Wednesday, November 28, 2007

Fatwa MUI dan Pandangan Fuqaha Tentang Nabi Palsu



Kamis, 22 November 2007

Dalam Mahzab Syafi’i, jika seseorang mengatakan, “Seandainya fulan itu menjadi nabi, maka aku membenarkannya”, maka, perkataan seperti itu sudah murtad


Oleh:Thoriq*

Fatwa MUI tentang sesatnya aliran Al-Qiyadah disambut positif oleh mayoritas umat Islam Indonesia yang menghendaki kejelasan hukum atas kehadiran kelompok ini. Akan tetapi seperti biasa, kelompok liberal tidak akan rela dengan munculnya fatwa itu. Salah satu diantara mereka adalah penulis “Sesatnya Kriteria Sesat”, Mohamad Guntur Romli. (Jawapos, 14/11). Intinya, ia tidak setuju dengan kriteria sesat yang telah ditetapkan MUI, karena ia berpendapat bahwa penyesatan hanya milik Allah.

Tentu, pernyataan si penulis ini otomatis batal dengan perkataan ia sendiri, karena ia sendiri “menyesatkan” kriteria MUI. Kita bisa pakai logika si penulis juga, mengapa dia berani “menyesatkan” fatwa MUI? Bukankah ia menyatakan bahwa sesat dan tidak sesat adalah hak Allah? Ini menunjukkan bahwa si penulis “plin-plan” terhadap sikapnya. Karena, kalau ia konsisten, tentu ia tidak perlu “menyesatkan” fatwa MUI.

Ia juga berpendapat bahwa para ulama tidak memiliki wewenang untuk menghukumi seseorang kafir atau tidak. Pendapat ini perlu dalil shorih yang menjelaskan bahwa ulama memang tidak boleh mengkafirkan seseorang yang sudah jelas-jelas tidak mengakui seluruh atau sebagian syari’at, atau mengingkari risalah Rasulullah atau mengingkari hal-hal yang mutawatir atau mengingkari bahwa Rasulullah adalah utusan terakhir. Dan tidak cukup sampai di situ, si penulis juga harus bisa menunjukkan dalil sharih yang menyatakan bahwa orang yang sudah melakukan pengingkaran sampai tahap itu masih bisa dianggap Muslim.

Tentu yang ada hanyalah dalil bolehnya ulama mengkafirkan mereka yang sudah jelas kafir. Yaitu dalil-dalil yang memerintahkan agar umat Islam berpegang teguh dengan nash Al Quran dan Sunnah. Dan Al Quran dan Sunnah telah menjelaskan kriteria mukmin dan kafir, yang berfungsi untuk membedakan siapa yang masih disebut mukmin dan siapa yang disebut kafir. Hingga tidak salah jika ulama menghukumi seseorang sebagai kafir, dengan mengambil pedoman dari Al Quruan dan Sunnah, bahkan wajib demi menjaga agama ini.



Nabi Palsu dalam Pendangan Fuqaha

Masalah munculnya nabi-nabi palsu telah direspon serius oleh para ulama sejak dulu. Tak hanya hari ini. Karena hal ini menyangkut masalah yang amat serius pula, yaitu masalah keimanan. Ini disebabkan dalil qath’i baik dari Al Quran, Sunnah, serta ijma telah menyatakan bahwa Rasulullah Muhammad saw. adalah nabi yang terakhir, dan tidak ada syari’at yang harus diikuti kecuali syari’at yang telah beliau bawa.

Atas dasar nash-nash itulah para fuqaha menyatakan bahwa mereka yang mengaku-ngaku sebagai nabi otomatis telah kufur, bagitu juga mereka yang mengikutinya. Al Muthi’i dalam Syarh Al Muhadzab (20/371), salah satu kitab pokok dalam madzhab Syafi’i menyebutkan, “Begitu juga (telah murtad) orang yang mengaku nabi setelah Nabi Muhammad saw. serta orang yang mengikutinya”.

Ia juga menyebutkan bahwa para ulama telah bersepakat, jika ada seseorang mengatakan, “Seandainya fulan itu menjadi nabi, maka aku membenarkannya”, maka, menurut Al Muthi’i, ia telah murtad. Al Muthi’i juga merujuk perkataan Imam Syafi’i yang menyatakan,”Ada beberapa orang yang murtad setelah Islam, mereka adalah Thalhah, Musailamah, ‘Ansa beserta para pengikut mereka”.

Ulama dari kalangan madzhab Hambali pun memiliki pendapat yang serupa, Ibnu Al Qudamah dalam Al Mughni (2/2181), rujukan pokok madzhab Hambali, menyatakan,”Barang siapa mengaku-ngaku sebagai nabi atau membenarkan seruannya, maka ia telah murtad!”.

Imam Al Qurthubi dan “bisikan” hati

Ulama dari Madzhab Maliki, Imam Al Qurthubi dalam Al Jami’ li Ahkami Al Quran (4/37) menyatakan,”Termasuk dalam golongan ini (Musailamah dan sejenisnya) seseorang yang menolak fiqih dan sunnah yang dipegang para salaf, dan ia mengatakan, ”Hatiku berbisik kepadaku begini”, lalu dia jadikan bisikan hatinya itu sebagai hukum dan ia menganggap bahwa itu disebabkan kesucian hatinya dari kotoran, hingga nampaklah ilmu-ilmu ilahiyah dan hakikat rabaniyah, akhirnya ia mencukupkan bisikan hatinya daripada hukum syari’at. Lalu ia mengatakan, “Syari’at hanya berlaku kepada orang awam, sedangkan orang-orang istimewa tidak perlu menggunakannya”… Ini adalah perkataan zindiq dan orang yang mengatakannya telah kafir, pelakunya harus dibunuh, tanpa diminta bertaubat terlebih dahulu, karena dengan begitu otomatis ia menetapkan bahwa ada nabi setelah Nabi kita Muhammad saw.

Muhammad Syafi’, ulama madzhab Hanafi yang sekaligus menjadi mufti Pakistan menyatakan juga dalam At Tasyrih bima Tawatara fi Nuzul Al Masih,”Ketika tidak ada nash yang menunjukkan adanya kenabian bagi seseorang, setelah Rasulullah, bahkan sebaliknya (yang ada adalah penafian adanya kenabian setelah Rasulullah) maka orang yang mengaku nabi telah kafir menurut Al Quran, Sunnah mutawatir serta ijma’.


Dalil bahwa Rasulullah saw. Rasul terakhir

Penetapan bahwa Rasulullah adalah rasul sekaligus nabi terakhir oleh para ulama berdasarkan surat Al Ahzab, ayat 40: ”Bukanlah Muhammad itu bapak salah seorang laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah Rasulullah dan khatam (penutup) nabi-nabi”. Imam Al Qurthubi dalam Al Jami’ Al Ahkam-nya (7/496), mengatakan bahwa jama’ah salaf dan khalaf menyatakan, ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada nabi setelah Rasulullah. Para mufasirin dan fuqaha seperti Imam Syafi’i dalam Al Umm, Ibnu Katsir, Imam As Syaukani dalam Fathu Al Qadir beserta ahli tafsir kontemporer seperti Al Maraghi, As Shabuni serta Muhammad Abduh dalam Al Manar menyatakan hal yang sama.

Beberapa hadits pun memiliki makna bahwa Rasulullah saw. adalah rasul terakhir, salah satunya adalah hadits: “Sesungguhnya saya mempunyai nama-nama, saya Muhammad, saya Ahmad, saya Al-Mahi, yang mana Allah menghapuskan kekafiran karena saya, saya Al-Hasyir yang mana manusia berkumpul di kaki saya, saya Al-Aqib yang tidak ada Nabi setelahnya” (HR. Muslim)


Karena amat banyak jalan periwayatannya, maka Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya (6/452) menyatakan bahwa hadits ini mencapai derajat mutawatir. Pernyataan ini diamini oleh mufti Pakistan Muhammad Syafi’.

Sebagaimana disebutkan juga oleh Ibnu Katsir, bahwa hadits-hadist mutawatir itu disamping menunjukkan bahwa tidak ada rasul setelah Muhammad saw. ia juga menginformasikan bahwa, jika ada seseorang yang mengaku-ngaku nabi maka bisa dipastikan bahwa orang itu adalah pembohong besar, sesat dan menyesatkan, walau ia bisa menunjukkan hal-hal yang aneh atau memiliki ilmu sihir. Informasi ini adalah salah satu bentuk kecintaan Allah kepada hambanya (hingga mereka tidak tersesat).

Selain Al Quran dan Sunnah, ijma’ juga menyatakan bahwa Rasulullah adalah nabi terakhir. Ini disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al Maratib Al Ijma’ yang dinukil oleh Ibnu Al Qathan Al Fasi dalam Al Iqna’ fi Masa’il Al Ijma (1/33).

Kekufuran Para Pengingkar Syari’at yang Mutawatir

Tentu yang namanya nabi palsu pasti menyeru kepada hal-hal yang mungkar dan bathil, sebagaimana fakta yang terjadi di lapangan, mereka mengajak penganutnya untuk meninggalkan ajaran-ajaran Rasulullah saw, seperti shalat, zakat atau ibadah-ibadah lain yang sudah disepakati kewajibannya dalam Islam. Atau menghalalkan apa yang diharamkan Allah serta mengharamkan apa yang dihalalkan Allah.

Mengamalkan ajaran-ajaran mereka itu tidak sebatas maksiat biasa, karena hal itu pun sudah masuk kepada wilayah kekufuran. Ibnu Al Qudamah dalam Al Mughni (2/2172) mengatakan,”Bagitu juga (dihukumi murtad, bagi mereka yang mengingkari) dasar-dasar Islam seperti zakat, puasa, haji, karena dalil yang menunjukkan fardhunya amalan-amalan itu hampir tidak bisa dihitung dan ijma’ pun menyatakan hal yang serupa”.

Ibnu Hazm menyebutkan dalam Maratib Al Ijma’,sesuai dengan nukilan Ibnu Al Qathan Al Fasi dalam Al Iqna’ fi Masa’il Al Ijma (1/126): “Umat bersepakat, barang siapa beriman kepada Allah dan Rasulnya, serta hal-hal yang dibawanya yang dinukil secara mutawatir darinya dan tidak ragu dalam masalah tauhid atau kenabian beliau serta tiap-tiap huruf dari hal-hal yang beliau bawa yang dinukil secara mutawatir. Dan barang siapa menolak sesuatu dari hal-hal yang telah kami sebutkan atau ragu atasnya dan mati kadalam keadaan itu, maka ia telah kafir dan kekal di neraka”.

Kesimpulannya, bahwa ijma’ telah menyatakan bahwa hal-hal yang dinukil secara mutawatir dalam Islam seperti kewajiban shalat, zakat, haji, termasuk khabar yang menyatakan bahwa Rasulullah adalah nabi terakhir atau yang lain, wajib diimani. Dan barang siapa yang menolak maka ia telah kafir.

Berpedoman dari dalil-dalil di atas maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan dalam fatwa MUI, karena pendapat lembaga ini sesuai dengan nash Al Quran, Sunnah dan Ijma. Kalau sudah masuk ranah ijma’ maka tidak mungkin terjadi kesalahan atau kesesatan karena Rasulullah sendiri bersabda:” Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan”. Hadist ini mencapai derajat mutawatir dari segi makna menurut Al Fahru Ar Razi dalam Al Mahshul (1/35), juga Al Khatib Al Baghdadi dalam Faqih wa Al Mutafaqqih (2/167).

Jika pengkafiran terhadap mereka yang menyelisihi pokok-pokok agama Islam tidak mungkin sesat, maka tentu para pembaca bisa menilai, siapa yang sesat sebenarnya, MUI atau pihak yang “menyesatkan” MUI? Wallahu’alam bishowab.

*) Penulis adalah lulusan Al-Azhar, Kairo



http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=5831&Itemid=60

Sunday, November 25, 2007

Jaringan Islam Liberal Dan Kesesatannya

Oleh: Azhari
Maraknya JIL dimasa reformasi bersamaan dengan keinginan kuat umat Islam untuk menerapkan Syari’at Islam bukanlah suatu kebetulan, sepertinya JIL ini dibentuk untuk menghadang kelompok “Fundamentalis” yang ingin kembali kepada Islam secara Kaffah. Berikut ini mari kita coba telaah lebih jauh apa itu JIL, tujuannya dan ide-ide yang diusungnya.

JIL yakni sebuah kelompok dikomandoi oleh Ulil Absar Abdalla, seorang yang dikenal sangat dekat dengan NU dan menantu seorang Kiai NU. Selain Ulil, kontributor JIL yang lain adalah:

o Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta
o Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah (Universitas Islam Negara), Jakarta

o Masdar F. Mas'udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Jakarta
o Goenawan Mohamad, Majalah Tempo, Jakarta
o Djohan Effendi, Deakin University, Australia
o Jalaluddin Rahmat, Yayasan Muthahhari, Bandung
o Moeslim Abdurrahman, Jakarta
o Nasaruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah (Universitas Islam Negara), Jakarta
o Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta , dan lain-lain.

Kelompok ini bertujuan ingin membuat suatu bentuk penafsiran baru atas agama Islam dengan wawasan sebagai berikut:

a. Keterbukaan pintu ijtihad pada semua bidang;
b. Penekanan pada semangat religio etik, bukan pada makna literal sebuah teks;
c. Kebenaran yang relatif, terbuka dan plural;
d. Pemihakan pada yang minoritas dan tertindas;
e. Kebebasan beragama dan berkepercayaan;
f. Pemisahan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.

Istilah Islam liberal ini bukanlah hal yang baru dan telah diusung oleh Nurcholis Madjid pada tahun 70-an, hanya saja gaungnya sekarang lebih besar karena mereka didukung dana yang sangat besar dari luar negeri dan mereka menguasai jaringan media massa (Radio, Jawa Pos, Kompas, Tempo, Metro TV, dan lian-lain).

