Thursday, November 20, 2008

KENAPA AS INCAR IRAN?

KENAPA AS INCAR IRAN?

ISU NUKLIR IRAN DAN ENERGI LISTRIK KAWASAN

Jika membayangkan nuklir, semua orang akan membayangkan senjata nuklir seperti dijatuhkan AS ke atas kota Nagasaki dan Hiroshima dalam Perang Dunia Kedua di Asia Pasifik. Kehebatan dan ancaman senjata nuklir itu pula yang didengungkan AS ke persoalan Iran.

Memang benar ADA laporan intelijen AS yang menyebutkan bahwa Iran telah memiliki kemampuan untuk memproduksi senjata nuklir, seiring dengan rencana Iran untuk membangun reaktor nuklir untuk pembangkit listrik. TAPI, apakah masyarakat dunia (termasuk Indonesia) tidak belajar dengan kasus Irak? AS menyerang Irak dengan dalih bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal, dalih itu berdasarkan laporan intelijen semata. MANA sekarang buktinya? (silahkan lihat lagi halaman 1 di artikel ini) Masyarakat AS sebagian besar telah sadar atas kebohongan publik yang dibuat oleh pemerintahannya. Pajak yang didapatkan dari masyarakat AS dibuang percuma demi Irak. Sementara itu, perusahaan alat militer dan perusahaan minyak besar (Big Oil Company) di AS ternyata yang memperoleh keuntungan. Di sisi lain, sebagian keluarga para tentara AS mulai tidak mau anggota keluarganya bertugas sia-sia dan tak jelas tujuannya di medan konflik Irak. SEKALI LAGI, isu senjata nuklir Irak ataupun Iran itu hanya isu kampungan yang digembar-gemborkan AS.

List of Locations Relevant to the Implementation of IAEA Safeguards
As of November 2003



Sumber: www.globalsecurity.org

Lalu, jika memang Iran memiliki kemampuan membuat senjata nuklir gara-gara potensi dari pengayaan uranium, darimana Iran mendapatkan teknologi nuklir itu sendiri? Mau tahu?! Kata Bung Karno: Jasmerah!

Yang pertama harus diingat adalah Iran sebenarnya telah berusaha membangun reaktor nuklir sejak tahun 1974, ketika Iran di bawah kepemimpinan Shah Reza Pahlevi. Anda tahu khan negara mana di balik sang Shah tersebut?.

Saat itu, Shah berencana membangun reaktor nuklir untuk pembangkit listrik dengan bantuan Jerman, Perancis, dan AS. Ya tentunya semua dengan restu Washington. Kemudian Shah memberikan kontrak pembangunan ke perusahaan Jerman, Siemens, untuk membangun 2 reaktor nuklir berkekuatan 1200 MW di wilayah Bushehr, Iran Kawasan Bushehr adalah salah satu kawasan yang diributkan oleh AS lewat IAEA saat ini.


Saat itu (tahun 1974), AS mendukung Iran untuk mengembangkan sumber energi alternatif; tidak berbasiskan minyak dan gas. Padahal saat itu, pembangkit listrik nuklir belum sangat dibutuhkan oleh Iran. Saat itu, jumlah penduduk Iran kurang dari 70 juta orang, produksi minyak sekitar 5,8 juta bpd, konsumsi energi domestik Iran saat itu sekitar seperempat dari saat ini. Kenapa saat itu pembangkit listrik nuklir Iran tidak dipersoalkan?!

Tapi oleh AS, sebuah penelitian pun digelar Stanford Research Institute. Penelitian lembaga tersebut menyebutkan bahwa pada tahun 1990, Iran membutuhkan kapasitas listrik sebesar 20.000 MW. Lalu, generasi pertama teknisi nuklir Iran dikirim dan dilatih ke Massachusetts Intitute of Technology.

