Sunday, April 13, 2008

WAWASAN AL-QUR’AN TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA

WAWASAN AL-QUR’AN TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA
(Suatu Kajian Tafsir Tematik)
Oleh: Masruhan
A. Pendahuluan

Islam merupakan agama yang ajaran-ajarannya bersifat universal. Rangkaian ajarannya yang meliputi bidang hukum, keimanan, etika dan sikap hidup menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan (al-insaniyah). Salah satu ajaran Islam yang dengan sempurna menampilkan nilai-nilai universalnya adalah 5 buah jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok. Satu dari kelima jaminan dasar itu adalah kebebasan berkeyakinan (beragama) tanpa ada paksaan untuk pindah agama.

Jaminan dasar akan kebebasan berkeyakinan (beragama) bagi masing-masing warga masyarakat melandasi hubungan antar warga masyarakat atas dasar sikap saling menghormati, yang akan mendorong timbulnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan, kesempitan pandangan dan kezaliman terhadap kelompik minoritas yang berbeda keyakinan agamanya dari keyakinan mayoritas, sejarah umat manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian intern dari kehidupan manusia. Akibatnya, toleransilah yang melakukan transformasi sosial dalam skala massif sepanjang sejarah.

Bahkan sejarah agama membuktikan, munculnya agama sebagai dobrakan moral atas kungkungan ketat dari pandangan yang dominan dan berwatak menindas. Hal ini telah dibuktikan oleh Islam dengan dobrakannya atas ketidak adilan wawasan hidup jahiliyah yang dianut mayoritas orang Arab waktu itu. Dengan tauhid, Islam menegakkan penghargaan kepada perbedaan pendapat dan perbenturan keyakinan. Dengan demikian, Islam telah dapat mentolerir perbedaan pandangan dalam hal yang paling mendasar, yaitu keimanan. Dengan kata lain bahwa Islam melalui ajarannya memiliki pandangan universal yang berlaku untuk umat manusia secara keseluruhan.

Atas dasar proposisi-proposisi seperti di atas, dalam makalah ini hendak dikemukakan wawasan Al-Qur’an tentang kebebasan beragama dan implikasinya terhadap tata interaksi sosial. Pembahasan tentang hal tersebut di bagi ke dalam beberapa sub bahasan. Bagian pertama berupa pendahuluan, sedangkan kedua membahas kebebasan beragama. Selanjutnya adalah bagian ketiga yang mengemukakan konsekuensi logis dari adanya prinsip kebebasan beragama bagi interaksi sosial. Sebagai bagian terakhir dikemukakan penutup, yang memungkasi pembahasan dalam makalah ini.

Pembahasan masalah-masalah sebagaimana tersebut diatas bertitik tolak pada ayat-ayat sebagai berikut :

La ikraha fi al-din, Qad tabyyana al-rusydu min al-ghayyi
Fa dzakkir, innama anta mudzakkir, lasta ‘alaihim bi mushaithirin
Afa anta tukrihu al-nasa hatta yakunu mu’minin
Qul ya ahla al-kitabi ta’alau ila kalimatin sawa’in bainana wa bainakum an la na’buda illa Allaha wa la nusyrika bihi syai’an wa la yattakhidza ba’dluna ba’dlan arbaban min duni Allahi, fa in tawallau fa qulu isyhadu bi anna muslimun
Qul man yarzuqukum min al-samawati wa al-ardli, qul Allahu wa inna wa iyyakum la’ala hudan au fi dlalalin mubin
La yanhakum Allahu ‘an alladzina lam yuqathilukum fi al-dini wa lam yukhrijukum min diyarikum an tabrruhum wa tuqsithu ilaihim, inna Allaha yuhibbu almuqsithin
B. Kebebasan Beragama

Diantara jaminan dasar yang dijaga dan dilindungi oleh Islam ialah hak kebebasan; dan yang terpenting adalah kebebasan beragama. Setiap orang berhak memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. Dalam Islam, tidaklah boleh ada pemaksaan kepada pemeluk agama lain untuk berkonversi kepada Islam. Alasannya, karena keyakinan agama yang dipaksakan tidak akan bisa menimbulkan keyakinan yang sebenarnya.

Berkaitan dengan hal ini, Al-Qur’an menyatakan: "La ikraha fi al-din qad tabayyan al-rusydu min al-ghayyi..." (Tidak ada paksaan untuk [memasuki] agama [Islam]; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah ...).

Sehubungan dengan ayat tersebut, Yusuf Ali memberikan komentar bahwa iman merupakan prestasi moral, dan sebagai kelengkapannya maka orang beriman harus memiliki kesabaran, tidak marah bila berhadapan dengan orang kafir. Disamping itu, yang lebih penting lagi adalah mereka tidak boleh memaksakan imannya kepada orang lain, baik dengan tekanan fisik maupun sosial, bujukan kekayaan maupun kedudukan serta keunggulan-keunggulan lainnya. Iman yang dipaksakan, pada hakekatnya, bukanlah iman. Orang harus berjalan secara spiritual, sebagaimana rencana Tuhan berjalan seperti yang Dia kehendaki.

Dalam menafsirkan ayat diatas, Ibnu Katsir berkata : "Jangan memaksa siapapun untuk memeluk agama Islam. Sebab, sudah cukup jelas petunjuk dan bukti-buktinya, sehingga tidak perlu ada pemaksaan terhadap seseorang untuk memasukinya". Para ahli tafsir menginformasikan kepada kita bahwa sebab turunnya ayat tersebut tampak menunjukkan kepada kita akan kebebasan beragama. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Abbas berkata:

"Ada seorang wanita yang mandul atau kurang subur menetapkan atas dirinya sendiri bahwa jika ia melahirkan seorang anak yang dapat terus hidup kelak, maka anak tersebut akan di yahudikannya (Hal ini merupakan kebiasaan wanita-wanita Anshar di jaman Jahiliyah, pen). Maka, ketika bani Nadhir --suatu suku kaum Yahudi-- diusir dari perkampungannya, diantara mereka terdapat beberapa putera dari keluarga Anshar. Ayah-ayah mereka berkata: "Kita tidak akan membiarkan anak-anak kita" (Maksudnya, mereka tidak akan membiarkan anak-anaknya tetap beragama Yahudi agar mereka tidak ikut terusir, pen). Maka Allah menurunkan ayat ini "Tidak ada paksaan dalam agama".

Dengan demikian, sekalipun ada pemaksanaan dari orang tuanya sendiri, Al Qur’an tetap menolak pemaksaan agama itu. Karena, iman --sebagaimana dikenal dalam kalangan Islam-- bukan hanya merupakan kalimat yang diucapkan secara lisan atau gerakan dalam upacara keagamaan yang dilaksanakaan oleh anggota tubuh semata-mata, tapi pokok iman adalah pengakuan hati, kepatuhan serta penyerahan sepenuhnya. Jadi, tidak dibolehkannya memaksakan suatu agama adalah karena manusia dianggap sudah mampu dan harus diberi kebebasan untuk membedakan dan memilih sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Dengan kata lain, manusia kini dianggap telah dewasa, sehingga ia bisa menentukan sendiri jalan hidupnya yang benar, dan tidak perlu lagi dipaksa-paksa seperti orang yang belum dewasa.

Oleh karena Tuhan telah "percaya " kepada kemampuan manusia, maka Dia tidak lagi mengirimkan utusan atau rasul untuk mengajari mereka tentang kebenaran. Dengan deretan para nabi rasul, serta Muhammad saw. sebagai rasul penutupnya, Nabi Muhammad Saw. membawa dasar-dasar pokok ajaran yang terus menerus dapat dikembangkan untuk segala zaman dan tempat. Maka, sekarang terserah kepada manusia yang telah "dewasa" itu untuk secara kreatif menangkap pesan dari pokok ajaran Nabi penutup tersebut dan memfungsikannya dalam kehidupan nyata mereka.

