaya pada masa Irjenpol Makbul Padmanegara (sekarang Wakapolri) pernah mengeluarkan piagam penghargaan atas demonstrasi yang tertib kepada HTI. Betul, Hizbut Tahrir keras dalam memegang prinsip Islam. Namun, melakukan tindakan kekerasan dalam aksi—seperti massa pendukung partai yang calonnya kalah dalam Pilkada di Tuban—tidak pernah. Hizbut Tahrir memang tidak mengadopsi penggunaan kekuatan fisik dalam mencapai tujuannya untuk mewujudkan kehidupan Islam secara kâffah di negeri ini.

Lebih aneh lagi, dalam upaya mencegah gerakan ideologi transnasional, khususnya terhadap Hizbut Tahrir, dikembangkan fitnah oleh Harari dari Libanon (aslinya dari Habasyah) yang menyebut Hizbut Tahrir sesat. Lalu, untuk menimbulkan perlawanan masyarakat dikembangkan pula cerita bahwa Hizbut Tahrir di Jawa Timur merebut masjid-masjid NU.

Jelas, ini seperti operasi intelijen untuk menimbulkan konflik horisontal. Pasalnya, menurut syariah Islam, masjid adalah wakaf dan itu adalah milik umum (milkiyyah ‘âmmah). Siapapun kaum Muslim yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir berhak dan wajib memakmurkannya (lihat QS at-Taubah [9]: 18). Sebaliknya, siapapun tidak berhak melarang kaum Muslim manapun untuk memakmurkan masjid. Jadi, tidak tepat masjid yang statusnya wakaf itu dimiliki dan dikuasai ormas tertentu.

Jadi, dengan pemahaman tersebut, tidak akan terbersit dalam diri Hizbut Tahrir untuk mengambil-alih masjid dari pihak manapun. Faktanya, para aktivis Hizbut Tahrir menyatu dengan kaum Muslim dari aliran dan ormas manapun di negeri ini untuk mengajak berjuang bersama mengembalikan kehidupan Islam yang kâffah. Karena itu, wajar jika muncul penentangan sendiri dari warga masyarakat di Jawa Timur terhadap sosialisasi yang memojokkan Hizbut Tahrir.

Eskalasi penentangan terhadap perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah dibangkitkan seolah-olah Khilafah adalah barang asing yang berbahaya bagi umat Islam, khususnya buat umat Islam di Indonesia, hanya karena sifatnya yang transnasional. Ini jelas keliru. Sebab, bahaya-tidaknya sebuah ideologi/sistem politik tidak ditentukan oleh wataknya yang transnasional atau tidak.

Kapitalisme—yang juga bersifat transnasional—yang kemudian melahirkan imperialisme (militer, ekonomi, politik, budaya, dll) sudah terbukti membahayakan dunia. Secara empiris, nenek moyang kita juga sudah merasakan bahaya imperialisme saat Belanda menjajah negeri ini selama 3,5 abad. Saat ini pun, kita sudah merasakan pahitnya penjajahan ekonomi Barat (khususnya AS) yang telah banyak menguras kekayaan negeri ini. Karena itulah, jika saat ini ada gerakan—seperti Hizbut Tahrir—yang menolak ideologi Kapitalisme dan penjajahan Barat/AS (yang telah terbukti menimbulkan bahaya dan penderitaan luar biasa bagi bangsa ini hingga hari ini) tentu pantas didukung oleh umat, apalagi oleh para ulama waratsah al-anbiyâ!

Dalam sejarahnya yang sanagat panjang, Khilafah sesungguhnya tidak pernah terbukti menyengsarakan manusia, termasuk negeri ini. Justru Khilafahlah yang telah menyampaikan hidayah Allah kepada bangsa ini sehingga bangsa ini mayoritas memeluk Islam. Apakah belum diketahui bahwa Walisongo yang menyebarkan Islam di negeri ini adalah para ulama dari Turki dan Palestina yang dikirim oleh Khilafah? Syarif Hidayatullah, misalnya, seorang ahli tatanegara dari Turki sekaligus panglima perang yang membebaskan Jakarta dari penjajah Portugis yang kemudian menamainya Jayakarta (terjemahan dari fath[an] mubîna; artinya kemenangan yang nyata [lihat QS al-Fath: 1]) adalah salah seorang wali yang berasal dari Palestina.