Dalam dua Memorandum Keputusan Keamanan Nasional AS (National Security Decision Memoranda) tertanggal 22 April 1975 dan 20 April 1976, Presiden AS saat itu Gerald Ford menyetujui penjualan fasilitas pemrosesan dan pengayaan uranium ke Iran. Sebaliknya, Iran membeli 8 reaktor nuklir. Kerjasama Iran dan AS itu senilai 15 miliar Dollar Amerika. Amerika Serikat setuju membangun 8 pembangkit listrik tenaga nuklir yang total kapasitasnya 8000 MW. Kebijakan Gedung Putih saat itu diumumkan resmi oleh juru bicara Sydney Sober pada bulan Oktober 1977, dalam sebuah simposium, “The US and Iran: An Increasing Partnership.” Akhirnya, draft final US-Iran Nuclear Energy Agreement ditandatangani bersama Iran dan AS pada bulan Juli 1978. Penandatanganan tersebut dilakukan beberapa bulan sebelum adanya gejolak Revolusi Islam Iran. AS melongo……


Kemudian, pada 9 Februari 2003, Presiden Iran Mohammad Khatami mengumumkan program pengayaan uranium untuk bahan baku pembangkit listrik tenaga nuklir. Sejak itu, tenaga ahli dari IAEA (International Atomic Energy Agency) berdatangan ke Iran. Pihak Gedung Putih (AS) berkeyakinan bahwa pengayaan uranium Iran itu untuk pembuatan senjata nuklir. Sungguh lucu!

Kini, teknologi nuklir Iran untuk pembangkit listrik di-support oleh Rusia. Rusia dan Iran menjalin kerja sama strategis. Nilai kontraknya diperkirakan senilai 25 Miliar Dollar Amerika. Rusia membutuhkan Iran, demikian sebaliknya. Rusia membutuhkan Iran sebagai partner strategis untuk mengimbangi upaya dominasi AS di kawasan Eurasia (Eropa-Asia). Sementara Iran membutuhkan teknologi Rusia untuk agar nanti Iran menjadi pusat geopolitik-ekonomi di Timur Tengah. Dalam intelijen internasional, kawasan Eurasia memang merupakan target dominasi AS. Kegelisahan AS dan Sekutunya pun menjadi-jadi. Selain teknologi nuklir, Rusia ternyata juga mentransfer teknologi militer dan ruang angkasa ke Iran.

Kini, Rusia seperti “mengkhianati” Iran. Rusia lewat IAEA, mendukung resolusi PBB. Iran menilai sikap Rusia ambigu. Padahal Rusia sebenarnya mengkhawatirkan serangan AS ke Iran benar-benar akan terjadi. Sikap AS yang kelewatan sebenarnya tak seharusnya terjadi; karena nafsu. Yang patut ditiru adalah sikap Perancis, Jerman, dan Inggris yang menjanjikan pengiriman bantuan dan kerja sama teknis kepada Iran untuk pembangunan reaktor nuklir sipil (listrik), demi transparansi nuklir. Sikap negara-negara tersebut bijaksana ketimbang kekhawatiran yang membabi buta atas sikap Iran.

Lepas dari fakta tersebut, sebenarnya ada apa di balik sikap Iran yang “ngotot” untuk program nuklir sipilnya? Berdasarkan analisis, terdapat dua hal yang mendasari, yakni: antisipasi konsumsi energi listrik dalam negeri Iran yang makin tinggi, dan geopolitik kebutuhan energi listrik kawasan.



Antisipasi konsumsi energi listrik Iran. Menurut EIA, kebutuhan listrik domestik Iran makin tinggi, dan dibutuhkan investasi miliaran Dollar Amerika. Pada tahun 2004, kapasitas terpasang di Iran sebesar 34,3 GW. Produksi listrik sebesar 155,7 miliar KWH. Konsumsi listriknya 145,1 miliar KWH. Pada tahun 2004, kapasitas terpasang Iran naik menjadi sebesar 36 GW. Pertumbuhan konsumsi listriknya mencapai 7-9 persen. Pemerintahan Iran mau tak mau harus mengejar keamanan pasokan listrik domestik apalagi jumlah penduduk Iran diperkirakan mencapai 100 juta orang pada tahun 2025.