Firman di atas (QS. Al Baqarah: 256), menurut Nurcholis Majid, menegaskan bahwa jalan hidup tiranik adalah lawan dari jalan hidup beriman kepada Allah. Hal ini berarti bahwa jalan hidup berdasarkan iman kepada Tuhan adalah kebalikan dari sikap memaksa-maksa. Sebaliknya, iman kepada Tuhan sebagai jalan hidup menghasilkan moderasi atau sikap "tengah" dan tanpa ekstremitas. Beriman kepada Allah --sebagai kebalikan tiranisme-- melahirkan sikap yang selalu menyediakan ruang bagi pertimbangan akal sehat untuk membuat penilaian yang jujur atau fair terhadap setiap persoalan.

Karena iman kepada Allah dan penentangan terhadap tirani mempunyai kaitan logis dengan prinsip kebebasan beragama, maka Nabi pun diingatkan oleh Allah dalam firman-Nya: "Wa lau sya'a rabbuka la amana man fi al-ardli kulluhum jami'a. Afa anta tukrihu al-nasa hatta yakunu mu'minin" (Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka, apakah kamu [hendak] memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya).

Menurut Muhammad Abduh, ayat diatas mengingatkan Nabi Muhammad bahwa jika Tuhan menghendaki penduduk bumi semuanya beriman, tentulah tidaklah sulit bagi-Nya menghujamkan rasa iman ke dalam lubuk hati mereka, sehingga kondisi mereka laksana malaikat tanpa ada penyediaan pada fitrahnya untuk selain beriman. Ayat tersebut, menurut Abduh, semakna dengan ayat "wa lau sya'allahu ma asyraku" dan ayat "wa lau sya'arabbuka laja'ala al-nasa ummatan wahidatan". Ayat-ayat ini mengandung pengertian bahwa jika Allah menghendaki untuk tidak menciptakan manusia dengan fitrah akan keimanan dan kekufuran, kebaikan dan kejahatan yang dengan kehendak dan pilihannya (manusia) dapat menerima dan memiliki, maka tentu Allah mewujudkannya itu. Ketika manusia diciptakan untuk mewujud di bumi sebagai khalifah, maka Allah pun menciptakan sebagian dari mereka beriman dan sebagian lainnya tidak beriman.

Dalam menafsirkan ayat "Afa anta tukrihu al-nasa hatta yakunu mu'minin," Abduh menyatakan bahwa pemaksaan keimanan bukanlah merupakan otoritas rasul dan bukan pula sebagai bagian dari tugas-tugas kerasulan yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. dan rasul-rasul sebelumnya. Kewajiban mereka hanyalah menyampaikan ajaran tanpa ada unsur-unsur pemaksaan terhadap obyek dakwah untuk memeluk agama Islam. Hal ini seperti tercermin pada pernyataan Al Qur’an sendiri dalam surat Al Ghasiyah ayat 21-22, Al-Ankabut ayat 18, Qaf ayat 45 dan lain sebagainya.

Dengan demikian, prinsip kebebasan beragama merupakan kehormatan bagi manusia dari Tuhan, karena Tuhan mengakui hak manusia untuk memilih sendiri jalan hidupnya. Tentu tidak perlu lagi ditegaskan bahwa semua resiko pilihan adalah tanggung jawab sepenuhnya manusia sendiri.

Para ahli, menurut Nurcholis Majid, sepakat bahwa pelembagaan prinsip kebebasan beragama dalam sejarah umat manusia pertama kali dibuat oleh Rasulullah saw. sesudah beliau hijrah ke Madinah dan harus berhadapan dengan keadaan masyarakat yang majemuk (plural). Saat ini, prinsip kebebasan beragama telah dijadikan salah satu sendi tatanan sosial politik modern. Prinsip itu dijabarkan oleh Thomas Jefferson sebagai "Deist" dan "Uniterianist-Universalist", namun ia menolak agama formal. Prinsip ini dijabarkan pula oleh Robes Piere, seorang yang percaya akan "wujud yang Maha Tinggi", tetapi ia juga menolak agama formal. Sikap mereka seperti itu mungkin dikarenakan agama yang mereka kenal di sana waktu itu tidak mengajarkan kebebasan beragama.

C. Konsekuensi Logis Dari Kebebasan Beragama Bagi Tata Interaksi Sosial

Pengakuan atas kebebasan beragam tersebut diatas menimbulkan konsekuensi-konsekuensi logis bagi penerapan Islam dalam kehidupan keseharian. Karena itu, sejarah tidak pernah mengenal suatu bangsa muslim memaksa ahludz-dzimmah untuk memeluk agama Islam. Hal tersebut telah diakui oleh para ahli sejarah dari Barat sendiri. Demikian pula, Islam menjaga dan memelihara secara baik rumah-rumah ibadah milik orang-orang non muslim serta menghargai kesucian upacara-upacara ritual mereka.

Memang benar, salah satu sasaran yang hendak dicapai dalam menjalin hubungan dengan penganut agama lain adalah mengajak mereka untuk memeluk Islam sesuai dengan misi Islam sebagai agama dakwah. Islam sebagai jalan keselamatan dunia-akherat menganjurkan umat Islam untuk mengajak obyek dakwah menganut Islam, dengan diikat oleh satu tali aqidah atau keimanan yang telah diturunkan kepada Rasul sebelum Nabi Muhammad saw. Al-Qur’an menegaskan: "Qul ya ahla al-kitab ta’alau ila kalimatin sawa’in bainana wa bainakum an la na’buda illa Allah wa nusyrika bihi syai’a wa la yattakhidza ba’dluna ba’dlan arbaban min dunillahi. Fa in tawallau faqulu isyhadu bi anna muslimun" (Katakanlah hai ahlul Kitab: "Marilah kepada suatu kalimat [ketetapan] yang tidak ada perselisihan antara kami dengan kamu bahwa kita tidak sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak [pula] sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain dari pada Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri [kepada Allah] ").

Ibnu Jarir al-Thabary dalam menafsirkan ayat diatas menyatakan bahwa ayat tersebut mengajak kaum Yahudi dan Nasrani (Ahlul Kitab) agar kembali kepada pegangan yang lurus di antara kaum muslimin dengan mereka, yaitu mentauhidkan Allah dan tidak menyembah selain Dia, tidak menganut suatu keyakinan atau mempertuhankan sesuatu (selain Allah), membesarkan-Nya dan sujud kepada-Nya. Menurut Muhammad Abduh, ketika Ahlul Kitab dalam keadaan tidak yakin dan atau keyakinan mereka atas ketuhanan Isa as. mengalami kegoncangan, maka ayat ini datang mengajak mereka untuk kembali kepada ruh dan pokok agama, yaitu tauhid, suatu keyakinan yang telah didakwahkan oleh Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad saw.

Setelah Allah menjelaskan perlunya mengajak Ahlul Kitab kepada tauhid, maka sebagian dari mereka menerima ajakan itu dan sebagian yang lain menolaknya, sebagaimana dijelaskan oleh Alqur’an: "Laisu sawa’an min ahli al-kitab ummatun qaimatun yatluna ayat Allahi ana’ al-laili wa hum yasjudun" (Mereka itu tidak sama, diantara Ahlul Kitab ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud).

