Tuesday, January 29, 2008

KHILAFAH MENYATUKAN KERAGAMAN

Upaya penerapan syariah Islam dalam koridor Negara Khilafah sering diisukan dengan adanya penyeragaman agama, budaya, dan keyakinan (pluralitas). Meskipun bertentangan dengan realitas masyarakat Islam dan nash-nash syariah, isu adanya penyeragaman jika Khilafah berdiri justru telah menduduki mainstream utama. Akibatnya, Khilafah Islamiyah dianggap sebagai ancaman bagi keragaman, keberagama-an, dan kebhinekaan. Padahal isu penyeragaman ini disebarluaskan dan dipropagandakan secara tidak bertanggung jawab, disandarkan pada epistemologi yang rapuh, a-historis, dan ditengarai sarat dengan agenda politik culas; yakni mencegah formalisasi syariah Islam dalam koridor negara.

Benarkah jika Khilafah Islamiyah berdiri, semua orang dipaksa memeluk agama Islam? Benarkah berdirinya Khilafah Islamiyah akan diiringi dengan penyeragaman agama, budaya, pemikiran, dan pandangan hidup? Benarkah akan terjadi peminggiran peran kelompok minoritas jika syariah Islam diterapkan dalam koridor negara?

Pembauran Masyarakat Islam

1. Pembauran masyarakat Islam zaman Nabi saw.

Tatkala Rasulullah saw. menegakkan Negara Islam di Madinah, struktur masyarakat Islam saat itu tidaklah seragam. Masyarakat Madinah dihuni oleh kaum Muslim, Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik. Namun, mereka bisa hidup bersama dalam naungan Daulah Islamiyah dan otoritas hukum Islam. Entitas-entitas selain Islam tidak dipaksa masuk ke dalam agama Islam atau diusir dari Madinah. Mereka mendapatkan perlindungan dan hak yang sama seperti kaum Muslim. Mereka hidup berdampingan satu sama lain tanpa ada intimidasi dan gangguan. Bahkan Islam telah melindungi kebebasan mereka dalam hal ibadah, keyakinan, dan urusan-urusan privat mereka. Mereka dibiarkan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan mereka.

Masyarakat Islam yang “inclusive” seperti ini terlihat jelas dalam Piagam Madinah yang dicetuskan oleh Rasulullah saw. Dalam klausul 13-17 Piagam Madinah disebutkan dengan sangat jelas, bahwa orang-orang Yahudi yang menjadi warga negara Daulah Islamiyah mendapatkan perlindungan dan hak muamalah yang sama sebagaimana kaum Muslim. Kabilah Yahudi yang mengikat perjanjian dengan Rasulullah saw. (menjadi bagian Daulah Islamiyah) adalah yakni Yahudi Bani ‘Auf, Yahudi Bani Najjar, dan sebagainya1.

Setelah kekuasaan Daulah Islamiyah meluas ke jazirah Arab, Daulah Islam memberikan perlindungan atas jiwa, agama, dan harta penduduk Ailah, Jarba’, Adzrah dan Maqna yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Daulah Islamiyah juga memberikan perlindungan—baik harta, jiwa, dan agama—kepada penduduk Khaibar yang mayoritasnya beragama Yahudi; 2 penduduk Juhainah, Bani Dlamrah, Asyja’, Najran, Muzainah, Aslam, Juza’ah, Jidzaam, Qadla’ah, Jarsy, orang-orang Kristen yang ada di Bahrain, Bani Mudrik, dan Ri’asy, dan masih banyak lagi.3

Imam al-Bukhari juga meriwayatkan sebuah hadis dari Rabi’ bin Khudaij, bahwa Rasulullah saw. pernah membayar diyat (denda) Yahudi Khaibar dalam kasus pembunuhan seorang Muslim di Khaibar. Ketika orang-orang Yahudi Khaibar bersumpah tidak terlibat dalam pembunuhan, Rasulullah saw. pun tidak menjatuhkan vonis kepada mereka. Bahkan Beliau membayarkan diyat atas peristiwa pembunuhan di Khaibar tersebut. Fragmen sejarah ini menunjukkan bagaimana Rasulullah saw. menegakkan keadilan hukum bagi warga negaranya tanpa memandang lagi perbedaan agama, ras, dan suku.

2. Pembauran masyarakat Islam zaman Kekhilafahan Islam.

Ketika kekuasaan Islam telah membentang mulai dari Jazirah Arab, Syam, Afrika, Hindia, Balkan, dan Asia Tengah tidak ada penyeragaman warga negara maupun upaya-upaya untuk memberangus pluralitas. Padahal dengan wilayah seluas itu, Daulah Islam memiliki keragaman budaya, pemikiran, keyakinan dan agama yang sangat kompleks. Akan tetapi, hingga Kekhilafahan terakhir tak ada satu pun pemerintahan Islam yang mewacanakan adanya keseragaman atau berusaha menghapuskan pluralitas agama, budaya, dan keyakinan.

Bahkan penerapan syariah Islam saat itu berhasil menciptakan keadilan, kesetaraan, dan rasa aman bagi seluruh warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim. Kita bisa berkaca dari sejarah Palestina. Sejak Umar bin al-Khaththab memasuki Palestina pada tahun 637 M, penduduk Palestina hidup damai, tenteram, tidak ada permusuhan dan pertikaian, meskipun mereka menganut tiga agama besar yang berbeda: Islam, Kristen dan Yahudi. Keadaan ini sangat kontras dengan apa yang dilakukan oleh tentara Salib pada tahun 1099 Masehi. Ketika tentara Salib berhasil menaklukkan Palestina, kengerian, teror, dan pembantaian pun disebarkan hampir ke seluruh kota. Selama dua hari setelah penaklukkan, 40.000 kaum Muslim dibantai. Pasukan Salib berjalan di jalan-jalan Palestina dengan menyeberangi lautan darah. Keadilan, persatuan, dan perdamaian tiga penganut agama besar yang diciptakan sejak tahun 1837 oleh Umar bin al-Khaththab hancur berkeping-keping. Meskipun demikian, ketika Shalahuddin al-Ayyubi berhasil membebaskan kota Quds pada tahun 1187 Masehi, beliau tidak melakukan balas dendam dan kebiadaban serupa. Di Andalusia, kaum Muslim, Yahudi, dan Kristen hidup berdampingan selama berabad-abad di bawah naungan Kekhilafahan Islam. Tidak ada pemaksaan kepada kaum Yahudi dan Kristen untuk masuk ke dalam agama Islam. Sayang, peradaban yang “inklusif” dan agung ini berakhir di bawah mahkamah inkuisisi kaum Kristen ortodoks. Orang-orang Yahudi dan Muslim dipaksa masuk agama Kristen. Jika menolak, mereka diusir dari Andalusia, atau dibantai secara kejam dalam peradilan inkuisisi.