Kapasitas Pembangkit Listrik Iran Berdasar Jenisnya




Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi, Iran membutuhkan daya listrik 70.000 MW pada tahun 2021. Jika daya listrik tersebut dihasilkan dari minyak (BBM), dibutuhkan 112-140 juta barrel per tahun. Ini sebuah dilema untuk Iran. Pembangkit listrik besar Iran kebanyakan berbahan baku BBM. Padahal pendapatan Iran 80 persen berasal dari ekspor minyak, dan 45 persennya digunakan untuk APBN Iran. Selain itu, hasil produksi minyak Iran belum ada kemajuan pesat akibat konsumsi domestik yang naik 280 persen sejak tahun 1978, dan belum pula dibutuhkan biaya 40 miliar USD untuk perawatan kilang-kilang minyak Iran dalam 15 tahun. Jika situasi terus seperti itu, Iran diprediksi menjadi net oil importer pada tahun 2010.

Daftar Pembangkit Listrik Iran





Bagaimana dengan pembangkit listrik berbahan baku gas? Jika Iran mengembangkan dan meningkatkan pembangunan pembangkit listrik berbahan baku gas, sangat percuma. Menurut Massachusetts Intitute of Technology (AS) sendiri, biaya produksi listrik dari gas berbanding sama dengan biaya produksi listrik dari reaktor nuklir. Selain itu, dilema Iran, Eropa, dan Asia yang lain adalah gas Iran termasuk yang SANGAT dibutuhkan untuk memasok kebutuhan Eropa dan Asia.

Penggunaan Nuklir Untuk Listrik Di Dunia



Sungguh tak masuk akal jika Iran harus mengikuti kemauan AS untuk menghentikan pengayaan uranium demi listrik Iran. Iran memang kaya akan minyak dan gas, tapi tetap membutuhkan sumber energi alternatif untuk listrik. Inggris, Canada, hingga Rusia adalah eksportir migas, tapi negara-negara ini tetap menggunakan pembangkit listrik tenaga nuklir.

Di dunia saat ini, 19 persen daya listrik dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga nuklir. Penggunaan reaktor nuklir di dunia sebagai penghasil daya listrik diperkirakan akan meningkat terus.

Yang jelas, Iran telah merencanakan sumber pasokan energi listrik pada tahun 2021 berasal dari 10 persen tenaga nuklir, 20 persen dari hydro (tenaga air), 60 persen dari gas, dan sisanya dari yang lain.

Geopolitik kebutuhan energi listrik kawasan. Seperti diketahui bersama, letak Iran yang sangat strategis membuat posisi Iran dekat dengan negara-negara Asia Selatan, Asia Tengah, ataupun Laut Caspia. Beberapa negara di kawasan tersebut kekurangan pasokan listrik untuk dalam negerinya. Sebut saja seperti negara-negara seperti Syria, Georgia, Azerbaijan, Afghanistan, Irak, Pakistan, hingga India.

Tapi, negara-negara yang minim pasokan daya listriknya mau tak mau harus bersyukur, karena jaringan interkoneksi telah dibangun dan sedang dikembangkan lagi menghubungkan antar-negara di kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan Kabarnya jaringan interkoneksi ini menyambung hingga ke daratan Eropa; dari Iran melalui Armenia.


Jaringan Transmisi Listrik Utara Iran




Afghanistan’s Cross-Border Electricity Interconnections



Source: www.pakistan.gov.pk



Sumber: http://meaindia.nic.in

Iran yang kaya akan minyak dan gas melihat peluang bisnis energi listrik kawasan. Tercatat, sejak tahun 1992, Iran mulai menjual daya listriknya ke negara-negara tetangga.



Sumber: http://amar.tavanir.org.ir


Ambisi Iran untuk mempengaruhi negara-negara kawasan lewat penjualan listrik, sepertinya seimbang dengan rencana Iran yang akan membangun reaktor nuklir untuk pembangkit listrik, walaupun juga untuk kebutuhan domestik Iran juga. Iran masih berencana memperluas pasar penjualan daya listriknya ke negara-negara tetangga.