Menurut Abduh, ayat tersebut menunjukkan bahwa diantara Ahlul Kitab ada yang berpegang teguh pada ajaran agamanya yang haq, sehingga ketika diajak memasuki Islam mereka dengan sukarela menerimanya. Sementara sebagian Ahlul Kitab yang lain menolak. Penolakan mereka terhadap ajakan kepada tauhid tidak berarti bahwa eksistensi mereka diingkari oleh Islam. Mereka tetap sebagai suatu kelompok yang memiliki keyakinan dan aturan-aturan keagamaan yang wajib mereka laksanakan sendiri.

Karena itu, berkenaan dengan tata interaksi sosial dengan penganut agama lain, Islam membuka cakrawala pandang yang lebih luas yang membuka peluang besar dalam interaksi sosial dengan umat lain. Hal ini tercermin pada universalisme Islam yang termanifestasi dalam keluasan wilayah risalah rasulnya untuk semua umat manusia, seperti tersebut dalam surat An Nahl ayat 36. Disamping itu, Islam mengajarkan pula tentang kesatuan nubuwwah dan umat yang percaya kepada Tuhan. Allah SWT. berfirman: "Inna hadzihi ummatukum ummatan wahidatan, wa ana rabbukum fa’budun" (Sesungguhnya [agama tauhid] ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu maka sembahlah Aku).

Lebih jauh dari itu, bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad saw. adalah kelanjutan langsung dari agama-agama sebelumnya, yang secara "genealogis" paling dekat, yakni agama Semitik Ibrahimik. Tambahan lagi, Al-Qur’an secara tegas memerintahkan umat Islam untuk menjaga hubungan baik dengan orang-orang beragama lain, khususnya Ahlul Kitab, sebagaimana pernyataan Al-Qur’an: "Wa la tujadilu ahl al-kitab illa billati hiya ahsan illa alladzina dlalamu minhum wa qulu amanna billadzi unzila ilaina wa unzila ilaikum wa ilahuna wahid wa nahnu lahu muslimun" (Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahlul Kitab melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang dzalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada [kitab-kitab] yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu. Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nyalah berserah diri).

Uraian di atas memberikan pengertian kepada kita bahwa asas yang harus dipegangi dalam berinteraksi dengan penganut agama lain adalah sikap menghormati agama atau kepercayaan mereka. Dalam hubungan ini, Al-Qur’an memberikan petunjuk: "Qul man yarzuqukum min al-samawati wa al-ardli qul Allahu wa inna wa iyyakum la’ala hudan au fi dlalalin mubin" (Katakanlah: "Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan dari bumi? Katakanlah: "Allah", dan sesungguhnya kami atau kamu [orang-orang musyrik] pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata).

Ayat tersebut pertama-tama mengajak kaum musyrikin untuk menyadari bahwa sembahan-sembahan mereka tidak mampu memberikan rizki. Allahlah yang memberikan rizki dengan menurunkan hujan dari langit dan menyiapkan berbagai sumber rizki lainnya untuk menghidupkan tumbuh-tumbuhan guna dimakan manusia dan binatang ternak. Kemudian, ayat yang menyatakan "wa inna wa iyyakum la’ala hudan au fi dlalalin mubin" memberikan kesan seolah-olah belum ada kepastian bagi orang yang mengucapkan kata itu (Nabi), apakah dia yang mendapat petunjuk (karena agama yang dianutnya yakni Islam) atau orang lain ( kaum musyrikin), sebagai lawan bicaranya, yang justru mendapat petunjuk (karena agamanya, yakni berhala). Dengan kata lain, belum ada kepastian siapakah sebenarnya dari kedua belah pihak yang mendapat petunjuk dan siapa pula yang tersesat.

Al-Qurthuby menafsirkan ayat tersebut dengan menyatakan bahwa makna sebenarnya dari ayat tersebut adalah bahwa Rasulullah berkeyakinan bahwa agamanyalah yang benar, sedang orang-orang musyrik salah atau tersesat, sehingga seolah-olah ayat itu berbunyi: "Inna ‘ala hudan wa iyyakum fi dlalalin mubin".

Penafsiran al-Qurthuby di atas sejalan dengan yang dikemukakan al-Thabary. Menurutnya, bahwa orang yang mengucapkan kata itu sebenarnya tidak meragukan sedikit pun akan akan kebenaran agamanya, dan ia mengetahui bahwa dirinya dalam petunjuk, sedangkan orang lain berada dalam kesesatan yang nyata.

Jadi, apabila ayat di atas memberikan kesan seolah-olah belum ada kepastian tentang siapa di antara kedua belah pihak yang selamat dan siapa pula yang sesat, maka hal itu dimaksudkan untuk digunakan dalam interaksi sosial. Sebab, bila pihak pertama menyatakan hanya dengan agamanya ia mendapatkan keselamatan dan yang lain sesat, akan menimbulkan bibit-bibit perselisihan yang dapat merusak hubungan sosial antara umat beragama dalam masyarakat.

Konsekuensi logis yang lain dari prinsip kebebasan beragama bagi tata interaksi sosial dengan penganut agama lain adalah bahwa umat Islam wajib menjalin hubungan secara baik dengan mereka apabila mereka menghormati umat Islam dan menghargainya serta tidak menghalangi kebebasan beragama umat Islam. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh al-Qur’an: "La yanhakum Allau ‘an alladzina lam yuqatilukum fi al-din wa lam yukhrijukum min diyarikum an tabarruhum wa tuqsithu ilaihim. Inna Allaha yuhibbu al-muqsithin" (Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak [pula] mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil).

Dalam menafsirkan ayat di atas, Mahmud al-Nasafy menyatakan bahwa umat yang lain yang tidak memerangi atau menghalangi umat Islam dalam menjalankan ajaran agamanya, maka hendaknya umat Islam memuliakan mereka dan berbuat baik kepadanya dalam interaksi sosial, baik dalam perkataan maupun perbuatan.

Meskipun demikian, di kalangan ahli tafsir terdapat beberapa pendapat tentang ayat tersebut. Menurut Qatadah bahwa ayat tersebut menasakh ayat 89 dari surat al-Nisa’ yang berbunyi: "waqtuluhum haitsu wajadtumuhum". Alasannya adalah bahwa hukum boleh bergaul dengan penganut agama lain merupakan suatu keringanan karena ada sebab, yaitu saat damai. Sedangkan setelah damai, yaitu saat fathu Makkah, maka hukumannya terhapus, sungguhpun tulisannya tetap terbaca. Menurut Mujahid, ayat tersebut berlaku secara khusus bagi orang-orang yang beriman tetapi tidak ikut berhijrah. Mereka adalah para wanita dan anak-anak yang tidak termasuk orang yang diperangi.

Akan tetapi, kebanyakan ahli ta’wil berpendapat bahwa ayat tersebut tidak termansukh, dengan alasan dari sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim: "Inna asma’a binta Abi Bakr sa’alat al-nabiyya SAW.: "Hal tashilu ummuha hina qadimat ‘alaiha musyrikah? Qala: "Na’am" (Bahwa Asma’ binti Abu Bakar bertanya kepada nabi saw apakah ia harus berbudi baik kepada ibunya yang datang kepadanya dalam keadaan musyrik, Nabi menjawab: "Ya").

Qadli Abu Bakar menjelaskan, bahwa ayat ini dapat dipakai sebagai dalil atas orang yang mempunyai hubungan darah bahwa anak harus memberi nafkah kepada orang tuanya yang kafir, meskipun dari segi kewarisan telah terputus.

Dengan demikian, ayat tersebut dapat dijadikan salah satu dasar bagi interaksi sosial umat Islam dengan penganut agama lain. Hal ini telah dipraktekkan pada masa Rasulullah di Madinah. Ketika itu, umat Islam hidup dalam komunitas sosial dengan penganut agama lain. Salah satu hal yang pertama diperhatikan oleh Nabi adalah pembuatan perjanjian dengan penganut agama lain (Yahudi) untuk hidup berdampingan secara damai.

