Saturday, February 23, 2008

MENKES LUNCURKAN BUKU SAATNYA DUNIA BERUBAH



Praktek virus sharing yang sudah berlaku lebih dari 50 tahun, ternyata banyak merugikan negara miskin dan negara berkembang asal virus. Sementara perusahan vaksin yang dimiliki negara maju dengan mudahnya mengambil virus tanpa seijin pemilik dan mengembangkannya menjadi vaksin dan produk diagnostik lainnya kemudian menjualnya ke negara miskin dan berkembang dengan harga yang sangat mahal.

Hal ini terkuak ketika di Indonesia ditemukan kasus pertama virus Flu Burung(Avian Influenza =AI) pada manusia pertengahan tahun 2005, dimana untuk penentuan diagnosis Indonesia diwajibkan mengirim sampel virus ke WHO Collaborating Center di Hongkong. Hal ini berlangsung hingga Agustus 2006. Tetapi tanpa sepengetahuan Indonesia, sampel virus tersebut diberikan ke perusahaan pembuat vaksin di negara maju.

Maka sejak itu, Menkes memutuskan untuk memeriksa spesimen Flu Burung cukup dilakukan 2 laboratorium di dalam negeri yakni Laboratorium Badan Litbangkes dan Laboratorium Eijkman. Hal ini sejalan dengan kemampuan yang dimiliki laboratorium Indonesia untuk memeriksa virus H5N1, yang terbukti selama kurang lebih 1 tahun hasilnya selalu sama dengan laboratorium AI di Hongkong. Tetapi Indonesia tetap membuka akses bagi para peneliti dunia dengan menempatkan data AI pada Gen Bank (public domain). “Demi kepentingan umat manusia, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa data genom pada virus Flu Burung bisa diakses semua orang,” tegas Menkes saat itu (10/8/06).

Majalah The Economist menulis, “Siti Fadilah Supari memulai suatu revolusi yang mungkin menyelamatkan dunia dari dampak buruk penyakit pandemi. Hal ini terucap karena Menteri Kesehatan Indonesia telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus Flu Burung: transpatansi.”


Berbekal dari pengalaman itulah, Menkes Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) tergerak hatinya untuk mengubah sistem virus sharing yang sangat merugikan negara berkembang tersebut dengan sitem yang lebih transparan, adil, dan setara. Ide tersebut kemudian terus diperjuangkan menjadi usulan Indonesia pada Sidang Majelis Kesehatan Dunia (WHA) di Jenewa Swiss. Pada akhir sidang, usulan Indonesia disepakati dan disahkan menjadi Resolusi WHA yang harus dipatuhi semua negara anggota.

Perjuangan Menkes dalam mewujudkan ide tersebut dituangkan dalam sebuah buku berjudul Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung. Buku ini dipenuhi rincian menarik tentang bagaimana Siti Fadilah Supari mulai tertarik ke dalam lingkaran pergulatan pertukaran virus sehingga kemudian maju menghadapi berbagai intrik dan tantangan yang berkaitan dengan pertukaran virus H5N1. Pergerakan ini kemudian ternyata menguak ketidakadilan mekanisme pertukaran virus yang telah berjalan selama 50 tahun, di mana negara-negara yang menyumbangkan virusnya tidak dapat meminta hasil penelitian dan tidak dapat mengetahui apa yang terjadi dengan virus yang dikirimkannya. Di dalam buku ini, pembaca dapat mengerti alasan di balik keputusan-keputusan, ide-ide serta alternatif yang dikemukakan Menteri Kesehatan ini demi memperjuangkan hak memperoleh perlindungan dari ancaman virus bagi rakyat Indonesia.

Melalui buku setebal 182 halaman inilah, Menkes mengharapkan dukungan rakyat untuk bersama-sama menyuarakan kepentingan masyarakat Indonesia ke seluruh warga dunia karena perjuangan belum selesai. Siti Fadilah Supari akan terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus (virus sharing) yang adil, transparan, dan setara. Dalam kata pembukanya, Menkes menyampaikan maksud bahwa kiranya buku ini menjadi referensi bagi peneliti, praktisi, dan siapapun yang berusaha memperjuangkan, menegakkan martabat dan kedaulatan negara-negara berkembang agar setara dengan negara-negara maju.

Peluncuran buku karangan Menkes wanita pertama di Indonesia ini digelar di Hotel Borobudur Jakarta, Rabu malam (6/1/2008). Acara ini dihadiri berbagai kalangan, diantaranya para menteri Kabinet Indonesia Bersatu, para anggota lembaga tinggi negara (DPR, DPD), para duta besar negara sahabat, para direktur rumah sakit, para direktur BUMN, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah, anggota Organisasi Profesi, para petinggi akademis dari perguruan tinggi, serta para pejabat di dalam Departemen Kesehatan sendiri.

http://www.ppk-depkes.org/index.php?option=com_content&task=view&id=516&Itemid=102

Flu Burung dan Kedaulatan Bangsa

Judul : Saatnya Dunia Berubah
Penulis : DR. Dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP (K)
Penerbit : Departemen Kesehatan
Cetakan : Pertama, 2007
Halaman : 182 halaman

Di luar dugaan, virus flu burung yang mematikan justru kini menjadi pamungkas bagi Indonesia untuk menghentikan penghisapan negara-negara maju pada negara miskin dan berkembang. Di tangan Menteri Kesehatan RI Siti Fadilah, virus ini menjadi pedang tajam yang memutuskan konspirasi global yang telah 60 tahun melakukan eksploitasi lewat WHO.
Dengan piawai, Siti Fadilah berhasil memblejeti dan mendesak Amerika Serikat agar mau ikut mengubah sistem di dalam World Health Organization (WHO). Berbagai kekecewaan pada WHO dan negara-negara maju memaksa Menkes Fadilah bersikap tegas dan memilih tidak menjadi anak manis yang mudah diiming-iming dengan berbagai bantuan asing seperti beberapa pendahulu-pendahulunya, apalagi setelah ketahuan Australia telah membuat vaksin flu burung strain Indonesia dengan modal mencuri sampel virus H5 N1 di WHO.
Sebanyak 58 sampel virus strain Indonesia telah dikirimkan ke WHO dan ternyata saat ini telah beredar di berbagai industri vaksin. Beberapa perusahaan justru telah mempatenkan tanpa ijin Indonesia. Sebuah laboratorium senjata biologis di Los Alamos bahkan telah menyimpan seed virus flu burung asal Indonesia.
Maka Menkes menghentikan pengiriman virus ke Collaborating Center WHO, tanpa Material Transfer Agreement (MTA). Siti Fadilah menuntut agar WHO menjadi lebih adil, transparan, dan setara. Lebih jauh lagi, ia menuntut penghapusan L'Exploitation de l'home par l'home (penindasan manusia atas manusia yang lain).
Berbagai upaya tipu daya, bujukan, dan ancaman telah dilancarkan pada Siti Fadilah, namun semua bisa dilewati dengan bergeming. Lobby dan tekanan Amerika dalam pertemuan WHO sampai percobaan pembunuhan di Iran justru membangkitkan dukungan dunia pada Indonesia yang sedang melancarkan boikot pengiriman virus.
Secara bilateral, Indonesia merintis pembuatan vaksin flu burung strain Indonesia dengan Baxter. Saat ini, vaksin sedang dalam tahap uji coba. Hal yang sama juga sedang dirintis bersama Iran. Departemen Kesehatan juga telah menugaskan Indofarma untuk membuat tamiflu. Bersama Temasek dari Singapura, Departemen Kesehatan membuat Early Detection Kit (alat deteksi dini) flu burung.