Selain mencari pasar penjualan, Iran bersama Rusia, dan China termasuk concern berinvestasi pembangunan pembangkit listrik di Asia Tengah. Selain sebagai perluasan pengaruh geopolitik, juga untuk memasok kebutuhan energinya sendiri (seperti ke China). Tiga negara ini mendorong negara Asia Tengah untuk menjual ke luar negara bersangkutan. Tiga negara ini terlibat pendanaan pembangunan di negara-negara seperti Tajikistan dan Kazakhstan. Tercatat, tidak ada perusahaan asal AS satu pun yang terlibat di pengembangan pembangkit listrik di Asia Tengah.

Gerakan bisnis energi listrik Iran, Rusia, dan China bisa jadi membuat gerah AS. Secara geopolitik energi, gerakan tiga serangkai (Iran, Rusia, dan China) secara tidak langsung akan membuat negara-negara kawasan Asia Tengah ataupun Asia Selatan akan tergantung pada tiga negara tersebut, dan mengurangi pengaruh dominasi AS.

Sunday, November 9, 2008

TPM: Aneh, Dakwaan dan BAP Amrozi Cs Soal Bahan Peledak Berbeda!

TPM: Aneh, Dakwaan dan BAP Amrozi Cs Soal Bahan Peledak Berbeda!
Alfian Banjaransari - detikNews

Jakarta - Tim Pengacara Muslim (TPM) kembali menegaskan sikap mereka bahwa ekseksui Amrozi cs harus ditunda. Salah satu alasannya adalah, ada keganjilan dalam dakwaan terhadap Amrozi cs.

"Dalam surat dakwaan disebutkan bahwa bahan peledaknya adalah TNT. Padahal dalam berita acara ditemukan banyak sekali jenis residu bahan peledak," kata Ketua TPM, Mahendradatta, di kantor TPM Jl Pondok Labu, Jakarta Selatan, Sabtu (8/11/2008).

Mahendradatta kemudian menunjukkan masing-masing Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan berkas dakwaan terhadap Amrozi. Dia mnggarisbawahi perbedaan antara kedua berkas tersebut berkaitan dengan bahan peledak yang digunakan.

Memang terdapat perbedaan keduanya dalam menjelaskan jenis bahan peledak yang digunakan. Dalam BAP, disebutkan bahwa hasil pemeriksaan residu bahan peledak yang terdapat pada serpihan barang bukti
yang ditemukan di kawah maupun sekitarnya menunjukkan bahwa terdapat beberapa jenis residu senyawa kimia, antara lain : TNT, RDX, dan HMX. Sementara dalam surat dakwaan disebutkan bahwa ditemukan TNT, belerang, dan Kalium Chloride (KClO3).

"Bahan HMX misalnya, itu hanya ada di lima negara. Itu barang pabrik, jadi nggak mungkin dirakit," kata Mahendradatta.

Dalam BAP, disebutkan bahwa penelitian terhadap residu bahan peledak tersebut dilakukan oleh tim dari Laboratorium Forensik Denpasar, Bali. Namun anehnya, mereka tidak pernah dijadikan saksi dalam persidangan.

"Ketika kami minta diuji coba (peledaknya), mereka nggak mau," ujarnya heran.

Hasil penelitian mengenai kandungan residu bahan peledak tersebut ditandatangani oleh Kepala Laboratorium Forensik Denpasar Kombes Budiono serta beranggotakan peneliti sebanyak enam orang. Mahendradatta berharap, agar hal ini menjadi pertimbangan pihak pemerintah untuk menunda pelaksanaan eksekusi mati.(alf/djo)

Ba’asyir, Burks, dan Bush

Katagori : Untold Story / the X files
Oleh : Redaksi 08 Feb 2005 - 6:25 am

Oleh : Riza Sihbudi*
Dua bulan lalu barangkali tidak ada orang Indonesia yang mengenal nama Frederick Burks (kecuali mereka yang mengenalnya secara pribadi), walaupun ia pernah lama tinggal di Kalimantan dan menguasai dengan sangat fasih Bahasa Indonesia (selain Spanyol dan Mandarin). Dalam beberapa hari terakhir ini nama dan gambarnya terpampang di hampir semua media cetak terkemuka di Indonesia, seperti Republika, Koran Tempo, dan Kompas. Wajah pria jangkung kelahiran Amerika Serikat 46 tahun lalu itu pun sempat muncul di sejumlah stasiun televisi. Bahkan MetroTV dan SCTV secara khusus mewawancarai Burks pada Jumat, 14 Januari 2005 lalu.