Pada tahun 1519 Masehi, pemerintahan Islam memberikan sertifikat tanah kepada para pengungsi Yahudi yang lari dari kekejaman inkuisisi Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam di Andalusia. Pemerintah Amerika Serikat pun pernah mengirimkan surat ucapan terima kasih kepada Khilafah Islamiyah atas bantuan pangan yang dikirimkan kepada mereka pasca perang melawan Inggris pada abad ke-18. Surat jaminan perlindungan juga pernah diberikan kepada Raja Swedia yang diusir tentara Rusia dan mencari suaka politik ke Khalifah pada tanggal 30 Jumadil Awwal 1121 H/7 Agustus 1709 H.

Inilah sebagian fragmen sejarah yang menunjukkan bahwa penerapan syariah Islam dalam koridor Negara Khilafah tetap melindungi dan metoleransi adanya keragaman dan kebhinekaan. Tidak ada penyeragaman; tidak ada pemberangusan terhadap pluralitas; tidak ada pemaksaan atas non-Muslim untuk masuk Islam; dan tidak ada pengusiran terhadap non-Muslim dari wilayah Kekhilafahan Islam. Yang terjadi justru perlindungan terhadap non-Muslim. Lebih dari itu, pemerintah Islam dengan syariah Islamnya benar-benar telah mewujudkan keadilan dan masyarakat “inklusif”.

Pandangan dan Solusi Islam atas Pluralitas

Islam memandang bahwa pluralitas agama, keyakinan, dan budaya bukanlah ancaman atau penyebab dasar terjadinya konflik. Islam juga tidak memandang adanya klaim kebenaran (truth claim) dari agama dan keyakinan sebagai pemicu munculnya peperangan dan konflik. Oleh karena itu, Islam tidak berkehendak untuk menghapuskan truth claim masing-masing agama atau keyakinan ataupun berusaha menyeragamkan “pandangan tertentu” pada setiap agama, kelompok, maupun mazhab, seperti yang dilakukan oleh kelompok pluralis.

Solusi Islam terhadap keragaman budaya, agama, dan keyakinan bukan dengan cara menghapuskan truth claim atau menghancurkan identitas agama-agama selain Islam, seperti gagasan kaum pluralis yang beraliran unity of transenden maupun global religion. Akan tetapi, Islam mengakui adanya pluralitas, dan memberikan perlindungan (proteksi) atas keragaman tersebut.

Ketentuan semacam itu juga berlaku bagi keragaman pendapat di dalam Islam. Banyaknya pendapat, aliran, dan mazhab di dalam Islam bukanlah sesuatu yang dilarang; kecuali jika pendapat itu menyimpang dari akidah dan syariah Islam. Dalam tataran wacana, kaum Muslim diberi ruang yang sangat luas untuk berpendapat dan mengemukakan gagasannya semampang masih sejalan dengan akidah dan syariah Islam. Negara Khilafah tidak akan menyeragamkan pendapat-pendapat itu atau menganulir pendapat yang berbeda dengan pendapat yang diadopsi oleh negara Khilafah. Hanya saja, dalam wilayah pengaturan (ri’âyah), Negara Khilafah secara alami harus mengadopsi satu gagasan atau satu hukum saja untuk melakukan pengaturan urusan rakyat. Sebab, Khilafah tidak mungkin bisa melaksanakan tugas pengaturan tanpa ada proses legalisasi hukum. Dalam konteks semacam ini (riâyah) gagasan dan hukum yang diadopsi Khilafah berlaku untuk semua orang (impersonal), baik Muslim maupun non-Muslim. Hanya saja, ketika Khilafah Islamiyah melegalisasi sebuah pandangan maupun hukum (baik konstitusi maupun undang-undang Negara), ia harus memposisikan dirinya sebagai negara bagi semua kelompok, mazhab, ras, suku, dan agama. Sebab, Khilafah Islamiyah bukan negara milik satu kelompok, agama, bangsa, atau mazhab tertentu. Ia adalah negara bagi seluruh rakyat tanpa memilah-milah lagi keragaman kelompok, mazhab, ras, dan agama.

Semua ini menunjukkan bahwa Khilafah Islamiyah merupakan negara yang mampu mengakomodasi pluralitas masyarakatnya, seperti halnya Negara Madinah yang didirikan Rasulullah saw.

Lalu mengapa penerapan syariah Islam dalam koridor negara selalu dikesankan dengan upaya-upaya penyeragaman, pengusiran terhadap non-Muslim, eksklusif, dan penghancuran terhadap pluralitas? Bukankah kesan tersebut jelas-jelas keliru dan bertentangan dengan ajaran Islam dan realitas sejarah? Barangkali yang menyebarkan isu ini adalah orang yang awam terhadap ajaran dan sejarah Islam; atau yang a-historis dan tidak jujur terhadap sejarah; atau mungkin kaum culas yang berusaha menghambat penerapan syariah Islam dalam koridor negara. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Fathiy Syamsuddin Ramadlan al-Nawiy]

Catatan Kaki:

Lihat: Sîrah Ibnu Hisyâm, hlm. 341-344; Sîrah Ibnu Ishhâq, hlm. 101, Abu Ubaid, no. 517, Ibnu Zanjawaih, dalam Al-Amwâl (dari Zuhdi), lembaran 70A-71B; ‘Umar al-Mushili, dalam kitab Wasîlât al-Muta’âbidîn, VIII/32B; Sîrah Ibnu Sayyid an-Nas (dari Ishhaq dan Ibnu Khaitsamah) I/198; Ibnu Katsir III/224-226; ‘Abdul Mun’im Khan, no. 79.
Prof. Dr. Mohammad Hamidullah, Majmû’ât al-Watsâ’iq as-Siyâsiyyah li al- ‘Ahd an-Nabawi wa al-Khilâfah ar-Rasyîdah, ed. 6, 1987, Dar an-Nafa’is, Beirut, Libanon, hlm. 116-123.
Ibid, hlm. 165-289.