Saatnya Berubah
Lika-liku perjuangan Indonesia menghadapi tekanan internasional dalam kasus flu burung secara gamblang dan detail digambarkan dalam buku yang ditulis sendiri oleh Siti Fadilah. Buku yang berjudul Saatnya Dunia Berubah! ditulis di tengah perjuangan seorang dokter jantung yang bergulat dengan berbagai persoalan kesehatan di tanah air.
Secara terus terang, Sit Fadilah menggambarkan bagaimana sebuah sistem manipulatif dan ilegal yang bernama GISN (Global Influenza Surveilance Network) yang berada dalam yuridiksi Amerika Serikat selama puluhan tahun berada dalam WHO, dan atas nama WHO merampas semua virus influenza, kemudian menjualnya pada industri vaksin atau diambil untuk kepentingan pengembangan Biological Weapon.
Intelektual muslim, Ahmad Syafii Maarif, mengatakan bahwa seorang anak manusia Indonesia yang menjadi Menteri Kesehatan melakukan perlawanan sengit terhadap ketidakadilan WHO dan pihak yang terkait dalam penanganan flu burung tidak saja untuk kepentingan Indonesia, tetapi juga kemanusiaan secara keseluruhan.
“Buku ini telah membeberkan secara berani tetapi jujur bagaimana proses perlawanan itu berlangsung, sehingga Indonesia pada akhirnya menang,” demikian komentar mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dalam peluncuran buku ini, Rabu (6/2), di Jakarta.
Senada dengan itu, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, KH Salahudin Wahid menegaskan bahwa kejujuran dan intelektual telah mematahkan keberlangsung penindasan asing atas Indonesia dan umat manusia dibidang kesehatan. “Perjuangan Siti Fadilah Supari mengingatkan bahwa kita bangsa berdaulat yang harus menempatkan kepentingan rakyat kita diatas segala-galanya,” demikian ujarnya.
Pimpinan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ menegaskan dukungan pada upaya perjuangan untuk keadilan di bidang kesehatan.
Sementara itu, Komisaris PT Pos Andi Arief mengupas bahwa buku ini mengajarkan taktik dan strategi perjuangan Indonesia di tingkat internasional dan berhasil membubarkan GISN dan menunjukkan kepemimpinan Indonesia melawan negara adidaya Amerika dan Eropa.
Menurut Andi Arief, buku ini tiba-tiba menyadarkan bahwa Indonesia bisa berdaulat kalau mau. Kalau konsisten menjalankan politik bebas aktif di dunia internasional, seharusnya perjuangan Menkes dijadikan contoh dan model perjuangan Indonesia di dunia internasional.
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pun tidak lupa menuliskan sambutan dalam buku ini. Presiden menekankan bahwa buku ini telah berhasil mengungkap ketidakadilan tatanan dunia yang telah berlangsung lama.
Tekad dan keteguhan Dr. Siti Fadilah Supari telah berhasil mereformasi mekanisme sharing virus di bawah WHO menjadi lebih transparan, adil, dan mewujudkan kesetaraan antara negara maju dan berkembang. n
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0802/09/opi05.html