Pada hari yang sama Burks juga tampil sebagai pembicara tunggal di forum diskusi yang diadakan Pusat Penelitian Politik LIPI dan the Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Jakarta, dengan tema “Mengungkap Kebohongan Bush.” Tidak disangka, acara yang diadakan secara mendadak dan bahkan penyebaran undangannya hanya lewat SMS (pesan pendek) ini pun ternyata menyedot banyak perhatian dari kalangan akademisi dan profesional, sehingga ruangan berkapasitas 50-an orang itu pun penuh sesak.

Kenapa nama Fred Burks mendadak “populer” di Indonesia?

kPertama, tentu karena kesaksiannya dalam sidang kasus “terorisme” dengan terdakwa Ustadz Abu Bakar Ba’asyir (amir Majelis Mujahidin Indonesia) di Gedung Departemen Pertanian, Ragunan, Jakarta, (13 Januari 2005). Dalam sidang itu, Burks antara lain mengatakan bahwa Pemerintah George W Bush pernah meminta agar Ustadz Abu Bakar Ba’asyir (ABB) ditahan dan diserahkan ke AS. Permintaan AS itu, menurut Burks, disampaikan utusan khusus Bush kepada Presiden Republik Indonesia (saat itu) Megawati Soekarnoputri dalam pertemuan rahasia di Jalan Teuku Umar Jakarta (rumah pribadi Megawati), September 2002.

Pernyataan Burks di sidang ABB itu sebenarnya tidak ada yang baru.

Dalam berbagai kesempatan, dua atau tiga tahun lalu, saya sudah sering mengungkapkan adanya ntervensi pemerintahan AS dalam berbagai kasus “terorisme” di berbagai negara, termasuk Indonesia (lihat misalnya, opini Republika, 7 Oktober 2002, dan Koran Tempo, 25 Maret 2002). Hanya saja pernyataan itu menjadi istimewa lantaran keluar dari seorang Fred Burks yang sejak 1996 berprofesi sebagai penerjemah di Departemen Luar Negeri AS, dan sempat pula menjadi penerjemah Presiden AS, dari Bill Clinton sampai Bush. Artinya, pernyataan itu keluar dari seseorang yang memiliki otoritas yang tak perlu diragukan lagi.
Tentu bukan hanya itu. Burks yang sejak 2002 mengelola media alternatif dalam bentuk website bernama wanttoknow.info dan membangun jaringan internasional yang berupaya mengungkap kebohongan rezim Bush dalam kasus 11 September 2001, memiliki data-data yang sangat valid dan akurat. Data-data itu ia peroleh selama bertahun-tahun bekerja di Deplu AS serta interaksinya dengan puluhan elite politik, ekonomi, intelijen, maupun militer di negaranya. Dengan kredibilitasnya itu, apa yang dikatakan Fred Burks jelas bukan sekadar ”teori konspirasi” seperti yang selama ini dituduhkan sementara kalangan terhadap orang-orang seperti saya yang tidak pernah percaya pada ”versi resmi” kasus-kasus terorisme, khususnya 2001-2004.

Kasus Ustadz ABB, misalnya, sudah terang benderang mengandung banyak kejanggalan. Begitu pula kasus-kasus Bom Kuningan 2004, JW Marriot 2003, Bali 2002, dan—tentu saja-- 11 September 2001. “Versi resmi” yang, kendati tak didukung data-data yang valid dan akurat, berhasil “menyihir” opini dunia-ironisnya tak hanya kalangan awam melainkan juga kalangan akademisi dan intelektual—bahwa para pelaku aksi-aksi teror
(2001-2004) itu adalah Jamaah Islamiyah (JI) dan Alqaidah. Jika dibaca secara luas, pelaku aksi-aksi teror besar 2001-2004 adalah umat Islam, sebab kedua ”organisasi” itu dipimpin oleh tokoh-tokoh muslim, yaitu Abu Bakar Ba’asyir dan Usamah bin Ladin.