Perjanjian di atas dikenal dengan "Piagam Madinah" yang berisi antara lain: Pertama, bahwa kaun Yahudi hidup damai bersama-sama dengan kaum muslimin; kedua belah pihak bebas memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing; Kedua, kaum muslimin dan kaum Yahudi wajib tolong menolong untuk melawan siapa saja yang memerangi Islam. Orang Yahudi memikul tanggung jawab belanja sendiri, dan orang Islam memikul belanja mereka sendiri; Ketiga, kaum muslimin dan kaum Yahudi wajib nasehat-menasehati dan tolong-menolong dalam melaksanakan kebajikan serta keutamaan.

Keempat, bahwa kota Madinah adalah kota suci yang wajib dihormati oleh mereka yang terkait dengan perjanjian itu. Bila terjadi perselisihan antara kaun Yahudi dengan kaum Muslimin, sekiranya dikhawatirkan akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, maka urusan itu hendaknya diserahkan kepada Allah dan Rasul.

Kelima, bahwa siapa saja yang tinggal di dalam atau di luar kota Madinah wajib dilindungi keamanan dirinya kecuali orang yang zalim dan bersalah, sebab Allah menjadi pelindung bagi orang-orang yang berbaik hati.

Perjanjian tersebut merupakan sekelumit bukti bahwa perjanjian politik yang dibuat oleh Nabi Muhammad saw sejak 15 abad yang silam telah menjalin kemerdekaan beragama dan berfikir serta hak-hak kehormatan jiwa dan harta golongan non muslim. Sebaliknya, Islam melarang umatnya bergaul dengan penganut agama lain yang berusaha menghalangi umat Islam dalam menjalankan agamanya atau mengusirnya dari negeri mereka sendiri. Al-Qur’an menyatakan: "Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."

Dari uraian diatas, dapatlah diketahui bahwa Islam sangat memperhatikan toleransi dalam pergaulan sosial dengan penganut agama lain. Betrand Russel memandang ajaran toleransi dalam Islam berasal dari hakekat Islam itu sendiri. Ajaran inilah yang menyebabkan Islam mampu memerintah dan menguasai wilayah yang begitu luas dari berbagai bangsa.

Sikap toleransi yang inheren dalam watak Islam itu dikarenakan Islam lebih mementingkan perdamaian dan kedamaian dari pada permusuhan dan peperangan. Sikap toleran itu telah dipraktekkan oleh Rasulullah saw. Rasulullah menerapkan dasar toleransi dalam hubungan beliau dengan kaum musyrikin, baik dalam naskah perjanjian maupun di medan perang. Perjanjian Hudaibiyah, yakni perjanjian antara Nabi dan kaum musyrikin, adalah salah satu contoh.

Perjanjian itu menunjukkan sikap yang keterlaluan dari kaum musyrikin dan toleransi yang mengesankan dari pihak Nabi, karena pada perjanjian itu mereka bersikeras melarang Nabi menunaikan ibadah haji tahun itu juga. Meskipun Nabi waktu itu memiliki kekuatan perang yang sanggup menghancurkan negeri mereka, namun Nabi menerima syarat tersebut. Dalam pada itu, mereka mensyaratkan lagi bahwa barang siapa keluar dari Makkah dan masuk Islam serta menggabungkan diri pada Nabi tanpa ijin keluarganya, haruslah dikembalikan ke Makkah. Sebaliknya, barang siapa memisahkan diri dari Nabi dan kembali ke Makkah serta murtad dari agama Islam, mereka (orang musyrik Makkah) boleh menerima dan tak diharuskan kembali ke Madinah. Syarat itu diterima oleh Nabi sehingga sejumlah sahabat merasa perjanjian itu terlalu berat sebelah. Tetapi, Nabi mengutamakan kesabaran dan toleransi serta untuk menghindarkan terjadinya pertumpahan darah. Kebijakan Nabi itu bukan pertanda kelemahan melainkan petunjuk Islam yang menganjurkan kesabaran sebagai pengganti peperangan, dan lemah lembut pengganti kekerasan.

D. Penutup

Untuk mengakhiri pembahasan dalam makalah ini rasanya perlu dikemukakan kesimpulan, yaitu :

Jaminan dasar akan kebebasan beragama merupakan kebutuhan dasar manusia, bahkan kebutuhan yang paling asasi dalam kehidupan. Kebutuhan akan kebebasan beragama ini mendapatkan perhatian besar dari Al Qur’an, yang oleh para fuqaha’ dikategorikan sebagai salah satu dari kebutuhan dlarury manusia. Karena itu, Islam sebagai agama dakwah harus disebarkan di tengah masyarakat dengan cara bijaksana tanpa tekanan dan paksanaan dalam bentuk apapun. Sebab, keimanan tidak akan tumbuh dari tekanan dan paksaan.
Jaminan dasar akan kebebasan beragama memberi implikasi terhadap tata interaksi sosial antar umat Islam dengan umat non Islam. Yaitu, bahwa dalam pergaulan sosial dengan penganut agama lain, Islam memerintahkan untuk berlaku baik dan adil terhadap mereka. Umat Islam dapat bekerjasama dalam berbagai kegiatan sosial sepanjang tidak mengorbankan prinsip akidah. Semuanya itu dilakukan demi tercapainya perdamaian.
Sungguhpun demikian, sikap permusuhan boleh dilakukan apabila umat Islam dihalangi dalam menjalankan kewajiban agamanya.

http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-16.html

PIAGAM MADINAH

PIAGAM MADINAH DAN KONSEP UMMAH
Oleh: Juwairiyah Dahlan
Pendahuluan

Pada dasarnya, alur perjalanan sejarah Islam yang panjang itu bermula dari turunnya wahyu di gua Hira’. Sejak itulah nilai-nilai kemanusiaan yang di bawah bimbingan wahyu Ilahi menerobos arogansi kultur jahiliyah, merombak dan membenahi adat istiadat budaya jahiliyah yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Dengan seruan agama tauhid (monotheisme) yang gaungnya menggetarkan seluruh jazirah Arabia, maka fitrah dan nilai kemanusiaan didudukkan ke dalam hakekat yang sebenarnya. Seruan agama tauhid inilah yang merubah wajah masyarakat jahiliyah menuju ke tatanan masyarakat yang harmonis, dinamis, di bawah bimbingan wahyu.

Kemudian, hijrah Rasulullah ke Madinah adalah suatu momentum bagi kecemerlangan Islam di saat-saat selanjutnya. Dalam waktu yang relatif singkat Rasulullah telah berhasil membina jalinan persaudaraan antara kaum Muhajirin sebagai imigran-imigran Makkah dengan kaum Ansar, penduduk asli Madinah. Beliau mendirikan Masjid, membuat perjanjian kerjasama dengan non muslim, serta meletakkan dasar-dasar politik, sosial dan ekonomi bagi masyarakat baru tersebut; suatu fenomena yang menakjubkan ahli-ahli sejarah dahulu dan masa kini. Adalah suatu kenyataan bahwa misi kerasulan Nabi Muhammad yang semakin nampak nyata menggoyahkan kedudukan Makkah dan menjadikan orang-orang Quraisy Makkah semakin bergetar.

Masyarakat muslim Madinah yang berhasil dibentuk Rasulullah oleh sebagian intelektual muslim masa kini disebut dengan negara kota (city state). Lalu, dengan dukungan kabilah-kabilah dari seluruh penjuru jazirah Arab yang masuk Islam, maka muncullah kemudian sosok negara bangsa (nation state). Walaupun sejak awal Islam tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang bagaimana bentuk dan konsep negara yang dikehendaki, namun suatu kenyataan bahwa Islam adalah agama yang mengandung prinsip-prinsip dasar kehidupan termasuk politik dan negara.