WHO: SBY Minta Buku Menkes “Saatnya Dunia Berubah” Ditarik

Jakarta (SIB)
Media Barat ramai membicarakan buku Menkes Siti Fadilah Supari yang berjudul “Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung” yang membongkar konspirasi Barat tentang sampel virus flu burung. Informasi yang berkembang, buku itu diminta ditarik dari pasar oleh Presiden SBY.
Informasi ini disampaikan seorang pejabat WHO untuk keamanan kesehatan, David Heyman, sebagaimana dilansir media Australia, The Age, Kamis (21/2).
Heyman menyatakan, dia telah mendiskusikan buku itu dengan Siti Fadilah. “Dia (Siti Fadilah) menyatakan pada saya (Presiden SBY) telah memintanya menarik buku itu dari pasar,” ujar Heyman.
Buku Bu Menkes itu setebal 182 halaman dan diluncurkan pada Rabu 6 Februari 2008.
Belum ada pihak yang bisa dikonfirmasi tentang perintah SBY tersebut. Jubir Kepresidenan Andi Mallarangeng dan Menkes Siti Fadilah Supari tidak mengangkat ponselnya.
Hayman sendiri menyatakan, dia bingung atas tuduhan Bu Siti bahwa sampel virus flu burung digunakan untuk senjata biologi. “Saya tidak mengerti mengapa mereka akan membuat virus ini sebagai senjata biologi. (Virus) Itu tidak menular dari manusia ke manusia,” ujarnya.
AS Sangkal Pakai Sampel Virus Flu Burung RI untuk Senjata Biologi
Menkes Siti Fadilah Supari terkenal vokal berbicara ketidakadilan dalam pertukaran sampel virus penyebab penyakit mematikan, termasuk flu burung. Dalam buku yang baru saja diluncurkannya, dia menuduh AS dan WHO terlibat konspirasi melawan negara berkembang dalam menguasai sampel virus flu burung.
Terhadap tuduhan ini, AS jelas menyangkalnya. Sebagaimana dilansir harian terbitan Australia, The Age, edisi Kamis (21/2), Jubir Deplu AS Susan Stahl membantah klaim Bu Menkes bahwa sampel virus flu burung Indonesia telah dikirim ke laboratorium senjata biologi di Los Alamos, New Mexico, AS.
“Laboratorium itu tidak memiliki virus flu burung dari Indonesia atau negara lainnya,” ujar Stahl.
Siti Fadilah meluncurkan buku berjudul ‘Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung’ pada Rabu 6 Februari 2008.
Buku ini menarik perhatian media Barat karena dalam buku itu Menkes menulis konspirasi AS dan WHO dalam penguasaan sampel virus flu burung yang dianggap Menkes tidak adil dan tidak transparan. Negara penyumbang sampel virus, termasuk Indonesia, kesulitan mengakses sampel yang telah disumbangkannya dan tidak tahu apa yang terjadi pada virus itu.
Vaksin yang didapat dari virus flu burung made in Indonesia tersebut, lalu dikembangkan negara-negara maju yang tidak menjadi korban flu burung dan menjualnya kepada negara berkembang yang menjadi korban. Dari koran asing yang dibacanya, Menkes mendapatkan informasi bahwa virus flu burung dikirim ke Los Alamos National Laboratory di New Mexico, AS.
Los Alamos ternyata berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data itu, untuk vaksin atau senjata kimia?
The Age menulis, Fadilah pada Rabu kemarin kembali menyatakan bahwa sampel virus flu burung Indonesia yang diberikan pada WHO telah dikirimkan ke laboratorium senjata biologi di Los Alamos.”Apakah mereka menggunakan itu sebagai vaksin atau mengembangkan senjata kimia, semuanya tergantung pada kebutuhan dan kepentingan Pemerintah AS,” kata Siti. “Ini sungguh situasi yang sangat berbahaya bagi kemanusiaan,” imbuhnya.
Buku Menkes Edisi Bahasa Inggris Ditarik untuk Diedit
Menkes Siti Fadilah Supari membenarkan bukunya yang bertajuk ‘Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung’ ditarik dari pasaran.
Namun yang ditarik adalah buku edisi bahasa Inggris, sedang yang edisi bahasa Indonesia tidak ditarik.
“Buku yang bahasa Inggris sudah ditarik untuk diedit,” ujar Menkes Siti Fadilah Supari saat dikonfirmasi detikcom, Kamis (21/2) pukul 12.45 WIB.
Berbeda dengan edisi bahasa Inggris, menurut Menkes, buku yang terbitan bahasa Indonesia tetap bisa ditemui di toko-toko buku.
Siti Fadilah meluncurkan buku tersebut pada 6 Februari 2008. Buku itu setebal 182 halaman. Isinya adalah perjuangan menghapus ketidakadilan mekanisme pertukaran sampel virus yang telah berjalan selama 50 tahun.
Mekanisme yang diprotes tersebut adalah negara-negara berkembang yang menyumbangkan virusnya kepada WHO tidak bisa meminta hasil penelitian dan tidak dapat mengetahui apa yang terjadi dengan virus yang dikirimkan.
Menkes Sangkal Tuduh AS Bikin Senjata Biologi dari Flu Burung
Menkes Siti Fadilah Supari menelurkan buku bertajuk ‘Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung’. Buku tersebut ramai diulas media Barat.
Media Barat menulis bahwa dalam buku itu Siti Fadilah mengurai konspirasi Barat dalam menggunakan sampel flu burung. Mereka yang terlibat adalah AS dan WHO, yang memanfaatkan virus itu untuk senjata biologi.
Menkes Siti Fadilah Supari pun menepis hal tersebut. “Saya tidak ada tulisan US government-nya,” ujar Menkes saat dikonfirmasi detikcom, Kamis (21/2).
Menkes menjelaskan dalam buku yang diluncurkan 6 Februari 2008 itu dirinya tidak menuduh negara mana pun, termasuk AS.
Dia hanya mempertanyakan para peneliti di WHO menggunakan sampel virus flu burung negara berkembang untuk keperluan vaksin atau mengembangkan senjata kimia.
Siti Fadilah meluncurkan buku tersebut pada 6 Februari 2008. Buku itu setebal 182 halaman. Isinya adalah perjuangan menghapus ketidakadilan mekanisme pertukaran sampel virus yang telah berjalan selama 50 tahun.
Mekanisme yang diprotes tersebut adalah negara-negara berkembang yang menyumbangkan virusnya kepada WHO tidak bisa meminta hasil penelitian dan tidak dapat mengetahui apa yang terjadi dengan virus yang dikirimkan.
Menkes: Penarikan Buku Bukan Instruksi Presiden SBY
Menkes Siti Fadilah Supari membenarkan bukunya yang berjudul ‘Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung’ itu ditarik dari pasaran. Namun yang ditarik hanya edisi bahasa Inggris dan bukan atas perintah Presiden SBY.
“Bukan karena (perintah) Pak Presiden. Itu karena inisiatif saya sendiri,” ujar Menkes kepada detikcom, Kamis (21/2).
Menurut Menkes, buku edisi bahasa Inggris tersebut kini telah ditarik dari peredaran. Namun untuk buku terbitan bahasa Indonesia masih bisa dinikmati di toko-toko buku.
Sebelumnya pejabat WHO David Heyman menyatakan, saat berdiskusi dengan Menkes Siti Fadilah, Siti menyatakan bahwa Presiden SBY meminta agar buku tersebut ditarik dari pasar.
Menkes meluncurkan buku tersebut pada 6 Februari 2008. Dalam buku tersebut juga termuat kata pengantar dari Presiden SBY.
Buku Menkes Laris di Luar Negeri, di Dalam Negeri Seret
Buku Menkes Siti Fadilah Supari bertajuk ‘Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung’ mendapatkan sambutan hangat di luar negeri. Sedangkan di Indonesia, adem ayem saja.
“Permintaan dari luar negeri banyak. Sudah laris 1.000,” ujar Menkes kepada detikcom, Kamis (21/2).
Namun penjualan di Indonesia kurang menggembirakan. Buku tersebut belum terlalu laku.
“Saya belum cek (angka penjualannya), tapi memang di Indonesia terlalu terlambat,” kata Menkes.
Buku setebal 182 halaman itu dirilis 6 Februari 2008. Kata pengantar buku tersebut ditulis oleh Presiden SBY.
Buku itu dicetak dalam 2 bahasa, Inggris dan Indonesia. Namun untuk edisi bahasa Inggris terpaksa ditarik dari pasaran untuk diedit ulang.
Menkes menyangkal dalam bukunya dia menyebutkan AS terlibat konspirasi sampel flu burung untuk digunakan sebagai senjata biologi. (detikcom/j)
http://hariansib.com/2008/02/22/who-sby-minta-buku-menkes-saatnya-dunia-berubah-ditarik/

SBY : Saya menyambut baik terbitnya buku SAATNYA DUNIA BERUBAH

Kontroversi Buku ‘Saatnya Dunia Berubah’ (1)

Jakarta, Inilah.Com -– Buku Saatnya Dunia Berubah karya Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari naik daun. Pemicunya: media massa memberitakan 'pencekalan' terhadap buku yang ketika diluncurkan dua pekan lalu nyaris tak menarik perhatian itu.

