Saturday, June 27, 2009

Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir sebenarnya dibuat untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam berargumentasi (fallacy). Beberapa contoh fallacy ini antara lain:

"Inconsistent": Contohnya si A bilang "Sirah dan hadits tidak bisa dipercaya karena banyak isinya yang tidak masuk akal". Tapi ketika A ditanya dari mana ia tahu adanya seorang Nabi yang bernama Muhammad, atau dari mana ia tahu Qur'an yang ia percayai terjaga kemurniaannya sejak zaman Nabi sampai sekarang, bila si A menjawab dengan basis sirah dan hadith, ini namanya inkonsistensi. Kalau tidak percaya sirah dan hadits, mengapa masih dipakai untuk dasar keimanannya?

Contoh lainnya adalah sikap misionaris yang ketika menghujat Nabi SAW dengan leluasa menggunakan cuplikan-cuplikan hadits dan sirah sesukanya (Nabi berpoligami, kisah-kisah dalam peperangan beliau, dlsb). Tapi ketika ditunjukkan hadits dan sirah dari sumber yang sama, yang menunjukkan tanda-tanda kenabian Nabi seperti mu'jizat-mu'jizat beliau, mereka berkomentar bahwa hadits dan sirah tidak bisa dipercaya karena dibukukan jauh sesudah Nabi wafat. Kalau tidak bisa dipercaya, mengapa tadi masih dipakai untuk menghujat Nabi?

Contoh lainnya adalah sikap yang membenarkan semua pendapat yang pada kenyataannya jelas-jelas berbeda. Kalau ada orang yang bilang "Semua interpretasi atau tafsiran agama adalah sah-sah saja dan benar adanya karena kebenaran itu relatif sifatnya", maka ia harus bisa konsisten untuk tidak menyalahkan pendapat yang menghalalkan terorisme membunuh orang-orang tak berdosa, atau pendapat-pendapat yang menghalalkan sex bebas, incest, dlsb, dengan alasan selama suka sama suka dan tidak merugikan orang tidak ada salahnya. Apakah dua pendapat yang berbeda, yang satu bilang halal, yang lain bilang haram, benar kedua-duanya? Kalau kita mau jujur, kita akan mengakui bahwa "logical circuit" dalam otak kita jelas menolaknya.

"Incomprehensive": Si A bilang "Orang Islam diajarkan Qur'an ayat 5:51 untuk membenci dan dilarang berteman dengan orang-orang non-Muslim." Selain harus memiliki pengetahuan akan makna kata-kata, context maupun historical perspectives, si A sebelum mengeluarkan penafsirannya akan ayat tsb seharusnya tahu ada ayat-ayat Al Qur'an lain yang menjelaskan lebih jauh mengenai hal serupa, misalnya 60:8. Pengetahuan yang partial terhadap hal-hal ini akan menyebabkan kesalahan dalam mengambil kesimpulan.

"Out-of-context": Si A bilang "Dalam Al Qur'an ayat 9:5, orang Islam diperintahkan membunuh orang-orang musyrik di mana saja mereka jumpai". Si A seharusnya tahu konteks diturunkannya ayat tsb sebelum mengambil kesimpulan demikian (yaitu peperangan Nabi dengan orang-orang kafir Quraisy serta sekutu-sekutu mereka yang memerangi umat Islam saat itu).

"Generalization": Ini serupa dengan pepatah "Karena nila setitik rusak susu sebelanga". Si A menuduh Islam sebagai agama teroris karena di antara pemeluk-pemeluknya tidak sedikit melakukan aksi terorisme dengan dalih agama. Si A seharusnya tahu bahwa kalau dilihat persentasinya, mayoritas umat Islam adalah umat yang cinta damai dan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama yang jelas-jelas melarang aksi terorisme. Apakah orang-orang Kristen di barat rela kalau agamanya dituduh sebagai agama penjajah "gold-glory-gospel" karena perlakuan sebagian kelompok mereka terhadap bangsa-bangsa di dunia?

"Double-standard": Si A yang beragama Kristen bilang "Islam adalah agama palsu karena Nabinya berpoligami". Seharusnya si A tahu bahwa Nabi-nabi yang diakui dalam agamanya sendiri berpoligami. Atau si B yang mengutuk pembunuhan orang-orang tak bersalah sebagai perbuatan terorisme, tapi di lain waktu si B tidak mengutuk pembunuhan serupa malah melabelnya sebagai "collateral damage". Dengan menggunakan standard yang sama, pembunuhan orang-orang tak bersalah akan selalu dikutuk sebagai tindakan terorisme, tidak peduli siapa korban dan siapa pelakunya.

"Straw-man" : menyerang argument yang sudah diubah bentuknya (biasanya dicampur "half-truth" atau "twisted-truth"). Misalnya si A menuduh "Al Qur'an merendahkan status wanita di bawah status laki-laki". Meskipun dalam Qur'an disebutkan "Laki-laki adalah pelindung/pemimpin kaum wanita" ini tidak berarti di dalam Islam status wanita itu lebih rendah dari status laki-laki karena masing-masing memiliki role yang berbeda dalam pandangan Allah SWT.

"Red-herring" : mengalihkan subject sehingga bukan membahas argument yang tengah didiskusikan, tapi argument lainnya. Misalnya, ketika si A ditanya tentang kontradiksi di dalam Bible, bukannya menjawab pertanyaan tsb, si A malah membawa tuduhan banyaknya kontradiksi di dalam Qur'an.

"Appeal to authority": Si A bilang ke si B "Argument anda pasti salah karena berlawanan dengan pendapat seorang professor yang ahli dalam bidang ini". Si A sudah men-shut-off the discussion hanya dengan merefer ke authority yang dipercayainya, tanpa menjelaskan argument si professor yang disebutnya tadi.

