Monday, December 29, 2008

Absurditas Pengakuan atas Israel

Absurditas Pengakuan atas Israel
Sabtu, 01 Desember 2007

Pengantar Redaksi: Pertemuan Mekkah, pada Maret 2007, yang digagas Arab Saudi berhasil menelurkan kesepakatan politik antara Fatah dan Hamas, dua faksi terbesar Palestina, yang bertikai. Namun, efektifitas pertemuan itu tampaknya menemui anti-klimaksnya ketika, di lapangan, pertikaian antara Fatah dan Hamas terus terjadi. Apalagi, Barat tak kunjung menghapuskan boikot finansial mereka atas Palestina, sebagaimana yang diharapkan melalui pertemuan Mekkah. Apakah penyebab semua ini? Terkait dengan hal itu, maka berikut ini redaksi memuat kembali analisis yang pernah dimuat Republika, Senin, 12 Februari 2007.
Pertemuan Makkah antara Hamas dan Fatah menghasilkan kesepakatan yang melegakan. Kedua faksi di Palestina itu sepakat untuk berbagi kursi di kabinet, yang segera akan mengakhiri konflik yang sempat meruncing di antara keduanya. Konflik ini telah menelan banyak sekali korban jiwa.



Namun, nasib bangsa Palestina, ironisnya, tidak hanya ditentukan oleh wakil-wakil mereka dalam kedua faksi tersebut. Nasib bangsa ini, lagi-lagi ironis, ditentukan oleh pihak-pihak asing yang tidak ada kaitan historis dengan negeri ini: Yahudi-Eropa (Israel) dan Anglo-Amerika (Amerika Serikat). Para analis berpandangan bahwa efektif tidaknya kesepakatan Makkah bergantung kepada penerimaan Amerika dan Israel dalam pertemuan dengan Mahmoud Abbas, yang dijadwalkan berlangsung pada 19 Februari di Yerusalem.



Jika demikian, tampaknya ada dua hal yang mungkin menjadi kendala (barrier) dalam proses terbebasnya warga Palestina dari boikot finansial Barat, dan terutama dari berbagai penindasan Israel. Pertama, kata 'menghormati' (bukan 'berkomitmen' seperti yang diinginkan Fatah) perjanjian-perjanjian sebelumnya dengan Israel, yang disepakati dalam kesepakatan tersebut. Kata ini tampaknya adalah hasil negosiasi maksimal yang dapat disepakati. Potensi kata ini menjadi kendala mulai tampak ketika Mahmoud Abbas, sekali lagi ironis, meminta bantuan Arab Saudi untuk menanyakan kepada Washington apakah kata tersebut dapat diterima ataukah tidak.



Kedua, soal pengakuan resmi pemerintahan baru nanti terhadap keberadaan dan keabsahan Israel untuk eksis. Tidak adanya pengakuan ini berpotensi menjadi kendala mengingat Gedung Putih, sebelum pertemuan ini, menegaskan bahwa kesepakatan yang dihasilkan harus sesuai dengan prinsip-prinsip kuartet mediator perdamaian --Amerika, PBB, Uni-Eropa, dan Rusia. Dan, salah satu butir prinsip itu adalah adanya pengakuan pemerintah Palestina terhadap keberadaan dan keabsahan Israel untuk eksis.



Absurditas pengakuan


Ada dua proposisi yang berbeda dalam hal pengakuan terhadap Israel: [1] mengakui keberadaan Israel; dan [2] mengakui keabsahan Israel untuk eksis. Proposisi pertama adalah ranah politik dalam konteks hubungan internasional antar dua negara. Sementara itu, yang kedua berkaitan dengan aspek pengakuan secara moral. Dalam konteks konflik Israel-Palestina, kedua-duanya sama-sama absurd. Mengapa demikian?



Proposisi pertama, 'mengakui keberadaan Israel', menurut seorang pengacara internasional, John V Whitbeck, mengandung problem linguistik. Persoalannya adalah apa itu Israel, dan dalam batas-batas geografis yang mana? Apakah 55 persen tanah Palestina yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada 1947 sebagai negara Israel? Apakah 78 persen tanah Palestina yang dijarah gerakan Zionis pada 1948 (tragedi Nakba), dan kini dipandang sebagian besar masyarakat dunia sebagai 'Israel'? Ataukah 100 persen tanah Palestina yang dikuasai Israel sejak Juni 1967 dan disebut sebagai 'Israel' (tanpa batas-batas geografis) dalam peta-peta yang diajarkan di sekolah-sekolah Israel?



Tidak pernah ada satu negara pun yang tidak menetapkan batas-batasnya kecuali Israel. Adakah ini karena batas-batas 'Israel' ada dalam benak-benak fasis para pemimpin mereka? Entahlah.



Proposisi kedua, 'mengakui keabsahan (right) Israel untuk eksis -- jauh lebih absurd daripada proposisi pertama. Menuntut bangsa Palestina untuk melakukan hal ini, dan menjadikannya sebagai syarat bagi perdamaian, adalah sama gilanya dengan memaksa Yahudi untuk mengakui keabsahan tragedi holocaust atas mereka. Mengakui realitas peristiwa (fact) holocaust adalah berbeda dengan mengakui keabsahan (right) tragedi itu atas mereka. Pengakuan yang kedua ini sama saja dengan memaksa mereka untuk mengakui bahwa mereka berhak dibakar hidup-hidup dengan gas zyklon dalam kamp-kamp konsentrasi.



Begitu pula halnya dengan bangsa Palestina. Menuntut bangsa Palestina untuk mengakui 'keabsahan (right) Israel untuk eksis' sama saja dengan menuntut sebuah bangsa yang diperlakukan layaknya manusia kelas dua, karena dirampas hak-hak dasar kemanusiaan mereka, untuk mengakui bahwa mereka memanglah demikian. Maknanya sama saja dengan memaksa bangsa Palestina untuk menerima bahwa mereka layak untuk diusir dari tanah-tanah mereka, ditembaki, diblokade, dan ditindas sehabis-habisnya. Lagi pula, ini pun tidak memiliki preseden dalam sejarah.



Amerika Serikat sendiri tidak pernah menuntut penduduk asli Amerika, suku-suku Indian, untuk mengakui 'keabsahan' penjarahan tanah dan pembersihan etnis yang diderakan kepada mereka oleh kaum kolonialis Eropa. Meskipun demikian, etnis Indian kini tidaklah hidup dalam blokade ekonomi dan ancaman kelaparan, seperti halnya bangsa Palestina.



Banyak pihak sayangnya menganggap bahwa tuntutan Israel dan Amerika ini sebagai sesuatu yang rasional, sehingga penolakan terhadapnya dinilai irasional, keras kepala, dan bahkan radikal. Siapa pun yang menganggap terwujudnya perdamaian di Palestina sebagai titik krusial bagi perdamaian regional dan internasional, haruslah menyadari bahwa tuntutan untuk mengakui 'keabsahan Israel untuk eksis' adalah absurd, tidak bermoral, dan, secara praktis, tidaklah menyumbang apa pun bagi proses perdamaian.

PALESTINA: Konflik Sipil atau Imperial

PALESTINA: Konflik Sipil atau Imperial
Sabtu, 01 Desember 2007
Selamat datang di Timur Tengah, wilayah yang berkisah tentang banyak hal. Di sana, ribuan tahun lalu, tiga agama besar dunia lahir dan peradaban moral ditinggikan. Namun, di sana pula, kedegilan, kebohongan, dan kezaliman, dari yang sederhana hingga yang paling kompleks sekalipun, ditebar hingga kini.


Dan tanah Kanaan, Palestina, menyajikan contoh yang paling lengkap serta aktual. Di sana, publik dunia dibuai dengan ilusi adanya dua negara yang sama-sama berdaulat, Palestina dan Israel. Tidak ada pendudukan, penindasan, dan kolonisasi Israel, seperti yang disuarakan rakyat Palestina. Lihatlah, kini yang terjadi adalah ‘konflik sipil’ antara sesama orang Palestina, Hamas dengan Fatah. Kalaupun ‘orang-orang bijak’ di Barat memboikot bantuan finansial dan Israel tidak mencairkan pajak, itu hanya karena rakyat Palestina telah salah memilih Hamas sebagai pemimpin mereka. Pilihlah figur-figur ‘independen’, seperti Salam Fayyad, sang ‘perdana menteri’ baru. Maka, dijamin semua itu tidak akan terjadi.
Mari kita urai jalinan benang dusta yang secara canggih dirajut sehingga tampak bak sebuah ‘kebenaran’.

Solusi “Dua-Negara”?


Pada pertengahan 1970-an, mayoritas negara anggota PBB mengakui eksistensi bangsa Palestina. Pada 1993, PLO, dimana Fatah adalah faksi terbesar di dalamnya, mengakui kedaulatan Israel di luar Tepi Barat dan Jalur Gaza, dua wilayah yang hanya 22 persen dari tanah historis Palestina. Dan, inilah solusi “dua-negara” yang didengung-dengungkan itu. Namun, adakah Israel mengakui kedaulatan Palestina dan adakah Otorita Nasional Palestina diakui wewenangnya di dua wilayah yang tinggal sekerat itu?


Jawabannya, kolonisasi terus berlangsung. Tepi Barat difragmentasi menjadi ribuan teritori yang beralih fungsi menjadi komune-komune Yahudi. Tembok pemisah yang sedang dibangun pun inci demi inci masuk ke dalam wilayah Palestina.
Sementara itu, Otorita Nasional Palestina tidak lebih daripada sekedar pemerintahan kota praja, yang hanya memiliki wewenang dalam urusan-urusan administrasi di Gaza dan sebagian distrik di Tepi Barat. Para pejabat Palestina pun tidak dapat bergerak bebas di teritori mereka sendiri tanpa izin dari pasukan keamanan Israel. Belum lagi berbagai penculikan dan penahanan para pejabat eksekutif dan legislatif Palestina. Adakah ini yang dinamakan negara yang berdaulat?

Moderat vs Ekstrimis?


Media-media Barat punya persepsi sendiri mengenai konflik Fatah-Hamas. Koresponden BBC, Paul Reynolds, menyebutnya sebagai, “Pertarungan yang lebih luas antara moderasi (Fatah) dan ekstrimisme (Hamas) di dunia Arab dan Islam”. Tiba-tiba saja, dunia lupa sejarah kelam Fatah yang berlumuran darah, bukan saja warga Yahudi, tetapi juga saudara sebangsa mereka sendiri, rakyat Palestina. Tiba-tiba saja dunia abai mengenai tokoh Fatah seperti Mohammad Dahlan, yang Maret 2007 lalu diangkat Mahmoud Abbas sebagai Kepala Dewan Keamanan Nasional. Human Right Wacth menyebut Dahlan berada di balik aksi-aksi kekerasan berupa penangkapan tanpa proses peradilan, penyiksaan, dan pembunuhan para aktivis, jurnalis, dan tokoh-tokoh penentang Fatah (“Human Right under The Palestinian Authority”, 1997).


Itukah yang dimaksud dengan moderat? Adakah moderasi bermakna tokoh seperti Dahlan, yang secara reguler bertemu pejabat-pejabat tinggi Israel dan menerima pasokan senjata dari AS melalui Israel untuk mempersenjatai milisinya demi memerangi bangsanya sendiri? Adakah seorang yang moderat berarti tokoh seperti Salam Fayyad, yang mengabdi selama 8 tahun di Bank Dunia dan 6 tahun di IMF serta berteman baik dengan Condoleezza Rice? Dan, adakah pula moderasi itu juga merujuk kepada figur seperti Mahmoud Abbas, yang menulis buku 600 halaman tentang Kesepakatan Oslo tanpa menuliskan secuil kata pun tentang “pendudukan” Israel?


Jika itu yang dimaksud Barat dan Israel sebagai moderat, tampaknya rakyat Palestina lebih menyukai para ‘ekstrimis’ ketimbang para moderat itu. Rakyat Palestina memilih Hamas bukan karena mereka menginginkan sebuah negara Islam. Mereka memilih Hamas karena lelah dengan Fatah yang korup dan lemah di hadapan Israel. Mereka memilih Hamas karena fitrah setiap bangsa terjajah di mana pun untuk tidak mendukung para kolaborator imperialis.

Kudeta Siapa?


Jika sebuah pemerintahan terpilih diboikot, diculik menteri-menterinya, dan rivalnya dipersenjatai kekuatan-kekuatan asing, lalu akan kita sebut apa ketika ia membela diri? Barat sekali lagi punya jawabannya yang ‘khas’: Hamas telah melakukan kudeta dengan ‘menguasai’ Gaza.


Mungkin benar bahwa Hamas bertindak di luar koridor hukum, tetapi apakah lantas tindakan Abbas membentuk ‘pemerintahan darurat’ dapat dibenarkan? Menurut Konstitusi Palestina, tindakan Abbas menunjuk perdana menteri baru, dan juga pembentukan ‘pemerintahan darurat’, adalah ilegal.


Pasal 45 dari konstitusi itu menyatakan bahwa presiden tidak berhak menunjuk seorang perdana menteri yang tidak merepresentasikan partai pemenang pemilu (Hamas). Pasal 67 dan 79 menyatakan bahwa perdana menteri dan kabinet yang baru hanya dapat diambil sumpahnya oleh Dewan Legislatif sedangkan Fayyad beserta kabinetnya disumpah oleh Abbas. Jika demikian, akan kita sebut apa kabinet Fayyad sementara konstitusi Palestina tidak memberi wewenang kepada presiden untuk menyatakan ‘kedaruratan’ tanpa penetapan Dewan Legislatif? Dan, atas dasar apa nantinya negara-negara lain berhubungan dengan ‘pemerintahan darurat’ ini? Sebuah problem besar ketika, pada saat yang sama, Ismail Haniyah tetap mengklaim haknya sebagai perdana menteri yang sah.


Sejatinya, ini bukanlah konflik sipil tetapi perlawanan bangsa terjajah menghadapi segelintir elit Fatah yang menggadaikan kedaulatan ke tangan kekuatan-kekuatan neo-imperialis.
Laporan pribadi terakhir mantan utusan PBB untuk Timur Tengah (End of Mission Report), Alvaro de Soto, secara eksplisit menyebutkan bahwa penyebab kekacauan di Palestina adalah ‘kegagalan’ AS mendorong Israel ke arah diplomasi. Bagi de Soto, prasyarat-prasyarat yang diajukan Israel, yang kemudian diamini AS, mustahil dipenuhi Palestina, dan ini menyebabkan jalan menuju negosiasi menjadi buntu. De Soto juga mengecam AS dan Uni Eropa yang menerapkan boikot finansial tanpa memikirkan lebih jauh nasib rakyat Palestina.