Menurut JIL, nama “Islam Liberal” menggambarkan prinsip-prinsip yang menekankan kebebasan pribadi (seusai dengan doktrin kaum Mu'tazilah tentang kebebasan manusia), dan “pembebasan” struktur sosial-politik dari dominasi yang tidak sehat dan menindas. Sederhananya JIL ingin mengatakan bahwa secara pribadi bebas (liberal) menafsirkan Islam sesuai hawa nafsunya dan membebaskan (liberal) negara dari intervensi agama (sekuler).

Unik memang, pada saat seseorang telah menyatakan menganut Islam maka ia terikat dengan hukum syara’ atau ia seorang mukhallaf dan ia tidak bebas lagi (liberal) karena ucapan dan perilakunya telah dibatasi oleh syari’at. Disisi lain bagaimana mungkin bisa menggabungkan antara Islam dan Liberal karena keduanya adalah ideologi yang saling bertentangan. Islam meyakini bahwa Syari’at Allah harus dijalankan diseluruh sisi kehidupan, sedangkan Liberal meyakini pemisahan urusan agama dan negara.

Baiknya coba kita permudah pembahasan ide-ide JIL ini dalam 3 topik saja, yakni:

1. Ijtihad: keterbukaan pintu ijtihad pada semua bidang
2. Inklusifisme: kebenaran yang relatif, terbuka dan plural
3. Sekuler: pemisahan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik



1. Ijtihad

JIL meyakini bahwa pintu ijtihad masih terbuka dalam semua bidang dan untuk semua orang, penutupan pintu ijtihad akan menutup pintu akal dan kreatifitas seseorang.

Pintu ijtihad memang masih terbuka hingga saat ini tetapi para ulama telah memberikan batasan dalam hal apa saja boleh berijtihad dan syarat seseorang mampu mengeluarkan ijtihad (mujtahid).

Setiap orang boleh saja berijtihad tetapi ulama memberikan syarat-syarat seorang mujtahid, antara lain:

a. Pengetahuan bahasa Arab, lafadz dan susunan (tarkib) yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum yang akan digali (istimbath);
b. Pengetahuan terhadap syara' yakni nash (dalil) dari al-Qur'an dan Sunnah;
c. Pengetahuan terhadap waqi' yang akan dihukumi.

Bahkan DR Yusuf Qaradhawi (Masalah-masalah Islam kontemporer) memberikan syarat yang lebih berat semisal pengetahuan bahasa Arab, mengetahui tempat-tempat ijma’ yang tepat, ushul fiqih, qiyas dan penyimpulan, kaidah-kaidah syara’. Syarat lain harus adil, bertaqwa, tidak mengikuti hawa nafsu atau menjual agamanya untuk kehidupan dunia. Dengan demikian menurut Yusuf Qaradhawi, ijtihad bukan pintu yang terbuka bagi semua orang.

Disisi lain pintu ijtihad tertutup untuk nash-nash (dalil) qath'i tsubut (sudah pasti dari segi wujud) dan qath'i dilalah (sudah pasti dari segi petunjuk). Seperti dalil-dalil berikut:

Orang perempuan dan laki-laki yang berzina jilidlah masing-masing dari keduanya seratus kali jilid. (Qs. an-Nuur [24]: 2).

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. (Qs. al-Maa'idah [5]: 38).

Atau kewajiban shalat, puasa, haji, adanya malaikat, syaithan, lauhul mahfuz, akhirat, dan lain-lain. Disini akal tidak mampu lagi menjangkaunya dan kita wajib mengimaninya sesuai dengan penjelesan al-Qur'an dan sunnah.

Masalah terbukanya pintu ijtihad ini merupakan gerbang utama bagi JIL untuk menghancurkan syari’at Islam, karena jika berhasil meyakinkan umat bahwa ijtihad masih terbuka untuk semua bidang dan setiap orang maka mereka dapat menafsirkan ayat-ayat Allah dan hadits sesuai hawa nafsu mereka. Seperti yang sempat dihebohkan beberapa waktu yang lalu tentang “Jilbab tidak wajib dan merupakan kebudayaan Arab”; “Laki-laki non-muslim boleh mengawini muslimah”; “Kebebasan beragama atau murtad”; dan lain-lain.



2. Inklusifisme

Inklusifisme secara ringkas dapat diartikan tidak eksklusif atau tidak merasa paling benar sendiri, dalam bahasa JIL bahwa agama itu seperti roda yang mempunyai jari-jari. Setiap agama adalah jari-jari dari roda tersebut, jika semua pemeluk agama (apapun agamanya) dan dia berbuat saleh maka semuanya akan menuju kesatu titik poros roda tersebut yakni syurga. Artinya, seorang Muslim, Nasrani, Hindu, Budha atau Konghucu, bila menjalankan agama dengan benar (saleh) maka semuanya akan masuk syurga.

Hal ini jelas bertentangan dengan aqidah Islam, Innaddiina'indallahil Islami.

Sesungguhnya dien (agama/sistem hidup) yang diridhai Allah adalah Islam. (Qs. Ali-Imran [3]: 19).

Barangsiapa yang mengambil selain Islam sebagai dien, tidak akan diterima apapun darinya dan ia diakhirat tergolong orang yang rugi. (Qs. Ali-Imran [3]: 85).

Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kalian. (Qs. al-Maa'idah [5]: 3).

Hai orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Qs. Ali-Imran [3]: 102).

Islam itu unggul dan tidak ada yang dapat mengunggulinya. [HR Bukhari].

Dan Islam tidak bisa disamakan dengan agama-agama lain tersebut karena seorang Muslim yang beriman maka syurga balasannya, sedangkan orang-orang kafir dan musyrik itu adalah orang-orang yang sesat dan merugi serta kekal dalam neraka,

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik. Dan Dia mengampuni dosa selain syirik itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Siapa saja yang menyekutukan sesuatu dengan Allah, maka sesungguhnya ia tersesat sejauh-jauhnya. (Qs. an-Nisaa’ [4]: 116).

Hai orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang yang diberi Alkitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. (Qs. Ali-Imran [3]: 100).

Dengan konsep yang menyesatkan ini, maka umat akan dengan mudah murtad karena mereka merasa dengan memeluk selain Islampun mereka akan masuk syurga juga.



3. Sekuler

Menurut JIL, Islam tidak mengenal pemerintahan dan agama tidak mempunyai kewenangan dalam mengatur negara.

Jika kita ingin menerapkan Islam secara kaffah dalam semua sektor kehidupan kita maka mau tidak mau harus memformalkan syari’at Allah Swt yang terdapat dalam al-Qur'an dan sunnah dalam bentuk Undang-undang (UU), dan sebuah UU tidak akan berjalan jika tidak dipayungi oleh sebuah pemerintahan (daulah). Hal ini-pun telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan khalifah-khalifah sesudah beliau.

Beliau menjalankan pemerintahan di Madinah, menetapkan hukum-hukum eknomi/perdagangan, sosial/pergaulan, politik luar negeri, membentuk pasukan, peradilan, pendidikan, dan lain-lain. Beliau mengangkat pembantu-pembantu (mu’awin), wali, amirul jihad, amil, qadhi, dll. Dan dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dengan mengangkat Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, kemudian kekhalifahan Bani Muawiyah, Abassiyah hingga Utsmaniyah. Hal ini merupakan suatu fakta bahwa Islam mengenal negara atau Islam tidak bisa dipisahkan dengan negara.

Banyak dalil-dalil yang mewajibkan terbentuknya sebuah Khilafah Islamiyah ini,

Bila dibai'at dua orang Khalifah (pada waktu yang sama), maka perangilah orang yang kedua. [al-Hadist].

(Dan) Siapa saja yang mati dan di pundaknya tidak ada bai'at (kepada Khalifah), maka ia mati dalam keadaan seperti mati jahiliah. [HR Muslim].

Maka demi Tuhanmu. Mereka tidak beriman (sebenarnya) sehingga mereka menjadikan kamu hakim untuk memutuskan perselisihan antara mereka. Kemudian mereka tidak merasa dalam hatinya keberatan terhadap putusanmu, dan menerima dengan perasaan lega. (Qs. an-Nisaa’ [4]: 65).

Dan kita sangat merindukan tegaknya kembali kekhilafahan Islam ini setelah vakum selama 80 tahun, disaat runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924 M.

Demikianlah sepak terjang JIL dengan aqidah sesatnya dan menyesatkan umat, dan merupakan tantangan bagi para hamilud dakwah untuk lebih intensif berinteraksi dengan umat untuk mensosialisasikan betapa pentingnya tegaknya syari’at Islam. Wallahua’lam

Sumber: Swara Muslim (http://swaramuslim.net/more.php?id=A1663_0_1_0_M)
http://www.ikastara.org/forums/archive/index.php/t-691.html

Saturday, November 24, 2007

BERHENTI MENGEJAR KESOLEHAN PRIBADI

BERHENTILAH UNTUK MENGEJAR KESOLEHAN PRIBADI !!!

ISLAM ADALAH RAHMAT BAGI SELURUH ALAM, TIDAK BISA DIBANTAH.
TAPI BUKAN BERATI UNTUK DINJAK-INJAK
DIHINA SEMAUNYA
DIPOJOKKAN HANYA SEBAGAI RITUAL JUMAT ATAU SETAHUN SEKALI.

ISLAM ADALAH SUATU GERAKAN SOSIAL YANG MEMBAWA KEPADA KEDAMAIAN, KESEJAHTERAAN
YANG MEMBAWA PADA KEBEBASAN SEJATI

DALAM ISLAM, MANUSIA TERBEBAS DARI SEGALA HUKUM YANG DIBUAT OLEH MANUSIA LAIN...
TERBEBAS DARI SEGALA BELENGGU HAWA NAFSU

DAN HANYA TUNDUK PADA DZAT YANG MENCIPTAKAN KITA, IALAH ALLAH SWT.
INILAH KEBEBASAN YANG SESUNGGUHNYA !!!

MARI KITA BEBASKAN MANUSIA-MANUSIA YANG LAIN !!!


silmy kaffah
hamba ALLAH yang merangkak menuju istiqomah di jalan-Nya

World Bank faces serious corruption problems

Pravda -- http://english.pravda.ru/business/companies/13-09-2007/97073-world_bank_corruption-0

Paul Volcker, former Federal Reserve chairman, on Wednesday blamed World Bank staff and directors for failing to take corruption sufficiently seriously and said this had been the root cause of strife over its internal anti-corruption watchdog.

Mr Volcker's comments come ahead of Thursday's release of a report that concluded the Bank's anti­corruption unit should be stripped of responsibilities for minor staff misconduct and placed under new oversight.

Mr Volcker's comments will be seen by supporters of Paul Wolfowitz as a vindication of the former bank president who was forced from office in an ethics scandal, but present tricky challenges for his successor, Robert Zoellick.

In an interview with the FT on Wednesday, Mr Volcker said his inquiry had "reconfirmed" there was "ambivalence in the bank as to whether they really want an effective anti-corruption programme or not". "The board itself has been ambivalent."

He indicated this uncertainty extended to ministers and representatives of its leading donors. He saw "some parallels" with his prior investigation into the United Nations' handling of the oil-for-food programme.

The tabular content relating to this article is not available to view. Apologies in advance for the inconvenience caused.

While every bank official who talked to his committee claimed they took corruption seriously, he doubted this was always the case.

There were "legitimate complaints on both sides" about the anti-corruption unit. But he attributed the tension largely to those at the bank not sincerely committed to its anti-corruption efforts, saying this was the "underlying fundamental" problem, FT.com reports.

Part of the problem may be the continued concern that anti-corruption efforts can be seen as "anti-development," the report said, citing a tendency to avoid confrontation with borrowing countries who are members of the World Bank Group.

"A lack of common purpose, distrust, and uncertainty has enveloped the anticorruption work of the bank," the report said.

It said some World Bank units "have failed to recognize the importance of anticorruption and governance efforts in working with client nations."

The report makes some specific recommendations, including giving the integrity department's director the rank of vice president, moving responsibility for investigating minor staff misconduct out of the department, increasing diversity of the unit's staff and subjecting the department to regular internal audits and other measures to evaluate its performance.

The bank said it would establish a working group to consider the recommendations and will post the report and its own proposals on its Web site, washingtontimes.com reports.

http://www.inteldaily.com/?c=119&a=3565

Central Banks are irrelevant

By Shelby Moore, III -- http://www.financialsense.com/fsu/editorials/2007/0927.html

Hopefully someday the following will be recognized as a canonical essay in the field of economics.

I will explain, that Central Banks are powerless to stop the boom and bust cycles, which are instead caused by society's insatiable desire to save (and borrow) with interest. The usury saver is no less culpable than the borrower.

A global, debt-based boom has been caused by declining long interest rates since 1982. The chart of the 30 year US Treasury Bonds shows a steady decline in yield (interest rate) since 1982. This is an accelerating secular, declining interest rate trend (a bubble), caused by fact that owners of bonds earn increasing capital gains when future bonds are sold at declining yields. Human nature tends to believe that the longer a trend has existed, then more confidence can be placed in the trend continuing. Thus everyone wants to pile in as the trend becomes popular over time.

This secular, declining interest rate trend that began in 1982, was caused by the (or caused the) end of the Cold War and the resultant "globalization", in which billions of people exited socialism to compete for jobs, thus driving global prices down. The very high interest rates just prior to this, were due to the end in 1971 of the exclusive debt bubble in the USA. I will explain below why debt bubbles always end with high interest rates. Under Bretton Woods, US citizens were on a fiat money system (were not allowed to own gold), while the rest of the world was on a gold dollar standard (could trade their paper dollars for gold that had been confiscated from US citizens in 1933).

There is nothing the US Federal Reserve (the "Fed") can do which would prevent the coming bottom of this secular, declining interest rate trend, and the subsequently rising long interest rates.