Sumber: Majalah Al-Waie, edisi Agustus 2997

Monday, January 28, 2008

PKS SUNGGUH TRAGIS !!!

PKS siap Jadi Partai Terbuka Bagi Nonmuslim
PKS bertekad akan mengambil konstituen di daerah mayoritas nonmuslim.


Republika 28/01/07-DENPASAR - Untuk menjadi partai besar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), akan membuka diri bagi anggota yang tidak beragama Islam. Wacana menjadi partai terbuka sudah menggelinding dan diharapkan bisa diputus dalam Mukernas yang akan berlangsung di Sanur, Denpasar Bali, awal Februari.

''Dalam Mukernas, Majelis Syuro PKS akan bersidang, di antaranya membahas soal model PKS menjadi partai terbuka,'' kata Ketua Departemen Wilayah Dakwah NTB dan NTT PKS, Dwi Triyono SH.

Hal itu dikemukakan Dwi kepada wartawan di Denpasar, Ahad (27/1), sehubungan persiapan Mukernas PKS 2008. Dalam jumpa wartawan, Dwi didampingi Ketua DPW PKS Bali, Heri Sukarmeini dan Ketua Panitia Pelaksana Mukernas, Mujiono.

Dikatakan Dwi, PKS yang sebelumnya dikenal dengan nama Partai Keadilan, pada Pemilu 1999 hanya memperoleh 1,4 juta suara dan digolongkan sebagai partai kecil (small party). Setelah berganti nama menjadi PKS, dalam Pemilu 2004, PKS memperoleh 8 juta suara dan digolongkan sebagai partai menengah (medium party). Sedangkan dalam Pemilu 2009 mendatang PKS menargetkan perolehan suara sebesar 20 persen dan digolongkan menjadi partai besar (big party). ''Kami tidak malu-malu mengatakan kalau PKS ingin menjadi partai penguasa,'' kata Dwi.

Mengenai rencana menjadikan PKS sebagai partai terbuka, disebutkan Dwi sudah dibicarakan sejak lama, namun pelaksanaannya menunggu waktu yang tepat. Disebutkannya, saat Mukernas adalah waktu yang tepat untuk menjelaskan hal itu.
Kendati berazas Islam lanjut Dwi, namun sebagai partai terbuka, PKS siap bekerja sama dengan pihak mana pun. Dalam hal itu lanjutnya, PKS ingin memaknai Islam dalam pengertian esensinya, bukan pada formalitasnya. ''Saya kira banyak yang sepakat kalau PKS mengajak memerangi kemiskinan, menyiapkan lapangan pekerjaan, dan membangun pemerintahan yang bersih,'' katanya.

Sebelumnya, Presiden PKS Tifatul Sembiring menyatakan hal serupa. PKS, ungkapnya, bertekad akan mengambil konstituen di daerah mayoritas nonmuslim, seperti Bali, Papua, dan lainnya, karena sifat partai tersebut terbuka. ''Dari dulu kita membuka diri terhadap agama dan etnis apa pun. Bahkan di Irian anggota dewan dari PKS, nonmuslim,'' katanya, di Bandarlampung, Sabtu (26/1).

Karena itu, lanjut dia, salah satu upaya untuk pemenangan Pemilu 2009 adalah menarik calon pemilih dari golongan non-muslim. ''Mukernas PKS kita pilih di Bali dan kita pun ingin mengambil konstituen di sana bahwa PKS memang partai terbuka. Kita mengambil porsi di mana pun boleh-boleh saja,'' katanya.

Wakil Sekjen PKS Fachri Hamzah mengatakan, hal itu sebagai komitmen partai tersebut untuk menciptakan situasi yang damai dan menghindari lagi kekerasan seperti terorisme atas nama agama. Apalagi, selama ini ada pencitraan yang salah terhadap PKS bahwa partai itu bersifat ekslusif dan hanya untuk kalangan tertentu saja.

Padahal, semua anggapan semacam itu hanyalah praduga masyarakat yang kurang memahami PKS dan apabila masyarakat luas menjalin komunikasi dengan kader-kader partai.

Sementara itu, Ketua PKS Bali, Heri Sukarmeini menjelaskan, Mukernas PKS di Bali akan dijadikan ajang pembuktian bahwa PKS bisa bekerja sama dengan pihak mana pun. Terkait hal itu, dalam Mukernas juga akan dilangsungkan dialog budaya yang melibatkan tokoh-tokoh kebudayaan dari berbagai kalangan masyarakat.

Selama Mukernas, jelas Heri, para peserta Mukernas juga akan menggunakan atribut adat Bali, yakni mengenakan udeng. Hal itu kata Heri, sebagai jawaban PKS atas pertanyaan beberapa kalangan, apakah PKS bisa beradaptasi dengan adat Bali.
''Kami sudah mendiskusikan pengenaan udeng itu dengan pemuka agama Hindu dan udeng bukan bagian dari agama, jadi hal itu tidak mencampuradukkan agama.''

(aas/ant )

Wednesday, January 23, 2008

Study: 935 False statements preceded war


By DOUGLASS K. DANIEL, Associated Press Writer
Wed Jan 23, 6:43 AM ET

WASHINGTON - A study by two nonprofit journalism organizations found that President Bush and top administration officials issued hundreds of false statements about the national security threat from Iraq in the two years following the 2001 terrorist attacks.

The study concluded that the statements "were part of an orchestrated campaign that effectively galvanized public opinion and, in the process, led the nation to war under decidedly false pretenses."

The study was posted Tuesday on the Web site of the Center for Public Integrity, which worked with the Fund for Independence in Journalism.

White House spokesman Scott Stanzel did not comment on the merits of the study Tuesday night but reiterated the administration's position that the world community viewed Iraq's leader, Saddam Hussein, as a threat.

"The actions taken in 2003 were based on the collective judgment of intelligence agencies around the world," Stanzel said.