Sikap dan pendekatan negatif Israel terhadap Palestina, bahkan saat Fatah yang pragmatis itu berkuasa, semestinya menjelaskan kepada semua pihak bahwa solusi “dua-negara” hanyalah delusi yang diciptakan rezim Zionis untuk sekedar mengulur-ulur waktu (buying time) agar program ilegal kolonisasi dapat terus berlangsung demi mewujudkan nubuat-nubuat fasistik mereka.

IRMAN ABDURRAHMAN
STAF ISLAMIC CULTURAL CENTER (ICC) JAKARTA

Mengacau Hamas, Meracau ‘Alqaidah’

Mengacau Hamas, Meracau ‘Alqaidah’
Sabtu, 01 Desember 2007
Gawahar Ghadir, mahasiswi 21 tahun, menyeberangi persimpangan jalan menuju kampusnya, Al-Azhar University, di Gaza City. Sementara itu, empat petugas keamanan Hamas yang mengatur lalu lintas di sana tidak melakukan apa pun meski tahu Ghadir tidak berkerudung. Dan, gadis itu pun tidak pernah berpikir bahwa para aparat Hamas, yang kini memerintah di Jalur Gaza, akan memintanya untuk mengenakan pakaian Muslimah itu. Sementara di bagian kota yang lain, tepatnya di Al-Mukhtar Street, Ahmad Ghannash, seorang penjual kaset dan CD musik kembali menggelar lapaknya setelah Hamas memegang kendali di sana.

Sebelumnya, ketika Gaza masih dikuasai milisi Muhammad Dahlan (Fatah), sebuah kelompok ekstrimis, yang menyebut dirinya “Pedang Keadilan” secara sepihak memaksakan penutupan kafe-kafe internet dan toko-toko musik. Bahkan kelompok ini tak jarang menyerang beberapa lembaga pendidikan Kristen dan mengancam perempuan-perempuan Palestina yang tidak berkerudung.


Gambaran situasi kota Gaza pasca bentrokan antara Hamas dan milisi Dahlan di atas dilaporkan Saleh al-Naami, reporter Al-Ahram Weekly (12-18 Juli 2007), untuk menggambarkan betapa sumir dan biasnya tuduhan pemimpin Fatah, Mahmud Abbas, bahwa Hamas kini menjadikan Jalur Gaza sebagai tempat perlindungan bagi kelompok-kelompok teroris, terutama ‘Alqaidah’.


Memakzulkan Hamas


Tuduhan tersebut bukanlah yang pertama, dan mungkin bukan yang terakhir, dilontarkan Abbas terhadap Hamas. Dan, kampanye hitam seperti itu merupakan salah satu upaya Abbas, yang didukung AS dan Israel, untuk memperlemah posisi dan status Hamas sebagai pihak yang memenangkan pemilu demokratis setahun yang lalu.
Sejak kemenangan signifikan Hamas pada pemilu legislatif Januari 2006, secara sistematis AS berupaya mensubversi hasil demokrasi di Palestina.


Pertama, AS meminta Abbas untuk tidak menyerahkan kendali keamanan kepada pemerintah dan kementerian dalam negeri. Inilah juga yang menjadi alasan kemunduran Talab al-Qawasmi, menteri dalam negeri asal kubu independen, dari Kabinet Ismail Haniyah pasca Perjanjian Mekkah.


Kedua, berbagai otoritas yang semestinya menjadi milik kabinet dilucuti dan diserahkan di bawah kendali lembaga kepresidenan: tanggung jawab finansial diambil-alih dari Kementrian Keuangan; gaji pegawai pemerintahan hanya akan dibayarkan oleh kantor presiden; dan semua penentuan kebijakan penting hanya dikeluarkan melalui keputusan presiden.


Ketiga, sebagaimana dilaporkan Asian Times (9 Januari 2007), sedari awal Washington, melalui arahan Elliott Abrams (Deputi Penasehat Keamanan Nasional AS), telah menyuplai persenjataan dan pelatihan bagi milisi-milisi Fatah (terutama yang berada di bawah kendali Dahlan) untuk mempersiapkan diri menghadapi Hamas ketika sebuah “kudeta”—dengan cara melucuti pemerintahan Hamas lewat dekrit presiden—terjadi sebelum Agustus 2007.
Rencana makar ini juga bisa diketahui lewat pengakuan Alvaro de Soto, mantan Duta PBB untuk Timur Tengah, dalam laporannya “End of Mission Report” (The Guardian, 12 Juni 2007). De Soto mengungkapkan bahwa seorang pejabat AS pernah menyatakan betapa dia sangat menyukai konflik sipil di Palestina. Bagi pejabat AS itu, konflik itu menunjukkan bahwa ada orang Palestina yang tidak menyukai Hamas.
Fakta-fakta tersebut menyajikan suatu kesimpulan sebening kristal, bahwa AS, dan tentu saja Israel, berada di balik krisis Palestina saat ini.

Meracau ‘Alqaidah’


Dengan memakzulkan pemerintahan Hamas, yang pada gilirannya mensubversi demokrasi, maka Barat—jika upaya damai itu memang benar adanya—telah melakukan setidaknya dua ‘kekeliruan’ fatal.
Pertama, AS, dan juga Uni-Eropa, menyia-nyiakan momentum untuk menarik masuk kelompok-kelompok Islam moderat, seperti Hamas, ke dalam proses demokrasi dan pemerintahan bersatu Palestina. Keputusan Hamas untuk ikut dalam pemilu, dan menjadi bagian dari Otorita Palestina, menyajikan poin penting bahwa Hamas, secara de facto, menerima Perjanjian Oslo (1993) dan “solusi dua negara”. Desakan kepada Hamas untuk mengakui hak keberadaan (right to exist) Israel adalah sebuah tuntutan absurd dan terlalu mengada-ada dalam proses perdamaian Palestina-Israel.
Tambahan pula, kerelaan Hamas untuk berbagi kekuasaan di kabinet dalam Perjanjian Mekkah semestinya dipandang sebagai upaya yang sejalan dengan keinginan Barat untuk mendorong moderasi di tubuh faksi-faksi Palestina.
Kedua, dengan memakzulkan Hamas, Barat justru tengah menyulut api instabilitas, bukan di Palestina semata, tetapi di kawasan. Fenomena pemakzulan demokrasi di Palestina bisa menjadi dalih berbagai kelompok yang tak sejalan dengan Hamas untuk mempertanyakan partisipasi gerakan Islam dalam proses elektoral, dan menjadi bahan bakar bagi aksi-aksi kekerasan.


Peristiwa pembebasan Alan Johnston, reporter BBC, menunjukkan betapa Hamas kini, bukan hanya berhadapan dengan pasukan pendudukan Israel, tetapi juga dengan “geng-geng” kecil yang menganut pandangan nihilis ala ‘Alqaidah’ dalam aksi-aksi mereka. Ini jelas salah satu tantangan bagi Hamas, bagaimana mereka mampu mendisiplinkan konstituen mereka untuk tetap berada pada jalur moderasi.


Dan, Hamas bukannya tidak menyadari ini. Sejak akhir Desember 2001, para pemimpin Hamas di penjara Israel menulis pesan—yang kemudian dibacakan para khatib Jumat—untuk mewaspadai penyebaran ide-ide ‘Alqaidah’ di tengah-tengah pendukung Hamas. Mereka menyebut pemikiran gaya ‘Alqaidah’ sebagai “isolasionis dan destruktif”.
Bagaimanapun, tampaknya terlalu naif jika menganggap semua kekacauan ini sebagai semata ‘kekeliruan’, jika bukan keinginan, Barat.


Setidaknya, terdapat beberapa hal yang secara sahih bisa diasumsikan dari upaya pengaitan ‘Alqaidah’ dengan Hamas. Pertama, dengan meracau ‘Alqaidah’, sebuah upaya mengeliminasi Hamas tanpa reserve telah dimulai. AS dan Israel berharap dunia internasional bisa menerima jika Gaza diisolasi sementara pasukan Zionis terus membombardir wilayah kecil itu beserta para penghuninya. Dalihnya, bukankah di sana sarang teroris? Kedua, dengan meracau ‘Alqaidah’, tampak bahwa kebijakan strategis Washington dan Tel Aviv dihidupi oleh tiga kata: instabilitas, instabilitas, dan instabilitas. Dan, dalam konteks ini, mantra ‘Alqaidah’ benar-benar bertaji.

IRMAN ABDURRAHMAN
STAF ISLAMIC CULTURAL CENTER (ICC) JAKARTA

Israel dalam Pandangan Ahmadinejad

Israel dalam Pandangan Ahmadinejad
Sabtu, 01 Desember 2007

Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Iran, kembali membuat marah Israel. Dalam orasinya pada peringatan wafatnya Ayatullah Khomeini (3 Juni 2007), Ahmadinejad, seperti dikutip Jerusalem Post, menyatakan bahwa, “...kehancuran Israel sudah dekat”. Dan seperti biasanya, pernyataan tersebut juga kontan membuat Eropa—yang tampaknya tak pernah bisa berlepas dari ‘dosa’ historis holocaust— merah padam. Menlu Spanyol dan Menlu Perancis langsung menyampaikan kecaman resmi negaranya. Bagi keduanya, kata-kata Ahmadinejad harus mendapatkan respon dunia yang keras.
Ini bukan kali pertama Ahmadinejad menyampaikan pernyataan kontroversial terhadap rezim Zionis Israel. Satu pernyataan lainnya yang memicu kontroversi internasional dan dikutip hampir seluruh media pemberitaan dunia adalah, ketika pada sebuah konferensi bertajuk “The World Without Zionism” (Oktober 2005), Ahmadinejad menyatakan, “...Israel harus dihapuskan dari peta (dunia).” Namun, dalam konteks ini, media-media Barat, telah melakukan disinformasi terhadap, bukan hanya konteks, tetapi bahkan teksnya sekalipun. Disinformasi yang Sistematis
Kutipan tersohor dari pernyataan Ahmadinejad yang dalam bahasa Inggris kerap diterjemahkan sebagai “Israel must be wiped off the map” sungguh telah mengalami disinformasi yang sistematis. Mengapa demikian?


Pertama, pernyataan tersebut, seperti yang penulis kutip dari situs berbahasa Parsi ahmadinejad.ir, sebenarnya berbunyi, “Imam ghoft een rezhim-e ishghalgar-e qods bayad az safheh-ye ruzgar mahv shavad. Di sini, Nejad secuil pun tidak menyebut “Israel”, baik sebagai wilayah maupun bangsa. Ahmadinejad sebaliknya menggunakan sebuah frase spesifik, rezhim-e ishghalgar-e qods (‘rezim yang menjajah al-Quds’). Fakta ini menghadirkan perbedaan yang signifikan, karena sebuah rezim secara esensial—tidak seperti wilayah atau bangsa—tidak berkaitan dengan persoalan ‘peta dunia’.


Kedua, dalam pernyataan tersebut, tidak terdapat kata nagsheh (Parsi) sebagai padanan kata peta (map). Ketiga, kata to wipe out (menghapus) merupakan kesalahan penerjemahan yang diakibatkan oleh ketidakpahaman akan konstruksi verba Parsi, mahv shavad, yang digunakan Nejad. Verba tersebut berfungsi intransitif, sehingga padanannya yang lebih tepat adalah to vanish from (‘hilang/lenyap’) bukan to wipe out (‘menghapus’) atau to eliminate (‘menghancurkan’).
Luar biasa, dunia sudah dibuat percaya bahwa Presiden Iran telah mengancam akan “menghapus Israel dari peta (dunia)” meskipun dia tidak pernah mengucapkan kata peta, menghapus, dan bahkan Israel.


Lantas, apa terjemahan yang mendekati pernyataan tersebut? Tepatnya, inilah yang dikatakan Ahamdinejad, “Imam (Khomeini) berkata rezim yang menjajah al-Quds ini akan lenyap dari lembaran masa (sejarah).” Sejatinya, Nejad hanya mengungkapkan sebuah logika sejarah, bahwa penguasa atau rezim yang zalim serta menindas tidak akan pernah bertahan dalam lembaran sejarah.


Implikasi seperti itu terkait dengan konteks bahwa, dalam keseluruhan pernyataannya, Nejad menganalogikan lenyapnya rezim Zionis dengan rezim-rezim lain, seperti Shah Iran dan rezim komunis Uni-Soviet. Pertanyaanya, adakah kedua rezim itu runtuh karena bombardir militer atau serangan nuklir? Bukankah kedua rezim itu runtuh karena rakyat yang mereka tindas tidak lagi menginginkan mereka?


Dalam konteks seperti di ataslah, kita harus memahami pernyataan Nejad terbaru bahwa, “...kehancuran Israel sudah dekat.” Seperti dikutip dari IRNA, pernyataan ini terkait dengan sepak terjang Israel di Palestina dan Lebanon dalam setahun terakhir. Bagi Nejad, jika rezim Zionis tetap meneruskan penindasan terhadap bangsa Palestina dan mengulangi invasi militer ke Lebanon, maka “bangsa Palestina dan Lebanon akan menekan tombol ‘hitung mundur’ untuk membawa kehancuran bagi rezim Zionis.” Lagi-lagi logika sejarahlah yang ingin disampaikan Nejad, bahwa bangsa-bangsa terjajah yang menuntut kemerdekaan akan melawan dan menghancurkan siapa pun rezim penjajah mereka.


Konteks yang Tak Terkatakan


Terlepas dari pernyataan-pernyataan Nejad yang mengalami disinformasi, dan yang ingin dikesankan sebagai pernyataan anti-Semit, terdapat hal-hal substansial yang luput dari pemberitaan media Barat.
Pertama, sikap Iran dalam konflik Palestina-Israel. Seperti pernah diungkapkan Nejad sendiri, “Iran bukanlah ancaman bagi negara manapun,...bahkan bagi Israel sekalipun. Kami ingin menyelesaikan persoalan di sana (konflik Palestina-Israel) secara damai, melalui referendum” (kayhannews.ir). Referendum yang diikuti setiap penduduk asli tanah Palestina, baik Muslim, Kristen, maupun Yahudi, adalah solusi yang pernah diajukan Iran secara resmi, baik dalam forum PBB maupun OKI.