Dalam masyarakat muslim yang terbentuk itulah Rasulullah menjadi pemimpin dalam arti yang luas, yaitu sebagai pemimpin agama dan juga sebagai pemimpin masyarakat. Konsepsi Rasulullah yang diilhami al Qur’an ini kemudian menelorkan Piagam Madinah yang mencakup 47 pasal, yang antara lain berisikan hak-hak asasi manusia, hak-hak dan kewajiban bernegara, hak perlindungan hukum, sampai toleransi beragama yang oleh ahli-ahli politik moderen disebut manifesto politik pertama dalam Islam.

Piagam Madinah dan Keotentikannya

Piagam Madinah ini secara lengkap diriwayatkan oleh Ibn Ishaq (w. 151 H) dan Ibn Hisyam (w. 213 H), dua penulis muslim yang mempunyai nama besar dalam bidangnya. Menurut penelitian Ahmad Ibrahim al-Syarif, tidak ada periwayat lain sebelumnya selain kedua penulis di atas yang meriwayatkan dan menuliskannya secara sistematis dan lengkap. Meskipun demikian, tidak diragukan lagi kebenaran dan keotentikan piagam tersebut, mengingat gaya bahasa dan penyusunan redaksi yang digunakan dalam Piagam Madinah ini setaraf dan sejajar dengan gaya bahasa yang dipergunakan pada masanya. Demikian pula kandungan dan semangat piagam tersebut sesuai dengan kondisi sosiologis dan historis zaman itu. Keotentikan Piagam Madinah ini diakui pula oleh William Montgomery Watt, yang menyatakan bahwa dokumen piagam tersebut, yang secara umum diakui keotentikannya, tidak mungkin dipalsukan dan ditulis pada masa Umayyah dan Abbasiyah yang dalam kandungannya memasukkan orang non muslim ke dalam kesatuan ummah.

Dari Ibn Ishaq dan Ibn Hisyam inilah kemudian penulis-penulis berikutnya menukil dan mengomentarinya. Di antara penulis-penulis klasik yang menukil Piagam Madinah secara lengkap antara lain: Abu Ubaid Qasim Ibn Salam dalam Kitab Al-Amwal, Umar al-Maushili dalam Wasilah al-Muta’abbidin dan Ibn Sayyid dalam Sirah al-Nas. Sementara itu, beberapa penulis klasik dan periwayat lainnya yang menulis tentang Piagam Madinah antara lain: Imam Ahmad Ibn Hambal (w. 241 H) dalam Al-Musnad, Darimi ( w. 255 H) dalam Al-Sunan, Imam Bukhori (w. 256 H) dalam Shahih-nya, Imam Muslim ( w.261 H) dalam Shahih-nya. Tulisan-tulisan lain tentang piagam tersebut juga bisa dijumpai dalam Sunan Abu Dawud (w. 272 H), Sunan Ibn Majah (w. 273 H), Sunan Tirmidzi (w. 279 H), Sunan Nasa’i (w. 303 H), serta dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk oleh al-Thabari.

Piagam Madinah ini telah diterjemahkan pula ke dalam bahasa asing, antara lain ke bahasa Perancis, Inggris, Itali, Jerman, Belanda dan Indonesia. Terjemahan dalam bahasa Perancis dilakukan pada tahun 1935 oleh Muhammad Hamidullah, sedangkan dalam bahasa Inggris terdapat banyak versi, diantaranya seperti pernah dimuat dalam Islamic Culture No.IX Hederabat 1937, Islamic Review terbitan Agustus sampai dengan Nopember 1941 (dengan topik The first written constitution of the world). Selain itu, Majid Khadduri juga menerjemahkannya dan memuatnya dalam karyanya War and Pearce in the Law of Islam (1955), kemudian diikuti oleh R. Levy dalam karyanya The Social Structure of Islam (1957) serta William Montgomery Watt dalam karyanya Islamic Political Thought (1968). Adapun terjemahan-terjemahan lainnya seperti dalam bahasa Jerman dilakukan oleh Wellhausen, bahasa Itali dilakukan oleh Leone Caetani, dan bahasa Belanda oleh A.J. Wensick serta bahasa Indonesia --untuk pertama kalinya-- oleh Zainal Abidin Ahmad.

Menurut Muhammad Hamidullah yang telah melakukan penelitian terhadap beberapa karya tulis yang memuat Piagam Madinah, bahwa ada sebanyak 294 penulis dari berbagai bahasa. Yang terbanyak adalah dalam bahasa arab, kemudian bahasa-bahasa Eropa. Hal ini menunjukkan betapa antusiasnya mereka dalam mengkaji dan melakukan studi terhadap piagam peninggalan Nabi.

Dalam teks aslinya, Piagam Madinah ini semula tidak terdapat pasal-pasal. Pemberian pasal-pasal sebanyak 47 itu baru kemudian dilakukan oleh A.J. Winsick dalam karyanya Mohammed en de joden te Madina, tahun 1928 M yang ditulis untuk mencapai gelar doktornya dalam sastra semit. Melalui karyanya itu, Winsick mempunyai andil besar dalam memasyarakatkan Piagam Madinah ke kalangan sarjana Barat yang menekuni studi Islam. Sedangkan pemberian bab-bab dari 47 pasal itu dilakukan oleh Zainal Abidin Ahmad yang membaginya menjadi 10 bab.

Menurut hipotesis Montgomery Watt, bahwa Piagam Madinah yang sampai ke tangan kita sebenarnya paling tidak terdiri dari dua dokumen, yang semula terpisah kemudian disatukan. Pada tahap berikutnya, piagam tersebut mengalami pengurangan dan perombakan disana sini. Hipotesis Montgomery Watt ini muncul karena didapatinya pengulangan dalam beberapa pasalnya. Selanjutnya, Watt menyebut bahwa Piagam Madinah kemungkinan baru muncul setelah tahun 627 M, yaitu setelah pengusiran Yahudi bani Qainuqa’ dan Yahudi bani nadir dari Madinah serta pembasmian terhadap bani Quraidhah berdasarkan keputusan Sa’ad Ibn Muad, pemimpin kabilah Aus.

Hipotesa terakhir ini dikemukakan oleh Montgomery Watt karena tiga suku Yahudi terkemuka dimaksud tidak tercantum dalam Piagam Madinah. Akan tetapi, kalau demikian halnya, berarti relevansi serta bobot politiknya sudah sangat berkurang, karena isi piagam tersebut sangat diperlukan untuk mempersatukan masyarakat Madinah yang heterogen. Ini berarti bahwa Piagam Madinah disusun Rasulullah sejak awal kedatangannya di Madinah, yaitu sekitar tahun 622 M. Dengan demikian, boleh jadi Piagam Madinah hanya satu dokumen dan ditujukan kepada seluruh penduduk Madinah, yang kemudian mengalami revisi setelah tiga suku Yahudi tersebut mengingkari perjanjian secara sepihak dan melakukan gerakan separatis terhadap pemerintahan Madinah yang telah disetujui bersama.