JI, Alqaidah dan Usamah masih banyak diselimuti misteri (menurut Burks, bukan tak mungkin mereka bikinan CIA). Tapi, tidak demikian halnya dengan Ustadz ABB. ABB adalah seorang ustadz yang jelas latar belakangnya, lantaran mengabdikan lebih dari separuh hidupnya untuk kepentingan dakwah Islam. ABB memang pernah terusir karena melawan rezim Soeharto, namun ABB jelas bukan satu-satunya penentang penguasa Orde Baru itu. Benar bahwa ABB secara konsisten memperjuangkan tegaknya Syariat Islam di Indonesia yang—seperti dikatakan Ketua Muhammadiyah Syafii Maarif—mungkin saja kurang sejalan dengan “mainstream” umat Islam di republik ini. Tapi, menyejajarkan ABB dengan Usamah (juga Hambali dan Umar Faruq, “dua tokoh JI” versi AS), jelas sangat tidak masuk di akal sehat.

Seorang teroris tentu tidak akan pernah tampil di depan publik, melainkan akan terus berpindah dari satu persembunyian ke persembunyian lainnya seperti yang kini dilakukan Dr Azahari dan Noordin M Top, atau Imam Samudera, Amrozi, dan kawan-kawannya dulu. Ini jelas berbeda dengan ABB yang selalu tampil di depan publik, kecuali pada masa Orde Baru, lantaran terus diancam aparat Soeharto, sehingga ABB terpaksa
”bersembunyi” di Malaysia. Namun, selama di Malaysia pun keberadaan ABB bukan sama sekali tak bisa dipantau. Dengan kata lain, jika ia seorang ”teroris”, ABB tentu tidak akan menjalani kehidupan sehari-harinya seperti selama ini (sebelum dijebloskan ke penjara atas dakwaan pelanggaran imigrasi).

Tapi, kenapa rezim Bush terus menekan Jakarta agar tidak membebaskan ABB (kesaksian Syafii Maarif) dan bahkan pada 2002 meminta Megawati agar menyerahkan ABB ke AS (kesaksian Fred Burks)? Jawabannya tentu tidak terlalu sulit. Jika pengadilan Indonesia tak mampu membuktikan keterlibatan ABB dalam kasus “terorisme Islam” maka seluruh skenario rezim Bush tentang JI di kawasan Asia Tenggara menjadi buyar, dan itu artinya mereka pun gagal menjadikan “terorisme Islam” sebagai momok baru yang menakutkan bagi bangsa-bangsa Asia Tenggara. Oleh sebab itu, rezim Bush berkepentingan agar Ustadz ABB terus mendekam di penjara, bahkan jika mungkin diekstradisi ke AS.

Maaf, jika saya terpaksa menggunakan istilah ”rezim Bush,” karena seperti dikatakan Fred Burks, Bush dan konco-konconya pada hakikatnya mengembangkan sistem politik dan pemerintahan yang otoritarian dan diktatorial ala Soeharto dulu. Sebuah karikatur yang dimuat majalah Kanada, Global Outlook (edisi Fall 2004/Winter 2005, hlm 65) misalnya, menggambarkan Bush yang sedang memeluk bola dunia sebagai seorang “The Great Dictator.” Bahkan, seperti dikatakan Fred Burks dalam diskusi di LIPI dan ISMES, 14 Januari lalu, rezim Bush tak segan-segan untuk menghalalkan segala cara, termasuk mengorbankan ribuan warga sipil demi mencapai tujuan dan ambisi politik dan ekonomi mereka.

Jadi, jika terorisme dipahami sebagai sebuah aksi bermotif politik dengan mengorbankan nyawa warga sipil, maka orang pun tahu siapa yang paling layak disebut sebagai teroris nomor satu dunia. Presiden Goerge W Bush tidak hanya bisa dianggap bertanggung jawab atas pembantaian sekitar 24 ribu warga sipil di Afghanistan (2001-2004) dan sekitar 37 ribu warga sipil di Irak (2003-2004), melainkan juga tiga ribuan warga sipil AS sendiri pada 11 September 2001 dan dua ratusan warga sipil Australia di Bali pada Oktober 2002.