“Solusi satu-negara” (one-state solution) bukanlah milik Iran semata. Pemikir-pemikir Yahudi, seperti Noam Chomsky dan Uri Avnery pun memandang solusi ini sebagai yang terideal, meskipun bukan yang ‘realistis’. “Solusi dua-negara” (two-state solution), seperti yang konon berlaku sekarang, bahkan dipandang banyak aktivis hak asasi manusia sebagai sebuah halusinasi, mengingat karakter rasis dan apartheid rezim Zionis. “Solusi satu-negara” melalui referendum adalah penyelesaian yang paling beradab bagi semua pihak tetapi jelas tidak bagi rezim rasis Zionis.


Kedua, fakta bahwa 30 ribu lebih orang Yahudi hidup dengan tenang dan damai di Iran, sebuah jumlah komunitas Yahudi terbesar di Timur Tengah. Terlebih lagi, mereka pun memiliki representasi di parlemen Iran. Jika memang pernyataan Nejad tersebut dipandang anti-Semit, maka apa kata dunia tentang penindasan rezim Zionis terhadap bangsa Arab Palestina? Bukankah orang-orang Arab juga anak keturunan Sem putra Nuh? Jika pernyataan Nejad dianggap sebagai pernyataan pemusuhan, maka apa kata dunia terhadap George W. Bush yang menyandingkan Islam dengan fasisme, “islamofasisme”. Apa pula kata dunia kepada senator sekaligus kandidat presiden AS, John McCain, yang menyenandungkan lagu berirama reggae, “Bom...bom...bom Iran.” Adakah dunia pernah menyebut semua itu sebagai pernyataan pemusuhan?


Dalam memperingati 40 tahun penjajahan rezim Zionis terhadap al-Quds (Perang Enam Hari 5-10 Juni 1967), sudah semestinya bangsa-bangsa di dunia, yang mencintai peradaban dan keadilan serta menghargai martabat kemanusiaan, bangkit dan menegaskan sikap untuk membantu bangsa Palestina yang tertindas serta menjaga al-Quds, sebagai tempat suci agama-agama Tuhan, dari tindakan vandalisme rezim Zionis.

Irman Abdurrahman
Staf Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta

Mengapa ‘Israel’ Tidak Berhak Menjadi Negara Yahudi

Mengapa ‘Israel’ Tidak Berhak Menjadi Negara Yahudi
Sabtu, 01 Desember 2007

Mengenali akar persoalan adalah setengah dari solusi. Namun, dalam konteks konflik Israel-Palestina, masyarakat dunia justru menjauhi akar persoalannya. Hasilnya, berbagai konferensi dan kesepakatan yang diupayakan tak kunjung menghasilkan perdamaian secara aktual. Lantas, apa sesungguhnya akar persoalan dari konflik yang berusia hampir enam dekade itu? Jawabannya dengan mudah dapat kita temukan dalam hari-hari menjelang Konferensi Timur Tengah yang disponsori Amerika Serikat (AS) di Annapolis, Maryland, pada 27 Nopember 2007. Dalam draf yang dipersiapkan sebagai “dokumen/pernyataan bersama” itu, Israel mengajukan prasyarat bagi setiap pembicaraan damai, yakni bangsa Palestina harus mengakui bahwa Israel adalah negara bagi ras Yahudi. Sebuah prasyarat yang kontan ditolak oleh Palestina. Sekali lagi, Israel mengajukan prasyarat yang mereka tahu akan ditolak Palestina; sebuah diplomasi klasik ala zero-sum game.

Pertanyaannya, mengapakah Palestina menolak prasyarat itu? Implikasi prasyarat itu tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Terdapat beberapa implikasi serius bagi hak bangsa Palestina sebagai penduduk asli tanah historis Palestina, dan bahkan sebagai manusia.

Pertama, mengakui “Israel sebagai negara Yahudi” berarti menjustifikasi bahwa Israel berhak mendiskriminasi ratusan ribu orang Palestina yang hidup di dalam Israel. Warga Israel-Palestina ini sudah lama dipandang sebagai “duri dalam daging”. Mereka tinggal di lingkungan-lingkungan yang terisolasi dan tak pernah tersentuh pembangunan, seperti halnya orang-orang Yahudi dulu hidup di ghetto-ghetto ketika sentimen anti-semitisme merebak di Eropa. Sekarang, warga Israel non-Yahudi itu dipaksa untuk mengakui bahwa mereka berhak diperlakukan demikian, dan bahkan berhak untuk diusir sewaktu-waktu. Semua itu demi untuk mempertahankan premis “Israel sebagai negara Yahudi”.

Kedua, mengakui “Israel sebagai negara Yahudi” berarti mengingkari hak jutaan diaspora Palestina yang diusir dalam peristiwa pembersihan etnis pada 1948 (dikenang oleh bangsa Palestina sebagai “Nakba”, yang bermakna ‘bencana’) untuk kembali (right to return) ke tanah nenek-moyang mereka yang kini bernama “Israel” itu, serta mendapatkan kompensasi dari semua hak dan properti mereka yang dirampas. Ini adalah hak yang diafirmasi oleh Resolusi Majelis Umum PBB 194 tetapi selalu ditolak Israel sebagai “inti persoalan” dalam setiap pembicaraan damai, sekali lagi, demi mempertahankan premis “Israel sebagai negara Yahudi”.

Ketiga—dan ini yang paling menyayat nurani—mengakui “Israel sebagai negara Yahudi” berarti melegalisasi pembersihan entis oleh kaum Yahudi Zionis terhadap bangsa Palestina, dengan menuntut kepada si korban untuk mengakui bahwa aksi perampasan terbesar dalam sejarah manusia itu sebagai suatu kebenaran.

Dengan kata lain, dunia dituntut Israel untuk melupakan bahwa peristiwa Nakba pernah terjadi dan bahwa bangsa bernama “Palestina” pernah eksis: “Palestina adalah negeri tanpa bangsa untuk bangsa tanpa negeri”. Atau dalam bahasa yang lebih lugas, kita diminta untuk menjadi Zionis. Jika tidak, maka kita adalah anti-Semit karena berupaya menolak hak ‘mutlak’ Israel untuk menjadi negara Yahudi.

Maka, lewat Annapolis kita mengenang Nakba, bukan semata sebagai tragedi aktual dan faktual tetapi juga sebagai akar persoalan konflik Israel-Palestina yang dilandasi oleh premis rasis, yang tampaknya tidak pernah bisa lenyap dari benak rezim Zionis di Israel.

Kita tidak boleh lupa bahwa, bagi rezim Zionis, perdamaian bukanlah tujuan tetapi sekedar alat untuk merealisasikan hasrat utama mereka: “Israel sebagai negara Yahudi”. Dengan kata lain, selama hasrat itu dijamin, maka perdamaian adalah kebutuhan mereka. Sebaliknya, jika tidak, maka, “Jangan pernah salahkan kami apabila perdamaian gagal,” tegas Menhan Israel Ehud Barak.

Kata-kata Barak di atas dan prasyarat Olmert menjelang pertemuan Annapolis seperti menggemakan kembali pernyataan Perdana Menteri pertama Israel, David Ben-Gurion, dalam biografinya, “Perdamaian bagi kami adalah sebuah alat, dan bukan sebuah tujuan. Tujuan adalah realisasi Zionisme dalam cakupannya yang maksimum. Hanya karena alasan inilah kami membutuhkan perdamaian, dan membutuhkan kesepakatan.” (Shabtai Teveth, Ben-Gurion and the Palestinian Arabs: From Peace to War, 1985, h. 168).

Jika demikian adanya, jelas persoalannya bukanlah pada Palestina tetapi Israel. Yahudi yang hidup di tanah historis Palestina seharusnya mencontoh warga kulit putih Afrika Selatan, yang menjelang berakhirnya rezim Apartheid, menyadari bahwa selama mereka memperlakukan penduduk asli kulit hitam sebagai pariah, maka selama itu pula mereka akan berada dalam labirin kekerasan tanpa tahu ke mana jalan kedamaian. Kini mereka merasakan bahwa hidup berdampingan dengan warga kulit hitam adalah perisai paling ampuh dalam melindungi keamanan mereka.

Dulu, Yahudi Eropa mempunyai dua pilihan: memperjuangkan demokrasi dan kesetaraan di negara-negara asal mereka atau beremigrasi secara damai dari Eropa untuk hidup secara egaliter dengan bangsa Palestina dalam sebuah entitas politik yang sama-sama menjamin hak dan identitas kebangsaan masing-masing. Sayang, tidak satupun dari dua pilihan itu yang mereka pilih. Mereka justru memilih opsi yang destruktif: menjalin persekutuan dengan para imperialis untuk menginvasi Palestina dan mengusir 80% penduduk aslinya.

Kehadiran RI di Annapolis

Di bawah bayang-bayang prasyarat rasis Israel tersebut, pertemuan Annapolis tampaknya tidak akan menyentuh “isu-isu inti”, seperti prospek pembentukan negara Palestina, masa depan Yerusalem, dan terutama hak kembali diaspora Palestina. Hasil maksimal yang masih mungkin diharapkan Abbas adalah jumlah tahanan yang dibebaskan, jumlah separator yang akan dipindahkan, soal bantuan ekonomi dan militer bagi pemerintahannya di Tepi Barat, dan tentu saja soal penanganan Jalur Gaza.

Dalam konteks inilah, kita mesti mempertanyakan keputusan pemerintah RI untuk hadir di Annapolis. Resistensi bagi pertemuan di Annapolis bukanlah semata karena Hamas tak diundang AS tetapi karena, untuk kesekian kalinya, dunia menyanyikan lagu ‘perdamaian’ yang ditujukan untuk melegitimasi, atau setidaknya membiarkan, rasisme terus berlangsung di Palestina.

“Manusia tidak akan pernah hidup dalam kedamaian hingga mereka mendapatkan keadilan di bawah hukum,” kata Earl Warren, mantan Ketua Mahkamah Agung AS yang melegenda itu. “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak setiap bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,” tegas Pembukaan UUD 1945. Rasisme Zionis Israel adalah kendala paling nyata bagi terwujudnya keadilan dan merupakan wajah lain dari penjajahan[irm]

Berpikir Lurus tentang Palestina

Berpikir Lurus tentang Palestina
Rabu, 12 Desember 2007
Jika diajukan kepada kita persoalan konflik Israel-Palestina, maka yang terbayangkan dalam benak kita adalah begitu rumitnya konflik tersebut. Tak terhitung sudah berapa banyak proses damai dan resolusi PBB yang diupayakan untuk menyelesaikannya. Namun, semuanya berakhir dengan kegagalan, dalam pengertian masih berlanjutnya konflik tersebut. Gambaran ini jugalah yang muncul pada Konferensi Timur Tengah di Annapolis, Amerika Serikat (AS), 27 Nopember 2007, ketika Condoleezza Rice, menteri luar negeri AS, menyatakan bahwa perdamaian Israel-Palestina membutuhkan kompromi yang sulit.

Satu hal yang membuat konflik ini terlihat rumit adalah bahwa kita terjebak dalam amnesia bersama sebab dengan sengaja, diantaranya lewat sejumlah proses damai itu, didistorsi dari berbagai fakta historis, geografis, dan demografis, yang memicu kelahiran sebuah negara bernama “Israel” dan berbagai tindakan anti-kemanusiaan yang menyertainya. Salah satu akibat terparah dari distorsi tersebut adalah asumsi bahwa ketidakmampuan Palestina untuk hidup berdampingan dengan Israel merupakan faktor utama keberlangsungan konflik itu selam enam dekade. Tak jarang kita bertanya-tanya mengapa orang Palestina tidak bisa menerima Israel sebagai negara Yahudi dengan konsesi kedaulatan atas sejumlah wilayah, dimana sebuah negara Arab-Palestina akan didirikan?

Pelikkah konflik Israel-Palestina? Persoalannya bukan pelik atau tidak tetapi bagaimana kita—seperti yang akan diuraikan dalam tulisan ini—secara jujur melihat fakta-fakta historis, sehingga sebuah pandangan yang logis, baik secara moral maupun legal, dapat menetakkan sebuah solusi pragmatis lagi berkeadilan.



Palestina: Tidak Arab, Tidak Yahudi

Palestina adalah nama dari sebuah wilayah yang batas-batas geografisnya selama tiga milenium tampil dalam definisi-definisi yang berbeda. Setidaknya sejak awal-awal abad ke-20 hingga kini, Palestina memiliki tiga definisi.

Pertama, “British Mandate of Palestine” yang diotorisasi oleh Kovenan Liga Bangsa-Bangsa pada 1920 menetapkan Palestina sebagai wilayah di antara Laut Mediterania, Lebanon, Suriah, Irak, Arab Saudi, serta Mesir. Mudahnya, ia meliputi wilayah yang kini dikenal sebagai Kerajaan Yordania, Israel, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.

Kedua, pada 1947, melalui Resolusi 181, Majelis Umum PBB membagi wilayah Palestina di atas (minus Yordania yang pada 1946 diberikan Inggris kepada Dinasti Hasyimiah) menjadi dua bagian: “Israel” yang dicanangkan sebagai negara Yahudi dan “Palestina” sebagai negara Arab. Yang pertama kini hampir berusia 60 tahun sementara yang kedua tak kunjung berdiri hingga detik ini. Dalam pengertian Resolusi 181, Palestina didefinisikan sebagai Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Jalur Gaza. Definisi ini diterima mayoritas negara di dunia—meskipun pada awalnya negara-negara Arab menolak—yang mengakui Israel dalam hubungan diplomatik mereka.

Ketiga, meskipun seringkali mengaitkan keberadaannya dengan Resolusi 181, Israel, setidaknya secara politik dan hingga saat ini, hanya mengakui “Palestina” sebagai Tepi Barat dan Jalur Gaza, minus Yerusalem Timur yang mereka aneksasi pasca Perang 1967 serta minus 10,2% wilayah di Tepi Barat yang sekarang berubah menjadi pemukiman-pemukiman Yahudi. Hal ini dibuktikan dengan keputusan parlemen Israel, Knesset, bahwa Yerusalem tidak untuk dibagi dengan Palestina.

Dengan demikian, yang disebut ‘Palestina’ sekarang ini hanyalah 22% (versi PBB) atau 12% (versi Israel) dari tanah historis Palestina.