Isunya beragam. Dari mulai buku versi bahasa Inggris-nya ditarik dari peredaran, Siti Fadilah dipanggil Badan Intelijen Negara, dimarahi Presiden SBY, AS protes keras, sampai WHO membantah telah menyalahgunakan sampel virus yang dikirimkan negara-negara anggota WHO selama 50 tahun lebih.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Perihal penarikan buku versi bahasa Inggris karya Siti Fadilah Supari dari peredaran, itu jelas bukan karena perintah SBY. Kepada INILAH.COM, Siti Fadilah mengakui penarikan itu atas inisiatifnya sendiri.

''Saya berencana mencetak ulang. Perlu ada keseragaman dengan versi bahasa Indonesia yang saat ini dalam proses pengeditan. Karenanya, versi bahasa Inggris-nya ditarik dulu,'' kata Siti Fadilah.

Ketergesaan dalam proses pembuatanlah yang membuat buku Menkes kurang sempurna. Banyak yang perlu dikoreksi, memang. Kabarnya, pengeditan ulang itu membutuhkan waktu beberapa hari lagi.

Dimarahi SBY?

Jawabannya juga tidak. SBY sejak jauh hari sebelumnya mendapat laporan bahwa Menkes menulis buku. Bahkan, dalam buku itu ada foto dan kata sambutan BY yang isinya, ''Saya menyambut baik terbitnya buku Saatnya Dunia Berubah, Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung ini.

Di samping menjelaskan secara lengkap mekanisme penanganan virus flu burung yang berlaku internasional, buku ini juga mengungkap suatu ketidakadilan tatanan dunia di bidang kesehatan yang telah berlangsung lama.

Dengan tekad dan keteguhannya untuk mengatasi flu burung, Dr Siti Fadilah Supari telah berhasil mereformasi mekanisme virus sharing flu burung di bawah sistem WHO menjadi lebih transparan, adil, dan lebih mewujudkan kesetaraan antara negara maju dan negara berkembang.''

Ya, memang, dalam sambutan tertulisnya SBY menunjukkan dirinya sebagai seorang negarawan. Ia tidak menuding satu nama negara manapun atau straight forward menghujat organisasi tertentu yang selama puluhan tahun melakukan ketidakadilan di bidang kesehatan global.

Lalu, kenapa AS begitu keras memprotes buku ini dan mengatakan bahwa pihak mereka sama sekali tidak pernah menyalahgunakan sampel-sampel virus untuk kepentingan pembuatan senjata biologi?

Dalam buku Saatnya Dunia Berubah, Siti Fadilah menceritakan isi pertemuannya dengan Michael O Leavitt, Menteri Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat AS.

Pertemuan berlangsung di sela Sidang ke-60 WHA (World Health Assembly Meeting, badan pengambil keputusan tertinggi dalam badan dunia WHO). Sidang berlangsung 14-23 Mei 2007.

Di halaman 63 buku cetakan pertama karya Siti Fadilah dikisahkan sebagai berikut: ''Setelah berbasa-basi, dengan cara yang halus tapi tegas Leavitt mengharapkan agar Indonesia tidak usah mengajukan resolusi yang isinya ingin mengubah mekanisme virus sharing yang diatur GISN (Global Influenza Surveillance Network).

Menurut Leavitt, pengajuan resolusi dari Indonesia hanya akan menghambat upaya global menghadapi pandemi influenza.

Leavitt juga mengemukakan bahwa sebaiknya Indonesia mendukung keberadaan GISN karena telah terbukti eksistensi GISN selama lebih dari 50 tahun. Ia menjanjikan bahwa pemerintah AS akan memperhatikan apapun kebutuhan Indonesia.

Dengan segala kerendahan hati, secara tegas saya menjawab kepada Leavitt bahwa Indonesia sama sekali tidak berkeinginan menghambat pengiriman virus flu burung ke WHO CC asal mekanismenya transparan dan adil.

Saya tegaskan juga tentang perlunya memberikan benefit sharing bagi negara-negara affected countries, khususnya akses terhadap vaksin dengan harga yang terjangkau.''

Yang ditulis Siti Fadilah dalam bukunya adalah the real fact. Ia tidak mengarang cerita secara bebas atau berfantasi. AS atau pihak manapun tak bisa mengingkari fakta itu.

Yang ditulis Siti Fadilah adalah hasil dari perjuangannya selama ini. Semua yang termuat dalam buku Saatnya Dunia Berubah adalah rangkaian peristiwa yang sudah terjadi. Banyak saksi di seluruh dunia bahwa apa yang ditulis Siti Fadilah adalah fakta. [Bersambung/I3]

MARGAWATI RAHAYU SIMARMATA
http://www.endonesia.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=6&artid=1090

Virus Flu Burung Indonesia Dijual WHO Rp 90 Triliun

Jakarta, Pos Kota - Sampel virus flu burung yang dikirim Indonesia ke laboratorium rujukan WHO (Namru) di Hongkong diam-diam dijual ke perusahaan pembuat vaksin di negara maju.

Harga virus flu burung asal Indonesia sekitar Rp90 triliun per jenis virus. Sementara Indonesia sudah mengirim 58 jenis sampel virus ke WHO. Jika seluruh virus dijual, maka uang yang dikeruk dari penjualan virus milik Indonesia sebesar Rp 5.220 triliun. Angka yang sangat fantastis.

Praktik penjualan virus diungkap Menkes, Siti Fadilah Supari, kemarin. ''Saya baru tahu setelah kita bolak-balik mengirimkan sample virus ke WHO,'' tutur Menkes disela peluncuran buku ''Saatnya Dunia Berubah. Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung'' yang ditulisnya sendiri.

Menkes mengaku sejak tahu praktik kotor tersebut, ia memutuskan untuk tidak lagi mengirimkan sampel virus flu burung ke Namru. Ia mengaku keputusan tersebut sedikit terlambat karena Indonesia sudah mengirimkan 58 jenis virus ke WHO.

''Saya sudah menanyakan ke WHO, kemana 58 virus milik Indonesia tersebut,'' lanjut Menkes. Praktik virus sharing (pertukaran virus) tersebut sudah berlaku lebih dari 50 tahun. Ini menurut Menkes sangat merugikan negara miskin dan negara berkembang asal virus.