If Fed Raises Short-Term Rates
If the Fed were to significantly raise short-term fiat interest rates (i.e. decrease or hold steady the fiat money supply), the ensuing fiat credit crisis would (after an initial stampede into government bonds) drive savers out of long bonds, and into gold. Thus, long bond yields (interest rates) would rise, due to decreased demand for long bonds. Let me explain the process. As of Sept 2007, a fiat credit crisis would be induced or accelerated by rising short-term interest rates, because the debt boom (at least within the USA, with rest of world highly entangled to US debt) has peaked and can no longer service it's debts without an accelerating supply of fiat money. In the initial stages of a fiat credit crisis, savers stampede from defaultable bonds and businesses, into the perceived safey of government-backed bonds. Business defaults domino because they can only borrow money at very high interest rates. Also, fear of defaults discourages private investment. The government (i.e. collective society) will always choose to borrow and spend more, in order to offset the spiraling loss of jobs which results from a spiraling credit crisis. The increasing spiral of government borrowing thus increases the supply of government bonds for sale, which outspirals the increasing demand for government bonds. Thus government bond yields (interest rates) rise. The spiraling of government borrowing exceeds the stampede into government bonds because of the failure of an increasingly collective economy (Russia tried socialism already). In short, the government as a central manager of the economy, will failure miserably, thus government borrowing would become incessant. For one thing, just imagine all the incentive for corrupt waste of money ("hands in the cookie jar"), when the economy is increasing managed by politicians. So as all interest rates rise (private and government borrowing), causing spiraling failure, the government and it's fiat money is no longer perceived to be safe. The secular trend of rising interest rates causes the existing bonds to lose value, as future bonds are sold at increasing yields. This causes a spiraling stampede out of all long bonds, even government backed bonds. Thus, a stampede into gold is the ultimate result of spiraling upward long interest rates.

If Fed Lowers Short-Term Rates
If the US Fed were to significantly lower short-term fiat interest rates (i.e. increase the fiat money supply), the ensuing fiat credit boom would increase the size of the debt bubble, which will require even lower rates to sustain in near future. This induces a blow off peak in the secular global debt bubble trend. Prices hyperinflate once all feasible unproductive sectors of the global economy have been saturated with debt (and thus made "productive"). Price hyperinflation drives interest rates higher, because borrowers demand more loans so their lifestyles can pace with rising prices. Saving at interest rates lower than the price hyperinflation results in a loss of net worth. So even if savers are fooled (by hedonics, etc) into holding savings with negative real interest rates, their demand for bonds decreases (relative to the increasing demand from borrows) as the size of savers' net worth decreases in real terms. Thus, due to the rising imbalance between supply and demand, then as long interest rates increase, the blow off peak has occurred. Then the result and logic is the same as the prior section-- private business defaults domino, government attempts to borrow and spend, there is stampede into gold, etc..

Note if other fiat currency central banks do not lower their interest rates, then the dollar could fall precipitously in relative fiat value. This would also cause price hyperinflation within the dollar economy. Since the dollar economy is the global economy, this would cause widespread price hyperinflation. If the other central banks lower their interest rates, then they also induce price hyperinflation.

If Fed Holds Steady
Although this is what Bernanke is attempting to do, he is just riding the waves of what the public does. When the public stampeded out of private debt into government debt in August 2007, then the public effectively raised the private sector interest rates, and temporarily lowered the government interest rates. The Fed had no choice but to lower it's short-term interest rates in order to keep private business from failing.

In a futile attempt to prevent hyperinflation, the Bernanke Fed is attempting to manage the distribution of the increased money supply, retiring money supply from the private sector by selling government long bonds that the Fed owned (1), while simultaneously loaning new money supply to the largest banks. The big banks then buy up defaulted private sector assets at pennies on the dollar. The Fed is forced to do this, because it must prevent a precipitious drop in the government bond yields, else the 25 year secular trend of declining yields could be reversed. As I explained above, once that secular trend is reversed, there is stampede out of government bonds due to spiraling capital gains losses. The Fed has been forced by the public into a more centrally managed economy. The public caused this by selling private debt and buying more govenment debt.

Usury Leads to Socialism
I have thus explained that saving (and borrowing) with interest forces society towards centrally managed economies, i.e. socialism.

The US Federal Reserve came into existence, because of increasing saving (and borrowing) with interest in the 1800s, thus creating an increasing demand for a fiat economy. The Fed is what society has demanded with it's desire to use interest rates as means of false "productivity" and "prosperity". Society refuses to invest and reap a return on it's investment, then spending from that return on investment. This is because people want to enjoy without risk. I have proved that there is no such thing as a guaranteed rate of return (i.e. interest rates), rather only a guaranteed socialism. Thus society demands socialism. I wish society would stop blaming the Fed, and look in the mirror. Maybe then we could make progress towards real capitalism, where one reaps (harvests) what they sow (invest).

The astute reader will realize that I have just explained why hyperinflation is unavoidable.

Saving versus Borrowing
Society that borrows to consume will eventually get rising long-term interest rates, due to the insatiable addiction of the society to that excessive consumption. Addictions are only broken with rising (or even infinite, i.e. illiquidity) interest rates. Borrowing addictions (dependence) are induced by low interest rates, when there is excessive saving with interest. From 1982 forward, the developing world increasing saved in western bonds, and the west became increasing indebted by the "free" drug. Deflation and falling interest rates can return when rising interest rates have choked off borrowing and consumption. Society can move directly to deflation, e.g. Japan, if usury saving is excessive without sufficient consumption feedback loop. In Japan's case, the bubble was due to big banks buying real estate with the excessive usury savings of it's patrons. Japan has insufficient human and natural resources to be a low cost exporter. In China's case, the usury savings is borrowed for capital infrastructure and by westerners for consumption, which feeds back to China's income from exports. China is attempting to diversify the players in this feedback loop (e.g. big, centrally managed infrastructure loans, to other developing countries, not diverse risk investment by liberating the yuan exchange rate and capital flows for all it's citizens), but the income and debt saturation levels are orders-of-magnitude too low in the developing countries to offset the high-level western consumption. And China's popular usury saving rate is very high. Thus deflation is on the horizon for China, similar to USA in early 1900s, when the western consumption is finally suffocated by higher interest rates and/or Weimer-style hyperinflation. Interest rates are determined by the balance between production and consumption in an economy. Optimum balance is obtained via investment and risk. Capitalism requires many diverse successes and failures in order to avoid large/long trend misallocation. The guaranteed "return" of usury savings and borrowing is antithetical to natural functioning of a free market with success and failure, and instead creates long trend booms and busts, with each boom/bust cycle increasing the government's share of the economy. Thus, usury equals socialism.

Footnote (1): the following link explains that the Fed has been selling government bonds:http://www.lewrockwell.com/north/north568.html

http://www.inteldaily.com/?c=119&a=3701

A Weak Dollar Is Bad For America

Carl Delfeld, Chartwell Advisor 10.17.07, 10:09 AM ET

Martin Feldstein, the chairman of the Council of Economic Advisors under President Reagan, wrote an article for the Financial Times this week, which outlines why he believes that a more "competitive" or weaker U.S. dollar is good for America.

Even though I am a rock-ribbed Reagan Republican, I cannot overstate how strongly I believe that this opinion is incorrect. "Strong Dollar, Strong Currency" is more than a mantra for me since economic history indicates that no country has ever achieved greatness nor maintained it by debasing its currency.
Here is my case for why a weaker dollar hurts America.

First, a weaker dollar translates into a cut in the real spending power of American consumers--in effect, a reduction in real income.

Second, a weaker dollar weakens the role of the U.S. dollar as the world's reserve currency. Why should investors and central banks around the world invest in US assets when their value is steadily declining?

Third, the chances of a weaker dollar leading to a sharp reduction in America's trade deficit is highly unlikely since 40% of the current balance is due to oil imports that are denominated in U.S. dollars. An additional 20% is due to trade with China, which is, of course, controlling the value of its own currency.

Fourth, a weaker dollar is inflationary since it increases the cost of imports.

Fifth, business leaders know that discounting prices may bump near-term revenue and profits but at a real cost to long-term profitability, not to mention inflicting damage to the brand name. This is what we are doing to the brand of America by trying to increase exports by lowering their price in the global marketplace. Better to stand firm on price and sell into global markets on the basis of what is great about American products: superior quality, innovation and service.

Sixth, investors seem to like a weaker dollar since the profits of American multinationals get a boost from foreign earnings being translated into U.S. dollars. Again this is short-term thinking and vastly overstated since most multinationals have sophisticated treasury departments that hedge currency exposures.

What a weaker dollar really does is to encourage American and international investors to invest in non-American markets. The more the dollar drops, the more global equities rise. Many Asian currencies are hitting record highs against the U.S. dollar.

The Australian dollar has climbed to a 25-year highs, while the Singapore dollar has touched 10-year highs. The Brazilian real, which has jumped 18% in value against the U.S. dollar this year, and the Indian rupee's sharp appreciation against the U.S. dollar during the past year, have supercharged U.S. dollar investors' returns in those markets.

According to EPFR Global, investors are pouring money into global funds--with net inflows of $96.94 billion into world equity funds so far in 2007, while taking out $9.6 billion out of U.S. equity funds. Brazil's local stock exchange, the Bovespa, reported that investors have injected $1.2 billion into the market in September alone.

Foreign investors slashed their holdings of U.S. securities by a record amount as the credit squeeze intensified, according to the U.S. Treasury Department. The Treasury said net sales of U.S. market assets--including bonds, notes and equities--were $69.3 billion in August after a revised inflow of $19.5 billion during July. The August outflow exceeded the previous record decline of $21.2 billion in March 1990.
Last and perhaps most importantly, I view a policy of weakening the U.S. dollar to improve America's competitive position as the path of least resistance.

Let's not roll up our sleeves and cut federal spending, greatly simplify our tax code to encourage productivity and achievement or reduce corporate tax rates and excessive regulation. Let's just wink and weaken and let our nation's currency drift lower on automatic pilot.

My view is that the value of a nation's currency reflects the perceived value of country in the global marketplace. Maintaining and strengthening the value of our nation's currency is in the best interest of American consumers, businesses and investors.

http://www.forbes.com/home/personalfinance/2007/10/17/dollar-currency-feldstein-pf-etf-in_cd_1017etfbriefing_inl.html

Why Real Estate is a Consumer Item, Not an Investment

Posted by Bill Bonner on Oct 26th, 2007


We keep saying: housing is not an investment; it’s a consumer item. Here comes an old friend with new evidence:

“The idea that housing doesn’t go down turns on its head when you actually calculate in the real-world costs of interest, taxes, insurance, etc. For instance, before those costs are counted, it looks like 16 out of the 17 top real estate markets in the 1990s were in the black. Once you add them in, however, it turns out that not one of the top property markets went up. They were all negative.

“In the 2000s, up to May 2007, you get something similar…three markets that, in unrealistic terms supposedly shot up 18%, 33%, and 36% during that period, are all actually net losers…down 10.5%, 13.4%, and 28.2%. As in negative. The gains were phantom stats from the fantasy world of no-cost property ownership.

“Running through the rest of the list, the other major markets did still make money. But instead of the astounding triple-digit gains property owners love to point to as proof that this bubble was the real deal, you find out that only two of the markets – net of costs – actually crossed the 100%-gain mark (instead of 10 markets). And annualised, only two markets were even a little above 10% gains in property values.

“Not bad, but not a miracle by any stretch.

“Two more of those top markets just barely squeaked past the annualised 8.5% gains in the S&P 500 for the same period. All the rest of the top 17 markets looked at in this article did worse than the S&P. During what was supposed to be the biggest property boom of all time.

“Again, this isn’t to say there wasn’t a bubble. Just that it truly was an event completely devoid of sanity.”

Bill Bonner
The Daily Reckoning Australia

P.S. to get The Daily Reckoning direct to your inbox sign up to our free e-mail newsletter or if you prefer to use RSS, subscribe to the Daily Reckoning RSS feed.

Related Posts:


Barn Fund-Raising, or Will Baby Boomers Make Saving Trendy Again?
Australian Investors Mistakenly Buying American Real Estate
Poverty, Pubs Better for Ireland Than Real Estate Boom
US Housing Market: Median Prices Will Fall
Boy, can you get stucco in real estate investments


http://www.dailyreckoning.com.au/real-estate-a-consumer-item/2007/10/26/

Why the Euro is Garbage and Only Gold is Absolute

Posted by Dan Denning on Nov 16th, 2007


How about the gold market? Nature’s currency, gold, fell over US$27 in New York trading and is back under US$800 at US$787.30. Uh oh. What gives?

Another point we made last night is to underscore the fundamental structural change in the currency markets. The US dollar has fallen…and it cannot get up. There will be rallies. But even if the dollar rallies against the euro, so what?

The euro is also garbage, we pointed out. It’s simply another currency not backed by anything tangible. It’s risen by virtue of the fact that it is not the US dollar. But it too, is un-backed paper liability. And it’s not even backed by a real country! It’s backed by 12 member nations whose various economic fortunes may one day force them to abandon the common currency in order to set interest rates that are more appropriate than those set in Brussels. Europe has a North-South divide.

But back to gold. In a world of paper money relativity, gold is a physical absolute. That is why people have been treating it as money for thousands of years. That alone makes it compelling. But as we said, the bear market in the US dollar is a terminal bear market.

The US government will either have to greatly devalue the currency to pay off its debts, or default on those debts. Neither is good for confidence in the currency. In the meantime, things priced in dollars (commodities) will continue to go up as the supply of dollars increases faster than the supply of tangible goods.

Dan Denning
The Daily Reckoning Australia

P.S. to get The Daily Reckoning direct to your inbox sign up to our free e-mail newsletter or if you prefer to use RSS, subscribe to the Daily Reckoning RSS feed.

Related Posts:


Gold Closes In On 6
Russia Benefits From Exposure To Euro and Gold in US Dollar Exodus
Dow Jones Dives Again, US Dollar Keeps Rising
Central Banks to Support US Dollar by Selling Gold
Interest Rate Cuts and Higher Gold Price a Matter of Time

Jim Rogers Urges People to Sell U.S. Dollar Holdings (Update1)

By Aaron Pan and Paul Gordon

Nov. 15 (Bloomberg) -- Investor Jim Rogers urged people to get out of the dollar and says he expects to be rid of all his U.S. currency assets by summer next year.