Beberapa hal penting untuk diingat. Pertama, sebelum terjadinya emigrasi massal orang Yahudi dari Eropa, penduduk asli Palestina yang beretnis Yahudi (dan tentu saja menganut Yudaisme) hanya 8% dari keseluruhan populasi dengan kepemilikan tanah di bawah 2% (Benny Moris, Righteous Victims, 1999, h. 83). Mayoritas populasi dihuni Arab dan Baduwi, yang sebagian besarnya memeluk Islam dan Kristen.

Fakta demografi Palestina yang plural ini membuat sejarawan Rasyid Khalidi berkesimpulan bahwa identitas bangsa Palestina tidak pernah secara eksklusif menjadi milik salah satu etnis atau agama (Khalidi, Palestinian Identity: The Construction of Modern National Consciousness, 1997, h. 19-21).

Singkatnya, Palestina yang historis bukanlah milik Yahudi atau Arab. Ia adalah milik penduduk asli Palestina sendiri.

Tambahan pula, mayoritas imigran Yahudi-Israel mempunyai warisan genetik dari Khazaria, suku nomadik Turki penghuni wilayah-wilayah yang pada Abad ke-17 menjadi bagian dari Imperium Rusia. Mereka menjadi Yahudi semata karena orang-orang tua mereka memeluk Yudaisme pada Abad ke-8 (Nicholas Wade, “Geneticists Report Finding Central Asian Link to Ashkenazi Levites”, New York Times, March 24, 2005). Dengan kata lain, mayoritas warga negara Israel sekarang ini berasal dari Asia Tengah dan bukan Timur Dekat, wilayah historis nenek moyang orang Yahudi.

Dengan mempertimbangkan fakta-fakta tersebut, maka terdapat beberapa hal yang perlu ditetakkan.

Pertama, dalam pandangan prinsip hukum internasional, fakta tersebut menunjukkan bahwa Resolusi 181adalah keputusan ilegal. Ia berada di luar kewenangan (ultra vires) Majelis Umum PBB karena bertentangan dengan norma absolut (jus cogens), yakni hak untuk menentukan nasib sendiri (right to self-determination) yang dimiliki populasi asli Palestina, sebagaimana tergambarkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan secara eksplisit disebutkan dalam Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

Kedua, dalam pandangan moral, Resolusi 181 yang membelah Palestina berdasarkan preferensi rasial (negara Yahudi dan Arab) adalah keputusan rasis. Tidak pernah ada negara yang menetapkan secara eksklusif status kebangsaannya (nationality) berdasarkan etnik dan agama tertentu. Prinsip universal yang manusiawi meniscayakan kewarganegaraan (citizenship) sebagai status kebangsaan suatu negara.

Sebuah keputusan ilegal dan amoral pasti menghasilkan akibat-akibat destruktif. Setahun setelah lahirnya Resolusi 181, terjadilah pengusiran 80% penduduk asli Palestina non-Yahudi dari wilayah-wilayah yang ditetapkan sebagai “Israel”. Tragedi tersebut merupakan konsekuensi logis dari berdirinya Israel yang meniscayakan supremasi Yahudi, baik secara demografis dan geografis. Pada saat yang sama, 20% warga non-Yahudi yang tersisa di Israel hidup sebagai warga negara kelas dua: menempati lingkungan terisolasi yang dikecualikan dari pembangunan, layaknya bantustan yang disediakan rezim apartheid bagi warga kulit hitam Afrika Selatan. Sekali lagi, berdirinya Israel juga meniscayakan perilaku diskriminatif dan non-egaliter rezim Zionis terhadap warga non-Yahudi.



Solusi Pragmatis dan Berkeadilan

Dengan berpikir lurus tentang Palestina, maka sejatinya kita bisa menetapkan solusi yang pragmatis sekaligus berkeadilan.

Pertama, mengimplementasikan hak pulang para pengungsi Palestina, sebagaimana diamanatkan Resolusi PBB 194. Ini adalah syarat fundamental bagi tercapainya keadilan sekaligus menjadi prasyarat mutlak bagi perdamaian di antara komunitas-komunitas. Hak pulang juga harus mengakui hak untuk mendapatkan pemulihan dari efek-efek destruktif selama kolonisasi Zionis.

Kedua, melaksanakan referendum bagi semua yang hidup di tanah historis Palestina, termasuk mereka yang diusir darinya sejak 1948, tanpa memandang agama dan etnis tertentu. Referendum ini akan membentuk sebuah negara demokratis yang berdiri di atas prinsip kesetaraan dalam hak-hak sipil, politik, sosial, dan budaya bagi setiap warga negara.

Kedua langkah di atas merupakan solusi yang berkeadilan karena tidak akan mencederai hak siapa pun untuk hidup dalam kebebasan dan kesetaraan di tanah historis Palestina, termasuk bagi para imigran Yahudi Eropa. Keduanya juga pragmatis karena tidak perlu lagi ada perdebatan perihal status Yerusalem, misalnya, atau hal-hal rumit lainnya yang muncul jika Palestina dibelah menjadi negara Yahudi dan Arab.

Bukankah pernikahan lebih sederhana daripada perceraian?

Hamas: AS tebar hasutan Rice dan Abbas cari dukungan

Hamas: AS tebar hasutan Rice dan Abbas cari dukungan
Amman (Espos)
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Selasa (20/2), melanjutkan lawatan luar negeri mereka secara terpisah untuk mencari dukungan dan solusi dari pakta Palestina Bersatu.
Rice bertolak ke Yordania, sementara Abbas menuju Eropa untuk memperkenalkan konsep pembagian kekuasaan yang tercapai dari pertemuan dua faksi Hamas-Fatah di Mekah beberapa waktu lalu. Pemerintahan koalisi Palestina memang belum mewujudkan harapan internasional ataupun tuntutan Israel, serta mengecewakan negara-negara Arab beraliran Sunni yang berharap Hamas akan memperlunak kebijakan anti-Israelnya.
Diplomat Arab mengatakan Rice mengundang kepala intelijen dan keamanan dari Arab Saudi, Mesir, Yordania dan Uni Emirat Arab untuk meminta nasihat dari mereka, terkait hal apapun yang bisa dilakukan untuk membujuk Hamas agar melunak. Sesi pertemuan tersebut digelar di Amman, Yordania yang merupakan sekutu AS di Timur Tengah.
Sementara, seorang pejabat senior Hamas, Senin (19/2) waktu setempat, menuding Amerika Serikat (AS) telah menebarkan hasutan di antara warga Palestina. Hal ini diungkapkan beberapa saat setelah Menlu AS menggelar pertemuan khusus dengan Perdana Menteri Israel dan Presiden Palestina.
Perdamaian
Rice menggelar pertemuan tiga pihak dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert, Senin (19/2). Namun perundingan yang sebelumnya diharapkan akan menjadi dorongan perdamaian baru, hanya menghasilkan sedikit kemajuan.
Moussa Abu Marzouk, Deputi Pemimpin Politik Kelompok Hamas, dalam sebuah pawai di kamp pengungsi di Yarmouk dekat Ibukota Suriah, Damaskus, kepada warga Palestina mengatakan, kebijakan AS didasarkan pada penyebaran hasutan di antara orang-orang Palestina dan negara-negara di wilayah itu serta memecah belah Timur Tengah menjadi dua kubu, yakni kubu moderat dan non-moderat.
Pada Minggu (18/2), Rice mengatakan di Ramallah, Tepi Barat, dirinya tidak akan mengakui Pemerintahan Palestina yang baru sampai pemerintahan itu terbentuk. Abu Marzouk, yang tinggal di Suriah juga berterima kasih kepada Abbas, karena bertahan dari apa yang dia sebut sebagai tekanan AS.
�Tekanan-tekanan yang diberikan Rice terhadap Abu Mazen (Abbas-red) dalam pertemuan Minggu dan Senin lalu, memintanya untuk mengabaikan kesepakatan dengan Hamas dan menjanjikannya dukungan. Tapi dia bertahan dari tekanan ini, ia pantas mendapat pujian,� ujar Abu Marzouk dalam pawai.
Komunitas internasional telah meminta agar Pemerintah Palestina mengakui Israel, menerima kesepakatan-kesepakatan sebelumnya dan mengakhiri kekerasan.
Namun kesepakatan pemerintahan persatuan Palestina yang dicapai awal bulan ini, hanya menjanjikan untuk menghormati kesepakatan perdamaian sebelumnya. - tya/AP

AS Bela Israel, Hamas Bersumpah Bertahan

MINGGU, 28 DESEMBER 2008 | 10:46 WIB
CRAWFORD, MINGGU — Menyusul serangan Israel ke Gaza yang menewaskan 228 orang, Pemerintah Amerika Serikat, Sabtu (27/12), justru terkesan membela Israel dan menyalahkan kelompok militan Hamas yang menguasai Gaza.

AS meminta Hamas segera mengadakan gencatan senjata kembali dan menghentikan serangannya ke Israel jika konflik terbaru ini ingin berakhir.

Sebanyak 228 orang tewas dan 400 orang lainnya luka-luka akibat serangan membabi-buta oleh Israel ke Kota Gaza, Sabtu. Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak masih sesumbar bahwa serangan ke Jalur Gaza akan diperluas jika "diperlukan".

Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS, Gordon Johndroe, menegaskan, Hamas tidak sepantasnya melancarkan serangan ke Israel setelah gencatan senjata dilaksanakan beberapa bulan terakhir. "Mereka tidak lain preman, jadi Israel akan melindungi rakyatnya dari serangan kelompok terorisme seperti Hamas, yang tidak pandang bulu dan membunuh orang-orangnya sendiri," kata Johndroe di Texas. Namun, Johndroe mengatakan, AS tidak ingin melihat kekerasan lebih banyak lagi.

Brooke Anderson, Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional yang ditunjuk Obama, mengatakan, Obama terus memantau peristiwa global, termasuk situasi di Jalur Gaza. Saat Israel kembali menyerang Jalur Gaza, Juru Bicara Hamas Fawzi Barhoum menegaskan pihaknya akan terus bertahan hingga titik darah penghabisan.

Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengutuk serangan Israel. Mesir telah memanggil Duta Besar Israel untuk menyatakan sikap keberatannya, dan meminta Israel untuk membuka Jalur Gaza dan mengizinkan mobil-mobil ambulans membawa korban luka-luka.

Sementara itu, Menlu AS Condoleezza Rice mengatakan, AS mengutuk keras serangan roket dan mortir oleh Hamas ke Israel. "Hamas telah melanggar gencatan senjata. Maka itu, gencatan senjata harus segera dilaksanakan kembali," kata Rice.

Johndroe mengatakan, AS meminta agar kebutuhan kemanusiaan dipenuhi di Jalur Gaza. Dia menekan Israel untuk menghindari baku hantam dengan masyarakat sipil. "Saya tahu mereka (Israel) memiliki target markas-markas Hamas. Namun, kami menekan mereka untuk menghindari korban sipil," ujarnya.

Serangan Israel ke Jalur Gaza juga mengundang protes dari sejumlah negara di seluruh penjuru dunia, termasuk Perdana Menteri Inggris Gordon Brown, Vatikan, dan Sekretaris Jenderal PBB. Duta Timur Tengah Tony Blair dan Liga Arab dijadwalkan akan bertemu untuk membahas persoalan ini. Presiden terpilih AS, Barack Obama, telah menerima laporan tentang situasi terakhir di Palestina.


HIN
Sumber : AP

Wahai .. Para Raja, Presiden, dan Pemimpin Arab!

Wahai .. Para Raja, Presiden, dan Pemimpin Arab!
Senin, 29/12/2008 13:01 WIB

Di mana hati nuramimu?

Ketika engkau melihat umat Islam di Gaza sudah sekarat, bertahun-tahun menderita, akibat embargo Israel. Engkau tetap menutup pintu perbatasanmu. Tak mau berbelas kasihan terhadap saudaramu. Meskipun, sudah banyak diantara mereka yang mati, akibat sakit dan kelaparan. Bahkan, ketika mereka kelaparan dan mencoba masuk ke wilayah perbatasanmu, engkau usir. Engka menjadi seakan orang-orang yang sudah kehilangan hati nurani dan kecintaan terhadap saudaramu, yang malang muslim Palestina. Engkau lebih mementingkan memelihara hubungan dengan Israel, Amerika, dan Uni Eropa, dibandingkan dengan menyelamatkan saudaramu sesama muslim.

Engkau menyaksikan dengan mata telanjang, ketika pesawat F.16 dan Apache, Israel, menyerang kota-kota Gaza. Engkau melihat bangunan-bangunan luluh-lantak, mayat-mayat berserayakan, bagaikan sampah, dan ada di mana-mana, dan darah mengalir dari setiap tubuh mayat, serta menjadi pemandangan di sudut-sudut kota Gaza, masihkah hati nuranimu tak juga tersentuh? Engkau melihat ratusan muslim Palestina, yang mengerang kesakitan dengan luka-luka di tubuh mereka, dan masihkah engkau berdiam diri? Mengapa wahai Presiden Hosni Mubarak, engkau bertemu dan berjabat tangan Menteri Luar Negeri Israel, Tzipi Livni, sehari sebelum rejim Zionis-Israel melumatkan kota Gaza?

Engkau menyaksikan setiap hari peristiwa kematian yang dialami muslim Palestina. Engkau setiap hari melihat muslim Palestina yang tak berdaya, dan dihancurkan kehidupan mereka oleh rejim Zionis-Israel. Tapi, engkau malah berkomplot dengan kaum laknat itu, ikut menghancurkan muslim Palestina. Engkau melihat bangunan-bangunan, rumah-rumah, sarana-sarana hidup, dan tanah ladang, kebun, ikut dihancurkan para penjajah, yang biadab, tapi engakau malah tertawa-tawa, sambil menerima utusan pemerintahan rejim Zionis-israel, dan berunding. Engkau melihat kekejaman-kekejaman yang diluar batas perikemanusiaan, dan yang tak pernah dapat tertanggungkan oleh manusia, dan dialami oleh muslim Palestina, yang dilakukan rejim Zionis-Israel, tapi engkau malah membuat perjanjian rahasia dengan musuh kemanusia itu? Di mana hati nuranimu?

Wahai Para Raja , Presiden, Pemimpin Arab!