Berbagai Komentar Terhadap Isi Piagam Madinah

Ada berbagai komentar mengenai isi Piagam Madinah, baik yang datang dari para sarjana Barat maupun dari penulis-penulis muslim sendiri. Diantaranya dikemukakan oleh A. Guillaume, seorang guru besar bahasa Arab dan penulis The Life of Muhammad. Ia menyatakan bahwa Piagam yang telah dibuat Muhammad itu adalah suatu dokumen yang menekankan hidup berdampingan antara orang-orang muhajirin di satu pihak dan orang-orang yahudi di pihak lain. Masing-masing saling menghargai agama mereka, saling melindungi hak milik mereka dan masing-masing mempunyai kewajiban yang sama dalam mempertahankan Madinah. Sedangkan H.R. Gibb dalam komentarnya menyatakan bahwa isi Piagam Madinah pada prinsipnya telah meletakkan dasar-dasar sosial politik bagi masyarakat Madinah yang juga berfungsi sebagai undang-undang, dan merupakan hasil pemikiran serta inisiatif Muhammad sendiri. Sementara itu, Montgomery Watt lebih tepat lagi menyatakan: bahwa Piagam Madinah tidak lain adalah suatu konstitusi yang menggambarkan bahwa warga Madinah saat itu bisa dianggap telah membentuk satu kesatuan politik dan satu persekutuan yang diikat oleh perjanjian yang luhur diantara para warganya.

Di kalangan penulis Islam yang mengulas isi Piagam ini antara lain Jamaluddin Sarur, seorang guru besar Sejarah Islam di Universitas Kairo, yang menyatakan bahwa peraturan yang terangkum dalam Piagam Madinah adalah menjadi sendi utama bagi terbentuknya persatuan bagi segenap warga Madinah yang memberikan hak dan kewajiban yang sama antara kaum Muhajirin, Ansor dan kaum Yahudi

Muhammad Khalid, seorang penulis sejarah Nabi menegaskan bahwa isi yang paling prinsip dari Piagam Madinah adalah membentuk suatu masyarakat yang harmonis, mengatur suatu ummah serta menegakkan pemerintahan atas dasar persamaan hak. Ulasan lebih terperinci lagi disimpulkan oleh Hasan Ibrahim Hasan, bahwa Piagam Madinah secara resmi menandakan berdirinya suatu negara, yang isinya bisa disimpulkan menjadi 4 pokok: Pertama, mempersatukan segenap kaum muslimin dari berbagai suku menjadi satu ikatan. Kedua, menghidupkan semangat gotong royong, hidup berdampingan, saling menjamin di antara sesama warga. Ketiga, menetapkan bahwa setiap warga masyarakat mempunyai kewajiban memanggul senjata, mempertahankan keamanan dan melindungi Madinah dari serbuan luar. Keempat, menjamin persamaan dan kebebasan bagi kaum Yahudi dan pemeluk-pemeluk agama lain dalam mengurus kepentingan mereka.

Sesungguhnya masih banyak lagi ulasan dan komentar yang dikemukakan oleh para penulis Piagam Madinah. Mereka menggunakan berbagai retorika dan redaksi yang berbeda, namun pada dasarnya mempunyai nada sama, yaitu berintikan bahwa piagam tersebut telah mempersatukan warga Madinah yang heterogen itu menjadi satu kesatuan masyarakat, yang warganya mempunyai hak dan kewajiban yang sama, saling menghormati walaupun berbeda suku dan agamanya. Piagam tersebut dianggap merupakan suatu pandangan jauh ke depan dan suatu kebijaksanaan politik yang luar biasa dari Nabi Muhammad dalam mengantisipasi masyarakat yang beraneka ragam backgroundnya, dengan membentuk komunitas baru yang disebut ummah.

Cakupan Pengertian Ummah Dalam Piagam Madinah

Menyadari pentingnya perkataan ummah, terlebih lagi perkataan tersebut tercantum jelas dalam Piagam Madinah, maka timbullah usaha para sarjana barat dalam melacak asal usul perkataan tersebut. Dalam Encyclopaedia of Islam dikemukakan bahwa perkataan ummah tidaklah asli dari bahasa arab. Menurut Montgomery Watt, perkatan ummah berasal dan berakar dari bahasa Ibrani yang bisa berarti suku bangsa atau bisa juga berarti masyarakat.

Terlepas dari pelacakan asal usul kata ummah ini, yang jelas dalam Al Qur’an dijumpai sebanyak 52 perkataan ummah yang terangkai dalam berbagai ayat.

Kata ummah terulang dua kali dalam Piagam Madinah, yakni dalam pasal 2 dan pasal 25. Namun, cakupan dari rumusan ummah itu sendiri terjabarkan dalam pasal-pasal selanjutnya,yakni:

Pasal 1: Hadza kitabun min ‘indi al-nabiyyi (rasulillah) baina al-mu’minin wa al-muslimin min quraisyin wa ahli yatsriba wa mantabi’ahum faltaqi bihim wa jahid ma’ahum

Artinya:

"Ini adalah naskah perjanjian dari Muhammad Nabi dan Rasul Allah, mewakili pihak kaum yang Beriman dan memeluk Islam, yang terdiri dari warga Quraisy dan warga Yastrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka serta yang berjuang bersama mereka."

Pasal 2: Annahum ummatun wahidatun min duni al-nasi

Artinya:

"Mereka adalah yang satu dihadapan kelompok manusia lain."

Pasal 25: Wa anna yahuda bani ‘Auf ummatun ma’a al-mu’minin, lil yahudi dinuhum wa lil muslimin dinuhum, mawalihim wa anfusuhum illa man dlalama wa atsima, fa innahu la yuqi’u illa nafsahu wa ahla baitihi

Artinya:

"Kaum Yahudi Bani ‘Auf bersama dengan warga yang beriman adalah satu umah. Kedua belah pihak, kaum Yahudi dan kaum Muslimin, bebas memeluk agama masing-masing. Demikian pula halnya dengan sekutu dan diri mereka sendiri. Bila diantara mereka ada yang melakukan aniaya dan dosa dalam hal ini, maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya.

Pasal 26: Wa anna li yahuda bani al-Najjari mitsla ma liyahuda bani ‘Auf

Artinya:

"Bagi kaum Yahudi Bani Najjar berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi Bani ‘Auf."

Pasal 27: Wa anna li yahuda bani al-Haritsi mitsla ma liyahuda bani ‘Auf

Artinya:

"Bagi kaum Yahudi Bani Harits, berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Bani ‘Auf."

Pasal 28: Wa anna li yahuda bani Sa’adah mitsla ma li yahuda bani ‘Auf

Artinya:

"Bagi kaum Yahudi Bani Sa’idah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Bani ‘Auf."

Pasal 29: Anna li yahuda bani Jusyam mitsla ma li yahuda bani ‘Auf

Artinya:

"Bagi kaum Yahudi Bani Jusyam berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Bani ‘Auf."

Pasal 30: Wa anna li yahuda bani al-Aus mitsla ma li yahuda bani ‘Auf

Artinya:

"Bagi kaum Yahudi Bani ‘Aus berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi Bani ‘Auf."

Pasal 31: Wa anna li yahuda bani Tsa’labah mitsla ma li yahuda bani ‘Auf illa man dlalama wa atsima, fa innahu la yuqi’u illa nafsahu wa ahla baitihi

Artinya:

"Bagi Yahudi Bani Tsa’labah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi Bani "Auf, kecuali orang yang melakukan aniaya dan dosa (dalam hubungan ini) maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya."

Pasal 32: Wa anna Jafnah bathnun ‘an Tsa’labah ka anfusihim

Artinya:

"Bagi warga Jafnah, sebagaimana anggota Bani Tsa’labah, berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi Bani Tsa’labah."

Pasal 33: Wa anna li bani al-Syuthaibah mitsla ma li yahuda bani ‘Auf, wa anna al-birra duna al-itsmi

Artinya:

"Bagi Bani Syuthaibah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi Bani ‘Auf. Dan sesungguhnya yang kebajikan itu berbeda dengan perbuatan dosa."