"Ad-hominem" (argument to the man): bukan argumentnya yang dibahas, tapi yang diserang adalah pribadi lawan debat yang tidak berhubungan dengan argument yang didebatkan. Misalnya, "Pendapat si A itu sudah pasti salah karena si A itu tidak pernah sekolah di pesantren", atau "Ah, pendapat si B yang playboy kayak gitu kok dibahas!". Padahal logis tidaknya suatu argument tidak bisa ditentukan dari pribadi orang yang berargument. Dalam beargumentasi, yang harus dilihat adalah argumentnya, jangan diserang orangnya.

etc.

Kerangka berpikir hanyalah "tool" (framework) yang bisa digunakan dalam proses berpikir kita, yang tidak hanya berhubungan dengan masalah-masalah agama, tapi juga masalah-masalah dalam hidup lainnya. Karena hanya general framework untuk proses berpikir, ia bisa dipakai oleh siapa saja. Karena itu sayang kalau ketika berdiskusi dengan orang-orang non-Muslim orang-orang Islam tidak memahami framework ini. Mungkin dengan mengetahui kerangka dasar dalam berpikir dan berargumentasi macam ini, metode dalam memahami permasalahan dan perbedaan pandangan dalam agama dapat dimengerti, sehingga diskusi-diskusi maupun debatdebat dalam memahami agama dapat berjalan dengan baik, dengan menganalisa argument masing-masing pihak yang berbeda, tanpa menyerang pribadi, sehingga pertikaian dan perpecahan yang tidak diinginkan bersama bisa dihindari.

Sudah bukan zamannya lagi menuduh kaum Muslimin “anti-Pancasila”

Sudah bukan zamannya lagi menuduh kaum Muslimin “anti-Pancasila”.
Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-264

Oleh: Dr. Adian Husaini

Tanggal 22 Juni biasanya dikenang oleh umat Muslim Indonesia sebagai hari kelahiran Piagam Jakarta. Tetapi, tampaknya, kaum Kristen di Indonesia masih tetap menjadikan Piagam Jakarta sebagai momok yang menakutkan. Padahal, Piagam Jakarta bukanlah barang haram di negara ini. Bahkan, dalam Dekritnya pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno dengan tegas mencantumkan, bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Tapi, entah kenapa, kaum Kristen di Indonesia begitu alergi dan ketakutan dengan Piagam Jakarta. Sebagai contoh, Tabloid Kristen REFORMATA edisi 103/Tahun VI/16-31 Maret 2009 menurunkan laporan utama berjudul “RUU Halal dan Zakat: Piagam Jakarta Resmi Diberlakukan?” Dalam pengantar redaksinya, tabloid Kristen yang terbit di Jakarta ini menulis bahwa dia mengemban tugas mulia untuk mengamankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pluralis, sebagaimana diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa.

“Hal ini perlu terus kita ingatkan sebab akhir-akhir ini kelihatannya makin gencar saja upaya orang-orang yang ingin merongrong negara kita yang berfalsafah Pancasila, demi memaksakan diberlakukannya syariat agama tertentu dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana kita saksikan, sudah banyak produk perundang-undangan maupun peraturan daerah (perda) yang diberlakukan di berbagai tempat, sekalipun banyak rakyat yang menentangnya. Para pihak yang memaksakan kehendaknya ini, dengan dalih membawa aspirasi kelompok mayoritas, saat ini telah berpesta pora di atas kesedihan kelompok masyarakat lain, karena ambisi mereka, satu demi satu berhasil dipaksakan. Entah apa jadinya negara ini nanti, hanya Tuhan yang tahu,” demikian kutipan sikap Redaksi Tabloid Kristen tersebut.

Cornelius D. Ronowidjojo, Ketua Umum DPP PIKI (Persekutuan Inteligensia Kristen Indonesia), seperti dikutip tabloid Reformata menyatakan, bahwa Piagam Jakarta sekarang sudah dilaksanakan dalam realitas ke-Indonesian melalui Perda dan UU. “Sekarang tujuh kata yang telah dihapus itu, bukan hanya tertulis, tapi sungguh nyata sekarang,” tegasnya. Yang menggemaskan, demikian Cornelius, yang melakukan hal itu, bukan lagi para pejuang ekstrim kanan, tapi oknum-oknum di pemerintahan dan DPR. “Ini kecelakaan sejarah. Harusnya penyelenggara negara itu bertobat, dalam arti kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen,” kata Cornelius lagi. Bahkan, tegasnya, “Saya mengatakan bahwa mereka sekarang sedang berpesta di tengah puing-puing keruntuhan NKRI.”

Bagi umat Islam Indonesia, sikap antipati kaum Kristen terhadap syariat Islam tentulah bukan hal baru. Mereka –sebagaimana sebagian kaum sekular– berpendapat, bahwa penerapan syariat Islam di Indonesia bertentangan dengan Pancasila. Pada era 1970-1980-an, logika semacam ini sering kita jumpai. Para siswi yang berjilbab di sekolahnya, dikatakan anti Pancasila. Pegawai negeri yang tidak mau menghadiri perayaan Natal Bersama, juga bisa dicap anti Pancasila. Pejabat yang enggan menjawab tes mental, bahwa ia tidak setuju untuk menikahkan anaknya dengan orang yang berbeda, juga bisa dicap anti-Pancasila. Kini, di era reformasi, sebagian kalangan juga kembali menggunakan senjata Pancasila untuk membungkam aspirasi keagamaan kaum Muslim.