The study counted 935 false statements in the two-year period. It found that in speeches, briefings, interviews and other venues, Bush and administration officials stated unequivocally on at least 532 occasions that Iraq had weapons of mass destruction or was trying to produce or obtain them or had links to al-Qaida or both.

"It is now beyond dispute that Iraq did not possess any weapons of mass destruction or have meaningful ties to al-Qaida," according to Charles Lewis and Mark Reading-Smith of the Fund for Independence in Journalism staff members, writing an overview of the study. "In short, the Bush administration led the nation to war on the basis of erroneous information that it methodically propagated and that culminated in military action against Iraq on March 19, 2003."

Named in the study along with Bush were top officials of the administration during the period studied: Vice President Dick Cheney, national security adviser Condoleezza Rice, Defense Secretary Donald H. Rumsfeld, Secretary of State Colin Powell, Deputy Defense Secretary Paul Wolfowitz and White House press secretaries Ari Fleischer and Scott McClellan.

Bush led with 259 false statements, 231 about weapons of mass destruction in Iraq and 28 about Iraq's links to al-Qaida, the study found. That was second only to Powell's 244 false statements about weapons of mass destruction in Iraq and 10 about Iraq and al-Qaida.

The center said the study was based on a database created with public statements over the two years beginning on Sept. 11, 2001, and information from more than 25 government reports, books, articles, speeches and interviews.

"The cumulative effect of these false statements — amplified by thousands of news stories and broadcasts — was massive, with the media coverage creating an almost impenetrable din for several critical months in the run-up to war," the study concluded.

"Some journalists — indeed, even some entire news organizations — have since acknowledged that their coverage during those prewar months was far too deferential and uncritical. These mea culpas notwithstanding, much of the wall-to-wall media coverage provided additional, 'independent' validation of the Bush administration's false statements about Iraq," it said.

___

On the Net:

Center For Public Integrity: http://www.publicintegrity.org/default.aspx

Fund For Independence in Journalism: http://www.tfij.org/

http://news.yahoo.com/s/ap/20080123/ap_on_go_pr_wh/misinformation_study

Monday, January 14, 2008

AMBISI GLOBAL IMPERIUM AMERIKA

Oleh : Munarman

Sebuah Harian Nasional, Rabu, 16 Februari 2005 yang lalu, menuliskan berita kecil, tentang skenario global Amerika Serikat untuk menguasai dunia pada tahun 2020. Dalam waktu kurang dari 15 tahun lagi ambisi tersebut menurut rencana sudah harus tercapai. Berita tersebut mengutip pernyataan Presiden Italia, Carlo Azeglio Ciampi, pada saat kunjungan ke New Delhi, India, 15 Februari 2005 yang lalu. Tidak banyak masyarakat atau bahkan pejabat tinggi dari negara-negara yang selama ini menjadi ladang garapan Amerika Serikat, seperti Indonesia dan negara berkembang lainnya dibelahan dunia, memperhatikan berita tersebut, apalagi membahas dan menjadikan hal tersebut sebagai sebuah ancaman nyata.



Harian USA Today juga menuliskan berita tentang thema yang sama pada edisi 13 Februari 2005. Akan tetapi, USA Today mengutip dari laporan National Intelligence Council (NIC), yang diketuai oleh Robert Hutchings dengan judul “Mapping The Global Future”. NIC meluncurkan laporan lima tahunan tentang masa depan dunia. "Kami berusaha menghindari peluncuran skenario buruk, sebagaimana sering dituangkan dalam prediksi dunia intelijen," kata Hutchings.



NIC bermarkas di Kantor Central Intelligence Agency (CIA) di Langley, Virginia. Laporan terbaru itu juga memasukkan pandangan dari badan intelijen 15 negara. Pelibatan badan intelijen dari 15 negara ini tentu saja harus dipahami sebagai upaya AS untuk menggiring dan menggarap badan-badan intelijen negara lain agar mengikuti skenario yang dibangun oleh AS tersebut. Sehingga dengan demikian katika skenario tersebut terwujud, negara-negara yang badan intelijennya telah digarap tidak lagi merasa AS sebagai ancaman, akan tetapi justru menganggap AS sebagai sekutu dan teman dekat, sehingga dengan sukarela akan bekerja dibawah komando AS dalam mewujudkan skenario tersebut, dan akan menerima imbalan tertentu dalam bantuan keuangan dan bantuan kerja sama teknis lainnya untuk negara yang bersangkutan. Praktek yang demikian telah diopersionalkan ketika AS membutuhkan bantuan negara-negara lain dalam War Against Terorism yang dikumandangkan AS.



Jargon War Against Terorism ini merupakan salah satu bentuk rencana operasional AS dalam kerangka skenario 2020, yang dalan hal ini Indonesia sudah dijadikan ladang garapan yang dalam wujud kongkritnya berupa bantuan dana untuk proyek-proyek besar. Proyek besar tersebut dibagi dalam dua level yaitu pada level institusi negara dan level “civil society”. Pada level yang bersifat institusional dilakukan dalam bentuk-bentuk seperti, kerja sama intelijen counter terorism, pembentukan Densus 88 Anti Teror Polri dan Satgas Anti Teror Kejaksaan yang dibiayai oleh AS. Sementara pada level “civil society” kucuran dana tersebut disalurkan melalui ribuan LSM, ormas Islam maupun media massa dan perguruan tinggi yang ada, dilakukan melalui program-program “brain wash” antara lain berupa, perubahan kurikulum pesantern dan public discourse yang terdiri dari : diskusi dan seminar terbuka serta penulisan buku dan artikel dimedia-media, dengan thema anti Islam dan “radikalisme” tetapi pro sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Ujung dari proyek ini adalah memapankan sistem kapitalisme yang dalam bentuk barunya dikenal dengan neo-liberalisme dan mengukuhkan peradaban kufur jahiliyah.