``If you have dollars, I urge you to get out,'' Rogers said in an interview from Singapore. He is chairman of New York-based Rogers Holdings, formerly known as Beeland Interests Inc. ``That's not a currency to own.''

The dollar fell 9.5 percent this year against a basket of six major currencies as a housing slump slowed the economy and losses stemming from subprime mortgage defaults spread among U.S. banks. Rogers, who said last month he was shifting out of all his dollar assets, plans to buy commodities, Japan's yen, the Chinese yuan and the Swiss franc.

Interest rate futures traded on the Chicago Board of Trade show a 72 percent chance that the central bank will lower its target rate for overnight loans between banks to 4.25 percent on Dec. 11, its third reduction this year.

Rogers, who predicted the start of the global commodities rally in 1999, criticized Federal Reserve Chairman Ben S. Bernanke for comments on the currency before a congressional committee on Nov. 8.

``He is a total fool,'' Rogers said. ``He said Americans who buy only American goods are not affected if the value of the U.S. dollar goes down. I was terrified.''

Bernanke said the only effect of a weaker dollar on a typical American with their wealth in dollars, buying consumer goods in dollars, would be ``their buying powers, it makes imported goods more expensive.''

Rogers said that's not right.

``If you only buy American products and the dollar goes down, the price of oil goes up, copper goes up, wheat goes up,'' he said. ``That affects you. He doesn't understand the economy as far as I can see.''

To contact the reporter on this story: Aaron Pan in Hong Kong at Apan8@bloomberg.net .

http://www.bloomberg.com/apps/news?pid=20601083&sid=aXH9wCx1oydw&refer=currency

Tuesday, November 13, 2007

Report Puts Hidden War Costs at $1.6T




By JEANNINE AVERSA, AP Economics Writer
Tue Nov 13, 6:21 PM ET

WASHINGTON - The economic costs of the wars in Iraq and Afghanistan are estimated to total $1.6 trillion — roughly double the amount the White House has requested thus far, according to a new report by Democrats on Congress' Joint Economic Committee.

ADVERTISEMENT

The report, released Tuesday, attempted to put a price tag on the two conflicts, including "hidden" costs such as interest payments on the money borrowed to pay for the wars, lost investment, the expense of long-term health care for injured veterans and the cost of oil market disruptions.

The $1.6 trillion figure, for the period from 2002 to 2008, translates into a cost of $20,900 for a family of four, the report said. The Bush administration has requested $804 billion for the Iraq and Afghanistan wars combined, the report stated.

For the Iraq war only, total economic costs were estimated at $1.3 trillion for the period from 2002 to 2008. That would cost a family of four $16,500, the report said.

Future economic costs would be even greater. The report estimated that both wars would cost $3.5 trillion between 2003 and 2017. Under that scenario, it would cost a family of four $46,400, the report said.

The report, from the committee's Democratic majority, was not vetted with Republican members. Democratic leaders in Congress, including Senate Majority Leader Harry Reid, D-Nev., seized on the report to criticize Bush's war strategy. The White House countered that the report was politically motivated.

"This report was put out by Democrats on Capitol Hill. This committee is known for being partisan and political. They did not consult or cooperate with the Republicans on the committee. And so I think it is an attempt to muddy the waters on what has been some positive developments being reported out of Iraq," said White House press secretary Dana Perino. "I haven't seen the report, but it's obvious the motivations behind it."

The report comes as the House and Senate planned to vote this week on another effort by Democrats to set a deadline for withdrawing troops from Iraq as a condition for providing another $50 billion for the war.

Reid said the report "is another reminder of how President Bush's stubborn refusal to change course in Iraq and congressional Republicans' willingness to rubber stamp his failed strategy — has real consequences at home for all Americans."

Perino, while acknowledging the dangers in Iraq, defended Bush's stance.

"Obviously it remains a dangerous situation in Iraq. But the reduction in violence, the increased economic capacity of the country, as well as, hopefully, some continued political reconciliation that is moving from the bottom up, is a positive trend and one that we — well, it's positive and we hope it is a trend that will take hold," Perino said.

Israel Klein, spokesman for the Joint Economic Committee, took issue with the White House's characterization of the panel's report.

"Instead of dealing with the substance of this report, the White House is once again trying to deflect attention away from the blistering costs of this war in Iraq," Klein said. "This report uses the nonpartisan CBO (Congressional Budget Office) budget estimates and was prepared by the JEC's professional economists using the same process this committee has always used, regardless of which party is in the majority."

However, the committee's top-ranking Republican members — Sen. Sam Brownback of Kansas and Rep. Jim Saxton of New Jersey — called on the Democratic leadership to "withdraw this defective report." A joint statement from the two Republican lawmakers said the report is a "thinly veiled exercise in political hyperbole masquerading as academic research."

White House Budget Director Jim Nussle accused Democrats of "trying to distort reality for political gain."

Oil prices have surged since the start of the war, from about $37 a barrel to well over $90 a barrel in recent weeks, the report said. "Consistent disruptions from the war have affected oil prices," although the Iraq war is not responsible for all of the increase in oil prices, the report said.

Still, the report estimated that high oil prices have hit U.S. consumers in the pocket, transferring "approximately $124 billion from U.S. oil consumers to foreign (oil) producers" from 2003 to 2008, the report said.

High oil prices can slow overall economic growth if that chills spending and investment by consumers and businesses. At the same time, high oil prices can spread inflation throughout the economy if companies decide to boost the prices of many other goods and services.

Meanwhile, "the sum of interest paid on Iraq-related debt from 2003 to 2017 will total over $550 billion," the report said. The government has to make interest payments on the money it borrows to finance the national debt, which recently hit $9 trillion for the first time.

The report was obtained by The Associated Press before its release. An earlier draft of the report, which also had been obtained by The AP, had put the economic cost of the Iraq and Afghanistan wars slightly lower, at $1.5 trillion.

"What this report makes crystal clear," said Joint Economic Committee Chairman Sen. Chuck Schumer, D-N.Y., "is that the cost to our country in lives lost and dollars spent is tragically unacceptable." Rep. Carolyn Maloney, D-N.Y., the panel's vice chair, said of the Iraq war: "By every measure, this war has cost Americans far too much."

http://news.yahoo.com/s/ap/20071113/ap_on_go_co/war_costs

Monday, October 22, 2007

Sunday, October 21, 2007

SAMI YUSUF-SUPPLICATION

Saturday, October 13, 2007

How I Became Muslima.....



Saturday,Sep 1 2007, 05:29:36 PM
(Last updated: Sunday,Oct 7 2007, 03:57:29 PM)
I find that God does mysterious things in our lives when we are least expecting it... I praise Him for that, for without these such instances we wouldn't grow and change in our character and ultimately into a righteousness we so desire in our spirit. God is gracious like that.

I have found myself searching to know what His ultimate will is for my life and what is the real truth. Everyone claims to have the truth and the truth is what each of us desires. We want to be kept in His grasp and to be in His paradise in the end. I, myself, have sought out this truth, wondering if there is more than what I had seen in my Bible...See, we are taught that God had given Abraham a promise of blessing to his people and would make them into a great nation...both through Isaac and Ishmael. Now Isaac's line is the line which the Messiah came through and the line which God did many things for the Israelites...from bringing them out of Egyptian captivity, performing many miracles, and giving them His laws and ordinances. The Children of Israel were blessed in many ways by this close relationship to God...

BUT, what of Ishmael's lineage which was also blessed by God with the same promises of prosperity and having some twelve princes coming out of his line, and ultimately the Mohammed of the Quran? This same Mohammed is supposedly taught about in the teachings of Torah and the Scriptures. I wondered why the Bible had left this out...Ishmael was afterall the firstborn son of Abraham, which comes with many blessings in itself. The firstborn blessings don't just get given away unless it is given from him like in the case of Esau and Jacob. Esau's birthright was given to Jacob in exchange for some soup, because of Esau's foolishness. What about Ishmael? There is no mention of Ishmael giving up his birthright...so why would God choose to go through Isaac's line for a particular blessing and yet also give the same blessing to Ishmael and we never again read about it?

I sought out counsel from the Rabbis online and none were able to convince me of any particular reason for the blessing or what would come out of that blessing, nor who the princes were who would come out of Ishamel's line. But they did say that the Moslems would be taken into paradise if they lived a Godly life...interesting. So the Rabbis don't deny their right into the kingdom; infact, they will be sharing it with them; afterall, they are their cousins.

Here is how the questioning began:

Sunday July 30, 2006- "I have a question regarding God blessing Ishmael. What exactly does this mean for his line (Genesis 16:9-14 and 17:18-21)?"

Genesis 16:9-"Then the angel of the LORD said to her, "Return to your mistress, and submit yourself to her authority." 10-"Moreover, the angel of the LORD said to her, "I will greatly multiply your descendants so that they shall be too many to count." 11-"The angel of the LORD said to her further, "Behold, you are with child, and you shall bear a son; and you shall call his name Ishmael, because the LORD has given heed to your affliction." 12-"And he will be a wild donkey of a man, his hand will be against everyone, and everyone's hand will be against him; and he will live to the east of all his brothers." 13-"Then she called the name of the LORD who spoke to her, "Thou art a God who sees"; for she said, "Have I even remained alive here after seeing Him?" 14-"Therefore the well was called Beer-lahai-roi; Behold, it is between Kadesh and Bered."

Genesis 17: 18-"And Abraham said to God, "Oh that Ishmael might live before Thee!" 19-"But God said, "No, but Sarah your wife shall bear you a son, and you shall call his name Isaac; and I will establish My covenant with him for an everlasting covenant for his descendants after him." 20-"And as for Ishmael, I have heard you; Behold, I will bless him, and will make him fruitful, and will multiply him exceedingly. He shall become the father of twelve princes, and I will make him a great nation." 21-"But My covenant I will establish with Isaac, whom Sarah will bear to you at this season next year.")"
"Could you please be more specific? it means exactly what it says, he
will become a great and wild nation etc."

Simcha Bart
AskMoses

Same day, July 30, 2006- I asked about prayer as I was curious as to the Jewish standpoint of prayer and how it relates to Islam: "Are there specific times in which we are to pray, as a woman?"

"In general mitzvot which are time dependent women aren't obligated in.
Therefore prayer times per se don't apply, even though the obligation
to pray is there."

Simcha Bart
AskMoses

August 1, 2006- I asked another on prayer which was more specific- "What are the times for the men."

"In response to your email, below is an excerpt about this from our
searchable knowledgebase.

...there are three times to connect: morning, afternoon and night. The
morning connection is called Shacharit, the afternoon connection is
called Minchah and the night connection is called Maariv...

For the entire article please follow this link:
http://www.askmoses.com/article.html?h=287&o=75.

Please also see: When do I pray Shacharit?
http://www.askmoses.com/article.html?h=287&o=85388,

When do I pray Mincha?
http://www.askmoses.com/article.html?h=287&o=85395, and

When do I pray Maariv?
http://www.askmoses.com/article.html?h=287&o=2065630.

Additionally, on the sabbath and major Jewish holidays, there is the
Mussaf prayer. Please see: When do I pray Musaf?
http://www.askmoses.com/article.html?h=287&o=85399.


I hope that I have answered your question. If you have further
questions, please click reply. "

Thank you for coming to AskMoses!

Tuesday, August 1, 2006- "What did it mean when Abraham said, "Oh that Ishmael would live before Thee!" Then God said, No, and that His covenant would be through Isaac. I am trying to figure out how God blessing Ishmael affected his descendants. Why choose Isaac? Was it because of Sarah? God obviously blessed Ishmael because he was a son of Abraham. Would God just make Ishmael's descendants into a great nation for no reason? There must be more to it. Who are the twelve princes and what was their significance and the significance of saying that they would be blessed and fruitful and become a great nation? Are they blessed in the afterlife also, because they are of Abraham's seed? Supposedly these are the Arab people, right? If they are practicing Islam, how does that fit into the picture? I am a Gentile who tries to keep Torah and the Jewish festivals, because they are God's appointed times, but I am confused with regard to what is going on here in these verses. It's a prophesy of some kind. What is the Jewish perspective of this. I hope I'm not driving you crazy with my questioning. I have done some studying of Islam because I took a World religions course and I am not in total agreement with their Qur'an, but I noticed that they have some Torah verses in their Qur'an which I find interesting. It's like two brothers with the same God, same beliefs for the most part, but different. One has an everlasting covenant and one is just blessed. I want to understand this."

"Here is what Rashi - foremost Torah commentator says on this verse:

If only Ishmael will live If only Ishmael will live! I do not deserve
to receive such a reward as this.
will live before You [This means]: ["Let him] live in fear of You," as
in (verse 1): "Walk before Me," [which Onkelos renders:]"Serve Me."
[following Targum Jonathan]

In other words Abraham was already worried about Ishmael not following
in the his ways. That is why the blessings were primarily given to
Isaac - because Isaac chose to follow in Abraham's footsteps, as opposed to
Ishmael. See Rashi on 21:9 -

making merry Heb. ???????. An expression of idolatry, as it is said
(Exod. 32:6):"and they rose up to make merry" (???????) . Another
explanation: An expression of illicit sexual relations, as it is said (below
39:17):"to mock (???????) me." Another explanation: An expression of
murder, as it is said (II Sam. 2:14):"Let the boys get up now and sport
(????????????) before us, etc." - [from Gen. Rabbah 53:11]

And in the next verse as well:

with my son, etc. From Sarah's reply, "For the son of this handmaid
shall not inherit with my son," you learn that he would quarrel with Isaac
regarding the inheritance and say," I am the firstborn and should take
two portions," and they would go out to the field, and he would take
his bow and shoot arrows at him, as it is said (Prov. 26:18f.): "Like one
who wearies himself shooting firebrands, etc. and says: Am I not
joking?" - [from above source]

Therefore being the child of Abraham he was entitkled to at the very
least material success, but spiritually, he was unworthy to be Abraham's
succesor.

This doesn't preclude freedom of choice, veryone Jew or Muslim can
choose to live righteously, and G-d will reward them for it.