Rumusan Pancasila yang sekarang adalah: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rumusan Pancasila tersebut adalah yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan hasil dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang dengan tegas menyatakan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Jadi, Dekrit Presiden Soekarno itulah yang menempatkan Piagam Jakarta sebagai bagian yang sah dan tak terpisahkan dari Konstitusi Negara NKRI, UUD 1945. Dekrit itulah yang kembali memberlakukan Pancasila yang sekarang. Prof. Kasman Singodimedjo, yang terlibat dalam lobi-lobi tanggal 18 Agustus 1945 di PPKI, menyatakan, bahwa Dekrit 5 Juli 1959 bersifat “einmalig”, artinya berlaku untuk selama-lamanya (tidak dapat dicabut). “Maka, Piagam Jakarta sejak tanggal 5 Juli 1959 menjadi sehidup semati dengan Undang-undang Dasar 1945 itu, bahkan merupakan jiwa yang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 tersebut,” tulis Kasman dalam bukunya, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982).

Karena itu, adalah sangat aneh jika masih saja ada pihak-pihak tertentu di Indonesia yang alergi dengan Piagam Jakarta. Dr. Roeslan Abdulgani, tokoh utama PNI, selaku Wakil Ketua DPA dan Ketua Pembina Jiwa Revolusi, menulis: “Tegas-tegas di dalam Dekrit ini ditempatkan secara wajar dan secara histories-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam hubungannya dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita yakni: Jakarta Charter sebagai menjiwai UUD ’45 dan Jakarta Charter sebagai merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD ’45.” (Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997), hal. 130).

Dalam pidatonya pada hari peringatan Piagam Jakarta tanggal 29 Juni 1968 di Gedung Pola Jakarta, KHM Dahlan, tokoh NU, yang juga Menteri Agama ketika itu mengatakan: “Bahwa di atas segala-galanya, memang syariat Islam di Indonesia telah berabad-abad dilaksanakan secra konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga ia bukan hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan, di dalam kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi adat yang mendarah daging. Hanya pemerintah kolonial Belandalah yang tidak mau menformilkan segala hukum yang berlaku di kalangan rakyat kita itu, walaupun ia telah menjadi ikatan-ikatan hukum dalam kehidupan mereka sehari-hari.” (Ibid, hal. 135).

Meskipun Piagam Jakarta adalah bagian yang sah dan tidak terpisahkan dari UUD 1945, tetapi dalam sejarah perjalanan bangsa, senantiasa ada usaha keras untuk menutup-nutupi hal ini. Di zaman Orde Lama, sebelum G-30S/PKI, kalangan komunis sangat aktif dalam upaya memanipulasi kedudukan Piagam Jakarta. Ajip Rosidi, sastrawan terkenal menulis dalam buku, Beberapa Masalah Umat Islam Indonesia (1970): “Pada zaman pra-Gestapu, PKI beserta antek-anteknyalah yang paling takut kalau mendengar perkataan Piagam Jakarta… Tetapi agaknya ketakutan akan Piagam Jakarta, terutama ke-7 patah kata itu bukan hanya monopoli PKI dan antek-anteknya saja. Sekarang pun setelah PKI beserta antek-anteknya dinyatakan bubar, masih ada kita dengar tanggapan yang aneh terhadapnya.” (Ibid, hal. 138).

Jadi, sikap alergi terhadap Piagam Jakarta jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Negara RI, UUD 1945. Meskipun secara verbal “tujuh kata” (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) telah terhapus dari naskah Pembukaan UUD 1945, tetapi kedudukan Piagam Jakarta sangatlah jelas, sebagaimana ditegaskan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah itu, Piagam Jakarta juga merupakan sumber hukum yang hidup. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setelah tahun 1959 merujuk atau menjadikan Piagam Jakarta sebagai konsideran.

Sebagai contoh, penjelasan atas Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dibuka dengan ungkapan: “Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia ia telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Dalam Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dicantumkan pertimbangan pertama: “bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut…”.

Sebuah buku yang cukup komprehensif tentang Piagam Jakarta ditulis oleh sejarawan Ridwan Saidi, berjudul Status Piagam Jakarta: Tinjauan Hukum dan Sejarah (Jakarta: Mahmilub, 2007). Ridwan menulis, bahwa hukum Islam adalah hukum yang hidup di tengah masyarakat Muslim. Tanpa UUD atau tanpa negara pun, umat Islam akan menjalankan syariat Islam. Karena itu, Piagam Jakarta, sebenarnya mengakui hak orang Islam untuk menjalankan syariatnya. Dan itu telah diatur dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dituangkan dalam Keppres No. 150/tahun 1959 sebagaimana ditempatkan dalam Lembaran Negara No. 75/tahun 1959.

Hukum Islam telah diterapkan di bumi Indonesia ini selama ratusan tahun, jauh sebelum kauh penjajah Kristen datang ke negeri ini. Selama beratus-ratus tahun pula, penjajah Kristen Belanda berusaha menggusur hukum Islam dari bumi Indonesia. C. van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje, misalnya, tercatat sebagai sarjana Belanda yang sangat gigih dalam menggusur hukum Islam. Tapi, usaha mereka tidak berhasil sepenuhnya. Hukum Islam akhirnya tetap diakui sebagai bagian dari sistem hukum di wilayah Hindia Belanda. Melalui RegeeringsReglement, disingkat RR, biasa diterjemahkan sebagai Atoeran Pemerintahan Hindia Belanda (APH), pasal 173 ditentukan bahwa: “Tiap-tiap orang boleh mengakui hukum dan aturan agamanya dengan semerdeka-merdekanya, asal pergaulan umum (maatschappij) dan anggotanya diperlindungi dari pelanggaran undang-undang umum tentang hukum hukuman (strafstrecht).” (Ridwan Saidi, Status Piagam Jakarta hal. 96).