Mengapa para wali dari tokoh-tokoh Walisongo tersebut dikirim oleh Khilafah ke Nusantara? Tidak lain karena Khilafah memiliki tugas mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Sebab, politik luar negeri Khilafah adalah mengemban Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad. Karena itu, gerak dakwah Islam dan politik Khilafah Islamiyah pasti bersifat transnasional. Rasul sendiri melakukan hal itu. Beliau mengirim surat kepada Kaisar Heraklius di Syam dan Kisra di Persia. Jelas, dakwah Rasulullah saw. kepada kedua pemimpin negara adidaya waktu itu meraupakan gerakan dakwah politik transnasional. Demikian juga ekspedisi pasukan mujahidin di bawah pimpinan Jenderal Khalid bin Walid yang dikirim oleh Khalifah Abu Bakar untuk membuka wilayah Irak pasca pemadaman pemberontakan kaum murtad juga bersifat transasional, berbagai ekspedisi yang dikirim oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab hingga mampu meruntuhkan negara Persia sekaligus memukul mundur Heraklius dan balatentaranya dari seluruh wilayah Syam dan kemudian lari ke Konstantinopel, serta berbagai perluasan Islam dalam dakwah dan jihad yang dilakukan para khalifah berikutnya hingga Islam membentang dari Andalusia (Spanyol) hingga Asia Tenggara. Semua itu merupakan bentuk gerakan dakwah dan politik yang bersifat transnasional. Tanpa dakwah dan politik yang sifatnya transnasional, Islam tidak mungkin berkembang sampai ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Kini menjadi jelas, tanpa gerakan transnasional Khilafah, mana mungkin Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Bani Umayah mengirim mubalig yang mengajarkan Islam ke Jambi memenuhi surat permintaan Raja Sriwijaya Jambi bernama Srindravarman pada tahun 718M hingga Raja Hindu tersebut masuk Islam pada tahun 720 M. Kalau Khilafah bukan gerakan transnasional, mana mungkin pula Sultan Muhammad I dari Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1404 mengirimkan para mubalig yang kemudian terkenal sebagai Walisongo di Tanah Jawa. Para mubalig yang dikirim ke Nusantara dalam lima periode itu antara lain: Syaikh Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq (Ayahanda Sunan Giri) dari Samarqand, Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir, Maulana Muhammad al-Maghribi dari Maroko, Maulana Hasanuddin dari Palestina, Maulana Aliyuddin dari Palestina, Syaikh Subakir dari Persia, Syaikh Ja‘far Shadiq (Sunan Kudus) dan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dari Palestina.

Jika ada ulama di Jawa hari ini mengklaim bahwa dakwah mereka adalah mewarisi para Wali Songo, maka atas dasar alasan apa—baik secara syar‘i maupun historis—menolak gerakan penegakan kembali Khilafah yang bersifat transnasional tersebut? Apalagi jika gerakan yang mengingatkan seluruh umat Islam atas puncak kewajiban umat ini—yakni Khilafah—adalah gerakan yang dibentuk oleh seorang ulama Palestina yang merupakan cucu dari ulama besar Syaikh Yusuf an-Nabhani yang menulis kitab Syawâhid al-Haqq dan lain-lain. Ulama yang menelusuri khazanah Islam dan kitab-kitab kuning pada awal abad lalu pasti mengenal baik siapa Sayikh Yusuf an-Nabhani dan pasti mereka sungkan memusuhi anak-keturunan beliau, apalagi yang beliau kader sendiri sebagai ulama politisi seperti Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir!

Hadânâ Allâh wa iyyakum. Wallâh al-Muwaffiq ilâ aqwam ath-tharîq!

[Muhammad al-Khaththath]

Sunday, May 30, 2010

Inilah Wajah-wajah Iblis Yang Menyeramkan! Bukan Rekayasa

Beberapa waktu lalu saya mendapatkan sebuah situs luar negeri yang memuat wajah Paus Benedict XVI yang digambarkan sebagai seorang Iblis. Dan hal ini tidak ada rekayasa sedikitpun. Kasus ini mungkin karena banyaknya terjadi skandal pelecehan seksual yang didapati oleh Gereja. Sehingga terciptalah wajah-wajah iblis tersebut.

Saya tidak bermaksud sara, karena saya hanya meng-copy paste saja. Di lain tempat, saya menemukan beragam hujatan di facebook yang diarahkan kepada Islam dan Umat Islam serta Nabi-nabi Islam. Seperti ini ---> 1

Kebencian mereka menghinakan umat Islam dan nabi-nabi umat Islam terlihat begitu bodoh sekali. Nah, sekarang bukti nyata telah kita ketahui sejak dulu. Hanya orang bodoh saya yang mengikuti ajaran pendeta-pendeta yang menyimpang dalam berbagai skandal pelecehan seksual. Ok, mari kita lihat wajah-wajah ibil tersebut:

1. Sini… anak-anak…. mari kemari hihihihihii

image

2. Aku adalah Santa hehehe

image

3. Bodoh sekali mereka, orang-orang tidak akan mencurigaiku

image

4. Jadilah seperti aku, sang iblis

image

5. Bloommm… hehehe

image

6. Apakah aku sudah tampak seperi Nazi?

image

7. Hahahaha….barakaraba

image

8. Saya akan kembali hihiihihihi

image

9. Kalia tidak akan pernah bisa lari dariku hahahahaha

image

10. HUPSSS, ilmu menghilangkan wajah

image

11. Tenanglah, kamu akan sedikit menderita

image

Sumber: buzzfeed

http://suara01.blogspot.com/2010/04/hot-inilah-wajah-wajah-iblis-yang.html

Monday, May 3, 2010

Jihad Explained

JIHAD, Other Commonly Used Spellings: JIHAAD

It is an Arabic word the root of which is Jahada, which means to strive for a better way of life. The nouns are Juhd, Mujahid, Jihad, and Ijtihad. The other meanings are: endeavor, strain, exertion, effort, diligence, fighting to defend one's life, land, and religion.

Jihad should not be confused with Holy War; the latter does not exist in Islam nor will Islam allow its followers to be involved in a Holy War. The latter refers to the Holy War of the Crusaders.

Jihad is not a war to force the faith on others, as many people think of it. It should never be interpreted as a way of compulsion of the belief on others, since there is an explicit verse in the Qur'an that says:"There is no compulsion in religion" Al-Qur'an: Al-Baqarah (2:256).

Jihad is not a defensive war only, but a war against any unjust regime. If such a regime exists, a war is to be waged against the leaders, but not against the people of that country. People should be freed from the unjust regimes and influences so that they can freely choose to believe in Allah.

Not only in peace but also in war Islam prohibits terrorism, kidnapping, and hijacking, when carried against civilians. Whoever commits such violations is considered a murderer in Islam, and is to be punished by the Islamic state. during wars, Islam prohibits Muslim soldiers from harming civilians, women, children, elderly, and the religious men like priests and rabies. It also prohibits cutting down trees and destroying civilian constructions.



The Spiritual Significance of Jihad


Seyyed Hossein Nasr
Vol. IX, No. 1

And those who perform jihad for Us, We shall certainly guide them in Our ways, and God is surely with the doers of good. (Quran XXXIX; 69)

You have returned from the lesser jihad to the greater jihad. (Hadith)

The Arabic term jihad, usually translated into European languages as holy war, more on the basis of its juridical usage in Islam rather than on its much more universal meaning in the Quran and Hadith, is derived from the root jhd whose primary meaning is to strive or to exert oneself. Its translation into holy war combined with the erroneous notion of Islam prevalent in the West as the 'religion of the sword' has helped to eclipse its inner and spiritual significance and to distort its connotation. Nor has the appearance upon the stage of history during the past century and especially during the past few years of an array of movements within the Islamic world often contending or even imposing each other and using the word jihad or one of its derivative forms helped to make known the full import of its traditional meaning which alone is of concern to us here. Instead recent distortions and even total reversal of the meaning of jihad as understood over the ages by Muslims have made it more difficult than ever before to gain insight into this key religious and spiritual concept.

To understand the spiritual significance of jihad and its wide application to nearly every aspect of human life as understood by Islam, it is necessary to remember that Islam bases itself upon the idea of establishing equilibrium within the being of man as well as in the human society where he functions and fulfills the goals of his earthly life. This equilibrium, which is the terrestrial reflection of Divine Justice and the necessary condition for peace in the human domain, is the basis upon which the soul takes its flight towards that peace which, to use Christian terms, 'passeth understanding'. If Christian morality sees the aim of the spiritual life and its own morality as based on the vertical flight towards that perfection and ideal which is embodied in Christ, Islam sees it in the establishment of an equilibrium both outward and inward as the necessary basis for the vertical ascent. The very stability of Islamic society over the centuries, the immutability of Islamic norms embodied in the Shari'ah, and the timeless character of traditional Islamic civilization which is the consequence of its permanent and immutable prototype are all reflections of both the ideal of equilibrium and its realization as is so evident in the teachings of the Shari'ah (or Divine Law) as well as works of Islamic art, that equilibrium which is inseparable from the very name of islam as being related to salam or peace.