Kembali ke persoalan skenario 2020, menurut versi NIC, ada empat skenario hipotetis (hypothetical scenarios) yang akan terjadi. Skenario pertama adalah Asia akan menjadi motor penggerak ekonomi dunia dengan China dan India sebagai pemain utama. Skenario kedua adalah AS memimpin, membentuk dan mengorganisasikan perubahan global. Skenario ketiga adalah bangkitnya Kekhalifahan Islam (Islamic Caliphate) baru, sebuah pemerintahan Islam yang mampu memberi tantangan pada norma-norma dan nilai-nilai Barat. Skenario keempat adalah munculnya lingkaran ketakutan (cycle of fear). Di dalam skenario ini, respons agresif pada ancaman teroris mengarah kepada pelanggaran atas aturan dan sistem keamanan yang berlaku. Hal itu kemungkinan akan melahirkan dunia Orwellian. Itu adalah julukan bagi dunia dengan situasi atau ide yang sama dengan isi dari fiksi novel politik karya George Orwell berjudul Nineteen Eighty-Four. Isinya kurang lebih, di masa depan semua manusia menjadi budak-budak bagi satu dari tiga negara totaliter.



Sesungguhnya rencana busuk dan jahat AS untuk menguasai dunia ini telah dimulai jauh sebelum War Against Teorism dikumandangkan AS. Dari berbagai dokumen yang dimiliki Suara Islam, keberadaan rencana tersebut terdiri dari berbagai dokumen yang diproduksi oleh berbagai lembaga think thank, yang menjadi penyuplai utama dari rencana-rencana jahat tersebut. Paling tidak tercatat empat lembaga Think Thank yang secara aktif memasok gagasan dan ide yang dijadikan sebagai pijakan politik luar negeri AS, yaitu RAND Coorporation, Council on Foreign Relation (CFR), The Heritage Foundation dan Project for New Amerca Century (PNAC). Lembaga-lembaga think thank tersebut pada umumnya dikuasi oleh kelompok-kelompok yang berbasiskan ideologi Neo-Konservatif, Neo-liberal dan berafiliasi pada gerakan zionisme internasional atau bahkan merupakan bagian dari kelompok politik yahudi Amerika.



Orang-orang yang berada di belakang proyek tersebut adalah para pelaku utama dalam pemerintahan Bush, dan beberapa orang dari mereka—yang paling menonjol adalah Wakil Presiden Dick Cheney dan Menteri Pertahanan, Donald Rumsfeld—merupakan nama yang tidak asing lagi. Sesuai apa yang mereka persaksikan bahwa target Project for New America Empire (PNAE) adalah mengamankan dominasi global Amerika pada beberapa abad ke depan.



Pada tahun 1989, ketika akhirnya Uni Soviet ambruk, sehingga masa itu dapat mengakhiri “cerita” dunia bipolar yang eksis sejak berakhirnya Perang Dunia ke II. Amerika tumbuh menjadi “lone superpower”. Eks ideolog kebijakan luar negeri dan militer era Reagan yang kerap dipanggil dengan julukan “Neo-Conservative” baik yang berada di luar ataupun di dalam pemerintahan George Bush Senior, mulai merancang bangun strategi agar dapat mempertahankan situasi demikian yaitu keberadaan adidaya tunggal hingga masa yang panjang ke depan.

Akar-akar proyek ini —baik secara ideologis ataupun mereka yang teridentifikasi denganya— adalah orang-orang yang bercokol di era Ronald Reagan. Dengan kombinasi antara kebijakan luar negeri yang agresif kemudian pengerahan militer yang tidak ada preseden sebelumnya, mereka yang berhasil mendorong invasi terhadap Panama dan Grenada, perang counter-insurgency di Amerika Tengah, pagelaran Perang Dingin dengan Uni-Soviet, dan mempersenjatai Irak sebagai aksi counter terhadap Islam “radikal” di Iran.

Sebuah majalah Inggris menyebut mereka yang berada di belakang proyek yang mereka klaim sebagai “the Project for a New American Empire (PNAE)” sebagai “the weird men behind George W.Bush’s war.” Proyek yang mereka gagas dan jalankan banyak bermuatan berbagai teori konspirasi yang tidak dapat dihitung. Prinsip-prinsip mereka menjadi pengendali kebijakan luar negeri dan militer pemerintahan Bush—sebuah cetak biru yang menyatukan kekuatan militer Amerika yang berpangkalan di seluruh dunia dengan doktrin pre-emptive war dan pengembangan persenjataan nuklir.

Setelah Perang Teluk I, Paul Wolfowitz, yang kemudian ditunjuk sebagai wakil Menteri Pertahanan bidang kebijakan (saat ini menjaabat sebagai Presiden Bank Dunia), mendrafkan dokumen rancangan pertahanan yang dituangkan sebagai ide-ide pokok yang menjadi esensi dari visi the Project for the New American Century (PNAC). Hal itu merupakan strategi mempertahankan dan memperkuat superioritas militer Amerika yang tidak tertandingi oleh rival potensial pada masa yang akan datang dan kekacauan di seluruh dunia. Yang demikian menurut Wolfowitz hanya dapat dilakukan dengan doktrin “pre-emption” dan bukan “containment”, dan “unilateral military action” dan bukan “multilateral internationalism” . Namun rumusan tersebut ditolak oleh pejabat-pejabat lain di pemerintahan Bush Senior karena dianggap terlalu “radikal”.

Ketika ide-ide radikal mereka tidak diakomodir dalam pemerintahan Clinton, maka lahirlah PNAC pada bulan Juni 1997. Garis besar ide dan visi institusi ini jelas dapat dibaca dari “statement of principle” yang dirumuskan oleh mereka-mereka yang berada di balik pemerintahan Reagan dan para think-tank konservatif atau Neo-Con’s. Mereka mengkritisi pemerintahan Clinton sebagai “incoherent policies,” “squandering the opportunity,” dan “inconstant leadership,” dan mereka pun menawarkan alternatif-alternat if yang tertuang dalam strategi PNAC.

Dalam statemen itu, mereka mengatakan : “….Sebagaimana abad ke 21 sudah hampir dekat, Amerika berdiri sebagai kekuatan utama dunia. Tidakkah Amerika berkewajiban untuk menjadikan abad baru nanti yang berpihak kepada prinsip-prinsip Amerika dan maslahat-maslahatny a?” Kemudian statemen itu pun berakhir dengan “kebijakan Reagan bersandar pada kekuatan militer dan kekuatan moral.”