Kematian akan datang. Kematian akan dialami oleh muslim Palestina, di Gaza. Mereka semuanya akan menyongsong kematian,yang paling terhormat. Mereka akan menghadapi mesin perang rejim Zionis-Israel dengan gagah. Mereka tak akan mundur. Mereka akan menghadapi dengan teguh. Mesin prang yang sudah meluluh-lantakkan kota Gaza itu, pasti akan mereka hadapi. Apa artinya kehidupan dan kemuliaan, bila harus dibawah kekuasaan dan penjajahan Israel? Mereka lebih mencintai kematian, dan tak akan berdamai dengan para musuh Allah Azza Wa Jalla, yaitu Zionis-Israel.

Apa artinya kekuasaan dan kekuatan yang engkau miliki? Bila kekuasaan dan kekuatan itu tak dapat menghapus kemungkaran dan kedzaliman? Apa artinya kekuasaan dan kekuatan yang engkau miliki bila tak mampu menghapus kejahatan yang dilakukan oleh rejim Zionis-Israel. Lebih mulia, mereka yang sudah mati – mati syahid melawan penjajah, dibandingkan dengan kekuasaan dan kekuatan yang engkau miliki, tapi tak mampu membebaskan saudaramu muslim di Gaza.


Selamat berjuang saudaraku muslim di Gaza, jangan mengharapkan pertolongan dari manapun, kecuali dari Allah Rabul Aziz. Semoga engkau mendapatkan kemuliaan dari Allah Azza Wa Jalla. (Mi)

Jubir HTI: Lawan dengan Jihad

Jubir HTI: Lawan dengan Jihad


Tanggapan Anda terhadap serangan brutal tentara Israel ke Jalur Gaza Sabtu lalu?

Jelas tindakan Israel itu adalah biadab. Makanya kita mengutuk keras tindakan keji dan brutal tentara Israel tersebut. Kedua, untuk menghadapi hal ini tidak ada jalan lain kecuali jihad. Kewajiban ini terutama bagi mereka yang ada di Palestina dan wilayah-wilayah di sekitarnya. Yang terutama harus berjihad adalah pasukan perang/militer di negara-negara di sekitar Palestina seperti Mesir, Yordania, Siria dan lainnya. Mereka semua harus membantu rakyat Palestina. Kewajiban ini juga jatuh kepada para penguasa di negara-negara di sekitar Palestina. Makanya kita menyerukan agar mereka mau mengirimkan pasukannya ke Palestina.

Ketiga, Israel dan para pemimpinnya harus dianggap sebagai teroris. Kalau kita menggunakan definisi bahwa teroris adalah individu/kelompok/negara yang ingin mencapai tujuannya dengan menggunakan kekerasan, maka Israel adalah teroris karena jelas-jelas menggunakan senjata canggih. Karena Israel adalah teroris, maka negara itu harus diperangi oleh seluruh dunia. Kalau tidak, berarti slogan war on terrorism hanyalah sebagai kedok belaka dan hanya digunakan untuk memerangi Islam (war on Islam).

Keempat, Israel harus dianggap sebagai pelanggar HAM berat. Jika tidak, berarti HAM hanyalah doktrin kosong dan hanya digunakan untuk kepentingan Barat dan Israel. Pada saat kaum Muslim dibantai, HAM tidak ada bunyinya. Para pemimpin negeri-negeri Muslim di sekitar Palestina pun tak peduli. Ini semakin jelas menunjukkan bahwa mereka adalah para penguasa boneka.

Kelima, umat Islam harus menyadari bahwa umat Islam yang dikatakan oleh Allah SWT sebagai khairu umat ini kini dalam kondisi dihinakan karena kita tidak mempunyai pemimpin. Karena tidak ada payung yang melindungi umat, kita dinistakan. Maka kembalinya Daulah Khilafah adalah hal yang wajib dari sisi fakta empiris.

Berbagai pihak menyerukan memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga Palestina. Menurut Anda?

Itu bagus. Mereka saat ini memang butuh makanan dan obat-obatan. Tapi itu tidak cukup. Mereka membutuhkan senjatan dan bantuan militer. Tak bisa kita membiarkan musuh memukuli dan menyerang mereka. Kita harus menghentikan tindakan biadab dan keji Israel yang menyebabkan warga Palestina kelaparan dan terluka.

Apa yang harus dilakukan umat Islam di Indonesia?

Harus turun ke jalan. Ini bentuk kepedulian kita. Kalau kita diam, kita bisa dianggap buta, tuli, dan pasrah terhadap keadaan dan tidak peduli terhadap nasib kaum Muslim. Kita harus mendorong negara-negara OKI untuk mau mengirimkan pasukannya ke Palestina. Andai saja setiap negara mau mengirimkan 1000 tentaranya, itu cukup untuk membantu Palestina karena negara OKI ada 57 negara.

Sebagian kaum Muslim menyatakan persoalan Palestina akan selesai jika Palestina merdeka, tanggapan Anda?

Israel tidak akan mau memerdekakan Palestina. Kalau pun mau, Israel akan memberikan kemerdekaan tapi dalam posisi yang lemah seperti sekarang. Palestina dikerat menjadi Tepi Barat dan Jalur Gaza. Keduanya diadu domba. Bahkan Gaza diisolir seperti sebuah penjara raksasa. Lagi pula dengan luas Palestina yang sekarang, negeri tersebut tidak bisa berbuat banyak karena tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Persoalannya sebenarnya bukan sekadar pada Palestina, tapi kondisi kaum Muslim saat ini yang terpecah belah.

Jadi solusinya harus khilafah?

Ya. Umat Islam harus merdeka. Bukan sekadar Palestina merdeka. Umat Islam harus bersatu dalam satu kepemimpinan sebagaimana dulu dicontohkan oleh Rasulullah, para khulafaur rasyidin, dan para khalifah. Kita memiliki potensi yang besar dengan jumlah kaum Muslim mencapai 1,4 milyar orang dengan sumber daya alamnya. Dengan bersatu di bawah naungan khilafah kita mempunyai kekuatan dan Insyaallah mampu menghadapi musuh-musuh kaum Muslim, khususnya Israel. (li)

Dibalik Serangan Israel Terhadap Gaza

Analisa Serangan Israel terhadap Gaza

“Mereka (muslim) mendiami wilayah yang luas dan sumber daya alam yang kaya. Mereka mendominasi lalu lintas perjalanan dunia. Tanah mereka adalah pusat peradaban dan agama. Mereka memiliki satu keyakinan, satu bahasa, satu sejarah dan satu aspirasi. Tidak ada batas alam yang mampu memisahkan mereka, satu dari lainnya..kalau saja, bangsa mereka bisa tersatukan dalam satu negara, ia akan menggenggam nasib dunia dan memisahkan Eropa dari belahan dunia lainnya. Mengingat betapa pentingnya masalah ini, entitas asing perlu ditancapkan di jantung mereka agar mereka tidak akan pernah bisa bersatu dan menghabiskan energi mereka dalam peperangan yang tidak berkesudahan. Entitas itu juga bisa menjadi alat bagi Barat untuk mendapatkan apa yang sangat dia idam-idamkan.” (Perdana Menteri Henry Bannerman dalam Laporan Campbell-Bannerman terbit di tahun 1907)


Israel sang negara teroris sekali lagi membantai muslim di Gaza, padahal pejabat Israel telah membocorkan informasi tentang akan adanya serangan sejak dua minggu lalu dimana tidak akan ada siapapun yang selamat. Bahkan pejabat Israel juga menyebutkan bahwa Israel menunggu cuaca yang baik agar bisa membantai dengan baik. Pada Sabtu pagi tanggal 27 Desember di tengah hiruk pikuk kesibukan, pembantaian di mulai.


Gelombang serangan pertama terjadi secara terkoordinasi dalam tempo 3 menit dengan melibatkan 60 jet F-16 menyerang 50 titik target infrastruktur Gaza yang masih tersisa. Gelombang kedua menghancurkan markas HAMAS (perlu diingat bahwa markas tersebut terletak di tengah populasi warga sipil). Dalam satu jam serangan pertama, 155 korban tewas dan jenazah korban terus berdatangan dan memenuhi rumah sakit.


Dengan terbenamnya matahari di Gaza, Israel akan meneruskan serangannya sepanjang malam. Dengan laju serangan seperti ini, Israel akan segera kehabisan target dan Gaza pun akan jatuh. Tank-tank Israel sudah disiagakan dan mengepung Gaza, dan bersiap untuk memasukinya. Pejabat Israel berulang kali mengatakan bahwa serangan ini hanyalah pembukaan, yang dikonfirmasi oleh pernyataan Menteri Pertahanan Israel,’ saat untuk menyerang Gaza telah tiba dan operasi ini tidak akan berlangsung sebentar, operasi akan jauh lebih dalam dan luas apabila diperlukan.”


Israel membenarkan aksinya sebagai tanggapan terhadap tingkat serangan roket terhadap wilayahnya yang diluncurkan dari Gaza. Menlu Israel Tzipi Livni membela serangan udara ini dengan berkata dalam siaran TV,” Israel tidak punya pilihan. Kami melakukan apa yang kami harus lakukan untuk melindungi warga kami.” Israel menuduh HAMAS, yang memenangkan pemilu 18 bulan lalu dan didukung oleh Iran, sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap serangan roket ini.

Israel memang selalu mengkambinghitamkan HAMAS sebagai kelompok Islam radikal yang bertujuan menghapus Israel, padahal Israel telah memblokade Gaza sejak lama. Secara rutin, Israel menutup jalur penyeberangan perbatasan menuju Gaza, yang berakibat pada kelaparan massal. Dalam sebulan terakhir, penyeberangan menuju ke Gaza dibuka selama 5 hari saja. Perwakilan PBB untuk Gaza menggambarkan situasi yang menyedihkan sebagai berikut,” Tiap hari adalah perjuangan untuk tetap bertahan hidup. Warga benar-benar kelaparan. Semua serba kekurangan, termasuk makanan yang sempat habis selama dua hari, dan fakta yang semakin memburuk yang bisa berakhir kepada kepahitan… kami berusaha keras mencari alasan untuk memiliki harapan yang realistis.”
Politik


Tanggapan dunia pun sudah bisa diduga. Israel tetap menjadi anak favorit bagi Barat. PM Inggris Gordon Brown dalam wawancara dengan BBC mengatakan bahwa ia ’sangat prihatin’ dan mengatakan bahwa milisi Palestina harus menghentikan serangan roket terhadap Israel, meskipun Palestina adalah pihak yang diserang dan Muslim dibantai.


Tanggapan penguasa muslim, yang selama ini tidak peduli terhadap jatuhnya korban muslim pun tidak bicara banyak. Mesir yang memiliki batas dengan jalur Gaza telah melakukan pembicaraan dengan Menlu Israel Tzipi Livni mengenai gencatan senjata. Hasilnya, Hamas menolak gencatan senjata selama Gaza masih diblokade Israel. Hubungan Mesir dengan Gaza pun memburuk. Telah diketahui bahwa Mesir marah besar ketika Hamas menolak berbicara dengan Fatah bulan lalu yang sedianya dijadwalkan berlangsung di Mesir. Media Arab pun melaporkan bahwa Hosni Mubarak juga menuduh Hamas telah melakukan kesalahan besar ketika menolak adanya gencatan senjata. Harian Al Quds Al Arabi yang berpusat di London juga melaporkan bahwa Mesir tidak akan memprotes serangan Israel, yang bertujuan untuk menjatuhkan pemerintahan Hamas di Gaza. Di samping itu keberadaan Tzipi Livni di ibukota Mesir adalah suatu peristiwa yang tidak biasa karena umumnya Hosni Mubarak menemui pejabat Israel di kawasan wisata Sharm el-Sheikh.


Dalam wawancara dengan Al-Jazeera, Azzam Tamimi, direktur Institut Pemikiran Politik Islam (Institute of Islamic Political Thought) dan pakar masalah Palestina, menggambarkan pengamatannya sebagai berikut, ” Saya duga operasi militer ini tidak hanya terbatas tapi juga berusaha untuk mengganti penguasa di Gaza, kalau tidak, kenapa Israel juga mentargetkan jajaran kepolisian? Yang menembakkan roket di Israel bukanlah para polisi dan polisi bertugas untuk menjaga keamanan di Gaza. Operasi ini ditujukan untuk menciptakan kekacauan dan kemungkinan besar Mesir dan Ramallah berkolusi dalam hal ini. Tidak mungkin berani Israel melancarkan serangan dalam skala sebesar ini tanpa adanya ijin dari kalangan tertentu, seperti Amerika, Eropa, dan juga Mesir dan Ramallah.”


Israel menggunakan muslim sebagai pion
Situasi politik domestik Israel jauh dari kestabilan selama setahun terakhir ini dan situasi tersebut adalah latar belakang serangan oportunis Israel terhadap Gaza. Sejak konflik Israel vs Lebanon pada tahun 2006, dimana Israel sendiri mengakui kekalahannya, Perdana Menteri Israel Ehud Olmert dan kabinetnya telah dipermalukan. Tidak hanya kekalahan Lebanon, pemerintahan pimpinan Olmert juga tercemar dengan berbagai skandal yang menyebabkan tekanan publik yang berakhir pada turunnya Olmert sebagai ketua partai Kadima. Penggantinya, Tzipi Livni sejauh ini gagal untuk menyatukan koalisi yang memimpin pemerintahan Israel dan terpaksa melaksanakan Pemilu yang dijadwalkan pada bulan Februari 2009. Livni juga tidak dalam posisi untuk memenangkan Pemilu dalam bersaing melawan Benjamin Netanyahu dari Partai Likud. Dalam janji politiknya, Netanyahu menyatakan akan menumbangkan pemerintahan Hamas.


Survei yang diambil pada detik-detik dimulainya penyerangan oleh Israel menunjukkan bahwa partai Kadima mulai lebih populer. Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan waktu penyerangan diatur sehingga popularitas Kadima bisa terangkat pada Pemilu yang sebentar lagi akan digelar. Kesibukan AS dalam persiapan prosesi peralihan pemerintahan dari Presiden Bush ke Presiden terpilih Obama, juga memberikan Israel kesempatan emas ketika AS sendiri masih disibukkan oleh penggantian kekuasaan.