Pasal 34: Wa anna mawali Tsa’labah ka anfusihim

Artinya:

"Sekutu/hamba sahaya Bani Tsa’labah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Bani Tsa’labah itu sendiri."

Pasal 35: Wa anna bithanata yahuda ka anfusihim

Artinya:

"Kelompok-kelompok keturunan Yahudi berlaku ketentuan sama sebagaimana yang berlaku bagi Kaum Yahudi itu sendiri."

Pasal 37: Wa anna ‘ala al-yahudi nafaqatahum, wa ‘ala almuslimin nafaqatahum, wa anna bainahum al-nashru ‘ala man haraba ahla hadzihi al-shahifah, wa anna bainahum al-nushhu wa alnahihatu wa al-birru duna al-itsmi

Artinya:

"Kaum Yahudi dan kaum Muslimin membiayai pihaknya masing-masing. Kedua belah pihak akan membela satu dengan yang lain dalam menghadapi pihak yang memerangi kelompok-kelompok masyarakat yang menyetujui piagam ini. Kedua belah pihak juga saling memberikan saran dan nasehat dalam kebaikan, bukan dalam perbuatan dosa."

Pasal 44: Wa anna bainahum al-nashru ‘ala man hajama yatsriba

Artinya:

"Semua warga akan saling bahu membahu dalam menghadapi agresor (pihak lain) yang melancarkan serangan terhadap Yastrib."

Pasal 46: Wa anna yahuda al-Aus mawalihim wa anfusuhum ‘ala mitsli ma li ahli hadzihi al-shahifati ma’a al-birri al-mahdli min ahli hadzihi al-shahifati, wa anna al-birra duna al-itsmi la yaksibu kasibun illa ‘ala nafsihi, wa anna Allaha ‘ala ashdaqi ma fi hadzihi al-shahifati wa abarrihi

Artinya:

"Kaum Yahudi Bani ‘Aus, sekutu/hamba sahaya dan diri mereka masing-masing mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana kelompok-kelompok lain yang menyetujui piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan sesuai dengan semestinya dari perjanjian ini. Sesungguhnya kebajikan ini berbeda dengan perbuatan dosa. Setiap orang harus bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang dilakukannya. Dan Allah memperhatikan isi perjanjian ini, dan membenarkannya."

Pasal 47: Wa annahu la yahulu hadza al-kitaba duna dlalimin au atsimin, wa annahu man kharaja amana wa man qa’ada amina bi al-Madinah illa man dlalama wa atsima, wa anna Allaha jara li man barra wa ittaqa. Muhammad rasulullah (SAW).

Artinya:

"Sesungguhnya perjanjian ini tidak membela orang-orang yang berbuat aniaya dan dosa. Setiap orang dijamin keamanannya, baik sedang berada di luar Madinah maupun sedang berada di Madinah, kecuali orang yang berbuat aniaya dan dosa. Dan sesungguhnya Allah pelindung orang yang berbuat kebajikan dan menghindari keburukan (bersikap taqwa). Muhammad Rasulullah SAW."

Dapatlah dipahami bahwa perkataan ummah dalam rangkaian pasal-pasal yang tercantum di atas mempunyai pengertian yang sangat dalam, yakni berubahnya paham kesukuan yang hidup di kalangan suku-suku Arab saat itu. Cakrawala wawasan sosial yang sangat sempit, dan kehidupan politik yang terbatas, karena fanatisme kabilah (kesukuan) dan ikatan darah yang dibatasi oleh tembok kelahiran, pelan-pelan mulai runtuh berganti dengan suatu masyarakat yang luas, di mana masing-masing dari warganya mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Dengan demikian, Nabi Muhammad telah menciptakan kondisi untuk terbinanya suatu masyarakat yang bersatu, yakni komunitas masyarakat Madinah yang utuh, tanpa membedakan agama, ikatan kesukuan dan ikatan darah. Hal itu jelas sekali tercantum dalam pasal 25 sampai dengan pasal 47 Piagam Madinah.

Dari perkataan ummah inilah tercermin paham kebangsaan dan negara. Walaupun secara historis istilah state dan nation timbul berabad-abad kemudian, tapi jiwa dan semangatnya telah tercermin dalam terminologi ummah, suatu istilah yang sangat tepat digunakan Rasulullah untuk mempersatukan masyarakat Madinah menjadi suatu komunitas dengan menekankan kerjasama seerat mungkin dari masing-masing warganya demi keamanan dan kesejahteraan mereka bersama. Mereka sangat menyadari perlunya hidup bersama di dalam koeksistensi yang damai. Realisasinya yang praktis dari tujuan ini meminta dasar konsepsi bersama yang dapat diterima oleh semua pihak dan di atas dasar ini dapat dibangun keselarasan hidup dan perdamaian.

Julius Welhausen mengomentari terminologi ummah dalam Piagam Madinah ini sebagaimana berikut: Bahwa pada umumnya pengertian ummah adalah suatu ikatan dalam komunitas keagamaan. Namun, terminologi ummah dalam piagam ini, mempunyai pengertian yang lebih luas lagi, mencakup seluruh wilayah Madinah, mengintegrasikan warga Ansar, Muhajirin dan kaum Yahudi serta kelompok-kelompok lain dalam satu ikatan persatuan dan perdamaian serta keselarasan hidup.

Sementara itu, Montgomery Watt menyatakan bahwa masalah yang menonjol dalam komunitas ini (ummah) adalah penciptaan kedamaian dan ketentraman di kalangan warga Madinah. Masalah tersebut bukan hanya terjadi di Madinah saja, tapi juga problem di seluruh jazirah Arabia saat itu. Namun demikian, Muhammad berhasil mengangkatnya dan menegakkannya dalam suatu sistem baru yang mengatasi paham kesukuan, golongan dan ikatan-ikatan lain. Memang, masing-masing kepala suku yang sebelumnya mempunyai kekuatan/kekuasaan politik dan hanya berhubungan dengan kepala suku lainnya, maka dalam bentuk bangunan masyarakat baru itu, suku-suku yang ada saat itu seakan membentuk suatu konfiderasi yang tergabung dalam suatu kesatuan yang dinamakan ummah dan di bawah pimpinan Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, tergambar bahwa pengertian ummah dalam piagam ini adalah adanya/timbulnya suatu paham politik baru di kalangan warganya, yakni kesadaran paham bernegara, walaupun dalam bentuk yang amat sederhana. Dapat pula dipahami bahwa kata ummah dalam Piagam Madinah ini, berbeda pengertiannya dengan makna yang selama ini lazim dipahami yang mengacu kepada komunitas agama. Dalam al Qur’an kata ummah juga tidak selalu menunjuk kepada komunitas agama. Ahmad Mustofa al-Maraghi mengemukakan batasan pengertian kata ummah dari berbagai ayat sebagaimana berikut:

1. Kata ummah dalam pengertian umat manusia seluruhnya (satu kelompok) yang hidup saling mengadakan interaksi antara satu dengan lainnya, seperti dalam firman Allah:

"Kana al-nasu ummatan wahidatan, fa ba’atsa Allahu al-nabiyyina mubasysyirina wa mundzirina"

Artinya:

"Manusia adalah umat yang satu, maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan."

2. Kata ummah, dalam pengertian umat Islam, sebagaimana firman Allah:

"Kuntum Khaira ummatin ukhrijat li al-nasi ta’muruna bi al-ma’rufi wa tanhauna ‘an al-munkari"

Artinya:

"Kamu adalah ummah yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar."

3. Kata ummah, dalam pengertian segolongan dari umat Islam (tha’ifah min al-muslimin) sebagaimana firman Allah:

"Waltakun minkum ummatun yad’una ila al-khairi wa ya’muruna bi al-ma’rufi wa yanhauna ‘an almunkari wa ulaika hum al-muflihun"

Artinya:

"Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung."