Memang, bukti-bukti keterlibatan langsung rezim Bush dalam kasus Bali (juga JW Marriot dan Kuningan) belum banyak diungkapkan. Namun, dalam kasus 11 September 2001, sudah puluhan buku dan ratusan artikel di media cetak dan internet baik yang ditulis oleh orang-orang Eropa maupun AS sendiri yang terang-terangan menuding keterlibatan langsung rezim Bush dalam tragedi WTC itu. Lihat, misalnya, buku-buku The New Pearl Harbor (karya David Ray Griffin), 9-11 (Noam Chomsky), The Big Lie (Thierry Meyssan), The High Priests of War (Michael Collins Piper), Stranger Than Fiction (Albert D Pastore), The Lies of George W Bush (David Corn), The Terror Time Line (Paul Thompson), dan 911 Synthetic Terror Made in USA (Webster G Tarpley).

Menurut Fred Burks, sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menebak siapa pelaku dari setiap aksi terorisme berskala besar, khususnya sepanjang periode 2001-2004 yaitu, dengan melihat siapa pihak yang paling diuntungkan dari setiap kejadian itu. Umat Islam merupakan pihak yang paling dirugikan dari aksi-aksi terorisme 2001-2004. Oleh sebab itu, sangat tidak masuk akal menuding umat atau negara-negara Islam sebagai pelaku atau pendukung aksi-aksi terorisme. Burks dan hampir seluruh penulis Barat lainnya yang menolak “versi resmi” rezim Bush dalam kasus WTC, umumnya sepakat menuding kaum neokonservatif (neocon) yang bekerja sama dengan jaringan mafia Zionis (bukan Yahudi, karena banyak umat Yahudi yang menentang Zionisme) sebagai pihak yang paling diuntungkan dari aksi-aksi terorisme 2001-2004.

Sejak kemenangan Bush tahun 2000, kaum neocon dan Zionis sepenuhnya mengendalikan politik dan pemerintahan AS, dengan tokoh-tokohnya seperti Dick Cheney, Donald Rumsfeld, Paul Wolfowitz, Richard Perle, Douglas Feith, dan Condi Rice. Lebih dari itu, mereka pun kini mengendalikan sektor ekonomi dan media massa di AS. Semua media besar di AS ada di bawah kendali mereka. Tak ada satu pun media besar di AS yang berani menolak “versi resmi” rezim Bush dalam kasus WTC. Akibatnya, kalangan intelektual dan aktivis AS yang tak sepaham dengan rezim Bush terpaksa membuat media alternatif seperti yang dilakukan Burks dan kawan-kawannya. “Situasinya mirip Indonesia era Soeharto,” kata Burks.

Kehadiran Fred Burks di Jakarta, tentu diharapkan tidak hanya akan meringankan Ustadz ABB, melainkan juga diharapkan dapat membuka mata kita semua khususnya yang menyangkut kebohongan-kebohongan rezim Bush dalam isu terorisme global. Burks benar, bahwa perjuangan menegakkan nilai-nilai kebenaran dan demokrasi yang hakiki tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Burks mengakui bahwa dirinya tidak sepenuhnya setuju dengan pandangan keagamaan yang dianut Ustadz ABB. Tapi, setidaknya dalam satu hal mereka sepakat, yaitu melawan kediktatoran dunia di bawah cengkeraman rezim Bush. Burks lebih ”beruntung” lantaran tidak direnggut kemerdekaannya seperti Ustadz ABB, namun ada baiknya jika Fred Burks juga selalu mengingat ucapan Rosiana Silalahi (Liputan 6 SCTV, 14 Januari 2005), ”Hati-hati, banyak orang yang mengkhawatirkan keselamatan Anda”. Wallahualam bissawab. (RioL)

*Ahli peneliti utama LIPI