If you have further questions, please click reply or logon to AskMoses
and ask a live scholar. Thank you for coming to AskMoses!"

Simcha Bart
AskMoses

I kept searching and searching for this truth, wondering what is with the muslims and their link to the Jews. I saw myself desiring to have a prayer rug like the Muslims use for their prayer times. I thought that it would be nice to have a rug on which to pray so it would seem a little more formal...not knowing that God was drawing me into His plan for my life. I was searching online about the blessing for Ishmael and the things having to do with the authority of the Bible and changes which were made. This search online brought me to this link. This link changed my life.

http://wings.buffalo.edu/sa/muslim/library/jesus-say/ (The original)

http://media.isnet.org/off/Islam/JesusSay/ (Lists the Table of Contents)

I couldn't stop reading bits of this link which seemed so meaty and fulfilling all of my questions. I wanted to print it out and found it was over 600 pages long...so I had to buy the book. Praise God for this book!!! It needs to be everywhere! If you know anyone who is a Christian, they need to read this book.

I was reading about the Trinity and how it was an idea which was brought about three hundred years after Jesus had come to this earth.I had kept praying that God would show me His truth and that He wouldn't let me out of his grasp. This was my greatest fear...to find myself drifting out of His reach and into Satan's territory, to be out of His kingdom and never able to see Him face to face. While reading this particular page on the Trinity,

"Allah has not chosen any son, nor is there any God along with Him; else would each God have assuredly championed that which he created, and some of them would assuredly have overcome others. Glorified be Allah above all that they allege. Knower of the invisible and the visible! and exalted be He over all that they ascribe as partners (unto Him)!"

The noble Qur'an, Al-Muminoon(23):91-92.


The concept of the "Trinity" as originally adopted by Christianity three centuries after the departure of Jesus (see historical details at the end of this chapter) and taught to Christians ever since is the merging of three entities into one similar entity while remaining three distinct entities. In other words: Three bodies fold, blend, or merge into one body so that they become one entity while at the same time exhibiting the characteristics of three distinct and separate entities. It is described as "a mystery." As we just read, the first definition of the Trinity was put forth in the fourth century as follows: "...we worship one God in the trinity, and Trinity in Unity...for there is one Person of the Father, another of the Son, another of the Holy Ghost is all one... they are not three gods, but one God... the whole three persons are co-eternal and co-equal...he therefore that will be saved must thus think of the trinity..." (excerpts from the Athanasian creed).

I was reading this portion at my desk at work (Things were very slow) and all of a sudden I was taken into a vision and not of my own will. I went from reading this into a foggy haze and I saw an arm above me reaching forward to touch my hair and forehead, which I felt the weight of the hand, and I saw this being's white sleeve. At that moment I returned to seeing my book, and I could still feel the place where my head was touched. I knew at that moment that God was showing me His pleasure that I was reading this book and leaning toward Islam as the Truth. I then felt I had to get an English version of the Qur'an, which I did. I bought my first hijabs and I downloaded things to learn how to pray. I started reading Qur'an to my daughter Juliette, who was 10, and she had a dream that she was outside playing in the playground at school and it was time to go back inside and while she was returning to get into line, she saw three angels flying around her. She told her classmates and no one believed her. My other daughter, Sarah, who was 13, wasn't as interested, but has since begun to do sallah with me and her sister!!! Juliette chose on her own accord to wear the hijab to school. I asked her what she would tell people if they ask her and she said she would tell them it was for God. Praise God for this! She had courage to be the ONLY person in her school to wear the hijab. She and I memorized the Fatihah. I'm truly blessed.

I wanted to share my conversion process... and to leave a note of encouragement. If we seek God wholly, He will show us what His will is for our lives. God is always there and hears all that we speak and knows our hearts before we ever say anything. He knows our desires and our dreams. He has a plan for every one of us...a perfect plan to prosper us. Our job is to seek Him and His will for us while we are able. Peace!

http://www.zorpia.com/Shahira06

Saturday, October 6, 2007

Pakistan: America hopes to prevent the establishment of the Khilafah, by supporting corrupt system


Bismillahi Al-Rahman Al-Raheem

On 10 August 2007, during a news conference at the White House, US President George W Bush endorsed the holding of elections within the present system in Pakistan, whilst warning against radical views. President Bush said, “It’s also important for Americans to understand that he (Musharraf) shares the same concern about radicals and extremists as I do and as the American people do. My focus in terms of the domestic scene is that they have a free and fair election. And that’s what we have been talking to him about and I’m hopeful they will.”

Numerous American government and military officials, including President Bush himself, have repeatedly made clear why they are concerned about Muslims with radical views. On 6 October 2005, whilst addressing the National Endowment for Democracy, Bush condemned the Muslim belief that, “controlling one country will rally the Muslim masses, enabling them to overthrow all moderate governments in the region and establish a radical Islamic empire that spans from Spain to Indonesia.” And on 1 May 2007, whilst addressing the US military’s CENTCOM coalition conference, Bush condemned all those who “seek to establish a radical Islamic Caliphate (Khilafah).”

The Americans prefer that the Muslims remain engaged in the present system, rather than undertake the radical work of uprooting the present system and re-establishing the Khilafah in its place. Were the Muslims to establish a single Khilafah state, which would eventually span from Spain to Indonesia as occurred in the past, the Islamic Ummah would be more than strong enough to resist America’s occupation of her lands and exploitation of her resources. Indeed, the Khilafah state would be a state unmatched in terms of lands, armies, wealth and population by any existing world power.

Moreover, the Americans are fully aware that the desire for the Khilafah is stronger and more widespread amongst the Muslims than ever before. A survey supported by the US Department of Homeland Security and conducted by the University of Maryland between December 2006 and February 2007, revealed that the majority of Muslims held a goal “to unify all Islamic countries into a single Islamic state or Caliphate (Khilafah).” And American media carried reports of a huge conference organized by Hizb ut-Tahrir calling for the re-establishment of the Khilafah, which was attended by 100,000 Muslims in Indonesia on 12 August 2007.

So, rather than allowing Muslims to implement their own deen in their own lands through the Khilafah state, America is determined that the Muslims cling to the present system. America realises that the present system will always secure its interests because it is a man-made system. Whoever enters the present system, with sincere intentions or otherwise, will make laws and policies according to the whims and desires of those who brought him or her to power. So, the entire nation is enslaved to the dictates of the colonialist policies of America, Britain, the IMF and the World Bank. All this is why American officials are active in meeting Pakistan’s politicians at home and abroad and calling for elections within the present system.

Unlike the present corrupt system, the Khilafah will ensure that the interests of Muslims are never sacrificed for colonialist interests. Although the Khaleefah and the members of the Majlis-e-Ummah will be elected, neither the Khaleefah nor the representatives are allowed to decide what is Halal and what is Haram for themselves, as occurs in the present man-made system. Rather, they are all bound to refer to the Qur’an, Sunnah and Ijma-as-Sahaba رضي الله عنهم. Accordingly, consultation (shura) will never extend to making the Halal into Haram or the Haram into Halal. So, there would never be consultation on ordering riba, general sales tax or privatisation to allow Western control of electricity, oil and gas, for these matters are forbidden (Haram) in Islam. Nor will consultation be on forbidding the hudood of Allah سبحانه وتعالى, the liberation of the occupied Muslim Lands or the Islamic ‘aqeedah being the sole basis for culturing people, for these matters are obligatory (fard) in Islam.

O Muslims of Pakistan!

Under the present system, the ruler becomes an oppressor in the light of Shari’ah, because he does not rule by the deen of Allah سبحانه وتعالى. Allah سبحانه وتعالى revealed,


وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الظَّالِمُونَ
“Those who do not judge by all that Allah has revealed, they are the oppressors.” (Surah Al-Maidah 5:45)


The present system is based on the doctrine of separating the ‘aqeedah from life’s affairs. This system was established in Europe by the people to rid themselves of oppression by the rulers, in the name of religion. However, this man-made system opened the doors for a new form of oppression in which a small capitalist elite manipulates the law to secure its own interests, forsaking the masses. This applies to America, where immensely wealthy capitalist individuals and companies ensure laws secure their benefit, as much as it applies to Pakistan, where politics is a business for securing personal interests in exchange for fulfilling Western interests. The present oppressive system contradicts Islam and it is prohibited for a Muslim to engage in such a system. Allah سبحانه وتعالى revealed,


وَمَا آتَاكُمْ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَاب
“So take what RasulAllah assigns to you and deny yourselves that which he withholds from you. And fear Allah; for Allah is strict in Punishment.” (Surah Al-Hashr 59:7)


O Muslims of Pakistan!

The West knows very well that the time for Islam in the Muslim World has come; in fact the re-establishment of the Khilafah is long overdue. In a last desperate attempt, the West calls the Muslims of Pakistan to support the present man-made system that has only brought them misery for over sixty years. The West seeks to change faces only, so that the system that has secured its interests for so long remains.

Changing faces is not enough; only the implementation of Islam will rescue you from your miserable situation. You must deny the West their last desperate attempt to distance you from Islam. You must reject any support of the present corrupt system, such as voting for those who accept ruling under the current system. And you must end the Western domination over your affairs, by establishing a Khilafah state, in which the elected ruler and representatives work only to please Allah سبحانه وتعالى the Lord of the Worlds.

O people of power!

You are the people of Nusrah (material support), like the noble Ansar before you who gave the material support to RasulAllah صلى الله عليه وسلم in order to establish the rule of Islam in Madinah. It is by the grace of Allah سبحانه وتعالى that you enjoy power at a time that the Ummah has turned strongly to Islam and the Khilafah is on the horizon. And it is by the grace of Allah سبحانه وتعالى that you are able to end the oppression of your people, through the implementation of Islam. Hizb ut-Tahrir calls you to uproot the present corrupt system and re-establish the Khilafah in its place. So, who amongst you will respond to the promise of Allah سبحانه وتعالى and support His cause?


وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Allah will certainly support those who support His cause, for indeed Allah is full of strength, exalted in might and able to enforce His will.” (Surah Al-Hajj 22: 40)


Source:
Hizb ut-Tahrir
19.08.2007
Wilayah Pakistan

Wednesday, October 3, 2007

Jenderal Tariq bin Ziyad Bakar Kapal Kobarkan Semangat Pasukan

Republika: Rabu, 19 September 2007
Jenderal Tariq bin Ziyad
Bakar Kapal Kobarkan Semangat Pasukan

Gibraltar dijadikan markas dan tempat untuk menyusun strategi penyerangan.

Nyala api merayap cepat, melalap habis kapal-kapal kokoh. Kepulan asap
menyebar memenuhi angkasa. ''Tidak ada jalan untuk melarikan diri. Laut
dibelakang kalian dan musuh di depan kalian. Demi Allah tidak ada yang
dapat kalian lakukan sekarang kecuali bersungguh-sungguh penuh keikhlasan
dan kesabaran,'' kata Tariq bin Ziyad lantang kepada anggota pasukan
tempurnya.

Beberapa saat selepas mendarat di wilayah Gibraltar atau Jabal Tariq,
sebagian personel pasukan bergerak cepat menunaikan titah. Tariq, sang
pemimpin pasukan, memberi komando untuk membakar kapal yang telah membawa
mereka mengarungi lautan hingga tiba di Jabal Tariq, Andalusia, Spanyol.
Langkah ini bukannya tanpa perhitungan.

Tariq ingin agar pasukannya memiliki daya juang dan keberanian dalam
menghadapi pasukan musuh yang berjumlah lebih besar. Dan akhirnya, tak ada
jalan lain bagi pasukan Tariq kecuali bertempur dengan penuh kesungguhan.
Menaklukan pasukan musuh atau mempersembahkan jiwa dan raga untuk menuai
kesyahidan.

Seketika dada bergemuruh berisi luapan tekad kemenangan. Pasukan Tariq
bergerak merangsek menghadapi pasukan Raja Roderic, Kerajaan Visigothic,
Spanyol. Dalam pertempuran selama sekitar sepekan, pasukan Tariq berhasil
menaklukan pasukan musuh. Pertempuran berlangsung 11 hingga 19 Juli 711 M
atau 20 hingga 28 Ramadhan 92 H.

Peperangan ini bermula saat Julian, Gubernur Ceuta, yang berada di bawah
kekuasaan Spanyol, memendam kesumat kepada Raja Roderic karena
kedzalimannya. Roderic dinilai telah berbuat tidak pantas terhadap putri
Julian yang dikirim untuk belajar kepada Roderic. Maka Julian pun
berkeinginan menuntut balas atas perlakuan itu.

Julian kemudian melakukan kunjungan kepada Gubernur Tangier, Afrika Utara,
Musa ibn Nusair yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Ummayah. Kemudian ia
menunjuk Jenderal Tariq bin Ziyad yang menjadi deputinya untuk memberikan
bantuan kepada Julian. Apalagi, selama ini, kedua belah pihak menjalin
hubungan baik dan tak pernah ada perselisihan.

Pasukan pendahulu sebanyak 400 tentara dikirim pada 710 M yang dimpimpin
oleh Tarif bin Malik. Julian menyediakan empat unit kapal untuk kepentingan
itu. Beberapa saat kemudian, Tarif kembali dan memberi kabar bahwa apa yang
diungkapkan Julian merupakan cerita yang dapat dibuktikan kebenarannya.

Maka, Tariq kemudian memimpin pasukan berjumlah 12 ribu orang yang
merupakan orang-orang Berber. Mereka merupakan bangsa non Arab yang hidup
di kawasan utara Maroko dan nomaden. Saat Islam masuk ke wilayah mereka,
kemudian mereka menanggalkan animisme dan memeluk agama yang didakwahkan
oleh Nabi Muhammad.

Tariq dan pasukannya berangkat dari Ceuta dan tiba di Gibraltar. Wilayah
ini kemudian dijadikan markas dan tempat untuk menyusun strategi melakukan
penyerangan. Pada akhirnya, kedatangan pasukan Tariq diketahui oleh
Gubernur Edeco yang wilayahnya berdekatan dengan Gibraltar. Ia bergegas
menginformasikan hal ini kepada Roderic.