Jadi, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, Belanda akhirnya tidak berhasil sepenuhnya menggusur syariat Islam dari bumi Indonesia. Ridwan menulis: “Sampai dengan berakhirnya masa VOC tahun 1799, VOC terus berkutat untuk melakukan unifikasi hukum dengan sedapat mungkin menyingkirkan hukum Islam, tetapi sampai munculnya Pemerintah Hindia Belanda usaha itu sia-sia belaka.” (Ibid, hal. 94).

Kegagalan penjajah Kristen Belanda untuk menggusur syariat Islam, harusnya menjadi pelajaran berharga bagi kaum Kristen di Indonesia. Mereka harusnya menyadari bahwa kedudukan syariat Islam bagi kaum Muslim sangat berbeda dengan kedudukan hukum Taurat bagi Kristen. Dengan mengikuti ajaran Paulus, kaum Kristen memang kemudian berlepas diri dari hukum Taurat dengan berbagai pertimbangan.

Dalam bukunya yang berjudul Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? (Mitra Pustaka, 2008), Pendeta Herlianto menguraikan bagaimana kedudukan hukum Taurat bagi kaum Kristen saat ini. Dalam konsep Kristen, menurut Herlianto, keselamatan dan kebenaran bukanlah tergantung dari melakukan perbuatan hukum-hukum Taurat, melainkan karena Iman dan Kasih Karunia dengan menjalankan hukum Kasih. Jadi, hukum Kasih itulah yang kemudian dipegang kaum Kristen. Hukum sunat (khitan), misalnya, meskipun jelas-jelas disyariatkan dalam Taurat, tetapi tidak lagi diwajibkan bagi kaum Kristen. ‘Sunat’ yang dimaksud, bukan lagi syariat sunat sebagaimana dipahami umat-umat para Nabi sebelumnya, tetapi ditafsirkan sebagai “sunat rohani”. (Rm. 2:29). (Herlianto, Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? Hal. 16-17).

Babi, misalnya, juga secara tegas diharamkan dalam Kitab Imamat, 11:7-8. Tetapi, teks Bibel versi Indonesia tentang babi itu sendiri memang sangat beragam, meskipun diterbitkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Dalam Alkitab versi LAI, tahun 1968 ditulis: “dan lagi babi, karena sungguh pun kukunya terbelah dua, ia itu bersiratan kukunya, tetapi dia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu. Djanganlah kamu makan daripada dagingnya dan djangan pula kamu mendjamah bangkainya, maka haramlah ia kepadamu.” (Dalam Alkitab versi LAI tahun 2007, kata babi berubah menjadi babi hutan: “Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.”). Pada tahun yang sama, 2007, LAI juga menerbitkan Alkitab dalam Bahasa Indonesia Masa Kini, yang menulis ayat tersebut: “Jangan makan babi. Binatang itu haram, karena walaupun kukunya terbelah, ia tidak memamah biak. Dagingnya tak boleh dimakan dan bangkainya pun tak boleh disentuh karena binatang itu haram.”

Jika dibaca secara literal, maka jelaslah, harusnya babi memang diharamkan. Tetapi, kaum Kristen mempunyai cara tersendiri dalam memahami kitabnya. Menurut Herlianto, Rasul Paulus telah memberikan pengertian hukum Taurat dengan jelas: “Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru dan bukan dalam keadaan lama menurut hukum-hukum Taurat.” (Rm. 7:6). (Herlianto, Syariat Taurat atau Kemerdekaan Injil? Hal. 20).

Pandangan kaum Kristen terhadap hukum Taurat tentu saja sangat berbeda dengan pandangan dan sikap umat Islam terhadap syariat Islam. Sampai kiamat, umat Islam tetap menyatakan, bahwa babi adalah haram. Teks al-Quran yang mengharamkan babi juga tidak pernah berubah sepanjang zaman, sampai kiamat. Hingga kini, tidak ada satu pun umat Islam yang menolak syariat khitan, dan menggantikannya dengan “khitan ruhani”. Sebab, umat Islam bukan hanya menerima ajaran, tetapi juga mempunyai contoh dalam pelaksanaan syariat, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena sifatnya yang final dan universal, maka syariat Islam berlaku sepanjang zaman dan untuk semua umat manusia. Apa pun latar belakang budayanya, umat Islam pasti mengharamkan babi dan mewajibkan shalat lima waktu. Apalagi, dalam pandangan Islam, syariat Islam itu mencakup seluruh aspek kehidupan manusia; mulai tata cara mandi sampai mengatur perekonomian.

Pandangan dan sikap umat Islam terhadap syariat Islam semacam ini harusnya dipahami dan dihormati oleh kaum Kristen. Sangat disayangkan, tampaknya, kaum Kristen di Indonesia masih saja melihat syariat Islam dalam perspektif yang sama dengan penjajah Kristen Belanda, dahulu. Padahal. sudah bukan zamannya lagi menuduh kaum Muslimin yang melaksanakan ajaran Islam sebagai “anti-Pancasila”, “anti-NKRI”, dan sebagainya. [Depok, 16 Juni 2009/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta dan www.hidayatullah.com

http://2i2h.multiply.com/journal/item/689

Thursday, June 25, 2009

Penguasa Boneka

Memanasnya isu Ambalat, yang secara kasatmata melibatkan Indonesia dengan Malaysia, tidak bisa dilihat sebagai konflik antara Indonesia dan Malaysia.