Kesimpulan
Sekali lagi Israel menunjukkan bahwa ia tidak menghargai kehidupan muslim ketika ia membantai muslim di Gaza setelah ia memblokadenya dan membuatnya kelaparan berbulan-bulan agar ia bisa memenangkan Pemilu. Di lain pihak, peristiwa tragis ini juga membongkar kedok para penguasa muslim yang ternyata tidak memiliki tulang punggung keberanian dalam membela jiwa dan kehormatan umat. Mereka lupa kata-kata Rasulullah saaw ketika berdiri di samping Ka’bah,” Darah seorang muslim lebih berharga ketimbang Ka’bah dan sekelilingnya.”


Selama bertahun-tahun, Saudi Arabia adalah konsumen peralatan militer terbesar di dunia namun itu semua tidak terpakai padahal muslim dianiaya tidak jauh darinya. Perlu diingat bahwa pamor kekuatan militer Israel musnah di tahun 2006 ketika Hezbollah secara efektif mampu mempercundangi Israel. Dalam laporan komisi penyelidik Israel disebutkan banyak kegagalan dan penyebab kekalahan dimana terlihat bahwa militer Israel tidak mampu menghadapi serangan gerilya dan tidak diciptakan untuk melakukan serangan darat. Hal ini terlihat dalam konflik 2006, dimana sekelompok paramiliter muslim dengan iman kepada ALLAH mampu menahan kekuatan militer yang didukung suatu pemerintah. Serbuan darat yang dilakukan Israel setelah 30 tahun ternyata gagal total, terbongkarlah kelemahannya, dan hancurlah pamornya.


Pasukan dari penjuru manapun di Dunia Islam mampu menghentikan pembantaian Palestina. Pasukan dunia Arab harus bertindak, bersatu, dan memenuhi tanggungjawab mereka di hadapan ALLAH dalam melindungi nyawa muslim di Palestina.


Ini bukan saatnya lagi untuk pertemuan, rapat, dan gencatan senjata. Israel sekali lagi telah menumpahkan darah Muslim dan ALLAH telah menentukan Jihad sebagai solusi terhadap tindakan pengecut seperti sekarang. Hanya dengan pembentukan Khilafah, pasukan muslim akan bebas berderap kembali dan berjihad di Palestina, dimana Kalimatullah akan kembali menjadi tinggi.
Semua anggota pasukan muslim harus mencerna firman ALLAH azza wa jall:



لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا

Tidaklah sama antara mu’min yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (QS An Nisa : 95)


(Adnan Khan; Sabtu 27 Desember 2008 Sumber : www.khilafah.com)

Menlu Israel: Korban Besar di Palestina Wajar

Menlu Israel: Korban Besar di Palestina Wajar
Oleh Hanin Mazaya pada Sen 29 Des 2008, 01:16 PM

GAZA (Arrahmah.com) - Menlu Israel Tzipi Livni melontarkan pernyataan yang tak berperikemanusiaan. Ia mengatakan bahwa jatuhnya ratusan korban di kalangan warga sipil Palestina akibat serangan brutal Israel adalah hal yang wajar.


Minggu malam, Israel kembali menggempur Gaza dan menghancurkan sebuah universitas di kota Gaza. Di Iran, Ahmadinejad menyatakan Israel telah melakukan kejahatan perang.

Sampai hari ini, jumlah warga Gaza yang gugur syahid sudah mencapai 300 orang. Markas Besar PBB di New York juga melaporkan bahwa sembilan staffnya tewas akibat serangan biadab Israel ke Jalur Gaza.

Sementara itu, Israel menyatakan tidak akan mempedulikan tekanan dunia internasional dan masih akan melanjutkan pembantaiannya di Gaza dengan melancarkan serangan dari darat. Untuk itu, Israel sudah menyiagakan ribuan pasukannya termasuk ribuan pasukan cadangan dan tank-tank nya ke perbatasan Gaza.

Militer Israel mengklaim berhasil menghancurkan lebih dari 40 terowongan di perbatasan Gaza yang diyakini digunakan para pejuang Palestina untuk menyelundupkan senjata, bahan peledak bahkan manusia.

Di perbatasan Gaza-Mesir hari Minggu kemarin, terdengar suara baku tembak. Laporan-laporan menyebutkan bahwa warga Gaza berusaha menerobos perbatasan agar bisa mengungsi ke wilayah Mesir untuk menghindari serangan udara Israel.

Bantuan dari berbagai negara untuk warga Gaza mulai berdatangan. Sekitar 50 dokter asal Mesir dengan membawa obat-obatan sudah tiba di perbatasan Gaza, el-Arish. Dua pesawat dari negara Qatar juga sudah mendarat di tempat yang sama, dengan membawa 50 ton obat-obatan.

Raja Arab Saudi, Raja Abdullah sudah menginstruksikan tiga pesawat berisi obat-obatan diterbangkan ke Jalur Gaza. Begitu pula Iran, sudah mengirimkan bantuan makanan yang akan disalurkan oleh Bulan Sabit Merah Mesir ke Jalur Gaza.

Livni: Perang Adalah Perang

Pada saat yang sama, Menlu Israel Tzipi Livni mengatakan jumlah korban yang besar di kalangan warga sipil Palestina adalah hal yang wajar sebagai akibat dari sebuah perang. Dalam wawancara dengan jaringan televisi Sky News hari Minggu melam, Livni meminta warga sipil yang tinggal di dekat basis-basis Hamas untuk segera menyingkir.

"Perang adalah perang, korban bisa terjadi," kata Livni yang membantah bahwa pasukannya telah menghancurkan sekolah-sekolah, sebuah penjara dan sebuah masjid di Gaza.

Livni menambahkan, serangan Israel yang tiba-tiba memang untuk mengejutkan Hamas dan menuding Hamas sebagai pihak yang selalu melanggar gencatan senjata padahal adalah sebaliknya, Israel lah yang kerap memprovokasi Hamas. (Hanin Mazaya/eramuslim)

Israel Targetkan Mesjid-mesjid Gaza

Israel Targetkan Mesjid-mesjid Gaza
Oleh Hanin Mazaya pada Sel 30 Des 2008, 10:16 AM

Mesjid-mesjid yang berdiri di sepanjang jalur Gaza, menjadi target terakhir kebiadaban militer Israel yang telah melakukan serangan sejak Sabtu (27/12) lalu.


“Seolah-olah apa yang mereka lakukan tidak lah cukup, dengan membunuh saudara-saudara kami, anak-anak kami, kini Israel juga menghancurkan rumah-rumah Allah,” ujar Abu Khalid, penduduk Gaza seperti yang dilansir islamonline.

Dua orang syahid (Insya Allah) setelah angkatan udara Israel melancarkan serangan menghancurkan mesjid di dekat rumah Abu Khalid di Gaza Barat.

“Kami mendengar suara bom yang sangat besar dan kami lihat asap hitam pekat membumbung hingga ke langit,” lanjutnya.

“Kami pergi ke luar untuk mencari tahu apa yang terjadi, dan kami tercengang saat melihat mesjid di dekat rumah kami telah rata dengan tanah,” ungkapnya.

Angkatan Udara Israel menghancurkan sebuah mesjid di Jabaliya pada Senin (29/12) pagi.

Lima perempuan dalam satu keluarga termasuk seorang anak berusia 14 bulan yang baru belajar berjalan menjadi korban kebiadaban Israel saat melancarkan serangan ke mesjid di daerah Jabaliya.

Tiga mesjid di Selatan kota Khan Younis juga dibombardir Israel.

Aksi Kriminal

Penduduk Gaza dibangkitkan amarahnya oleh serangan Israel yang menargetkan mesjid-mesjid mereka.

“Berani benar mereka menjadikan rumah ibadah sebagai target serangan,” ujar Abu Rami, seorang penduduk yang rumahnya ikut hancur dalam serangan Israel yang menargetkan mesjid-mesjid.

“Sungguh, mereka akan mendapat balasan yang lebih kejam dari Allah.”

Abu Omar, salah satu imam mesjid tidak habis pikir dengan ulah Israel yang begitu brutal.

“Mengapa mereka berani menghancurkan mesjid? Apakah mesjid-mesjid menembakkan roket-roket kea rah mereka?” ungkapnya dengan penuh amarah.

“Mesjid adalah rumah Allah, tempat Muslim melaksanakan ibadah. Serangan yang dilakukan Israel benar-benar aksi criminal,” lanjutnya. (Hanin Mazaya/arrahmah.com)

Israel Bersumpah Akan Terus Menggempur Gaza

Israel Bersumpah Akan Terus Menggempur Gaza
Oleh Hanin Mazaya pada Sel 30 Des 2008, 07:39 AM

GAZA (Arrahmah.com) - Para pejabat tinggi Israel bersumpah akan terus menggempur Hamas, setelah serangan udara sekarang ini memasuki hari ketiga.

Israel akan berperang "sampai tuntas" melawan Hamas, kata menteri pertahanannya. Seorang pejabat senior militer mengatakan tidak akan ada bangunan Hamas yang akan tersisa.

Sekitar 320 warga Palestina tewas sejak hari Sabtu, kata PBB. Sebaliknya, baru dua warga Israel yang terbunuh akibat tembakan roket dari Gaza.

Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, meminta gencatan senjata segera.

Ban mengatakan dia "sangat prihatin" oleh kobaran tindak kekerasan di Gaza. Sementara dia mengakui hak Israel untuk membela diri dari serangan roket militan Palestina. dia mencela penggunaan kekuataan militer yang berlebihan oleh Israel.

Israel sekarang mengerahkan pasukan di perbatasan Gaza dan menyatakan daerah di sekelilingnya sebagai "zona militer tertutup".

Para wartawan mengatakan langkah ini, di samping pengerahan ribuan tentara cadangan, boleh jadi akan menjadi awal dari operasi darat. Tetapi, bisa juga berarti memperkuat tekanan terhadap Hamas.

Palang Marah menggambarkan situasi di berbagai rumah sakit Gaza dalam keadaan kacau, tim medis telah bekerja mati-matian.

Sementara itu, sejumlah kecil orang Palestina yang luka-luka sudah menyeberangi perbatasan Rafah masuk ke Mesir untuk perawatan, dan truk-truk yang bermuatan obat-obatan diizinkan masuk ke Gaza.

Para menteri luar negeri Uni Eropa akan bertemu di Paris hari Selasa untuk membicarakan krisis yang semakin marak itu.

Korban sipil

Puluhan pusat kekuatan Hamas, termasuk kompleks keamanan, kantor-kantor pemerintah, dan terowongan ke Mesir, hancur sejak Israel melancarkan pemboman besar-besaran mulai hari Sabtu.

Gedung-gedung yang digempur termasuk rumah komandan senior Hamas, mobil yang membawa silinder gas, sejumlah masjid dan rumah, kata berbagai laporan. Lima perempuan dari satu keluarga tewas dalam serangan di Jabaliya.

Kepala urusan kemanusiaan PBB, John Holmes, mengatakan informasu terbaru menunjukkan 320 orang terbunuh dan 1,400 luka-luka.

"Enam-puluh empat di antara yang terbunuh itu adalah warga sipil," katanya dalam konferensi pers.

"Mereka adalah perempuan dan anak-anak. Tidak termasuk korban sipil yang laki-laki, meskpun kami tahu banyak laki-laki warga sipil yang juga tewas."

Sumber-sumber rumah sakit Palestina mencatat korban tewas lebih banyak lagi, yaitu 340 terbunuh dan 1,650 luka-luka. (Hanin Mazaya/bbc/arrahmah.com)

Senjata Pasukan Abbas Digunakan Melindungi Israel dan Memerangi Perlawanan

Senjata Pasukan Abbas Digunakan Melindungi Israel dan Memerangi Perlawanan
Oleh Hanin Mazaya pada Sab 13 Sep 2008, 03:24 AM

GAZA (Arrahmah.com) - Ketua Komisi Keamanan di Parlemen Palestina, Ismail al Asyqar menyerukan dinas keamanan Palestina di Tepi Barat, yang berada di bawah otoritas Presiden Abbas, agar melindungi rakyat Palestina dari penjajah di sana dan menghentikan koordinasi keamanan dengan musuh.
Pernyataan Asyqar ini menyusul masuknya pasukan penjajah Israel ke kamp pengungsi al Ain di kotaNablus, Rabu (10/09), dan melakukan aksi pembunuhan terhadap seorang aktivis perlawanan serta menangkap dan melukai sejumlah orang lainnya. Asyqar menganggap ini adalah “tamparan noda hitam di jidat ribuan anggota dinas keamanan Palestina yang digaji rutaan dolar setiap bulannya.”

Asyqar mengatakan, “Apa yang terjadi di Tepi Barat berupa permusuhan dan koordinasi keamanan dengan penjajah membutuhkan renungan sungguh-sungguh dari semua pihak demi melindungi rakyat Palestina yang mengalami serangan aksi-aksi pembunuhan dan pengusiran setiap hari, di tengah-tengah terus berlanjutnya koordinasi keamanan antara dinas keamanan Abbas dengan pasukan penjajah Israel dan berlanjutnya pengejaran terhadap para pejuang perlawanan Palestina di sana.”

Ketua komisi keamanan di parlemen Palestina ini menganggap izin otoritas penjajah Israel sepekan lalu atas masuknya seribu senjata dan amunisi kepada dinas keamanan Palestina di Tepi Barat adalah “untuk memerangi perlawanan dan bukan untuk memerangi penjajah sekaligus bagian dari rencana jenderal Amerika Keith Dayton. Biaya jutaan dolar kepada dinas keamanan ini hanya untuk berkhidmat pada tujuan-tujuan Amerika dan Israel dan bukan untuk melindungi rakyat Palestina. Menurutnya, seharusnya senjata-senjata itu berada di tangan perlawanan dan bukan di tangan dinas keamanan sehingga bisa untuk membela warga.

Asyqar menambahkan, “Senjata perlawanan di Tepi Barat adalah senjata incaran dari dinas keamanan Presiden Abbas dan penjajah Israel sekaligus senjata terlarang. Sedangkan senjata dinas keamanan Presiden Abbas adalah digunakan untuk melindungi penjajah dan memerangi perlawanan.”

Dia menyerukan keapada perlawanan Palestina untuk tetap teguh dan semangat betapapun kadar serangan terhadap mereka dari dinas keamanan Presiden Abbas dan pasukan penjajah Israel. Dia meminta pejuang perlawanan lebih waspada dan siap siaga, kerena mereka menjadi incaran operasi pasukan penjajah. (Hanin Mazaya/infopalestina)

Hamas : Perlawanan Telah Hancurkan Paradigma Israel Raya

Hamas : Perlawanan Telah Hancurkan Paradigma Israel Raya
Oleh Hanin Mazaya pada Sel 16 Sep 2008, 05:18 AM

GAZA (Arrahmah.com) - Gerakan Perlawanan Hamas menegakan, pernyataan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert tentang berakhirnya ide Israel Raya merupakan pengakuan atas gugurnya dasar-dasar pendirian Israel Raya.
Hamas menambahkan, sang perampok Israel berada dalam situasi kemunduran dalam menghadapi berlanjutnya perlawanan dan sikap teguh rakyat Palestina dalam mempertahankan hak-haknya.