AS juga menganut doktrin control theory yang dikembangkan oleh Cooper, mantan penerbang Perang Dunia I yang kemudian jadi guru besar. Teori Cooper mengatakan policy Amerika ditentukan oleh kekuatan fisik (tempur) dan ilmiah (penguasaan ruang angkasa). Intinya, selama "saya" mampu, maka batas negara "saya" itu berada di mana saja. "Kamu" boleh cegat "saya", tapi "kamu" mampu tidak menembak "saya"? Itu pula sebabnya AS menempatkan armadanya di seluruh pelosok dunia.









Skenario Timur Tengah

Dari awal, PNAC sangat terobsesi dengan Irak. Pada bulan Januari 1998, sebuah surat melayang ke Presiden Clinton, mereka menulis “Kami mendorong anda untuk memfokuskan perhatian pemerintahan anda ke pelaksanaan strategi untuk menggulingkan rezim Saddam Husein dari pucuk kekuasaan.” Surat itu ditandatangani oleh, di antara mereka adalah Donald Rumsfeld (Menhan sekarang), Paul Wolfowitz (wakil Menhan), John Bolton (Gedung Putih), Elliot Abrams (Gedung Putih), dan Richard Armitage (wakil Menlu).

Pada bulan September 2000, PNAC mengeluarkan sebuah Cetak Biru buat masa depan dalam tulisan panjang berjudul “Rebuilding America’s Defenses : Strategy, Forces, and Resources for a New Century.” Tulisan ini bermula dari premis bahwa “Amerika adalah superpower tunggal di dunia, dengan kombinasi kekuatan militer tunggal, keunggulan teknologi, dan kekuatan ekonomi terbesar. Strategi besar Amerika harus bertujuan untuk memelihara dan memperluas posisi menguntungkan sebesar-besarnya di masa yang akan datang.”

Dalam dokumen itu dinyatakan, "AS harus mencegah negara-negara industri maju yang lain jangan sampai bisa menantang kepemimpinan AS, atau bahkan bercita-cita untuk dapat menjalankan peran regional atau global yang lebih besar." Tulisan strategis itu juga merekomendasikan misi-misi baru bagi kekuatan militer Amerika, termasuk kapabalitas nuklir yang dominan dengan senjata-senjata nuklir generasi terbaru, kekuatan tempur yang siap tempur yang cukup dan memenangkan berbagai pertempuran besar, dan kekuatan-kekuatan menjalankan “tugas-tugas kepolisian” di seluruh dunia dengan komando Amerika dan bukan Perserikatan Bangsa Bangsa. Hal itu juga menegaskan bahwa “keberadaan kekuatan militer Amerika di wilayah-wilayah kritis di seluruh dunia merupakan bentuk aksi yang paling visible sebagai perwujudan dari status Amerika selaku superpower tunggal.”

Secara spesifik Cetak Biru itu menyebutkan kawasan Teluk Parsia sebagai tempat bidikan pertama. Mereka mencatat bahwa “Amerika beberapa dekade lalu terus berusaha untuk menjadi pemain utama di bidang keamanan di Teluk. Sementara konflik yang tidak terselesaikan dengan Irak memberi justifikasi yang cepat, kebutuhan akan kehadiran kekuatan militer Amerika di Teluk melampau isu rezim Saddam Husein. Sejak lama, Iran menjadi ancaman utama bagi bergagai maslahat Amerika di kawasan Teluk. Begitu juga dengan Irak.”

Tulisan Cetak Biru itu diakhiri dengan catatan yang sangat provokatif bahwa “kegagalan dalam mempersiapkan jawaban tantangan-tantangan esok akan menjamin bahwa Pax Americana sekarang ini akan segera menemui ajalnya.”

Beberapa orang dari anggota PNAC pada pemilihan kepresidenan lalu menjadi penyokong George W.Bush. Mereka khawatir dengan pengalaman Bush Junior yang minim, kebijakan luar negeri AS akan banyak didominasi oleh kaum Republikan yang moderat yang menguasai administrasi pemerintahan Bush Senior. Dan Dick Richard Cheney, salah satu pendiri PNAC dinominasikan sebagai wakil Presiden dan ditempatkan sebagai penanggung jawab masa transisi. Namun seiring dengan makin kuatnya posisi kelompok ini di AS maupun dunia, sebagian besar para partisipan PNAC dapat lolos menduduki jabatan-jabatan strategis di departemen luar negeri dan militer, bahkan dubes Amerika untuk PBB dan posisi Presiden Bank Dunia pun dikuasai oleh kelompok gila perang dan gila kuasa ini.

Dari sejak awal pemerintahan Bush Junior, para Neo-Con’s ini mulai mengimplementasikan rencana strategis mereka—keluar dari Anti-Ballistic Missile Treaty, meningkatkan pembelanjaan bidang militer, dan mulai dengan program pertahanan rudal. Tapi sampai akhir Musim Panas 2001, pemerintahan Bush berada dalam kondisi kesulitan. Peringkat persetujuan Presiden anjlok menjadi 51%, dan kelompok demokrat telah dapat mengontrol kembali Senat dengan “tombol”-nya Senator James Jeffords, dan ekonomi memasuki masa resesi.

Namun kondisi ini berubah total saat peristiwa 11 September 2001 terjadi, bentuk kehancuran yang diharapkan oleh PNAC terjadi guna memuluskan realisasi agenda mereka. Bagi mereka peristiwa itu memang seharusnya terjadi.

Kesempatan ini benar-benar dimanfaatkan oleh PNAC. Hanya beberapa hari setelah peristiwa 11/9, PNAC mengeluarkan surat bahwa “kalau pun nanti tidak ditemukan bukti keterkaitan Irak dengan penyerangan, strategi apa pun yang bertujuan menghabisi terorisme dan sponsornya harus memuat upaya penggulingan Saddam Husein dari kekuasaan di Irak.” Upaya determinan itu memuncak pada perang di Musim Semi lalu. Akhirnya alasan sebenarnya dari penyerangan Irak bukanlah persoalan Senjata Pemusnah Massal, minyak, pelanggaran HAM, atau apapun alasan lain yang dikemukakan secara publik. Namun sebagaimana yang telah ditulis dua tahun silam adalah keinginan besar untuk merebut peran permanen di wilayah strategis dunia, kawasan Teluk.