Sementara perusahaan vaksin yang dimiliki negara maju dengan mudahnya mengambil virus tanpa seizin pemilik dan mengembangkannya menjadi vaksin serta produk diagnostik lainnya. Selanjutnya mereka menjual ke negara miskin dan berkembang dengan harga yang sangat mahal.

LEBIH SETARA

Atas dasar itulah, Menkes mengubah sistem virus sharing yang sangat merugikan negara berkembang tersebut dengan sistem yang lebih transparan, adil dan setara. Ide tersebut kemudian terus diperjuangkan menjadi usulan Indonesia pada sidang majelis kesehatan dunia (WHA) di Jenewa Swiss.

Kini Indonesia tidak lagi wajib mengirimkan sampel virus flu burung. Pemeriksaan spesimen flu burung cukup dilakukan 2 laboratorium di dalam negeri yakni Laboratorium Badan Litbangkes dan Laboratorium Eijkman.

Meski demikian, Indonesia tetap membuka akses bagi para peneliti dunia dengan menempatkan data flu burung pada gen bank (public domain). ''Demi kepentingan umat manusia, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa data genom pada virus flu burung bisa diakses semua orang,'' tandas Menkes. (inung/nk/j)

http://www.endonesia.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=6&artid=1088

Menkes Luncurkan Buku Saatnya Dunia Berubah

Jakarta, Depkes -- Praktek virus sharing yang sudah berlaku lebih dari 50 tahun, ternyata banyak merugikan negara miskin dan negara berkembang asal virus. Sementara perusahan vaksin yang dimiliki negara maju dengan mudahnya mengambil virus tanpa seijin pemilik dan mengembangkannya menjadi vaksin dan produk diagnostik lainnya kemudian menjualnya ke negara miskin dan berkembang dengan harga yang sangat mahal.

Hal ini terkuak ketika di Indonesia ditemukan kasus pertama virus Flu Burung(Avian Influenza =AI) pada manusia pertengahan tahun 2005, dimana untuk penentuan diagnosis Indonesia diwajibkan mengirim sampel virus ke WHO Collaborating Center di Hongkong. Hal ini berlangsung hingga Agustus 2006. Tetapi tanpa sepengetahuan Indonesia, sampel virus tersebut diberikan ke perusahaan pembuat vaksin di negara maju.

Maka sejak itu, Menkes memutuskan untuk memeriksa spesimen Flu Burung cukup dilakukan 2 laboratorium di dalam negeri yakni Laboratorium Badan Litbangkes dan Laboratorium Eijkman. Hal ini sejalan dengan kemampuan yang dimiliki laboratorium Indonesia untuk memeriksa virus H5N1, yang terbukti selama kurang lebih 1 tahun hasilnya selalu sama dengan laboratorium AI di Hongkong. Tetapi Indonesia tetap membuka akses bagi para peneliti dunia dengan menempatkan data AI pada Gen Bank (public domain). ''Demi kepentingan umat manusia, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa data genom pada virus Flu Burung bisa diakses semua orang,'' tegas Menkes saat itu (10/8/06).

Majalah The Economist menulis, ''Siti Fadilah Supari memulai suatu revolusi yang mungkin menyelamatkan dunia dari dampak buruk penyakit pandemi. Hal ini terucap karena Menteri Kesehatan Indonesia telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus Flu Burung: transpatansi.''

Berbekal dari pengalaman itulah, Menkes Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) tergerak hatinya untuk mengubah sistem virus sharing yang sangat merugikan negara berkembang tersebut dengan sitem yang lebih transparan, adil, dan setara. Ide tersebut kemudian terus diperjuangkan menjadi usulan Indonesia pada Sidang Majelis Kesehatan Dunia (WHA) di Jenewa Swiss. Pada akhir sidang, usulan Indonesia disepakati dan disahkan menjadi Resolusi WHA yang harus dipatuhi semua negara anggota.

Perjuangan Menkes dalam mewujudkan ide tersebut dituangkan dalam sebuah buku berjudul Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung. Buku ini dipenuhi rincian menarik tentang bagaimana Siti Fadilah Supari mulai tertarik ke dalam lingkaran pergulatan pertukaran virus sehingga kemudian maju menghadapi berbagai intrik dan tantangan yang berkaitan dengan pertukaran virus H5N1. Pergerakan ini kemudian ternyata menguak ketidakadilan mekanisme pertukaran virus yang telah berjalan selama 50 tahun, di mana negara-negara yang menyumbangkan virusnya tidak dapat meminta hasil penelitian dan tidak dapat mengetahui apa yang terjadi dengan virus yang dikirimkannya. Di dalam buku ini, pembaca dapat mengerti alasan di balik keputusan-keputusan, ide-ide serta alternatif yang dikemukakan Menteri Kesehatan ini demi memperjuangkan hak memperoleh perlindungan dari ancaman virus bagi rakyat Indonesia.

Melalui buku setebal 182 halaman inilah, Menkes mengharapkan dukungan rakyat untuk bersama-sama menyuarakan kepentingan masyarakat Indonesia ke seluruh warga dunia karena perjuangan belum selesai. Siti Fadilah Supari akan terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus (virus sharing) yang adil, transparan, dan setara. Dalam kata pembukanya, Menkes menyampaikan maksud bahwa kiranya buku ini menjadi referensi bagi peneliti, praktisi, dan siapapun yang berusaha memperjuangkan, menegakkan martabat dan kedaulatan negara-negara berkembang agar setara dengan negara-negara maju.

Peluncuran buku karangan Menkes wanita pertama di Indonesia ini digelar di Hotel Borobudur Jakarta, Rabu malam (6/1/2008). Acara ini dihadiri berbagai kalangan, diantaranya para menteri Kabinet Indonesia Bersatu, para anggota lembaga tinggi negara (DPR, DPD), para duta besar negara sahabat, para direktur rumah sakit, para direktur BUMN, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah, anggota Organisasi Profesi, para petinggi akademis dari perguruan tinggi, serta para pejabat di dalam Departemen Kesehatan sendiri.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon 021-52907417, nomor faksimili 021-52907421 dan 52960661, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo .co.id.

http://www.endonesia.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=6&artid=1089

Wednesday, February 20, 2008

The Islamic State of America


Pagi ini aktivitas di Bandara International Ayatullah Khomeini di Baltimore berhenti total. Tak kurang dari 150 penerbangan ke luar Baltimore terpaksa ditangguhkan. Penyebabnya, ribuan buruh angkut bandara melancarkan aksi mogok. Otoritas bandara memang sudah mengantisipasi aksi mogok itu. Sayang, jumlah buruh yang ikut mogok diluar perkiraan dan tenaga pengganti jadi tak berarti.