Ambalat adalah blok kaya minyak. Produksinya, menurut sumber resmi Kementerian ESDM, diperkirakan sekitar 30.000-40.000 barel perhari. Bahkan kawasan perairan Ambalat ini, menurut ahli geologi dari lembaga konsultan Exploration Think Tank Indonesia (ETTI), Andang Bachtiar, mengandung cadangan minyak yang luar biasa. Satu titik tambang di Ambalat menyimpan cadangan potensial 764 juta barel minyak dan 1,4 triliun kaki kubik gas. “Itu baru satu titik dari sembilan titik yang ada di Ambalat,” ujarnya (Tempo interaktif, 2/6/2009).

Dari situlah semuanya bermula. Petronas, perusahaan minyak milik Malaysia, memberikan konsesi pengeboran minyak di Blok Ambalat kepada Shell (perusahaan milik Inggris dan Belanda) 15 Februari 2005. Indonesia sendiri, menurut Marty Natalegawa, Jubir Deplu kala itu, sudah memberikan konsesi kepada beberapa perusahaan minyak dunia di lokasi ini sejak tahun 1960-an, antara lain kepada Total Indonesie untuk Blok Bunyu sejak 1967 yang dilanjutkan dengan konsesi kepada Hadson Bunyu BV pada 1985. Konsesi lainnya diberikan kepada Beyond Petroleum (BP) untuk Blok North East Kalimantan Offshore dan ENI Bukat Ltd. Italia untuk Blok Bukat pada 1988.

Jadi, perairan Ambalat, yang terdiri atas tiga blok—East Ambalat (dikelola Chevron-AS), Ambalat (ENI Lasmo-Italia) dan Bougainvillea—secara bisnis dan ekonomi memang sangat menggiurkan. Lalu siapa yang diuntungkan dari konflik ini? Jelas bukan Malaysia dan Indonesia, tetapi negara-negara penjajah seperti AS, Inggris, Belanda dan Italia. Karena itu, konflik Ambalat ini sejatinya adalah konflik kepentingan negara-negara penjajah itu. Hanya saja, mereka tidak berhadap-hadapan secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan para penguasa boneka, baik di Indonesia maupun Malaysia.

Di Pakistan, kita menyaksikan bagaimana para penguasa boneka Barat digunakan untuk membumihanguskan rakyatnya sendiri di Lembah Swat. Di negeri tetangganya, Afganistan, para penguasa boneka itu bahu-membahu dengan tentara NATO dan AS untuk melawan rakyat Afganistan yang tergabung dalam gerakan Taliban.

Di Somalia, Syeikh Syarif Ahmad yang kemarin menjadi mitra partai Islam dan para pemuda Mujahidin dalam peperangan menghadapi pemerintah yang loyal kepada Amerika dan pasukan Ethiopia, kini harus berbalik arah. Sang boneka itu pun berhasil dibeli oleh Amerika dan kini harus memerangi kedua kelompok yang sebelumnya berjuang bersamanya.

Para tentara penguasa boneka Arab seperti Mesir, Suriah dan Arab Saudi juga sama. Mereka telah berperang di pihak Amerika dalam Perang Teluk, dengan alasan membebaskan Kuwait dari pendudukan Irak, yang dianggap orang-orang asing. Penguasa boneka di Irak sendiri juga telah memerangi kelompok perlawanan Kurdi. Bahkan setelah pendudukan Amerika di Irak, penguasa boneka itu pun memerangi para Mujahidin di Irak. Ironisnya, mereka sama sekali tidak berusaha memerangi Amerika, Inggris dan sekutunya.

Di Palestina juga demikian. Aparat keamanan Palestina yang kemarin menjadi mitra kelompok perlawanan dan pemerintah, kini harus berhadap-hadapan. Ironisnya, mereka tidak sungguh-sungguh melakukan perlawanan terhadap Israel.

Iran juga sama. Para penguasa boneka di negeri mullah itu membantu Amerika di Irak dan Afganistan. Bahkan beberapa waktu yang lalu para penguasa Iran, Afganistan dan Pakistan bertemu. Mereka sepakat untuk memerangi terorisme dan menjaga keamanan di perbatasan, agar para teroris itu tidak bisa keluar-masuk wilayah mereka.

Siapapun yang mencermati peristiwa dan realitas politik di atas akhirnya bisa menemukan jawaban, bahwa sesungguhnya Amerika, Inggris dan negara-negara penjajah telah menggunakan negeri-negeri tersebut berikut para tentaranya untuk menceburkan diri dalam medan peperangan dengan menjadi bonekanya di wilayah-wilayah tersebut.

Operasi militer yang dilakukan tentara Pakistan sejatinya merupakan operasi yang dilakukan untuk menggantikan Amerika di wilayah kabilah (FATA) yang telah dikuasai kelompok perlawanan Afganistan. Karzai dan gerakan-gerakan yang berkoalisi dengannya juga sama. Mereka telah terlibat dalam peperangan dan bahu-membahu dengan tentara Amerika di Afganistan untuk mempertahankan posisi, aset dan kepentingan Amerika di wilayah itu.

Di Irak, sudah menjadi rahasia umum, bahwa para penguasa Arab telah bersekutu dengan Amerika. Mereka terlibat dalam peperangan untuk melawan tentara Irak; membuka jalan bagi Amerika untuk menduduki Irak, merampas kekayaannya, membunuh dan mengusir jutaan warganya. Begitu juga dengan pemerintah boneka yang dibentuk oleh Amerika di Irak. Pemerintahan ini dibentuk atas dasar aliran, termasuk membentuk gerakan Ashahwah. Kelompok ini berhasil digunakan untuk memerangi semua gerakan perlawanan di Irak, menggantikan tugas Amerika.