The preservation of equilibrium in this world, however, does not mean simply a static or inactive passivity since life by nature implies movement. In the face of the contingencies of the world of change, of the withering effects of time, of the vicissitudes of terrestrial existence, to remain in equilibrium requires continuous exertion. It means carrying out jihad at every stage of life. Human nature being what it is, given to forgetfulness and the conquest of our immortal soul by the carnal soul or passions, the very process of life of both the individual and the human collectivity implies the ever-present danger of the loss of equilibrium and the fact of falling into the state of disequilibrium which if allowed to continue cannot but lead to disintegration on the individual level and chaos on the scale of community life. To avoid this tragic end and to fulfill the entelechy of the human state which is the realization of unity (al-tawhid) or total integration, Muslims as both individuals and members of Islamic society must carry out jihad, that is they must exert themselves at all moments of life to fight a battle both inward and outward against those forces that if not combatted will destroy that equilibrium which is the necessary condition for the spiritual life of the person and the functioning of human society. This fact is especially true if society is seen as a collectivity which bears the imprint of the Divine Norm rather than an antheap of contending and opposing units and forces.

Man is at once a spiritual and corporeal being, a micro-cosm complete unto himself; yet he is the member of a society within which alone are certain aspects of his being developed and certain of his needs fulfilled. He possesses at once an intelligence whose substance is ultimately of a divine character and sentiments which can either veil his intelligence or abett his quest for his own Origin. In him are found both love and hatred, generosity and coveteousness, compassion and aggression. Moreover, there have existed until now not just one but several 'humanities' with their own religious and moral norms and national, ethnic and racial groups with their own bonds of affiliation. As a result the practice of jihad as applied to the world of multiplicity and the vicissitudes of human existence in the external world has come to develop numerous ramifications in the fields of political and economic activity and in social life and come to partake on the external level of the complexity which characterizes the human world.

In its most outward sense jihad came to mean the defence of dar al-islam, that is, the Islamic world, from invasion and intrusion by non-Islamic forces. The earliest wars of Islamic history which threatened the very existence of the young community came to be known as jihad par excellence in this outward sense of 'holy war'. But it was upon returning from one of these early wars, which was of paramount importance in the survival of the newly established religious community and therefore of cosmic significance, that the Prophet nevertheless said to his companions that they had returned from the lesser holy war to the greater holy war, the greater jihad being the inner battle against all the forces which would prevent man from living according to the theomorphic norm which is his primordial and God given nature. Throughout Islamic history, the lesser holy war has echoed in the Islamic world when parts or the whole of that world have been threatened by forces from without or within. This call has been especially persistent since the nineteenth century with the advent of colonialism and the threat to the very existence of the Islamic world. It must be remembered, however, that even in such cases when the idea of jihad has been evoked in certain parts of the Islamic world, it has not usually been a question of religion simply sanctioning war but of the attempt of a society in which religion remains of central concern to protect itself from being conquered either by military and economic forces or by ideas of an alien nature. This does not mean, however, that in some cases especially in recent times, religious sentiments have not been used or misused to intensify or legitimize a conflict. But to say the least, the Islamic world does not have a monopoly on this abuse as the history of other civilizations including even the secularized West demonstrates so amply. Moreover, human nature being what it is, once religion ceases to be of central significance to a particular human collectivity, then men fight and kill each other for much less exalted issues than their heavenly faith. By including the question of war in its sacred legislation, Islam did not condone but limited war and its consequences as the history of the traditional Islamic world bears out. In any case the idea of total war and the actual practice of the extermination of whole civilian populations did not grow out of a civilization whose dominant religion saw jihad in a positive light. On the more external level, the lesser jihad also includes the socio-economic domain. It means the reassertion of justice in the external environment of human existence starting with man himself. To defend one's rights and reputation, to defend the honour of oneself and one's family is itself a jihad and a religious duty. So is the strengthening of all those social bonds from the family to the whole of the Muslim people (al-ummah) which the Shari'ah emphasizes. To seek social justice in accordance with the tenets of the Quran and of course not in the modern secularist sense is a way of re-establishing equilibrium in human society, that is, of performing jihad, as are constructive economic enterprises provided the well-being of the whole person is kept in mind and material welfare does not become an end in itself; provided one does not lose sight of the Quranic verse, 'The other world is better for you than this one'. To forget the proper relation between the two worlds would itself be instrumental in bringing about disequilibrium and would be a kind of jihad in reverse.

All of those external forms of jihad would remain incomplete and in fact contribute to an excessive externalization of human being, if they were not complemented by the greater or inner jihad which man must carry out continuously within himself for the nobility of the human state resides in the constant tension between what we appear to be and what we really are and the need to transcend ourselves throughout this journey of earthly life in order to become what we 'are'.