Juru Bicara Hamas, DR. Sami Abu Zuhri dalam pernyataan persnya yang dilansir Infopalestina kemarin (15/9) mengatakan, atas karunia Allah Israel mengalami kemunduran. Perlawanan Palestina telah berhasil menghancurkan mimpi mereka tentang Israel Raya. Disamping telah mendorong para pemimpin Zionis untuk melepaskan hak-hak Palestina setelah mereka merasa lemah, untuk melindungi Sederot dan Naghev.

Abu Zuhri menegaskan, pernyataan Olmert bahwa waktu tidak berpihak pada Israel adalah pengakuan pemimpin Israel yang menegaskan tentang kekuatan perlawanan. hal ini juga menunjukan bahwa berlanjutnya penjajahan tidak mampu mencengkramkan kekuasaanya. Dan wilayah Palestina belum dimakmurkan. Oleh karena itu, hengkangnya penjajahan hanya masalah waktu saja. Inilah yang diyakini gerakan Hamas.

Sebelumnya, Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert menyatakan, ide pendirina negara Israel yang sempurna dan terpadu telah lewat masanya. Barang siapa yang masih membicarakanya ia telah menipu dirinya sendiri.

Ia menambahkan, waktu tidak berpihak pada kita. Sementara diskusi masalah ganti rugi bagi mereka yang mau meninggalkan permukiman, saat ini waktu yang paling tepat.

Pernyataan Olmert ini diungkapkanya saat menutup diskusi pemerintah Zionis terkait rancangan undang-undang pengosongan dan penggantian wilayah permukiman yang akan ditinggalkan secara suka rela oleh pemiliknya dari permukiman Israel yang terletak di sebelah timur Tembok Rasial yang dulu dicanangkan wakil perdana menteri Israel, Hayem Ramon pada sidang kabinet Ahad (14/9) lalu.

Olmert mengakui perubahan sikapnya. Ia mengatakan, saya akui tidak akan tetap dalam pendirian ini. saya juga meyakini telah saya katakan pada Ehud Barak bahwa pelepasan hak mereka dalam perjanjian Kamp David telah melebihi batas. Sebelumnya aku juga meyakini bahwa semua wilayah yang terletak antara sungai Yordan dan Laut Tengah adalah milik Israel. Karena tiap tempat di sana terdapat sejarah keyahudian. (Hanin Mazaya/infopalestine)

Negara-Negara Arab Pengecut!

Oleh Fadly pada Sel 30 Des 2008, 08:27 AM

YAMAN - Serangan beruntun yang dilancarkan Israel kepada Palestina dalam tiga hari terakhir berdampak pada aksi demonstrasi di negara-negara Arab. Mereka meprotes para pemimpin negara Arab yang hanya diam saja.

Orang-orang Arab menggelar aksi unjuk rasa dengan cara turun ke jalan dan menunjukkan kemarahan kepada negara sendiri karena tidak melakukan tindakan.

Di Yaman, para demonstran yang turun ke jalan sempat terjadi kericuhan setelah para demonstran membakar bendera Israel di ibukota Yaman, Sanaa.

Para demonstran juga terlihat menangis melihat negara-negara di Liga Arab yang menunda sejumlah pembahasan terkait krisis Israel Palestina.

"Negara di Liga Arab sangat tidak berharga. Mereka adalah pemimpin yang lemah dan seharusnya mereka hanya pulang ke rumah." kritik para demonstran di Doha, Qatar.

Di Sudan, pemandangan juga terlihat sama. Seorang wanita yang menggunakan lambang Hamas di kepala mengatakan kepada Al Manar TV, "Ke mana para pemimpin negara Arab? Mana aksi dari mereka? Cukup perkataan mengutuk. Tunjukkan dukungan kepada Gaza."

Sementara para pelajar di Qatar melakukan boikot untuk tidak masuk ke kelas dan menggelar aksi unjuk rasa untuk dukungan terhadap Gaza.

Di Jordan, seorang anggota parlemen terlihat berbicara melalui mikrofon dan membakar bendera Israel sebelum berjalan ke tengah ruangan. Aksi ini juga mendapat aplaus dari rekan sesama anggota parlemen.

Mesir adalah negara yang paling banyak mendapat kritik dalam krisis ini. Para demonstran menilai, Mesir telah berdosa karena "telah menjual Palestina" dengan membina hubungan yang dekat dengan Israel dan Amerika Serikat. [okz]

Irak Resmi Menjadi Bagian Israel Raya

Irak Resmi Menjadi Bagian Israel Raya

Tuesday, August 09 2005 @ 01:38 PM WIT
Kontributor: HPI
Ditampilkan 208
Ali Reza al-Athas

Imam Ali Khamene'i juga menyatakan, demonstrasi-demonstrasi di belahan dunia, termasuk Indonesia sebagai bukti anti Amerika yang berangkat dari hati nurani mereka. Mungkin pada perang Vietnam, Amerika dapat menuduh bahwa yang mengorganisasi demonstrasi-demonstrasi anti Amerika adalah Uni Sovyet. Berbeda untuk saat ini, Amerika tidak dapat menuduh siapa pun dibalik besarnya reaksi dunia terhadap invasi Amerika di Irak.

Pada awalnya hampir setiap orang berfikir, tidak mungkin Amerika bersikap membabi buta dengan kelakuannya untuk menginvasi Irak. Seakan tidak ada alternatif lain untuk membungkam negara seribu satu malam dibawah diktator Saddam, yang dikenal dengan pembangkang ini. Akan tetapi inilah yang telah terjadi. Amerika memang benar-benar konyol dan tidak memperdulikan opini dunia. Padahal, alasan yang diangkat untuk menginvasi Irak adalah demokrasi. Anehnya, pada waktu yang sama Amerika tidak memperdulikan demokrasi, dengan sikap tidak mau tahu dengan opini dunia, yang dikukuhkan dengan suara mayoritas badan dunia PBB,yang tidak merestui penggunaan kekuatan militer. Akhirnya, berlangsunglah sandiwara baru skenario Amerika dengan mengusung demokrasi, dihancurkanlah demokrasi itu sendiri. Semakin jelaslah keinginan Amerika di muka bumi ini. Pemimpin Spritual dan Politik Islam Imam Ali Khamane'i dalam khutbah jum'at pekan ini secara tegas menyatakan, invasi Amerika di Irak telah mengkaburkan makna demokrasi barat. Demokrasi barat yang dianggap norma masyarakat dunia telah kehilangan peranannya.

Amerika dan sekutunya meyakini, kawasan Timur Tengah tidak mungkin dibiarkan begitu saja, karena kunci kekuasaan dunia ada di kawasan tersebut. Orang-orang Arab dan Persia harus tertindas. Para pedagang Yahudi yang nota bene adalah Zionis, untuk mendapatkan keuntungan perdagangan di kawasan minyak tersebut, tidak akan mungkin membiarkan kawasan Timur Tengah dalam kondisi aman dan stabil. Krisis dikawasan tersebut haruslah terus diciptakan. Kepentingan invasi Amerika di Irak, tidak lain hanyalah minyak, tidak lebih.

Mengutip pernyataan Ayatullah Rafsanjani dalam pertemuannya dengan para birokrat Departemen Kesehatan Iran yang dimuat dalam harian Ofarinesh pada tanggal 9 April 2003 menyatakan: "Masyarakat dunia menyadari bahwa tujuan Amerika menginvasi Irak hanya ingin mendapatkan minyak, menguasai sumber daya alam kawasan ini dan menjaga kepentingan-kepentingan Israel. Atas alasan inilah Gedung Putih dengan tema kebebasan dan demokrasi melanjutkan tindakan kriminalnya."

Rafsanjani dalam kesempatan yang sama menanggapi sikap tidak manusiawi Amerika, dengan mengatakan, tragedi mengerikan itu sangatlah serius, akan tetapi Amerika menutupi tragedi tersebut dengan mengatakan ini adalah sebuah solusi yang terbaik. Ternyata Amerika meleset, karena para wartawan telah mengetahuinya, sehingga dapat mempersempit dan memojokkan perilakunya. Selanjutnya mantan Presiden dua periode di Iran tersebut menambahkan bahwaasanya situasi di Irak tidak dapat dibandingkan dengan Afghanistan. Dalam menanggapi semakin bertambahnya problema dan tidak amannya Afghanistan setelah invasi Amerika di negara itu, berkata:"Sejarah tidak akan memaafkan Amerika".

Anehnya, sekarang Amerika berharap seorang pensiun Jenderal Amerika akan menggantikan penguasa negara itu. Rafjanjani yang sekarang masih menjabat sebagai Ketua Badan Kemaslahatan Negara, dalam kesempatan itu juga mengomentari bahwasanya seorang pun tidak akan menerima seorang Jenderal Amerika memerintah masyarakat yang selama 30 tahun dibawah kekuasaan partai ba'st (partai sosialis miliknya Sadam). Pada kesempatan yang berbeda Sayyid Ali Khamene'i dalam khutbah jum'atnya juga menegaskan, tujuan Amerika yang didengungkan kepada masyarakat dunia adalah menyingkirkan penguasa diktator Sadam, akan tetapi setelah menduduki, masih ingin membentuk pemerintahan di kawasan tersebut, yang mestinya mereka harus berkomitmen dengan tujuan awalnya yang hanya ingin menyingkirkan Sadam, dan tujuan tersebut sudah diselesaikan, sewajarnyalah Amerika cepat hengkang kembali ke negaranya.

Harian Ofarinesh di hari yang sama juga menukil komentar menteri luar negri Iran, Kharozi, dalam menjawab pertanyaan seorang wartawan tentang analisa politik Amerika setelah lengsernya pemerintahan Saddam, Kharozi tidak memungkiri bahwasanya Amerika mempunyai strategi khusus dalam invasi kali ini.

Sehari kemudian, ternyata Imam Khamene'i dalam khutbah jumatnya pada tanggal 10 april menegaskan bahwa dibalik invasi ini adalah dukungan yang kuat terhadap Israel. Srategi ini termasuk sederet rencana untuk memperluas kawasan Israel Raya.

Anehnya, Inggris yang dalam beberapa tahun ini dapat mengkaburkan kesan kediktatoran, juga ikut bergabung dengan Amerika. Ini adalah kesalahan besar Tony Blair yang mengembalikan image buruk Inggris. Begitulah pernyataan Imam Ali Khamene'i dalam menanggapi sikap kriminalnya Inggris.

Imam Ali Khamene'i juga menyatakan, demonstrasi-demonstrasi di belahan dunia, termasuk Indonesia sebagai bukti anti Amerika yang berangkat dari hati nurani mereka. Mungkin pada perang Vietnam, Amerika dapat menuduh bahwa yang mengorganisasi demonstrasi-demonstrasi anti Amerika adalah Uni Sovyet. Berbeda untuk saat ini, Amerika tidak dapat menuduh siapa pun dibalik besarnya reaksi dunia terhadap invasi Amerika di Irak.

Selama ini, Amerika sangat khawatir dengan posisi Iran, sebagai pemerintahan Islam yang semakin kuat dan mendapat kepercayaan negara-negara dunia. Apakah Amerika berani menginvasi Iran? Kita lihat saja nanti.

Cara berfikir saya yang sederhana, sebagai bagian dari masyarakat awam, hanya dapat menilai, disaat Amerika memusuhi negara tersebut, berarti kebenaran ada di negara tersebut. Dan sebaliknya, pujian Amerika terhadap sekutunya dan bagian masyarakat yang mendukungnya, tidak akan membawa keuntungan untuk negara tersebut. Terlebih untuk negara Islam, seperti Iran, Malaysia dan Indonesia.

(Alireza Alatas, Qom Iran)[]

Israel Raya : Agenda Tersembunyi di Balik Kekejaman Israel

Syarifudin Ahmad *

Dunia Arab kembali disibukkan dengan ketegangan baru yang dipicu agresi militer darat, laut, dan udara Israel terhadap Lebanon sejak 12 Juli 2006. Alasan Israel melancarkan serangan tersebut untuk membebaskan dua prajuritnya yang diculik Hizbullah. Dalam perkembangan berikutnya, alasan tersebut ternyata kamuflase alias palsu.

Menteri Pertahanan Israel, Amir Perets, secara terbuka mengatakan Israel ingin mengusir Hizbullah dari Lebanon. Bahkan pada 23 Juli 2006 lalu, Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, mengisyaratkan bahwa krisis di Lebanon akan memakan waktu yang lama, hingga infrastruktur Hizbullah di Lebanon dapat dihancurkan. Israel juga secara tegas menolak usul utusan PBB untuk gencatan senjata dalam waktu segera. Mereka beralasan, penghancuran infrastruktur kelompok 'teroris' tidak mengenal upaya diplomasi. Akibat dari agresi itu ratusan warga Lebanon meninggal, ratusan ribu penduduk lainnya terusir dari kampung halaman.

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa Israel sedemikian beringas melancarkan perang pembersihan tanpa membedakan antara target sipil dan militer? Bahkan infrastruktur Lebanon dari mulai jalan raya, jembatan, bandara, stasiun listrik, pemancar televisi, saluran air, juga mengapa ikut dihancurkan? Seandainya tujuan dari agresi tersebut hanya untuk membebaskan dua prajuritnya, tentu bernegosiasi secara langung jauh akan lebih efektif .

Balas dendam

Israel ibarat seorang yang sedang kehausan menemui sebuah mata air. Penculikan dua tentara Israel dimanfaatkan untuk melampiaskan dendam masa lalu dengan memberangus Lebanon. Seorang pengamat masalah Timteng asal Inggris, Patrick Seal, dalam artikelnya di Surat Kabar Harian Al Hayat terbitan 24 Juli 2006 mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan Israel sedemikian beringas menghadapi Hizbullah. Di antara alasan itu adalah historis konflik Hizbullah-Israel. Kedua kekuatan ini pernah berseteru sebelumnya selama 15 tahun yang berakhir dengan penarikan mundur Israel dari Lebanon selatan tahun 2000. Sehingga bisa dipahami serangan Israel merupakan aksi balas dendam atas kekalahan Israel di masa lalu.