Sementara itu dari Detroit dikabarkan, industri mobil mulai pulih kembali. Kepulihan Detroit kemarin ditandai dengan peluncuran sedan 1.550 cc buatan Islamic Motor Works (IMW). IMW menjadi raksasa otomotif terakhir yang mengaktifkan kembali industri mobilnya setelah pemboman dahsyat 12 tahun silam yang di menghancurleburkan keseluruhan kapasitas industri mobil Detroit. Pabrikan lain, General Motors, Handy dan Funk, sudah sejak tahun lalu memulai kembali operasinya.

Berita apa sih semua itu?

Berita-berita beraroma Islam itu muncul di website Republic World News, sebuah media online terkemuka Islamic State of America. Tak salah? Tentu saja tidak. Islamic State of America (ISA) tak lain adalah United States of America (USA). USA tak lain adalah negara Amerika sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Sedangkan ISA adalah USA masa datang, ketika Amerika yang sekarang dirombak habis dan diubah menjadi sebuah negara Islam.

Fiksi? Betul. Tapi, website Republic World News (RWN) memang ada.

Alkisah, the Islamic State of America itu ada di tahun 2040. Negeri itu terbentuk setelah Amerika keok dalam upaya ''war against terror''. Terorisme menang. Washington DC dan New York telah luluh lantak bagaikan Hiroshima dan Nagasaki lantaran dihajar bom nuklir. Chicago sudah tak berbenghuni lagi. Sementara Phoenix kini jadi Lebanon baru, ajang perang sipil yang tak berkesudahan.

Di negara super power Islam ini, wanita berjilbab lalu-lalang di sana-sini. Alkohol, so pasti, diharamkan. Sebagai gantinya, Jihad Cola ditasbihkan sebagai minuman nasional.

RWN menyajikan semoa dongeng futuristik ini di websitenya. Semua berita dan artikel di sana bersetting tahun 2010 ke atas. Adapun pemboman terhadap fasilitas industri mobil di Detroit tadi, terjadi tahun 2015. Islamic Motor Works membuka pabriknya pada 2027. Sedangkan sekarang --2036, versi RWN--, untuk pertama kalinya rakyat Amerika akan mengikut pemilu presiden Islami yang pertama.

Website Republik World News, www.republicwo rldnews.com, tak lain merupakan virtualisasi lebih lanjut novel karya Robert Ferrigno: Prayer for the Assasin. Novel futuristik dan penuh rekayasa ini diterbitkan Simon & Schuster pada Februari tahun silam. Edisi paperbacknya pun sudah beredar sejak Oktober 2006, dan sudah diterjemahkan di banyak negara.

Prayer for the Assasin, www.prayersfor theassassin.com, berkisah tentang USA dan dunia 25 tahun setelah sekarang, setelah 2006 tepatnya. Era ketika --seperti sudah disebut tadi-- New York, Washington DC, dan juga Mekkah, hancur lebur dihajar bom nuklir. Pelaku aksi nuklir itu konon adalah Israel.

Dan sebagaimana umumnya novel, dan juga film Amerika, tentu tak seru kalau tak ada kisah cinta di dalamnya. Bahkan Ferrigno, a catholic boy, bilang, ini adalah kisah cinta di tengah hiruk pikuk pembunuhan sadistik dalam rangka menuju tatanan dunia baru.

Tertarik? Silakan mampir ke dunia virtual www.republicwo rldnews.com. Ini cuma dunia virtual penuh kata-kata. Mampir juga ke website bukunya: www.prayersfor theassassin.com

Siapa tahu anda jadi terinspirasi untuk menulis novel dan membuat dunia virtual lanjutannya. (zil)
http://www.endonesia.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=6&artid=762

Sunday, February 10, 2008

Karzai, US Puppet.

WHAT A SHAME !
Yea...at least he admited...




Karzai said "misguided policy objectives" fueling violence in Afghanistan
President says Osama bin Laden not in Afghanistan
Karzai says he's prepared to accept the nickname "puppet"


DAVOS, Switzerland (CNN) -- Unless more is done to tackle growing extremism in countries including Pakistan, Afghanistan could once again fall into terrorist hands with dire consequence for the region and the world, the country's president warned Friday.

Hamid Karzai addresses the opening session of the World Economic Forum on Wednesday.

Hamid Karzai said "misguided policy objectives" of unnamed countries or organizations were continuing to fuel violence in Afghanistan, although he was confident al Qaeda chief Osama bin Laden was no longer within its borders.

Speaking in an exclusive interview with CNN on the sidelines of the World Economic Forum in Davos, Switzerland, Karzai also reluctantly accepted his image as "a puppet of America" but he shied away from accepting reported U.S. doubts that NATO troops lacked the training to combat the Taliban.

Asked if he agreed with a recent assessment by U.S. Defense Secretary Robert Gates reported in the L.A. Times that NATO forces lacked the necessary skills, Karzai said he was not able to comment, but the fight needed to be more focused in Afghanistan and beyond.

"I believe there has to be a bigger effort, a more robust effort concentrated on the right objective," he said.

"The fight against terrorism is not in Afghanistan, a very small part of it may be in Afghanistan, the bigger part is in the sanctuaries where they get trained where they get motivated that is where we should go and unless we do that this vicious circle will keep going."

He said the Taliban were being funded partly by opium poppy crops, thriving due to the failure of efforts to eradicate them, from religious extremists and a "combination of criminals, misguided policy objectives and folly".

However he rejected claims al Qaeda or the Taliban, which ruled Afghanistan until it was ousted by the U.S.-led invasion of 2001, received funds from Saudi Arabia.

Karzai expressed concerns over growing terrorism in neighboring Pakistan, where President Pervez Musharraf faces mounting opposition to quit amid spreading militant violence.

"The problem is growing, the problem has grown, unfortunately, of terrorism in Pakistan," he said.

"I was concerned, I remain concerned but I had a very fruitful talk with president Musharraf last time. From that respect I hope there is more recognition of dangers there and of the dangers of the future of both countries and the region.

"Based on that I hope there will be a stronger effort in Pakistan and the region, and help from the rest of the world."

He added: "It is one thing to recognize facts, it but it is another thing to work at it, to get at and remove it and defeat it and destroy it."

Assessing progress in his own country, Karzai said things were improving despite ongoing violence.

"It is better than last year, some parts of the country are much better than last year. Some parts of the country are not better than last year.