Di Somalia, tugas Amerika berhasil digantikan dengan baik oleh pemerintah boneka, Syeikh Syarif Ahmad.

Di Palestina, Jenderal Amerika, Dayton, berhasil mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membersihkan semua kekuatan perlawanan dari aparat keamanan. Kemudian, ia melatih generasi baru yang rela untuk mengawasi dan menangkapi “saudara-saudara mereka sendiri, meski harus menggunakan kekuatan senjata”, atau bahkan menjadi mitra pemerintah dalam rangka menjaga keamanan orang-orang Yahudi serta melestarikan kepentingan, pengaruh dan cengkeraman Amerika di Palestina.

Mereka inilah yang disebut oleh Nabi saw., “ar-Rajulu at-tâfih yar’a syu’ûna al-’âmmah (Orang idiot yang mengurus urusan orang banyak).”

Tepat sekali sebutan Nabi saw. Bagaimana tidak idiot, seorang presiden kafir, dari negara kafir, yang tangannya masih berlumuran darah kaum Muslim, dan pasukannya siang dan malam masih terus membantai saudara-saudara mereka di Irak, Afganistan, Pakistan dan Somalia disambut begitu rupa, bahkan mengajari mereka kepentingan mutual respect (saling menghormati)?

Mengapa umat Islam belum juga mengambil kendali kekuasaannya, menyatukan dirinya dan menegakkan Khilafah yang akan menerapkan Islam secara kâffah, mengemban risalah, cahaya dan petunujuk kepada seluruh umat manusia, sehingga umat manusia terbebas dari kegelapan, kezaliman dan kejahatan Amerika dan negara-negara penjajah lainnya menuju keadilan Islam? Setelah itu, Khilafah akan mengembalikan posisi kaum Muslim pada kedudukan yang semestinya dan menjadikan negaranya sebagai negara adadidaya dunia, menggantikan AS, Inggris, Uni Eropa, Rusia dan Cina. []Hafidz Abdurrahman

Krisis Iran : Diambang Revolusi Baru?

Adnan Khan (Jumat 19 Juni 2009)

Apa penyebab krisis di Iran yang menyebabkan demonstrasi besar-besaran di kota Teheran?

Krisis ini disebabkan oleh hasil pemilu yang terjadi pada tanggal 12 juni 2009.

Hasil pemilu yang diumumkan pada tanggal 13 Juni 2009 oleh Mendagri Sadiq Mahsouli.
Ia menyatakan bahwa Mahmoud Ahmadinejad telah terpilih kembali dengan 62% suara, sedangkan kandidat reformis Mir Hossein Mousavi hanya mampu meraih 33% suara saja. Mahsouli menambahkan bahwa jumlah pemilih mencapai 85% dengan lebih dari 39 juta dari 46,2 juta pemilih telah melakukan pilihan mereka di TPS. Pemimpin Iran Ayatollah Ali Khameini pun dengan segera mengeluarkan pernyataan bahwa ia mendukung hasil pemliu dan menyerukan kepada publik untuk mendukung pemenangnya.

Uni Eropa dan beberapa negara barat menyuarakan keprihatinan mereka terhadap adanya dugaan kecurangan dalam pemilu tersebut. Beberapa analis dan jurnalis dari media Eropa dan Amerika mengutarakan keraguan terhadap keabsahan hasil pemilu tersebut.

Mousavi mengeluarkan pernyataan,” Saya ingatkan bahwa saya tidak akan menyerah terhadap kepalsuan,” dan dia mendorong para pendukungnya untuk melawan keputusan ini sekaligus mengingatkan untuk tidak melakukan aksi kekerasan. Protes yang mendukung Mousavi dan dugaan kecurangan pun meletus di Tehran.

Pada prinsipnya, dunia Barat dan kandidat dari kalangan reformis partai oposisi menolak hasil pemilu.

Apakah ada tanda-tanda kebenaran dari klaim tersebut?

Beberapa tindakan inkonsistensi telah dilaporkan dan dugaan adanya rekayasa perhitungan suara juga tidak bisa ditepis begitu saja. Di saat yang sama, diamnya tokoh yang jauh lebih berpengaruh seperti Rafsanjani dan Larijani juga merupakan indikasi yang kuat bahwa dugaan kecurangan kurang mendapat dukungan yang luas. Klaim kecurangan juga sulit diverifikasi kalaupun akan diselidiki. Hasil final yang memberikan Ahmadinejad perbedaan marjin sebesar 11 juta kartu suara akan sangat sulit untuk di hitung ulang.

Padahal tanpa penyelidikan akan sulit untuk membuktikan adanya rekayasa penghitungan suara. Namun akan juga sulit bagaimana Ahmadinejad mampu mencuri suara sebesar itu dengan marjin yang sangat besar. Untuk mencapai hasil seperti itu membutuhkan tim yang sangat besar dan ditempatkan pada setiap TPS. Resikonya akan sangat besar karena Ahmadinejad memiliki banyak rival politik yang akan dengan cepat mengambil kesempatan kalau memang ada indikasi kecurangan. Mousavi setelah 5 hari menyampaikan keluhannya kepada dewan Keamanan belum menghasilkan suatu penjelasan bagaimana kecurangan ini bisa terjadi.

Yang membuat tuduhan kaum reformis tentang kecurangan pemilu menjadi lemah adalah fakta bahwa keberadaan Ahmadinejadi dalam konferensi puncak Shanghai Cooperation Organisation (SCO) beberapa hari setelah hasil pemilu diumumkan. Kepergiannya tentu tidak akan terjadi tanpa sepengetahuan pemimpin spiritual tertinggi Ali Khomeini dan tokoh berpengaruh lainnya.