Selain faktor historis konflik kedua pihak, kebiadaban Israel juga dipengaruhi oleh lemahnya reaksi dunia internasional dalam mengecam dan mengupayakan penghentian agresi tersebut secara cepat. Bahkan terkesan masyarakat internasional secara implisit menginginkan Israel sebagai alat implementasi Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) 1559. Resolusi itu isinya antara lain menyangkut perlucutan senjata milisi-milisi sipil di Lebanon, termasuk Hizbullah.

Pemberitaan koran New York Times beberapa waktu lalu makin memperkeruh keadaan. Harian itu memberitakan, Amerika Serikat (AS) mempercepat pengapalan senjata bom berpresisi tinggi ke Israel di saat negara ini melakukan serangan membabi buta ke Lebanon. Apapun alasannya, pengiriman itu jelas menunjukan sikap dukungan buta AS terhadap agresi militer yang mendorong negara zioinis semakin gencar membombardir Lebanon. Kebijakan tersebut juga tidak mendukung bagi upaya penghentian perang.

Sementara kekuatan-kekuatan internasional termasuk PBB dan Uni Eropa tidak mengambil sikap tegas terhadap agresi ini. Hasil pernyataan para pemimpin yang menghadiri pertemuan G-8 di Petersburgh, Rusia, juga cenderung menyalahkan kelompok Hizbullah. Para pejuang Hizbullah dianggap sebagai pemicu terjadinya kekejian Israel di Lebanon.

Bisa dikatakan, terdapat kesepakatan di antara masyarakat internasional mengenai perlunya perlucutan dan netralisasi kelompok Hizbullah di Lebanon. Bahkan Hizbullah dianggap sebagai kelompok yang menjadi penghambat bagi proses demokratisasi di Lebanon. Situasi internasional demikian dimanfaatkan oleh Israel untuk terus menghancurkan Lebanon dengan dalih menumpas Hizbullah.

Mengubah peta

Terkait dengan misi agresi militer tersebut, beberapa pengamat Timur Tengah mengatakan misi agresi yang dilakukan Israel sebenarnya ingin menimbulkan perpecahan internal politik dan perubahan perimbangan kekuatan politik di Lebanon. Diharapkan, dari hancurnya infrastruktur Lebanon yang parah, mayoritas rakyat dan kekuatan-kekuatan politik di Lebanon mengecam eksistensi Hezbullah di Lebanon. Rakyat didorong untuk menuduh Hizbullah sebagai biang kerok kehancuran yang telah mengembalikan Lebanon ke masa 50 tahun yang lalu. Atau paling tidak, agresi ini bisa menjadikan Hizbullah bukan lagi sebagai 'pemain' yang berpengaruh dalam politik dalam negeri di Lebanon.

Dari kalangan umat Islam di beberapa negara Arab termasuk Ikhwanul Muslimin menanggapi agresi Israel sebagai bagian dari upaya bangsa Yahudi untuk mewujudkan eksistensi negeri Israel raya. Aksi ini juga implementasi dari agenda AS untuk mewujudkan The Greater Middle East yang dilontarkan AS sebelum menginvansi Irak.

Oleh karena itu, menurut Ikhwanul Muslimin, tidak ada jalan lain kecuali menghadapi Israel melalui perlawanan bersenjata. Pengamatan Ikhwanul Muslimin ini mungkin ada benarnya menyusul pernyataan Menlu AS, Condoleezza Rice dalam jumpa persnya sebelum meninggalkan Gedung Putih pada 23 Juli 2006. Dia menyebutkan bahwa lawatan kunjungannya ke Israel bukan untuk mendorong gencatan senjata melainkan ingin melihat terwujudnya Timur Tengah baru.

Tidak menutup kemungkinan, agresi Israel tersebut sebenarnya hanya perpanjangan tangan AS untuk mengubah situasi perimbangan kekuatan di negara-negara Timur Tengah agar lebih mendukung kepentingan-kepentingan AS dan Israel di kawasan. Keberhasilan Israel menumpas Hizbullah akan semakin mendorong AS dan Israel untuk menekan negara-negara kawasan yang dikategorikan melawan agar lebih pro dengan agenda dan kepentingan AS kawasan tersebut.

Siapapun yang keluar menjadi pemenang, agresi militer Israel terhadap Lebanon akan berdampak buruk bagi stabilitas keamanan di Timur Tengah secara keseluruhan. Jika Hizbullah berhasil memukul mundur Israel dari Lebanon selatan, hal ini berdampak akan melemahkan kubu pendukung penyelesaian damai konflik Arab-Israel.

Kelompok penyeru perdamaian sebagai satu-satunya alternatif menyelesaikan konflik Arab-Israel akan semakin terpojok dan menurunkan tingkat kepercayaan kalangan grass root mengenai efektivitas melakukan perundingan dengan Israel. Sebaliknya, ideologi Hizbullah yang mengatakan hanya dengan kekuatan senjata, konflik Arab-Israel dapat diselesaikan semakin mendapatkan pembuktian kebenarannya. Ini berarti kawasan Timur Tengah akan menghadapi perang-perang susulan.

Di sisi lain, jika Israel berhasil menginvansi Lebanon dengan meluluhlantakkan seluruh infrastruktur negeri ini, maka skenario Irak akan terulang kembali di Lebanon. Kalau skenario ini berjalan, berarti juga akan menyulut kembali maraknya aksi-aksi kekerasan dari kelompok pejuang kemerdekaan seperti di Afghanistan, Irak, dan Somalia. Lebih jauh lagi, invasi ini juga akan memperluas gerakan-gerakan sentimen anti-AS dan Israel di berbagai belahan dunia. (RioL)

Mahasiswa Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik Institut Liga Arab, Kairo

The Great Middle Esat alias Great Israel



Perhatikan Perluasan Koloni negara Israel pada Peta dibawah




Cek Link dibawah :
http://www.alfredlilienthal.com/greaterisrael.htm
http://www.alfredlilienthal.com/greaterisrael_links.htm
http://www.theunjustmedia.com/the%20zionist_plan_for_the_middle_east.htm

Wanita-Wanita Permata dan Genosida Gazza

Oleh : Taryudi, Mahasiswa Pasca Sarjana Al-Azhar Cairo


Logika apa yang dipakai oleh agresor Israel yang sampai hati membantai ratusan penduduk Palestina di Gazza? Alibi kerdil apa yang sampai bisa memasung kepedulian bangsa Arab untuk sekadar menonton pembantaian massal di Palestina? Sudah terlalu menggunungkah dosa-dosa kita yang kemudian mengatup nurani untuk melek menyaksikan kejahatan perang tak termaafkan dalam sejarah itu?

Sabtu (27/12) kemarin, genosida biadab tak berkesudahan itu kembali menumpahkan darah-darah manusia terhormat di bumi Gazza. Tidak kepalang tanggung, 150 orang syahid dan 200 lainnya menderita cidera serius dibabat ribuan amunisi buas Israel; ditebas oleh terjangan roket-roket maut F16 yang mengamuk di atas angkasa Palestina. Dan, korban sebanyak itu baru prolog. Allahu akbar!

Manusia-manusia Islam yang sudah kehilangan kepedulian saudara-saudaranya di belahan bumi yang lain itu, hanya kuasa menjerit pilu. Cuma bisa mengerang tak bisa berbuat apa apa, tatkala suami-suami mereka jatuh tersungkur bermandi darah; ketika bocah-bocah yang lucu dan menggemaskan itu berteriak kesana-kemari dalam derai kepanikan; manakala puluhan apartemen usang yang menjadi tempat berteduh keluarga-keluarga malang itu seketika roboh dihantam peluru raksasa Israel. Yang tersisa adalah gelimpangan mayat, jasad bocah-bocah suci yang tersenyum tenang, dan puing-puing bangunan yang menyatu ke bumi.

Israel kembali menggunakan "logika kematian". Strategi bertaruh nyawa yang tentu saja membuat bulu kuduk pemimpin-pemimpin Arab merinding. Karena kumpulan orang-orang yang mengaku diri mulia dan terhormat itu tidak pernah mengerti bahwa hanya dengan pertaruhan darah demi membela kemerdekaan sejati, manusia baru bisa mulia lalu mendapatkan kehormatan abadi. Bukan dengan bersembunyi di balik ketiak kepengecutan, atau menggelar ratusan pertemuan di meja-meja konferensi OKI, Liga Arab, yang selalu saja berakhir dengan rekomendasi bualan. Tanpa bukti. Pantas mereka menjadi kurcaci dihadapkan dengan logika kematian Israel?

Bagi rakyat Palestina sendiri dari dulu hingga sekarang, mereka sudah memahami bahwa letak krisis Palestina bukan karena Israel yang tak henti-hentinya melakukan pembunuhan dan perampasan. Masalah kematian bagi mereka tak menjadi soal, sebab mereka faham bahwa kesucian dan kemuliaan diri itu selalu harus ditebus dengan darah dan air mata.

Sumber genosida di Gazza adalah sikap pengecut pemimpin-pemimpin Arab dan umat Islam yang telah kehilangan semangat altruistik. Lelap berselimut egoistis hingga tak lagi peka akan nilai-nilai humanisme, yang tak lagi menyemat spirit kohesif yang menjadi pilar kekuatan Islam dan bangsa Arab. Dan, oleh karenanya kita dilindas Israel (Barat) yang sukses mengaplikasi semangat altruistik dan spirit kohesif! Maka wajar kita kalah.

Kontribusi Wanita Permata

Kenapa Palestina yang tinggal sekerat itu masih tetap bertahan menggelorakan semangat perlawanan tanpa batas dan tidak lekang dari bumi? Sebab di atas tanah milik umat Islam itu ada wanita-wanita luar biasa.

Bak permata. Meskipun tak menyimpan permata dan perhiasan mewah. Kemilaunya memancar dari kepribadian. Wanita yang mungkin tersembunyi, terbenam bersama perjuangan membina generasi pejuang. Mereka tidak populer, tapi selalu membisikkan spirit kepahlawanan ke telinga-telinga putera-puteri tercinta. "Nak, kehidupan abadi itu di surga. Kemuliaan itu senantiasa harus ditebus dengan tetes darah dan derai air mata"!

Begitulah Ummu Nidhol, wanita permata Palestina yang kerap membisikkan spirit perjuangan kepada ketiga puteranya. Ia deskripsikan surga di pangkal mata. Ia tak pernah pacu sang anak untuk merengkuh kehidupan hedonis yang acapkali membinasakan mental ukhrawi. Ia tak cita-citakan puteranya untuk mengemis harta bertuhankan nafsu. Ia hanya inginkan buah hatinya masuk surga, dengan berkorbankan darah.

Usai putera ketiganya yang baru berusia 16 tahun syahid dalam drama ledakan dahsyat di jantung kekuatan Israel, Ummu Nidhol menangis. Ketika ditanya perihal penyebab ia menangis. Wanita permata itu berkata: "Saya tidak punya lagi anak yang bisa saya persembahkan untuk kemuliaan Palestina!"

Lalu Ibunda Muh. Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel tahun 1453 M. Dalam usia 23 tahun, Al-Fatih berhasil memaksa hengkang Raja Constantine XI Paleologus dari tahtanya. Penaklukan paling fantastis dalam sejarah.

Ibunyalah yang kala masih mengandung Al-Fatih acap berdiri menghadap ke arah kota Konstantinopel. Ia berharap besar bahwa kelak puteranya yang akan menaklukkan negeri itu. Mengamini sabda baginda Rasulullah Saw. "“Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan umat Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (H.R. Ahmad). Obsesi mulia wanita permata.

Menegaskan Substansi Krisis

Sekali lagi, memang benar genosida di Gazza saat ini merupakan potret keangkaramurkaan. Sangat pantas kita kecam kebiadaban Israel bahkan menjadi suatu keharusan. Tidak kita biarkan penduduk Gazza menahan derita seorang diri. Segera tabuh genderang reaksi massal untuk hentikan pembantaian itu. Sebelum terlambat. Sebelum Palestina, seperti kata DR. Raghib Sirjani, akan menjadi Andalusia kedua. Hilang dari peta dunia.

Tapi, seyogyanya jangan biarkan pemimpin-pemimpin Arab yang duduk santai di singgahsana apatis itu lepas dari kecaman. Sebab mereka yang paling bertanggungjawab atas tragedi kemanusiaan yang melanda bumi Palestina. Paksa mereka untuk mengulurkan bantuan dan membungkam kekejaman Israel, walaupun mungkin hal itu hampir mustahil mereka lakukan.

Mengapa? Barangkali karena sosok wanita-wanita permata itu hanya ada di Palestina, hanya pernah ada di masa penaklukan Konstantinopel. Yang ada hanya seorang ibu yang cita-citanya hendak mengikuti riak-riak kecil arus modernisme. Meletakkan standar kesuksesan anak-anak pada wujud materi dan segudang sertifikasi. Seorang isteri yang memaksa suami berpeluh darah untuk menangkap kebahagiaan semu pada jabatan, pangkat, dan prestise. Pada ruang-ruang busana temporal yang sering menguap dilahap waktu. Mengapa ibu dan isteri itu tak membisikkan senandung merdu tentang surga ke telinga-telinga anak dan suami? Kenapa tak pintal sutera cinta dalam tiap keinginan bahwa ibu dan isteri itu ingin bersama merengguk kebahagiaan abadi?

Genosida Gazza adalah konsekuensi dari punahnya sistem pendidikan ukhrawi yang hanya bisa diajarkan oleh wanita-wanita permata. Cukup kita sesalkan karena pemimpin-pemimpin Arab itu dilahirkan, dibesarkan, dididik, dan didampingi oleh reinkarnasi wanita lain.

Harapan itu masih ada. Di Palestina masih banyak wanita permata yang menjamin eksistensi para pahlawan pembela negeri. Kalau Dunia Arab telah mandul melahirkan wanita permata, maka Dunia Islam yang membentang dari pangkal Indonesia sampai ke pucuk Samudera Atlantik di pesisir Afrika Barat, pasti telah bersiap-sedia menjadi wanita-wanita permata. Untuk melahirkan pemimpin satria sekelas Al-Fatih. Bukan seperti pemimpin Arab yang kini hanya bisa menonton Genosida di Gazza. []