"And actually, the parts of the country that are not good are shrinking in size, and the parts that are getting better and better are expanding in size, so the overall situation in the country is a most definite improvement."

On Osama bin Laden, Karzai insisted the fugitive terrorist mastermind would eventually be caught, even though he continued to elude coalition forces.

"I wish I knew where he was so we could go after him. No absconder, no man running away from the law will be able to hide forever, some day we'll catch him. (He is) not in Afghanistan. He has no place to hide in Afghanistan."

On his perceived image as an impotent leader in thrall to the U.S. administration, Karzai, said he was willing to shoulder insults in return for U.S. assistance.

"Me a puppet? My God.

"Anyway, Americans have helped Afghanistan tremendously. The American people have a feeling for Afghanistan a very, very great feeling.


"The U.S administration has helped Afghanistan and if we are called puppets, or if I am called a puppet because we are grateful to America, then let that be my nickname.

"The truth is that without the United States in Afghanistan, Afghanistan would be a very poor, miserable country, occupied by neighbors and al Qaeda and terrorists."

http://edition.cnn.com/2008/WORLD/europe/01/25/karzai.interview/index.html#cnnSTCVideo

Karzai publicly admits he’s a Bush puppet

Hamid Karzai is Bush’s puppet ruler in Kabul, Afghanistan. His personal bodyguard is U.S. Marines.

At the World Economic Forum in Davos, Switzerland, Karzai said he accepts the label of puppet in return for U.S. support of him.

"Americans have helped Afghanistan tremendously. If I am called a puppet because I am grateful to America, then let that be my nickname.”

He said things in Afghanistan are improving despite the increasing violence.

"Some parts of the country are better than last year. Some parts of the country are not better than last year.”

He also said Osama bin Laden would eventually be caught.

ZNN


AND NOW…A REALITY CHECK

In England, Lord Ashdown – leader of the Liberal Democrats – said of Afghanistan, "We have lost, I think, and success is now unlikely.”

Karzai is from a village called Karz, which is now crowded with the makeshift tents of people running away from recent battles. Everyone in the village agrees that the situation in Afghanistan is getting worse.

Abdul Baki is the deputy director of a school in Karz. He said he's nostalgic for the days of Taliban law and order.

"The fighting gets worse and worse. Under the Taliban we had better security, no corruption, no stealing, no murders. Now we have a better economy, but the economy is mostly for rich people."

In 2007 the occupying forces killed more than 6,000 Afghani people, according to reports by the Associated Press. The USA has killed about 40,000 Afghans since invading in October 2001.

Tens of thousands of Afghan people have fled their homes in central and southern Afghanistan since the resurgence of the Taliban and the associated flare-up in fighting began in 2006. The fighting continues to this day.

The Taliban are a collection of tribal groups loyal to their historical roots (and to warlords) who have no understanding of what the USA understands as a "country."

In 1893, the British Raj drew a line on a map, and called it “Afghanistan.” Although it has never been governed in the way we expect national governments to govern, Afghanistan's several parts have shared a common economy in the production of opium.

In 2002, United Nations drug-control officers said the Taliban religious militia had nearly wiped out opium production. By 2007, Afghanistan became the largest opium-producing country in the world, producing 3,750 tons, which is 75 per cent of the world's opium.

Soldiers are supposed to destroy opium crops, but they don't, since they know it will make everyone shoot at them. Under military occupation, opium is the only thing that keeps many Afghans alive. They make about $5,200 from an acre of opium, but can only make $121 from an acre of wheat.

Last week, US Defence Secretary Robert Gates said other countries' troops in southern Afghanistan lacked counter- insurgency skills.

Musharraf is only just in charge of Pakistan. Karzai only controls parts of Kabul.

Instead of sending peace-makers, teachers, engineers, doctors, and nurses, the USA and Canada send people with weapons and heavy artillery. Canada has 2,500 troops in Afghanistam, but only 47 aid workers. The U.S. Agency for International Development has spent more than $4.4 billion in Afghanistan since 2002, but U.S. military spending in 2007 alone was $35 billion.

Where does that money go? According to the British-based international aid agency, Oxfam, it goes to pay high salaries for officials and administrators. Oxfam says aid-spending on Afghanistan has been only a small fraction (about 3 per cent) of the military expenditure, and most aid money is siphoned off in corruption.

Oxfam warns that urgent action is needed to avert a humanitarian disaster in Afghanistan, where millions face "severe hardship comparable with sub-Saharan Africa."

Vigilant Strategic Services Afghanistan has already counted 389 violent incidents across the country in the first three weeks of 2008, up 15 per cent from the same period last year. Fighting normally dies down in the snow – but not this winter. Some Western observers think a much bigger war is coming.

Even among the usually upbeat commanders at Kandahar Air Field, the mood seemed grim yesterday after the death of another Canadian soldier, Corporal Étienne Gonthier.
Combat deaths in Afghanistan are typically followed by statements from military officials who describe the sacrifice as part of a “winning effort.” Brigadier-General Guy Laroche broke with that tradition, saying little except that an expected winter lull in Taliban attacks has not happened.

"We don't see a big difference between what we saw last summer and what we see now,” Brig.-Gen. Laroche said. "The tempo is the same."

A Western analyst said he expects the resistance to increase in 2008, and spread further into Afghanistan, adding that NATO doesn't have enough troops to halt the trend. A Rand Corporation study stated that NATO needs 20 soldiers per 1000 inhabitants to wipe out the Taliban, which translates to about 500,000. The NATO coalition currently has only 30,000 to 50,000 -- enough to kill civilians on a daily basis, but not enough to control even a small part of Afghanistan, which has 30 million people. Canada maintains more than 2,500 troops in the country, mainly in the dangerous southern province of Kandahar.

Malalai Joya, 29, is the youngest female member of Afghanistan’s parliament. She said, "Foreign invasion is not a solution for the disastrous situation of Afghanistan. As our history demonstrates, we don’t want occupation. Six years of Western military occupation clearly show that these armies have not come to provide us with security. The U.S. and its allies, including Canada, are supporting the sworn enemies of our people. One day they will be faced with the massive resistance of our people, as our history shows.”

Occupying NATO forces cannot trust the local Afghan army and police with sophisticated equipmen, for fear that it will fall into the hands of the resistance, or that the local officers themselves will desert regular government forces and join the Taliban.