Informasi ini memicu Raja Roderic untuk segera menghadapi pasukan Tariq
dengan jumlah yang lebih besar, yaitu enam kali lipatnya. Usai kapal-kapal
yang membawa pasukan Tariq dibakar, pertempuran pun meletus di Rio Barbate
dan akhirnya pasukan Roderic bisa dikalahkan. Tariq kemudian membagi
pasukan.

Tariq mengarahkan pasukannya ke wilayah Toledo yang merupakan pusat
kerajaan Roderic. Sementara Mughith al-Rumi yang menjadi pemimpin pasukan
kavaleri, dengan kekuatan 700 pasukan berkuda menuju ke arah Cordoba. Usai
menguasai Toledo, Tariq dan pasukannya menyusul ke Cordoba dan melayangkan
surat ke Musa atas keberhasilan penaklukan Andalusia.

Lalu, Musa menyampaikan kabar kemenangan ini kepada Khalifah Walid di
Damaskus. Usai kemenangan gemilang ini, Musa menyusul Tari1 pada 712 M
dengan membawa 18 ribu pasukan untuk memperluas wilayah penaklukan. Musa
bertemu dengan Tariq di Talavera dekat Toledo. Penaklukan selanjutnya
diteruskan oleh pasukan Islam setelahnya.

Penaklukan yang dilakukan pasukan Islam hingga 721 M meliputi seluruh
Semenanjung Iberia dan sebagian wilayah Prancis bagian selatan. Hingga abad
ke-10, wilayah kekuasan Islam masih meliputi sekitar empat perlima
Semenanjung Iberia. n fer/berbagai sumber

( )

Disclaimer : This email and any file transmitted with it are confidential
and are intended solely for the use of the individual or entity whom they
are addressed, if you are not the original recipient, please delete it from
your system. Any views or opinions expressed in this email are those of
the author only.

Demokrasi Liberal dan Konservatif

*Penulis: Teuku Kemal Fasya, Komunitas Peradaban Aceh (KPA)*


Ada berita dari dua kota di negara bagian Louisiana, Amerika Serikat, (AS)
yang melarang remaja putri memakai pakaian yang memperlihatkan celana dalam
mereka. Larangan itu saat ini menjadi peraturan kota, muncul karena
keresahan masyarakat akan model pakaian yang semakin kurang etik dan
memancing kejahatan seksual.

Menurut *Washington Post*, kebijakan itu dengan mudah diloloskan tanpa
mendapat protes yang berarti. Louis Marshall, konselor Kota Alexandria,
tokoh di balik hadirnya kebijakan tersebut, adalah sosok konservatif yang
cerdas. Ia menggunakan logika-logika demokrasi dalam perdebatan di senat
untuk mendukung kebijakan ini.

Pandangannya yang lugas dan kuat menunjukkan Louis Marshall memang bukan
sekadar konservatif, tetapi konservatif yang terdidik dan visioner. Pucuk
argumentasinya dijadikan konsideran peraturan. Sampai saat ini kebijakan ini
mampu mengubah perilaku berpakaian remaja yang slebor dan tak sedap
dipandang mata. Sebuah pengalaman unik dari negara yang dimitoskan sebagai
guru demokrasi (liberal).

*Indonesia yang terlalu liberal*

Hal seperti ini tentu tidak akan lahir di negara kita yang lebih terpengaruh
dengan gaya liberal. Jika kebijakan ini hadir di sini, tentu dianggap
sebagai intervensi ranah privat dan tidak substansial sebagai sebuah
kebijakan publik. Kebijakan seperti ini pasti diserang dengan stigma kolot,
antipluralisme, diskriminasi terhadap perempuan, berpandangan ke belakang,
dsb.

Contoh yang bisa menyegarkan kembali--untuk mengontraskan dengan pengalaman
di AS--adalah pernyataan Presiden Yudhoyono di awal kepemimpinannya agar
televisi kita jangan terlalu banyak mengumbar pusar perempuan. Pandangan
Yudhoyono saat itu dengan gencar diserang oleh kelompok feminis sebagai
wujud *pan-opticon patriarkhal* (pengontrolan perilaku perempuan melalui
mata laki-laki).

Seluruh jurus epistimologi demokrasi liberal dan kebebasan berekspresi
dilancarkan dan membuat Yudhoyono mati kutu, tak melanjutkan wacananya itu.
Jika melihat sejarah demokrasi Indonesia, pandangan yang cenderung liberal
memang menandai bangkitnya demokrasi di negeri ini. Liberalisme dianggap
sebagai sebuah pandangan yang lebih unggul dibandingkan konservatif. Wacana
bahwa demokrasi adalah kebebasan ekspresi dan minimalisasi wacana buatan
negara, telah dibelokkan kesimpulannya ke arah liberalisme. Apa yang
dianggap sebagai keperluan publik (*public necessity*) harus berangkat dari
subjektivisme individual yang bebas. Liberalisme akhirnya bertunas dan
berbuah menjadi demokrasi Indonesia.

Inilah yang kemudian menjadi interior dalam mengembangkan model
demokrasi--sejak masa Soekarno--yang didasarkan pada otonomi individu dalam
memaknai ruang publik (*public sphere*). Salah satu referensi yang sangat
populer adalah pandangan dari seorang neomodernis Jerman, Jurgen Habermas,
bahwa kepublikan (*pulicity, publizitat*) adalah bentuk kebangkitan sejarah
individu dan kelompok masyarakat untuk membentuk opini publik dan memberikan
tanggapan langsung terhadap hal-hal yang memengaruhi praktik dan kebijakan
politik (B Hari Juliawan: 2004).

Bila merunut alur, pandangan ini sedikit banyak jelas dipengaruhi oleh
gelombang demokratisasi abad 18 di Eropa (Prancis) dan berlangsung terus di
era transisi kapitalisme industrial menuju demokrasi liberal abad 19. Tentu
ada banyak alasan mengapa gelombang ini terjadi di Eropa dan mulus
sebagai *novum idea* kebaikan masyarakat (*bonum commune*). Feodalisme gereja dan
teokratisme, kemudian berlanjut dengan sejarah kelam nazisme dan
totaliterisme telah menyebabkan model demokrasi liberal dianggap lebih ideal
dibandingkan konservatif, karena ia menjadi jalan untuk 'menjinakkan' ruang
publik agar lebih emansipatif.

Namun yang tidak disadari, gerakan ini sendiri juga telah mengalami banyak
perubahan internal, di Eropa ataupun AS. Pasca gerakan politik mahasiswa
Eropa 1968. Liberalisme yang dibayangkan awal sebagai senjata melawan
fasisme telah mulai direorientasi karena mulai kehilangan ruh.

Liberalisme bahkan mulai ditinggalkan karena dianggap mewakili sikap
feodalisme baru. Maka kecenderungan Eropa sekarang untuk lebih konservatif
dalam banyak hal bisa dimengerti. Munculnya gerakan politik hijau berakar
pada konservatisme dalam melawan neoliberalisme yang cenderung merusak.
Dalam kasus Perang Irak, Jerman, dan Prancis memperlihatkan perlawanannya
atas arogansi Amerika. Pandangan ini disimbolkan sebagai sikap demokrasi
konservatif.

Sayangnya, para terdidik Indonesia--termasuk kelompok feminis dan
proliberal-- baru khatam dalam model demokrasi awal di Eropa dan belum lagi
menyentuh perubahan wacana demokrasi mutakhir dan lebih realistis.

*Liberal atau konservatif? *

Namun, jangan naif juga melihat permasalahan demokrasi Indonesia dengan
memperbandingkan dengan AS dalam kasus celana dalam itu. Yang terjadi di
sana adalah proses perjalanan panjang dalam menentukan pilihan. Demokrasi
intinya deliberasi, berjuang dengan kesadaran, kedamaian, dan kerelahatian (
*voluntary works*) dalam membuat banyak pilihan.

Apa yang membedakan antara kasus di negara bagian tersebut dan di Indonesia?
Di sana kelompok konservatif memiliki alasan, kekuatan argumentasi dalam
memajukan sebuah ide atau pendapat, sehingga tidak selalu kelompok liberal
menang. Di Indonesia, kelompok konservatif hampir selalu kalah dan tidak
memiliki kemampuan *art of diplomatic* yang cukup mengagumkan, sehingga
dengan mudah dikalahkan oleh ide-ide, bahkan pohon epistimologis yang
dimajukan oleh kelompok liberal. Sayangnya, kelompok konservatif- -di
antaranya adalah kelompok militan Islam-- lebih memakai cara-cara kekerasan
dalam mengekspresikan pendapat, dan tidak melalui ide atau wacana yang *
reasonable* dan tangguh. Kelompok konservatif di sini tidak tangguh dalam
berwacana.

Kelemahan lainnya dari kelompok konservatif (konservatif tidak selalu
berarti kolot: kelompok yang rindu dengan mempertahankan nilai-nilai lama
yang dianggap masih baik termasuk di dalamnya, asal kata dari *concervatio* :
memelihara, murabbi) adalah cepat putus asa, manja, dan bernafas pendek.
Ketika satu ide mendapat hantaman dari kelompok liberal-progresif, langsung
takluk, keteteran, dan tak sanggup menyusun agenda untuk melawan balik.
Kasus yang terjadi di nasional (Jakarta) ternyata berkebalikan dengan di
Aceh. Dalam konteks Syariat Islam, wacana yang bergulir lebih dominan dari
kelompok konservatif. Kelompok liberal kurang kreatif dalam memajukan ide,
merebut simpati, dan memengaruhi *qanun* (perda). Perdebatan publik melalui
media atau wacana praksis, kelompok liberal (terutama para akademisi kampus
dan aktivis NGO) hampir selalu kalah berebut ruang publik dengan kelompok
konservatif.

Di sini membuktikan bahwa liberal atau konservatif adalah pilihan yang
disesuaikan dengan konteks, kultur, dan lokalitas. Yang terpenting diingat,
liberal dan konservatif akan selalu bertarung selamanya, dalam ide dan
strategi.

Sesungguhnya itulah demokrasi, penuh keremeh-temehan dan *flatus vocis*.
Seperti kata Thomas Jefferson, demokrasi adalah kekuasaan dari kesempatan
kerumunan (* crowd*) untuk menentukan. Pertanyaannya, bagaimana
keremeh-temehan dan kerumunan itu tidak menjadi sampah, tetapi menjadi pupuk
tanaman yang menyuburkan. Untuk konteks Indonesia, bagaimana kerumunan bisa
diberdayakan dalam melihat pilihan-pilihan. Tentu saja dengan argumentasi
dan kesehatan berpikir melalui pendidikan dan penyadaran.

dari Sabrul Jamil

Proyek Liberalisasi Islam di Indonesia (bagian 1)

Oleh: Adian Husaini, MA
1. Pendahuluan
Liberalisasi Islam di Indonesia, secara sistematis di mulai pada awa tahun 1970-an. Pada 3 Januari 1970, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), Nurcholish Madjid, secara resmi menggulirkan perlunya dilakukan sekularisasi Islam. Sejak itu, peristiwa-peristiwa tragis susul-menyusul dan berlangsung secara liar, sulit dikendalikan lagi, hingga kini.

Dengan mengadopsi gagasan Harvey Cox -melalui bukunya The Secular City - Nurcholish Madjid membuka pintu masuk arus sekularisasi dan liberalisasi dalam Islam, menyusul kasus serupa dalam tradisi Yahudi dan Kristen.

Bahwa sekularisasi adalah akibat logis dari dampak kepercayaan Bible terhadap sejarah. Menurut Cox, ada tiga komponen penting dalam Bible yang menjadi kerangka asas kepada sekularisasi, yaitu: 'disenchantment of nature' yang dikaitkan dengan penciptaan (Creation), 'desacralization of politics' dengan migrasi besar-besaran (Exodus) kaum Yahudi dari Mesir, dan 'deconsecration of values' dengan Perjanjian Sinai (Sinai Covenant).1

Jadi, kata Cox, sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari 'dunia lain' menuju dunia kini. (Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other worlds and towards this one). Karena sudah menjadi satu keharusan, kata Cox, maka kaum Kristen tidak seyogyanya menolak sekularisasi. Sebab sekularisasi merupakan konsekuensi otentik dari kepercayaan Bible. Maka, tugas kaum Kristen adalah menyokong dan memelihara sekularisasi. (Far from being something Christians should be against, secularization represents an authentic consequence of biblical faith. Rather than oppose it, the task of Christians should be to support and nourish it).2

Buku "The Secular City" termasuk buku yang luar biasa. Edisi pertama buku ini dicetak tahun 1965. Buku Cox ini mencetuskan cause célèbre agama diluar jangkaan pengarang dan penerbitnya sendiri. Buku ini merupakan 'best-seller' di Amerika dengan lebih 200 ribu naskah terjual dalam masa kurang dari setahun. Buku ini juga adalah karya utama yang menarik perhatian masyarakat kepada isu sekularisasi. Menurut Dr. Marty, beberapa kalangan menjadikan buku tersebut sebagai buku panduan, manual untuk bebas lepas dari sembarang dongeng mitos dan agama. 3

Pengaruh buku ini ternyata juga melintasi batas negara dan agama. Di Yogyakarta, sekelompok aktivis yang tergabung dalam Lingkaran Diskusi Limited Group di bawah bimbingan Mukti Ali, sangat terpengaruh oleh "The Secular City" nya Harvey Cox. Diantara sejumlah aktivis dalam diskusi itu adalah Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib.4 Tetapi, gagasan Cox ketika itu belum terlalu berkembang. Ahmad Wahib hanya menulis catatan harian yang kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku selepas meninggalnya. Djohan Effendi pun tidak terlalu kuat pengaruhnya.

Pengaruh Cox baru tampak jelas di Indonesia pada pemikiran Nurcholish Madjid secara resmi meluncurkan gagasan sekularisasinya dalam diskusi di Markas PB Pelajar Islam Indonesia (PII) di Jakarta. Ketika itu, Nurcholish meluncurkan makalah berjudul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat". Dua puluh tahun kemudian, gagasan itu kemudian diperkuat lagi dengan pidatonya di Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada tanggal 21 Oktober 1992, yang dia beri judul "Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia".