Khutbah Jumat pertama setelah pemilu nampaknya juga akan menghentikan arus demonstrasi dan juga pemilu ulang. Pemimpin spiritual Iran dalam khutbahnya di Universitas Tehran mengkritik Mousavi yang tidak menerima hasil pemilu dan yang juga bertanggungjawab terhadap adanya rentetan demonstrasi. Maka pernyataan Ali Khomeini ini secara tidak langsung merupakan dukungan terhadap hasil pemilu.

Saat ini kandidat dari kaum reformis menyatakan bahwa hasil pemilu ini berlawanan dengan mayoritas warga Iran yang menurut mereka beroposisi terhadap presiden Iran sekarang Mahmoud Ahmadinejad dan kebijakannya. Mereka juga mengatakan bahwa aspirasi ini dicuri oleh diktator yang tidak populer yang terkesan memenangkan pemilu dengan angka yang sangat dramatis.

Seberapa jauh persaingan antara kubu konservatif melawan kubu reformis?

Kaum konservatif mulai berkuasa sejak keberhasilannya mencetuskan revolusi Islam Iran di tahun 1979. Mahmoud Ahmadinejad sendiri dilaporkan sebagai salah satu otak yang mengendalikan terjadinya krisis penyanderaan di kedubes AS sebagai bentuk dukungan terhadap revolusi Iran. Akhirnya, Iran pun mengalami masa isolasi dari masyarakat internasional, yang menyebabkan rendahnya kepercayaan antara Iran dengan dunia Barat. Meninggalnya Ayatollah Rahullah Khomeini menyebabkan beberapa ulama senior Iran menyerukan adanya penghentian isolasi dari dunia internasional dan mendorong adanya perbaikan hubungan dengan Barat. Seruan reformasi ini dipimpin oleh Ali Akbar Hashemi Rafsanjani dan Mohammad Khatami, yang hingga kini merupakan perbedaan mendasar yang menimbulkan perbedaan aliran politik Iran.

Mohammad Khatami mengundurkan diri dari pemilu dan memberikan dukungannya kepada Mousavi untuk memastikan tidak adanya perpecahan suara untuk kubu reformis. Pemilu ini merupakan pertarungan antara kandidat konservatif yang yakin dengan Revolusi Islam dan kaum reformis yang percaya bahwa Iran harus meninggalkan revolusi Islam dan memperbaiki hubungan dengan Barat. Saat ini rezim Iran dan aparatnya dikendalikan oleh kaum konservatif.

Beberapa hari setelah pemilu terjadi berbagai demonstrasi yang menyerukan reformasi. Untuk beberapa waktu ada kesan bahwa Mousavi akan menyerukan gelombang perlawanan di Tehran secara besar-besaran. Namun kemungkinan itu berlalu ketika pasukan keamanan Ahmadinejad yang berkendaraan sepeda motor melakukan intervensi. Pada akhirnya Barat pun menghadapi skenario terburuk: pemimpin anti-liberal yang terpilih secara demokratis.

Media Barat banyak meliput permasalahan pemilu dan melaporkannya sebagai tanda-tanda akan terjadinya revolusi. Meski dua kandidat dalam pemilu ini mewakili dua kubu yang berbeda, garis yang membedakan mereka sebenarnya tidak terlalu jelas karena keduanya mulai bersikap dan mengambil kebijakan pragmatis.

Dalam wawancaranya dengan John Harwood dari CNBC, Barack Obama mengatakan,” Perbedaan antara Ahmadinejad dan Mousavi tentang kebijakan yang akan mereka ambil sebenarnya tidak tidak terlalu berbeda sebagaimana yang selama ini dilaporkan. Apapun hasilnya, kami akan tetap bekerjasama dengan siapapun yang memimpin rezim Iran, yang selama ini memusuhi AS.”

Meski di masa lalu perbedaan antara kaum reformis dan konservatif jelas terlihat, saat ini tidak demikian. Meski pada setiap kubu ada anggota yang saling menyerang, hal ini lebih bersifat personal ketimbang ideologi konservatif ataupun reformis. Kebencian terhadap
Ali Akbar Rafsanjani lebih karena ia melakukan korupsi ketimbang dia sebagai konservatif.

Media Barat melaporkan tanda-tanda akan adanya revolusi baru, apakah demikian?

Peliputan media massa Barat terhadap Iran saat ini terlalu berlebihan dan sangat bias. Ide revolusi ini terucap oleh laporan Barat dengan slogan seperti revolusi seru, generasi ipod, revolusi facebook, revolusi blog, dan revolusi hijau. Pangkal dari laporan Barat semacam ini berakar dari permusuhan mereka terhadap Revolusi Islam dan mendukung para reformis yagn menginginkan kebebasan di Iran yang liberal. Barat selalu mengangkat isu ini dalam interaksinya dengan Iran, dan tidak akan berhenti melakukannya.

Cerita mitos di dunia barat mengatakan bahwa kejatuhan Shah Iran adalah gerakan masyarakat yang menginginkan liberalisasi. Kalau saja kelompok reformis didukung oleh Barat, maka mereka akan menjadi penguasa dan pemerintah. Wartawan asing percaya bahwa mereka yang mendengarkan Beyonce memiliki iPod, memiliki blog, dan tahu bagaimana membuat hal-hal Seru, tentu merupakan penggemar habis liberalisme Barat. Individu semacam ini bisa ditemukan di kalangan profesional di Tehran dan juga pada kelompok mahasiswa.