Maka dari itu, Presiden Bush dalam pidato kenegaraannya di tahun 2002 mendeklarasikan “Perang kita terhadap teror telah dimulai, tapi ini baru permulaan.” Ia memilih Irak, Iran dan Korea Utara sebagai “Poros Kejahatan, bersenjata untuk mengancam keamanan dunia.” Pada bulan Juni, Bush memberi signal dukungannya untuk strategi pre-emptive war dengan mengatakan bahwa AS “siap untuk aksi pre-emptive bila diperlukan untuk mempertahankan kebebasan kita dan mempertahankan hidup kita.” (gaya hidup orang Amerika- red). Pada akhir tahun, hal ini menjadi kebijaksanaan resmi pemerintahan Bush, yang tercantum dalam 2 dokumen perencanaan Gedung Putih.

Strategi itu membuat perang pre-emptive terhadap “negara-negara jahat” menjadi kebijakan resmi dengan alasan potensial mengembangkan senjata-senjata pemusnah massal. “Untuk mencegah aksi-aksi jahat dan bermusuhan dari lawan-lawan kita,” tegas dokumen Gedung Putih itu, “Amerika akan, bila perlu, bergerak secara pre-emptive.” Untuk memerangi negara-negara yang dituding oleh pemerintahan AS mendapat (atau bahkan mencari) senjata-senjata pemusnah massal, dokumen perencanaan itu mengancam negara-negara tersebut, mungkin dengan cara mendahului (first use) menggunakan dengan senjata-senjata nuklir. Gedung Putih mengakui bahwa ini “perubahan fundamental bila dibanding dengan yang lalu,” yang membolehkan kekuatan militer melakukan serangan “pre-emptive” terhadap negara-negara yang dianggap musuh, termasuk “dengan kapabalitas operasional yang lengkap.” Benar, bahwa undang-undang pertahanan yang keluar tahun ini (2003) telah memberi otoritas senjata-senjata kecil termasuk penghancur bungker yang disebut dengan “bunker buster.”

Strategi membesar-besarkan isu terorisme yang diobral sekarang ini dalam rangka menyeret militerisasi dalam politik luar negeri Amerika. Sekarang ini tidak kurang dari 130 negara di dunia yang ditempati oleh pasukan Amerika dengan 40 negara di antaranya menetap secara permanen. Dan banyak lagi negara lain yang menyediakan hak-hak bagi pasukan Amerika untuk berbasis. Dalam tulisan yang dimuat di Wall Street Journal menggambarkan bahwa perubahan besar dalam strategi militer Amerika dalam 50 tahun terakhir ini akan mengarah pada upaya “mendorong kekuatan militer Amerika ke dalam areal yang jauh lebih dalam dan pojokan dunia yang paling berbahaya.” Menteri Pertahanan, Donald Rumsfeld, seorang arsitek strategi ini, “telah mempersiapkan pasukan Amerika untuk masa depan yang dapat melibatkan banyak tempat pertempuran yang kecil, kotor dan paling berbahaya.”

Kata Chris Matthews, kelompok konservatif itu telah "membajak" kebijaksanaan luar negeri Amerika. Karena apa yang dimulai sebagai perang melawan terror dan punya tujuan jelas, sekarang telah diperluas menjadi semacam perang ideologi untuk melawan "negara-negara poros kejahatan" seperti yang selalu disebut oleh Presiden Bush maupun Presiden AS lainnya dalam pidato kenegaraannya.

Kata Matthews lagi, kelompok neo-konservatif yang dipimpin oleh Paul Wolfowitz, sedang menyeret Amerika ke dalam suatu perang yang tidak berkesudahan, sambil terus memberikan dukungan kepada Israel.

Dalam kontek inilah agresi Israel terhadap Lebanon baru-baru ini dilakukan, yaitu untuk membangun apa yang disebut oleh Amerika dan Israel sebagai Tata Timur tengah baru. Yaitu tatanan politik yang menjadikan Israel sebagai kekuatan utama di kawasan Timur Tengah sambil terus memberangus kekuatan politik umat Islam, termasuk Hizbullah dan Hamas.

Dengan bimbingan skenario inilah, menurut sumber dari Lebanon, Mossad dan CIA terlibat dalam pembunuhan mantan Perdana Menteri Rafiq Hariri yang kemudian dibebankan pertanggungjawabann ya kepada Suriah. Dengan taktik maling teriak maling, maka Amerika dan Israel berhasil mengeksploitasi sentimen rakyat Lebanon untuk melakukan demontrasi anti Suriah yang berujung keluarnya pasukan Suriah dari Lebanon. Tanpa keberadaan pasukan Suriah di Lebanon maka Israel secara jumawa dan kebiadaban luar biasa melakukan agresi ke Lebanon untuk menghilangkan eksistensi Hizbullah, walaupun pada akhirnya menderita kegagalan total dalam misi ini.

Skenario Asia Tenggara

Seperti halnya dokumen CFR dan RAND, dokumen PNAC itu pun secara khusus menyoroti bangkitnya Cina yang perlu dihadapi oleh AS dengan menyatakan, "Kini sudah tiba waktunya untuk meningkatkan kehadiran balatentara AS di Asia Tenggara." (Michael Meacher, "This War on Terrorism is Bogus', the Guardian, London, edisi September 6, 2003. Meacher adalah mantan menteri lingkungan hidup dalam kabinet Tony Blair). Pada waktu yang bersamaan berbagai kelompok analis dan perumus politik strategi keamanan Amerika Serikat, melihat naiknya Bush (2000) sebagai peluang emas untuk mendorong aksi AS yang lebih ofensiff di Asia Tenggara.

Sebuah laporan dari Dewan Hubungan Luar Negeri AS menyatakan “issue utama dalam agenda AS pada pertemuan dengan Presiden Megawati (yang lalu) adalah kerja sama militer kedua belah pihak. Laporan terakhir yang dikeluarkan Dewan Hubungan Luar Negeri dan Rand Corporation merekomendasikan Pemerintahan Bush, untuk meningkatkan hubungan kerja sama pada umumnya dan kerja sama militer dengan Indonesia khususnya. Rekomendasi juga menyarankan secara khusus agar Pemerintah kedua negara memerangi dan menghilangkan pengaruh kelompok “Islam radikal” dan sekaligus mempersiapkan Indonesia untuk menjadi basis guna menghadang pengaruh China di kawasan Asia tenggara. Laporan ini diberi judul : The United States and Southeast Asia: A Policy Agenda for the New Administration. Disusun oleh Dov Zakheim, salah seorang yang bekerja di Pentagon pada era Pemerintahan Reagan.