Seperti kita ketahui, arus sekularisasi dan liberalisasi terus berlangsung begitu deras dalam berbagai sisi kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan bahkan pemikiran keagamaan. Kini, setelah 30 tahun berlangsung, arus besar itu semakin sulit dikendalikan, dan berjalan semakin liar. Penyebaran paham "pluralisme agama", "dekonstruksi agama", "dekonstruksi Kitab Suci" dan sebagainya, kini justru berpusat di kampus-kampus dan organisasi Islam - sebuah fenomena yang 'khas Indonesia'. Paham-paham ini menusuk jantung Islam dan merobohkan Islam dari pondasinya yang paling dasar.

Kaum Kristen sejak lama menyadari benar akan bahaya ini. Dalam pertemuan misionaris Kristen se-dunia di Jerusalem tahun 1928, mereka menetapkan sekulerisme sebagai musuh besar Gereja dan misi Kristen. Dalam usaha untuk mengkristenkan dunia, Gereja Kristen bukan hanya menghadapi tantangan agama lain, tetapi juga tantangan sekularisme. (It was made clear that in its efforts to evangelize the world, the Christian Church has to confront not only the rival claims of non-Christian religious system, but also the challenge of secularism). Pertemuan Jerusalem itu secara khusus menyorot sekularisme yang dipandang sebagai musuh besar Gereja dan misinya, serta musuh bagi misi Kristen internasional. 5

2. Dari tradisi Yahudi dan Kristen
Proses liberalisasi sebenarnya terjadi pada berbagai bidang kehidupan, baik bidang politik, ekonomi, sosial, informasi, moral, dan sebagainya, termasuk bidang agama. Agama Yahudi telah lama mengalami liberalisasi, sehingga saat ini, "Liberal Judaism" (Yahudi Liberal) secara resmi masuk dalam salah satu aliran dalam agama Yahudi. Perkembangan liberalisasi dalam agama Kristen juga sudah sangat jauh. Bahkan, agama Kristen bisa dikatakan sebagai salah satu "korban" liberalisasi dari peradaban Barat. Agama Kristen mulai bersinar di Eropa ketika pada tahun 313, Kaisar Konstantin mengeluarkan surat perintah (Edik) yang isinya memberi kebebasan warga Romawi untuk memeluk agama Kristen. Bahkan, pada tahun 380, Kristen dijadikan sbagai agama negara oleh Kaisar Theodosius. Menurut Edik Theodosius, semua warga negara Romawi diwajibkan menjadi anggota gereja Katolik. Agama-agama kafir dilarang. Bahkan sekte-sekte Kristen di luar "gereja resmi" pun dilarang.

Dengan berbagai keistimewaan yang dinikmatinya, Kristen kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia, hingga kini jumlah pemeluknya mencapai sekitar 1,9 milyar jiwa, meskipun terbagi ke dalam sejumlah agama (Katolik, Protestan, Orthodoks). Tapi, jika dicermati lebih jauh, perkembangan gereja-gereja di Eropa - asal persebaran Kristen - cukup menyedihkan. Sebuah buku yang ditulis Herlianto - seorang aktivis Kristen asal Bandung - berjudul Gereja Modern, Mau Kemana? (1995) memaparkan dengan jelas kehancuran gereja-gereja di Eropa. Kristen kelabakan dihantam nilai-nilai sekulerisme, modernisme, liberalisme, dan "klenikisme" .

Di Amsterdam, misalnya, 200 tahun lalu 99 persen penduduknya beragama Kristen. Kini, tinggal 10 persen saja yang dibaptis dan ke gereja. Kebanyakan mereka sudah tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler. Di Perancis, yang 95 persen penduduknya tercatat beragama Katolik, hanya 13 persennya saja yang menghadiri kebaktian di gereja seminggu sekali.

Pada 1987, di Jerman, menurut laporan Institute for Public Opinian Research, 46 persen penduduknya mengatakan, bahwa "agama sudah tidak diperlukan lagi." Di Finlandia, yang 97 persen Kristen, hanya 3 persen saja yang pergi ke gereja tiap minggu. Di Norwegia, yang 90 persen Kristen, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar 3 persen saja yang rutin ke gereja tiap minggu.

Masyarakat Kristen Eropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan kepercayaan mereka pada pendeta atau imam Katolik. Di Jerman Barat - sebelum bersatu dengan Jerman Timur - terdapat 30.000 pendeta. Tetapi jumlah peramal (dukun klenik/witchcraft) mencapai 90.000 orang. Di Perancis terdapat 26.000 imam Katolik, tetapi jumlah peramal bintang (astrolog) yang terdaftar mencapai 40.000 orang.

Fenomena Kristen Eropa menunjukkan, agama Kristen kelabakan menghadapi serbuan arus budaya Barat yang didominasi nilai-nilai liberalisme, sekulerisme, dan hedonisme. Serbuan praktik perdukunan juga tidak mampu dibendung. Di sejumlah gereja, arus liberalisasi mulai melanda. Misalnya, gereja mulai menerima praktik-praktik homoseksualitas. Eric James, seorang pejabat gereja Inggris, dalam bukunya berjudul "Homosexuality and a Pastoral Church" mengimbau agar gereja memberikan toleransi pada kehidupan homoseksual dan mengijinkan perkawinan homoseksual antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita.

Sejumlah negara Barat telah melakukan "revolusi jingga", karena secara resmi telah mengesahkan perkawinan sejenis. Parlemen Jerman masih terus memperdebatkan undang-undang serupa. Di berbagai negara Barat, praktik homoseksual bukanlah dianggap sebagai kejahatan. Begitu juga praktik-praktik perzinahan, minuman keras, pornografi, dan sebagainya. Barat tidak mengenal sistem dan standar nilai (baik-buruk) yang pasti. Semua serba relatif; diserahkan kepada "kesepakatan" dan "kepantasan" umum yang berlaku.

Maka, orang berzina, menenggak alkohol, mempertontonkan aurat, dan sejenisnya bukanlah dipandang sebagai suatu kejahatan, kecuali jika masyarakat menganggapnya jahat. Homoseksual dianggap baik dan disahkan oleh negara. Bahkan, pada November 2003, para pastor Gereja Anglikan di New Hampshire AS, sepakat untuk mengangkat seorang Uskup homoseks bernama Gene Robinson. Kaum Kristen yang homo itu melakukan perombakan terhadap ajaran Kristen, terutama mengubah tafsir lama yang masih melarang tindakan homoseksual.

Di Indonesia, bahkan, di Fakultas Syariah IAIN Semarang, sejumlah mahasiswanya juga melakukan tindakan yang sama, dengan apa yang telah dilakukan kaum Yahudi dan Kristen. Ini bisa dibaca pada bagian selanjutnya. Jadi, apa yang sudah terjadi pada kaum Yahudi dan Kristen telah diikuti oleh sebagian kalangan kaum Muslim.

3. Program Liberalisasi Islam
Secara sistematis, Liberalisasi Islam di Indonesia yang sudah dijalankan sejak awal tahun 1970-an, dilakukan melalui tiga bidang penting dalam ajaran Islam, yaitu (1) liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham Pluralisme Agama, (2) liberalisasi bidang syariah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, dan (3) liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Quran.

Dalam disertasinya di Monash University, Australia, Dr. Greg Barton, memberikan sejumlah program Islam Liberal di Indonesia, yaitu: (a) Pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara.6

Dari disertasi Barton tersebut dapat diketahui, bahwa memang ada strategi dan program yang sistematis dan metodologis dalam liberalisasi Islam di Indonesia. Penyebaran paham Pluralisme Agama - yang jelas-jelas merupakan paham syirik modern -dilakukan dengan cara yang sangat masif, melalui berbagai saluran, dan dukungan dana yang luar biasa. Dari program tersebut, ada tiga aspek liberalisasi Islam yang sedang gencar-gencarnya dilakukan di Indonesia.

3.1. Liberalisasi aqidah Islam
Liberalisasi aqidah Islam dilakukan dengan menyebarkan paham Pluralisme Agama. Paham ini, pada dasarnya menyatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau, mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga - karena kerelativannya - maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya sendiri yang lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball, salah satu ciri agama jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri.7

Di Indonesia, penyebaran paham ini sudah sangat meluas, dilakukan oleh para tokoh, cendekiawan, dan para pengasong ide-ide liberal. Berikut ini pernyataan-pernyata an mereka:

a. Ulil Abshar Abdalla mengatakan:
"Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar." (Majalah GATRA, 21 Desember 2002). Ulil juga menulis: "Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya." (Kompas, 18-11-2002, dalam artikelnya berjudul "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam",)

Ide Ulil tentang agama ini berimbas pada masalah hukum perkawinan antar-agama, yang akhirnya ditegaskan kembali keharamannya oleh fatwa MUI. Dalam artikelnya di Kompas (18/11/2002) tersebut, Ulil juga menyatakan: "Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi."

b. Budhy Munawar Rahman, penulis buku Islam Pluralis, di buku Wajah Liberal Islam di Indonesia (terbitan JIL), menulis, satu artikel berjudul "Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama" (hal. 51-53). Di sini, ia mempromosikan teologi pluralis. Ia menulis bahwa "Konsep teologi semacam ini memberikan legitimasi kepada "kebenaran semua agama", bahwa pemeluk agama apa pun layak disebut sebagai "orang yang beriman", dengan makna "orang yang percaya dan menaruh percaya kepada Tuhan". Karena itu, sesuai QS 49:10-12, mereka semua adalah bersaudara dalam iman."

Budhy menyimpulkan, "Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah Pluralisme antar agama, yakni pandangan bahwa siapa pun yang beriman - tanpa harus melihat agamanya apa - adalah sama di hadapan Allah. Karena, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu." 8

c. Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, dosen UIN Yogyakarta, menulis:
"Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap Agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin." 9

d. Prof. Dr. Nurcholish Madjid, menyatakan, bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil. Yaitu, pertama, sikap eksklusif dalam melihat Agama lain (Agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya) . Kedua, sikap inklusif (Agama-Agama lain adalah bentuk implisit agama kita). Ketiga, sikap pluralis - yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya: "Agama-Agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama", "Agama-Agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan Kebenaran-kebenaran yang sama sah", atau "Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah Kebenaran".

Lalu, tulis Nurcholish lagi, "Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu Agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah "Satu Tuhan Banyak Jalan"." 10

Nurcholish Madjid juga menulis:
"Jadi Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan (Sunnat Allah, "Sunnatullah" ) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari." 11

e. Dr. Alwi Shihab menulis: "Prinsip lain yang digariskan oleh Al Quran, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai Pluralisme keAgamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengartian lain, eksklusivisme keAgamaan tidak sesuai dengan semangat Al Quran. Sebab Al Quran tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya." 12

f. Sukidi, alumnus Fakultas Syariah IAIN Ciputat yang sangat aktif menyebarkan paham Pluralisme Agama, menulis di koran Jawa Pos (11/1/2004): "Dan, konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche menegasikan adanya Kebenaran Tunggal dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama - entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, maupun lainnya- adalah benar. Dan, konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama. Agama-agama itu diibaratkan, dalam nalar Pluralisme Gandhi, seperti pohon yang memiliki banyak cabang (many), tapi berasal dari satu akar (the One). Akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama-agama. Karena itu, mari kita memproklamasikan kembali bahwa Pluralisme Agama sudah menjadi hukum Tuhan (sunnatullâh) yang tidak mungkin berubah. Dan, karena itu, mustahil pula kita melawan dan menghindari. Sebagai
muslim, kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima Pluralisme Agama sebagai hukum Tuhan."

g. Dr. Luthfi Assyaukanie, dosen Universitas Paramadina, menulis di Harian Kompas: "Seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dilakukan dalam persemedian spiritual. Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkat dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak terlalu penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu." (Kompas, 3/9/2005)

h. Nuryamin Aini, Dosen Fak. Syariah UIN Jakarta: "Tapi ketika saya mengatakan agama saya benar, saya tidak punya hak untuk mengatakan bahwa agama orang lain salah, apalagi kemudian menyalah-nyalahkan atau memaki-maki. " 13

Yang perlu diperhatikan oleh umat Islam, khususnya kalangan lembaga pendidikan Islam, adalah bahwa hampir seluruh LSM dan proyek yang dibiayai oleh LSM-LSM Barat, seperti The Asia Foundation, Ford Foundation, adalah mereka-mereka yang bergerak dalam penyebaran paham Pluralisme Agama. Itu misalnya bisa dilihat dalam artikel-artikel yang diterbitkan oleh Jurnal Tashwirul Afkar (Diterbitkan oleh Lakpesdam NU dan The Asia Foundation), dan Jurnal Tanwir (diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah dan The Asia Foundation). Mereka bukan saja menyebarkan paham ini secara asongan, tetapi memiliki program yang sistematis untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang saat ini masih mereka anggap belum inklusif-pluralis.