Kata ummah dalam pengertian imam (pemimpin) yang diteladani sebagaimana firman Allah:
"Inna ibrahima kana ummatan qanitan lillahi hanifan wa lam yaku min al-musyrikin

Artinya:

"Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan (Tuhan)."

Kata ummah, dalam pengertian suatu periode waktu sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an:
"Qala alladzi naja minhuma wa id-dakara ba’da ummatin ana unabbi’ukum bi ta’wilihi fa arsilun"

Artinya:

"Dan berkatalah orang-orang yang selamat diantara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya; "Aku akan memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai) mentakwilkan mimpi itu, maka utuslah aku (kepadanya).

Kata ummah dalam pengertian suatu periode waktu dapat pula ditemukan dalam surat Hud ayat 8 :

"Wa lain akhkharna ‘anhum al-‘adzaba ila ummatin ma’dudatin"

Artinya:

"Dan sesunggunnya jika kami Undurkan azab dari mereka sampai kepada suatu waktu yang ditentukan."

Kata ummah dalam pengertian millah (agama) sebagaimana yang terkandung dalam firman Allah:
"Inna hadzihi ummatukum ummatan wahidatan wa ana rabbukum fa’budun"

Artinya:

"Sesungguhnya agama tauhid ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku."

Dari berbagai ayat yang dikemukakan oleh Ahmad Musthafa Al Maraghi di atas, terbukti bahwa pengertian kata ummah dalam Al-Qur’an selalu sesuai dengan konteks dimana kata itu dipergunakan. Dengan kata lain, kata ummah tidak selalu menunjukkan pada suatu komunitas agama. Demikian pula terma-terma ummah yang digunakan Rasullah dalam Piagam Madinah tidak hanya eksklusif bagi kaum muslimin saja, namun mempunyai kandungan pengertian al-jinsiyyah wa al-wathaniyyah.

Dhafir al-Qasimi, dalam ulasannya mengenai kata ummah pada Piagam Madinah, memberikan padanan kata tersebut dengan al-wathaniyyah, semacam wawasan kebangsaan. Sedangkan urgensi ideal yang terkandung dalam kata ummah pada piagam tersebut adalah untuk menghapus fanatisme etnis dan mengikis paham rasialisme diantara warga Madinah.

Piagam Madinah Suatu Konstitusi

Banyak diantara penulis muslim beranggapan bahwa Piagam Madinah adalah merupakan konstitusi negara Islam pertama. Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa dalam Piagam Madinah tidak pernah disebut-sebut agama negara. Persoalan penting yang meminta pemecahan mendesak adalah terbinanya kesatuan dan persatuan di kalangan warga Madinah yang heterogen itu. Semua warga Madinah saat itu meskipun mereka berasal dari berbagai suku adalah merupakan satu komunitas (ummah). Hubungan antara sesama warga yang muslim dan yang non muslim didasarkan atas prinsip-prinsip bertetangga yang baik, saling membantu dalam menghadapi agresi dari luar dan menghormati kebabasan beragama. Persyaratan sebuah negara, walaupun masih sederhana, telah terpenuhi, yakni ada wilayah, pemerintahan, negara, rakyat, kedaulatan dan ada konstitusi.

Penilaian Piagam Madinah sebagai suatu konstitusi pernah dikemukakan oleh Hamilton Alexander Rosskeem Gibb, mantan guru besar bahasa Arab di Oxford University, bahwa Piagam Madinah adalah merupakan hasil pemikiran yang cerdas dan inisiatif dari Nabi Muhammad dan bukanlah wahyu. Oleh karena itu, sifat konstitusinya dapat diubah dan diamandir. Muhammad Marmaduke Pickthal, dalam mukaddimah terjemahannya terhadap al-Qur’an, mengatakan bahwa Nabi sebagai seorang pemimpin mempunyai perhatian yang besar untuk menstabilkan masyarakat Madinah dengan mencetuskan konstitusi. Konstitusi yang dimaksud Pickthal tak lain adalah Piagam Madinah. Sementara itu, Montgomery Watt dalam uraiannya mengenai piagam dimaksud secara tegas juga menyebutnya sebagai konstitusi, yakni Konstitusi Madinah.

Terbinanya masyarakat Madinah menjadi suatu komunitas kuat yang selanjutnya juga disebut negara kota itu, karena dilandasi oleh adanya ikatan spiritual keimanan yang diungkapkan dalam nilai-nilai religius. Adalah tepat sekali teori Ibnu Khaldun yang menyatakan: "Sesungguhnya secara umum dapatlah dikatakan, bahwa bangsa Arab tidaklah mampu mendirikan suatu kerajaan melainkan atas dasar agama seperti wahyu seorang Nabi atau ajaran seorang wali". Lebih lanjut, Ibnu Khaldun menjelaskan:

Sebabnya ialah karena karakternya yang keras, angkuh dan iri hati satu sama lain, terutama dalam soal-soal politik (kekuasaan). Semua itu menyebabkan mereka manusia yang sulit diatur, karena keinginannya jarang sekali terpenuhi. Akan tetapi, jika mereka telah memeluk agama yang dibawa oleh seorang nabi atau mengikuti ajaran seorang wali, maka mereka akan mempunyai prinsip-prinsip yang tertanam dalam lubuk hati untuk menguasai hawa nafsu. Keangkuhan dan iri hati mereka bisa ditekan. Dengan demikian, mudahlah menyatukan dan membimbimbing mereka. Sebab, agama mengikis keangkuhan dan mengurangi iri hati dan persaingan.

Teori Ibnu Khaldun secara tepat disimpulkan oleh D.B. MacDonald bahwa orang Arab pada hakekatnya tidak mampu mendirikan suatu pemerintahan, kecuali bila disatukan dengan semangat keagamaan. Teori tersebut kiranya memang bisa diterapkan paling tidak di kalangan orang badui Arab pada awal-awal perkembangan Islam. Dengan kata lain, kebenaran teori Ibnu Khaldun tersebut juga bisa dicarikan buktinya melalui sejarah awal berdirinya kerajaan Arab Saudi oleh Muhammad Ibnu Saud (1702-1792 M) yang pergerakannya ditopang kuat dengan paham keagamaan dari Muhammad Ibnu Abd. Al-Wahab (1703-1787 M), seorang ulama pelanjut paham ortodoksi Ibnu Taimiyah (1263-1328 M).

Kesatuan umat yang dicetuskan Nabi melalui Piagam Madinah ini, substansinya jelas menunjukkan bahwa konstitusi kesukuan runtuh dengan sendirinya. Dalam perspektif ini, maka tegaknya suatu konstitusi mulai terwujud bagi masyarakat baru Madinah, yang sekaligus juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad mulai diakui sebagai pemimpin yang memiliki kekuasaan politik. Sayangnya, dalam perkembangan selanjutnya ada beberapa kelompok Yahudi seperti Bani Qainuqa’, Bani Nadir dan Bani Quraidhah yang tidak setia terhadap konstitusi yang disetujui bersama. Ketidaksetiaan ini, mereka proyeksikan melalui sikap-sikap pemihakan kepada Quraisy Makkah.

Kesimpulan

Piagam Madinah adalah jawaban konstitusional terhadap realitas sosio-politik dari masyarakat Madinah yang heterogen.
Konsep ummah yang terkandung dalam Piagam Madinah meliputi penduduk Madinah secara keseluruhan dan merupakan suatu terobosan yang mempunyai nilai strategis untuk menggalang satu front dalam menghadapi kelompok-kelompok lain di luar Madinah.

http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-11.html