Sebelum 11-9, semua rencana mereka menabrak tembok rintangan yang sama, tidak satu pun pemerintahan di Asia Tenggara, bahkan yang konservatif sekalipun seperti Indonesia, yang bersedia memikul risiko menghadapi oposisi anti-Amerika di dalam negeri, atau membuat Cina marah, karena langkah bodoh membangun hubungan dengan militer AS. Dengan kata lain, tanpa adanya bukti adanya ancaman Cina terhadap kawasan Asia Tenggara, para pemimpin ASEAN akan berpikir dua kali untuk memperkenankan kehadiran balatentara AS dalam jarak pukul, bukan hanya terhadap Laut Cina Selatan, terlebih-lebih terhadap daratan Cina. Peristiwa 11-9 membukakan peluang emas untuk mewujudkan usulan dokumen-dokumen tersebut.

Pemerintah Bush dengan sigap memenuhi saran-saran yang diajukan oleh think-tanks seperti RAND, CFR, dan PNAC. "Perang membasmi terorisme global" kemudian oleh pemerintahan Bush ditangkap sebagai dalih par-excellence untuk menghadapi sikap sebagian negara-negara ASEAN yang menolak peningkatan kehadiran balatentara AS di Asia Tenggara. Presiden Bush menyatakan dalam laporannya yang berjudul, The US National Security Strategy (2002) kepada DPR AS menyatakan, "AS akan mengambil langkah-langkah untuk menghalangi Cina meningkatkan pengaruhnya, dan akan bekerja untuk mencegah negara tersebut jangan sampai menyamai atau melampaui kekuatan AS, sehingga dapat mengancam negara-negara di kawasan Asia-Pasifik" (?).

Akhirnya The Heritage Foundation, think-tank dari kelompok ultra-sayap kanan Yahudi yang memiliki hubungan erat dengan Partai Republik, menyatakan dengan tegas, bahwa, "alasan melancarkan perang membasmi terorisme di Asia Tenggara pada akhirnya harus dikerjakan dengan atau tanpa persetujuan pemerintah-pemerint ah di kawasan ini."

Untuk keperluan mewujudkan agenda “perang melawan terorisme” di kawasan Asia Tenggara ini, Pemerintahan Bush telah setuju untuk menyiapkan dana yang disampaikan pada saat kunjungan ke Indonesia pada tahun 2002 lalu. Sebagimana di umumkan oleh Menlu Collin Powel pada saat itu, rincian dana tersebut terdiri dari; US $50 juta untuk program memperkuat institusi keamanan dalam kampanye melawan terorisme. Kongres AS juga telah menyetujui untuk membantu memperkuat Kepolisian RI dengan bantuan dana sebesar US $16 juta, termasuk didalamnya US $ 12 juta guna membentuk Detasemen Khusus 88 Anti teror. Akan tetapi dana tersebut dilarang untuk digunakan bagi Indonesia untuk membeli senjata mematikan baik secara komersial maupun melalui jalur hubungan antar pemerintahan.

Peristiwa "Bom Bali" 12-10 -- tanpa ada seorang pun warga negara Amerika yang jadi korban -- oleh AS telah ditampilkan sebagai "bukti" adanya jaringan teroris internasional JI di Indonesia. Setelah peristiwa 12-10 itu semuanya berubah sudah, seluruh kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, siap berada di bawah komando AS untuk "membasmi terorisme". Dan untuk itu AS menuntut agar balatentaranya di Pasifik meronda Selat Malaka, di kemudian hari diniscayakan akan melebar ke Selat Lombok dan alur-alur laut chocke points penting lainnya, dengan dalih "membasmi pembajakan dan terorisme di laut". Udang di balik batu dari akal-akalan tersebut akan memberikan posisi strategis kepada AS bagi mengembangkan hedging strategy-nya untuk mengepung Cina.



Guna memuluskan rencana ini, Amerika Serikat telah membentuk National Clandestein Service yang bertugas merekrut agen dan informan dari kawasan Asia tenggara dan Asia Selatan sejumlah 500 ribu orang. Tugas utama dari badan ini adalah operasi intelijen dengan cara propaganda, counter propaganda dan disinformasi serta stigmatisasi, pada intinya proyek ini ditujukan untuk melakukan perang psikologis. Program ini dinamakan dengan Misi perception Management yang didukung oleh lembaga propaganda Office of Global Communication dan Office of the Assistant to the President National Security Affair. Dukungan dana untuk program ini akan diperoleh dari Emegency Response Fund dan Emergency Supplemental Fund. Informasi menjadi hal yang utama dalam perang psikologis ini. Oleh karenanya taktik Amerika adalah dengan mengontrak sebuah “perusahaan” untuk menjalankan perang informasi tersebut. Sebagaimana yang telah dijalankan dalam misi mereka di Irak. Dimana perusahaan tersebut bertugas memasok berita keberbagai media di Irak dan bertugas menterjemahkan propaganda Amerika ke dalam bahasa arab. “Perusahaan yang ditunjuk untuk mengelola proyek ini adalah Randon Group.

Yang tepenting dari semua ini adalah bahwa Indonesia adalah salah satu wilayah dan target operasi perang psikologis yang dilancarkan oleh Amerika Serikat dalam upayanya membangun Imperium Amerika sebagaimana telah diuraikan dalam awal tulisan. Dalam rencananya terhadap Indonesia ini, issue kebebasan beragama, pluralisme dan toleransi menjadi instrumen yang mereka mainkan untuk mengacaukan situasi dan kondisi ummat Islam di Indonesia. Oleh karenanya umat muslim mestilah waspada dan merapatkan barisan agar dapat menghadapi rencana jahat tersebut.

************ *

Munarman

Ketua An Nashr Institue (Lembaga Kajian Strategis dan Advokasi Ummat)

Ketua YLBHI Periode 2002 – 2006

Koordinator Kontras Periode 2000 - 2001