From the spiritual point of view all the 'pillars' of Islam can be seen as being related to jihad. The fundamental witnesses, 'There is no divinity but Allah' and 'Muhammad is the Messenger of Allah', through the utterance of which a person becomes a Muslim are not only statements about the Truth as seen in the Islamic perspective but also weapons for the practice of inner jihad. The very form of the first witness (La ilaha illa' Lla-h in Arabic) when written in Arabic calligraphy is like a bent sword with which all otherness is removed from the Supreme Reality while all that is positive in manifestation is returned to that Reality. The second witness is the blinding assertion of the powerful and majestic descent of all that constitutes in a positive manner the cosmos, man and revelation from that Supreme Reality. To invoke the two witnesses in the form of the sacred language in which they were revealed is to practice the inner jihad and to bring about awareness of who we are, from whence we come and where is our ultimate abode.

The daily prayers (salat or namaz) which constitute the heart of the Islamic rites are again a never ending jihad which punctuate human existence in a continuous rhythm in conformity with the rhythm of the cosmos. To perform the prayers with regularity and concentration requires the constant exertion of our will and an unending battle and striving against forgetfulness, dissipation and laziness. It is itself a form of spiritual warfare.

Likewise, the fast of Ramadan in which one wears the armour of inner purity and detachment against the passions and temptations of the outside world requires an asceticism and inner discipline which cannot come about except through an inner holy war. Nor is the hajj to the centre of the Islamic world in Mecca possible without long preparation, effort, often suffering and endurance of hardship. It requires great effort and exertion so that the Prophet could say, 'The hajj is the most excellent of all jihads". Like the knight in quest of the Holy Grail, the pilgrim to the house of the Beloved must engage in a spiritual warfare whose end makes all sacrifice and all hardship pale into significance, for the hajj to the House of God implies for the person who practices the inner jihad encounter with the Master of the House who also resides at the centre of that other Ka'bah which is the heart.

Finally the giving of zakat or religious tax and khums is again a form of jihad not only in that in departing from one's wealth man must fight against the coveteousness and greed of his carnal soul, but also in that through the payment of zakat and khums in its many forms man contributes to the establishment of economic justice in human society. Although jihad is not one of the 'pillars of Islam', it in a sense resides within all the other 'pillars'. From the spiritual point of view in fact all of the 'pillars' can be seen in the light of an inner jihad which is essential to the life of man from the Islamic point of view and which does not oppose but complements contemplativity and the peace which result from the contemplation of the One.

The great stations of perfection in the spiritual life can also be seen in the light of the inner jihad. To become detached from the impurities of the world in order to repose in the purity of the Divine Presence requires an intense jihad for our soul has its roots sunk deeply into the transient world which the soul of fallen man mistakes for reality. To overcome the lethargy, passivity and indifference of the soul, qualities which have become second nature to man as a result of his forgetting who he is constitutes likewise a constant jihad. To pull the reigns of the soul from dissipating itself outwardly as a result of its centrifugal tendencies and to bring it back to the centre wherein resides Divine Peace and all the beauty which the soul seeks in vain in the domain of multiplicity is again an inner jihad. To melt the hardened heart into a flowing stream of love which would embrace the whole of creation in virtue of the love for God is to perform the alchemical process of solve et coagula inwardly through a 'work' which is none other than an inner struggle and battle against what the soul has become in order to transform it into that which it 'is' and has never ceased to be if only it were to become aware of its own nature. Finally, to realize that only the Absolute is absolute and that only the Self can ultimately utter 'I' is to perform the supreme jihad of awakening the soul from the dream of forgetfulness and enabling it to gain the supreme principal knowledge for the sake of which it was created. The inner jihad or warfare seen spiritually and esoterically can be considered therefore as the key for the understanding of the whole spiritual process, and the path for the realization of the One which lies at the heart of the Islamic message seen in its totality. The Islamic path towards perfection can be conceived in the light of the symbolism of the greater jihad to which the Prophet of Islam, who founded this path on earth, himself referred.

In the same way that with every breath the principle of life which functions in us irrespective of our will and as long as it is willed by Him who created us, exerts itself through jihad to instill life within our whole body, at every moment in our conscious life we should seek to perform jihad in not only establishing equilibrium in the world about us but also in awakening to that Divine Reality which is the very source of our consciousness. For the spiritual man, every breath is a reminder that he should continue the inner jihad until he awakens from all dreaming and until the very rhythm of his heart echoes that primordial sacred Name by which all things were made and through which all things return to their Origin. The Prophet said, 'Man is asleep and when he dies he awakens'. Through inner jihad the spiritual man dies in this life in order to cease all dreaming, in order to awaken to that Reality which is the origin of all realities, in order to behold that Beauty of which all earthly beauty is but a pale reflection, in order to attain that Peace which all men seek but which can in fact be found only through the inner jihad.