Last Tuesday, Canadian Prime Minister Stephen Harper said Canada will be in Afghanistan indefinitely. A panel headed by former Liberal cabinet minister John Manley recommended a multi-year extension beyond the current deadline of February 2009, but admitted the mission has gone badly. Insurgent attacks are on the rise and security is fragile. "The mission is in jeopardy," Manley told a news conference.

http://www.wakeupfromyourslumber.com/node/5463

Hamid Karzai Tanpa Malu-Malu Ngaku Boneka AS

Pada 26/01/08 Presiden Afghanistan Hamid Karzai saat berbicara dengan CNN berkata :
“The US administration has helped Afghanistan and if we are called puppets, or if I am called a puppet because we are grateful to

America, then let that be my nickname.”

(“Pemerintah AS telah menolong Afghanistan dan kalau kami dipanggil boneka, atau kalau saya dipanggil boneka kerana kami berterima kasih kepada Amerika, maka biarlah itu menjadi panggilan saya”)Karzai tanpa perasaan malu sedikitpun, menambahkan pujiannya kepada Amerika selaku tuannya selama ini. Katanya,

“Anyway, Americans have helped Afghanistan tremendously…The truth is that without the United States in Afghanistan, Afghanistan would be a very poor, miserable country…”

(“Bagaimanapun , Amerika telah menolong Afghanistan dengan tak terkira…Hakikatnya tanpa kehadiran Amerika di Afghanistan, Afghanistan akan menjadi negara yang miskin dan menderita…”)

Inilah pengakuan sebuah pengkhianatan yang nyata yang keluar dari mulut salah seorang pemimpin negeri Islam . Memang pengakuan Karzai bahwa dia agen Amerika bukannya satu kejutan, tetapi kenyataan

Afghanistan bertambah baik di bawah Amerika adalah satu penipuan dan pemutarbelitan fakta yang teramat nyata. Realitanya, dua pertiga dari wilayah Afghanistan bukanlah berada di bawah kawalan Karzai . Negara tersebut adalah berada di bawah pendudukan Amerika di mana rakyatnya berada dalam kemiskinan dan banyak bergantung kepada bantuan kebaikan dari agen pendonor asing . Penipuan fakta ini oleh Karzai ditambah pujiannya kepada Amerika la’natullah, menunjukkan dengan jelas betapa dia tidak mempedulikan rakyat dan tidak habis-habis memperdayai rakyatnya. Penipuan dan pengakuan pengkhianatan secara terang-terangan ini selayaknya meletakkan orang seperti Karzai ini dalam kedudukan yang teramat hina. Semoga Allah membalas Karzai dengan hukuman yang setimpal. (mykhilafah.com)

http://www.hizbut-tahrir.or.id/2008/02/09/hamid-karzai-tanpa-malu-malu-ngaku-boneka-as/#more-1703

Thursday, February 7, 2008

Amerika Mulai Ditinggal Para Sekutunya di Afghanistan


Afghan - Beberapa Negara seperti Inggris, Kanada sudah tak mampu mengendalikan Afghanistan dan pejuang Taliban. Amerika Serikat makin sendirian ditinggalkan sekutunya.

Baru-baru ini, Robert Gates, Menteri Pertahanan Amerika menulis surat kepada rekan sejawatnya asal Jerman agar mengirimkan pasukan lebih banyak ke Afghanistan dan perluasan tugas mereka di sana.

Surat itu dikirimkan sebelum diadakan sidang tidak resmi setingkat menteri luar negeri Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Vilnius, Lituania. Ulrich Wilhem, Juru Bicara Pemerintah Jerman secara tegas menolak permintaan itu. Saat mereaksi permintaan AS Ulrich menyatakan, Jerman sama sekali tidak punya rencana mengubah penugasan pasukannya yang ditempatkan di Utara Afghanistan.

Pasukan militer Jerman yang ditempatkan di Utara Afghanistan berjumlah 3.200 tentara yang tergabung dengan pasukan keamanan internasional pimpinan NATO, ISAF.

Mengamati permintaan Amerika agar negara-negara sekutunya mengirimkan lebih banyak lagi pasukannya membongkar seberapa besar mental AS. Sederhana, karena Amerika Inggris dan Kanada tidak lagi mampu mengatasi kondisi di Selatan Afghanistan.

Semakin luasnya kondisi tidak aman di Selatan Afghanistan membuat AS meminta peran serta pasukan ISAF yang lain guna memerangi kelompok Taliban di sana. Melihat jumlah korban yang tewas di sana membuat tidak satu pun dari negara-negara Barat yang siap untuk menerima permintaan itu.

Pertimbangannya, mereka tidak siap menghadapi resiko berat. Negara-negara sekutu Amerika tahu betul bahaya yang mengancam anggota pasukannya bila dikirim ke sana. Di sisi lain, setiap pemerintah negara-negara Barat yang mengirimkan pasukannya ke Afghanistan mulai mendapat kritikan pedas kalangan oposisi dan rakyatnya.

Kembali pada enam tahun lalu ketika Amerika menyerang dan menduduki Afghanistan. Sampai saat ini, AS bukan saja tidak mampu menangkap Osama bin Laden yang menjadi dalih agresi mereka, malah kini kelompok Taliban berhasil mengorganisir kembali kekuatannya.

Saat ini, pejuang Taliban mengontrol daerah yang cukup luas di Afghanistan. Ada tiga Laporan terbaru yahg dirilis menyebutkan kondisi Afghanistan. Ketiga laporan itu memperingatkan kondisi yang sangat memprihatinkan dari sisi keamanan dan ekonomi.

Selama ini, kehebatan militer Amerika begitu menguasai negara-negara dunia. Namun, bila dicermati lebih dalam, negara Paman Sam ini hanya berani main keroyok. Apa yang terjadi di Afghanistan masih menunjukkan cara dan sikap pengecut AS. Kini, saat AS kesulitan menghadapi Taliban, ia tidak punya cara lain kecuali mengajak sekutunya di NATO menghadapi Taliban bersama-sama.

Namun, kini AS harus bersiap-siap kecewa karena permohonannya hanya bertepuk sebelah tangan. Tidak ada satu pun dari sekutunya yang mengiyakan penugasan tentaranya ke daerah-daerah yang rawan konflik. Bahkan Kanada yang sampai saat ini masih bekerja sama dengan AS mulai berpikir dua kali melanjutkan kerja samanya. Perdana Menteri Kanada, Steven Harper mengancam bila tidak ada pengiriman pasukan yang lebih besar ke daerah-daerah rawan konflik, niscaya Kanada akan menarik keluar pasukannya dari Afghanistan.


http://www.arrahmah.com/news/detail/amerika-mulai-ditinggal-para-sekutunya-di-afghanistan/