Banyak diantara mereka yang berbicara bahasa Inggris sehingga bisa dikontak oleh wartawan Barat, diplomat, dan agen intelijen. Merekalah yang bisa dan mau berbicara kepada masyarakat Barat. Dari merekalah Barat memiliki informasi bahwa revolusi sedang terjadi di sana. Namun orang-orang ini tidaklah mayoritas. Kebanyakan warga Iran adalah miskin dan tidak mampu membeli iPod apalagi telpon, dan merekapun senang mendengarkan pidato Ahmadinejad yang anti Barat.

Kandidat yang kalah pemilu ini juga menggunakan data dari survei untuk membuktikan keluhan mereka. Hampir semua survei memprediksi kekalahan Ahmedinijad. Ia memiliki masa pemerintahan yang buruk dan sedikit sekali janji kebijakan politik yang berhasil ia lunasi, seperti tingginya pengangguran dan rusaknya infrastruktur industri energi Iran. Maka tidak heran apabila para pendukung kaum reformis oposisi, baik dari Iran maupun luar Iran, sangat terkejut mendengar kekalahan kaum reformis.

LSM AS Strategic Forecasting, yang bergerak di bidang kegiatan intelijen- melaporkan:” Hasil dari survei menunjukkan bahwa bekas perdana menteri Iran Mir Hossein Mousavi mengalahkan Ahmadinejad. Akan sangat menarik untuk dipelajari bagaimana seseorang bisa melakukan survei di negeri dimana telpon belum umum digunakan. Maka survei kemungkinan dilakukan terhadap orang yang punya telpon dan tinggal di Tehran dan sekitarnya. Untuk daerah seperti itu, Mousavi memang bisa saja menang. Tapi, di luar Tehran, angka survei bisa saja berbeda.”

Abbas Barzegar, yang melaporkan untuk harian The Guardian menceritakan reaksi Barat terhadap hasil pemilu sebagai angan-angan. Katanya, “ Wartawan Barat selama ini melaporkan dari sumber yang berasal dari daerah yang kaya di perkotaan dan tidak memperhitungkan besarnya dukungan terhadap Ahmadinejad di daerah yang miskin dan pedesaan.”

Akan tetapi hubungan Barat dan Iran mulai berubah dan diawali sejak pemerintahan Bush. Iran terus bekerjasama dengan AS dan melindungi kepentingannya. Di Iraq, Tehran terus mendukung pemimpin SCIRI, Ayatollah Hakim dan Brigade Badr yang telah menjadi kunci rencana AS untuk Iraq Selatan. Di Afghanistan, Iran melakukan aktifitas rekonstuksi yang ekstensif dan program pelatihan di Kabul, Herat, dan Kandahar. Sejauh ini Iran masih mencegah rasa malu AS di masing-masing negara. Meski media massa Barat masih menfokuskan kepada ketidakpercayaan antar dua negara ini, Barack Obama merencanakan untuk memulai meladeni hubungan dengan Tehran dalam beberapa minggu ke depan.

Apakah demonstrasi yang terjadi adalah bukti perlawanan terhadap Revolusi Islam atau Islam itu sendiri

Banyak sekali warga Iran di tahun 1979 bergerak secara serentak untuk menjatuhkan pemerintahan Shah. Kegagalan ekonomi dan kediktatorannya menjadi faktor pemersatu antara kaum reformis, marxist, sosialis, mahasiswa, profesor, dan kaum anarkis. Namun revolusi Islam tidak membawa perbaikan dalam hal ekonomi. Khomeini memulai proses mengontrol kegiatan masyarakat, mengasingkan, membunuh, dan menahan siapapun yang telah membantunya naik ke panggung kekuasaan. Perang melawan Iraq selama 8 tahun juga menghisap perekonomian Iran dan menciptakan semakin banyak kemiskinan daripada sebelum revolusi.

Ekonomi Iran sejauh ini masih tergantung kepada minyak dan sektor energi lainnya. Iran memiliki cadangan gas terbesar di dunia setelah Rusia dan memiliki cadangan minyak terbesar di dunia setelah Saudi Arabia. Namun infrastruktur energi yang dibangun sejak tahun 1940an mulai rusak, inflasi meninggi, dan pengangguran sulit dikendalikan. Ahmadinejad meraih kekuasaan dengan berjanji memperbaiki semua itu tapi hingga kini belum terjadi. Dia berusaha menyelesaikan masalah dengan program belanja publik yang masif dan mensubsidi minyak dan gas, dimana hal ini tidak bisa dilanjutkan. Di tahun 2007, akibat manajemen yang tidak baik Ahmadinejad melakukan usaha memperbaiki dengan tindakan membagikan bensin, namun hal ini justru menimbulkan kerusuhan.

Demonstrasi yang kini memenuhi laporan media massa Barat mewakili mereka yang ingin berubah akibat kegagalan ekonomi pemerintahan Ahmadinejad. Dia telah gagal dalam melaksanakan janji ekonominya dan menciptakan bom ekonomi yang bisa meledak kapan saja. Kemenangan pemilunya banyak dilihat sebagai kelanjutan kebijakan ekonomi yang gagal. Ahmadinejad tidak melakukan apapun untuk 3 juta penganggur. Meskipun isu pemilu menjadi katalis aksi demonstrasi, isu pemilu sendiri juga meliputi isu ekonomi dan pengangguran. Media Barat akan terus mengekspos para demonstran sebagai kaum yang mewakili sentimen publik Iran, dan mereka gagal melihat bahwa permasalahan ekonomi yang menghantui negeri itu, atau bahkan gagal melihat bahwa para demostransi adalah sekedar para pendukung kandidat yang kalah pemilu secara telak.