Sebagai contoh, Jurnal Tashwirul Afkar edisi No 11 tahun 2001, menampilkan laporan utama berjudul "Menuju Pendidikan Islam Pluralis". Di tulis dalam Jurnal ini:

"Filosofi pendidikan Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep iman-kafir, muslim-nonmuslim, dan baik-benar (truth claim), yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti dibongkar agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan. Jika cara pandangnya bersifat eksklusif dan intoleran, maka teologi yang diterima adalah teologi eksklusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan merusak harmonisasi agama-agama, dan sikap tidak menghargai kebenaran agama lain. Kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralisme agama dalam pendidikan Islam akan membangkitkan sayap radikal Islam." 14

Di Jurnal ini juga, Rektor UIN Yogyakarta, Prof. Dr. Amin Abdullah menulis: "Pendidikan agama semata-mata menekankan keselamatan individu dan kelompoknya sendiri menjadikan anak didik kurang begitu sensitif atau kurang begitu peka terhadap nasib, penderitaan, kesulitan yang dialami oleh sesama, yang kebetulan memeluk agama lain. Hal demikian bisa saja terjadi oleh karena adanya keyakinan yang tertanam kuat bahwa orang atau kelompok yang tidak seiman atau tidak seagama adalah "lawan" secara aqidah. 15

3.2. Relativisme kebenaran
Paham Pluralisme Agama berakar pada paham relativisme akal dan relativisme iman. Banyak cendekiawan yang sudah termakan paham ini dan ikut-ikutan menjadi agen penyebar paham relativisme ini, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Sebagai contoh, Prof. Dr. Azyumardi Azra, rektor UIN Jakarta menulis dalam sebuah buku terbitan Fatayat NU dan Ford Foundation:

"Islam itu memang pluralis, Islam itu banyak, dan tidak satu. Memang secara teks, Islam adalah satu tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi mengaktualisasikan, maka kemudian pluralitas itu adalah suatu kenyataan dan tidak bisa dielakkan." 16

Di dalam buku yang sama, seorang bernama M. Khairul Muqtafa juga menulis:

"Penafsiran atas sebuah agama (baca: Islam) sendiri tidaklah tunggal. Dengan demikian, upaya mempersamakan dan mempersatukan di bawah payung (satu tafsir) agama menjadi kontraproduktif. Dan pada gilirannya agama kemudian menjadi sangat relatif ketika dijelmakan dalam praktik kehidupan sosial sehari-hari. " 17

Si penulis juga mempromosikan apa yang disebutnya sebagai "Relativisme epistemologis' ', yang dimaksudkannya sebagai :

''Pada wilayah ini maka yang selayaknya menjadi pegangan adalah bahwa kita tidak dapat mengetahui kebenaran absolut. Kita dapat mengetahui kebenaran hanya sejauh itu absah bagi kita. Artinya, kebenaran yang selama ini kita pahami tak lain adalah kebenaran sepihak. 18

Juga ada gagasan tentang ''Relativisme teleologis'' , yakni:

''Dalam konteks ini, maka Islam tak lain adalah satu jalan kebenaran diantara jalan-jalan kebenaran yang lain... artinya jalan menuju kebenaran tidak selamanya dan musti harus melalui jalan 'agama', tapi juga bisa memakai medium yang lain. Karena sifatnya yang demikian maka Islam kemudian berdiri sejajar dengan praktik budaya yang ada. Tidak ada perbedaan yang signifikan kecuali hanya situalistik simbolistik. Sedangkan esensinya sama, yakni menuju kebenaran transendental. ''19

Paham relativisme akal dan relativisme iman merupakan virus ganas semisal virus HIV yang berpotensi menggerogoti daya tahan keimanan seseorang, sebab dengan virus ini, maka seseorang menjadi tidak yakin dengan kebenaran agamanya sendiri. Dari virus ini lahirlah sikap skeptis dan agnostik yang senantiasa ragu dengan kebenaran yang dicapainya. Jika seseorang sudah kehilangan keyakinan dalam hidupnya, maka hidupnya akan terus diombang-ambingkan dengan berbagai ketidakpastian. Akar dari nilai-nilai ini adalah paham sofisme di zaman Yunani kuno, yang kemudian dikembangkan dalam sistem pendidikan di Barat. Itu bisa dimengerti, karena peradaban Barat adalah peradaban tanpa wahyu, sehingga berbagai peraturan yang mereka hasilkan, tidak berlandaskan pada wahyu Allah, tetapi pada kesepakatan akal manusia. Karena itu, sifatnya menjadi nisbi, relatif, dan fleksibel. Bisa berubah setiap saat, tergantung kesepakatan dan kemauan manusia.

Di Indonesia, karena liberalisme sedang memasuki masa puber, maka tampak 'kemaruk' (serakah) dan memalukan. Semua hal mau diliberalkan. Ketika terjadi penolakan masyarakat terhadap kenaikan harga BBM, seorang aktivis Islam Liberal tanpa malu-malu menulis di jaringan internet, bahwa jika kita menjadi liberal, maka harus 'kaffah', mencakup segala hal, baik politik, ekonomi, maupun agama. Kaum liberal di Indonesia belum mau belajar dari pengalaman negara-negara Barat, dimana liberalisme telah berujung kepada ketidakpastian nilai, dan pada akhirnya membawa manusia kepada ketidakpastian dan kegersangan batin, karena jauh dari keyakinan dan kebenaran abadi.

Manusia-manusia yang hidup dalam alam pikiran liberal dan kenisbian nilai akan senantiasa mengalami kegelisahan hidup dan ketidaktenangan jiwa. Mereka, pada hakikatnya berada dalam kegelapan, jauh dari cahaya kebenaran. Karena itu, mereka akan senantiasa mengejar bayangan kebahagiaan, fatamorgana, melalui berbagai bentuk kepuasan fisik dan jasmaniah; ibarat meminum air laut, yang tidak pernah menghilangkan rasa haus. Lihatlah kehidupan manusia-manusia jenis ini. Simaklah ucapan-ucapan mereka; tengoklah keluarga mereka; cermatilah teman-teman dekat mereka. Tidak ada kebahagiaan yang abadi dapat mereka reguk, karena mereka sudah membuang jauh-jauh keimanan dan keyakinan akan nilai-nilai yang abadi, kebenaran yang hakiki. Mereka tidak percaya lagi kepada wahyu Tuhan, dan menjadikan akal dan hawa nafsunya sendiri sebagai Tuhan. Al-Quran sudah menggambarkan sikap manusia pemuja nafsu ini:

"Maka pernahkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (Allah mengetahui bahwa ia tidak dapat menerima petunjuk yang diberikan kepadanya), dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS 45:23).

Sayangnya, paham relativisme kebenaran ini sudah merupakan paham global, dan menjadi musuh semua agama. Sebab, paham ini menghancurkan keyakinan masing-masing pemeluk agama terhadap agamanya sendiri. Puluhan tahun lalu, penyair Pakistan, Dr. Moh. Iqbal sudah mengingatkan, jika manusia kehilangan keyakinan, maka itu lebih buruk dari perbudakan. "Conviction enabled Abraham to wade into the fire; conviction is an intoxicant which makes men self-sacrificing; Know you, oh victims of modern civilization! Lack of conviction is worse than slavery." 20

Bukan hanya Iqbal yang melihat bencana kehilangan keyakinan, sebagai bahaya besar bagi satu peradaban. Dengan nada yang hampir sama dalam melihat peradaban Barat, Paus Benediktus XVI juga mengingatkan bahaya relativisme bagi iman Katolik. Ia menyatakan, bahwa Eropa kini sedang dalam bahaya besar, karena paham relativisme iman yang mendalam. 21

Dalam bukunya, The Rise of Benedict XVI, (New York: Doubleday, 2005), John L. Allen, J.R. menempatkan satu bab berjudul Battling A "Dictatorship of Relativism". Menurut Kardinal Francis George dari Chicago, terpilihnya Ratzinger sebagai Paus di awal abad ke-21 sangat tepat, sebab, setelah Komunis runtuh, saat ini tantangan terbesar dan tersulit justru datang dari peradaban Barat. Benediktus XVI adalah orang yang datang dari Barat dan memahami sejarah dan kebudayaan Barat. (Today the most difficult challenge comes from the West, and Benedict XVI is a man who comes from the West, who understands the history and the culture of the West). Tahun 1978, saat terpilihnya Paus Yohannes Paulus II, tantangan terberat yang dihadapi Katolik adalah Komunisme. Dan tahun 2005, para Kardinal telah memilih seorang Paus yang tepat untuk menghadapi apa yang disebut oleh Benediktus XVI sebagai "dictatorship of relativism" in the West". 22 Dalam pengantar bukunya, Reason, Relativism, and God,
(London: Macmillan Press Ltd, 1986), Joseph Runzo menulis: "We live in an age of relativism". Juga dia katakan: "relativism has become a dominant element in twentieth century theology". 23

Jadi, paham Pluralisme Agama memang merupakan paham yang disebarkan untuk menghancurkan agama-agama yang ada. Salah satu aliran dalam paham ini, yaitu aliran Transendentalisme (Transendental Unity of Religion), berakar pada paham sinkretisme yang disebarkan oleh Freemasonry. Maka, pada tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas menyatakan, paham Pluralisme Agama bertentangan dengan ajaran Islam dan haram bagi umat Islam untuk menganut paham tersebut. Tahun 2000, Vatikan mengeluarkan Dekrit 'Dominus Jesus' yang menolak paham Pluralisme Agama dan menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantara keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus. 24

Dari kalangan Protestan, Pendeta Dr. Stevri Lumintang menulis buku yang sangat serius dalam menjelaskan bahaya paham Pluralisme Agama bagi agama-agama yang ada. Menurut Stevri, Teologi Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis. Karena teologi yang mereka bangun merupakan integrasi dari pelbagai warna kebenaran dari semua agama, filsafat dan budaya yang ada di dunia. Alkitab dipakai hanya sebagai salah satu sumber, itu pun dianggap sebagai mitos. Dan perpaduan multi kebenaran ini, lahirlah teologi abu-abu, yaitu teologi bukan hitam, bukan juga putih, bukan teologi Kristen, bukan juga teologi salah satu agama yang ada di dunia ini.... Namun teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama.

Bahkan, tulis Stevri Lumintang:

''...Theologia abu-abu (Pluralisme) yang kehadirannya seperti serigala berbulu domba, seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi tersebut mempersalahkan semua rumusan Teologi Tradisional yang selama ini dianut dan sudah berakar dalam gereja. Namun sesungguhnya Pluralisme sedang menawarkan agama baru....'' 25

Dalam pandangan Islam, paham Pluralisme Agama jelas-jelas merupakan paham syirik modern, karena menganggap semua agama adalah benar. Padahal, Allah SWT telah menegaskan, bahwa hanya Islam agama yang benar dan diterima Allah SWT (QS 3:19); dan barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima oleh Allah dan di Hari Akhir nanti termasuk orang-orang yang merugi. (QS 3: 85). Dosa syirik merupakan dosa besar, kezaliman besar, dan Allah sangat murka jika diserikatkan dengan yang lain. Allah, misalnya, sangat murka karena dituduh punya anak. (QS 19:88-91).

Keyakinan akan kebenaran ad-Dinul Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridhai Allah, adalah konsep yang sangat mendasar dalam Islam. Karena itu, para cendekiawan dan ulama perlu menjadikan penanggulangan paham syirik modern ini sebagai perjuangan utama, agar jangan sampai 10 tahun lagi paham ini menguasai wacana pemikiran dan pendidikan Islam di Indonesia, sehingga akan lahir dosen-dosen, guru-guru agama, khatib, atau kyai yang mengajarkan paham persamaan agama ini kepada anak didik dan masyarakat.

3.3. Liberalisasi al-Quran
Salah satu wacana yang berkembang pesat dalam tema liberalisasi Islam di Indonesia saat ini adalah tema "dekonstruksi Kitab Suci". Di kalangan Yahudi dan Kristen, fenomena ini sudah berkembang pesat. Kajian "Biblical Criticism" atau studi tentang kritik Bible dan kritik teks Bible telah berkembang pesat di Barat. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis satu buku berjudul "Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testatement" . Buku-buku karya Prof. Bruze M. Metzger, guru besar The New Testament di Princeton Theological Seminary, menunjukkan, bagaimana kuatnya tradisi kajian kritis terhadapTeks Bible. Begitu juga karya Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972).

Pesatnya studi kritis Bible itu telah mendorong kalangan Kristen-Yahudi untuk "melirik" al-Quran dan mengarahkan hal yang sama terhadap al-Quran. Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa "sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur'an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Kur'an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures). "

Hampir satu abad lalu, para orientalis dalam bidang studi al-Quran bekerja keras untuk menunjukkan bahwa al-Quran adalah kitab bermasalah sebagaimana Bible. Mereka tidak pernah berhasil. Tapi, anehnya, kini, imbauan itu sudah diikuti begitu banyak manusia dari kalangan Muslim sendiri, termasuk yang ada di Indonesia. Sesuai paham pluralisme agama, maka semua agama harus didudukkan pada posisi yang sejajar, sederajat, tidak boleh ada yang mengklaim lebih tinggi, lebih benar, atau paling benar sendiri. Begitu juga dengan pemahaman tentang Kitab Suci. Tidak boleh ada kelompok agama yang mengklaim hanya kitab sucinya saja yang suci.

Maka, proyek liberalisasi Islam tidak akan lengkap jika tidak menyentuh aspek kesucian al-Quran. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinan kaum Muslim, bahwa al-Quran adalah Kalamullah, bahwa al-Quran adalah satu-satunya Kitab Suci yang suci, bebas dari kesalahan. Mereka mengabaikan bukti-bukti al-Quran yang menjelaskan tentang otentisitas al-Quran, dan kekeliruan dari kitab-kitab agama lain. Ulil Abshar Abdalla, mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal menulis di Harian Jawa Pos, 11 Januari 2004: "Tapi, bagi saya, all scriptures are miracles, semua kitab suci adalah mukjizat. (Jawa Pos, 11 Jan. 2004).

Salah satu program sekularisasi adalah upaya desakralisasi, termasuk dalam upaya deskralisasi al-Quran. Kaum Liberal ini menyatakan, bahwa alQuran Kitab suci. Majalah GATRA edisi 1-7 Juni 2006 memberitakan, bahwa pada tanggal 5 Mei 2006, Sulhawi Ruba, 51 tahun, dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, di hadapan 20 mahasiswa Fakultas Dakwah, menerangkan posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia. "Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput," ujarnya. Ia lalu menuliskan lafaz Allah pada secarik kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya dengan sepatu. "Al-Quran dipandang sakral secara substansi, tapi tulisannya tidak sakral," katanya setengah berteriak.

Taufik Adnan Amal, dosen Ulumul Quran di IAIN Makasar, menulis satu makalah berjudul "Edisi Kritis al-Quran", yang isinya menyatakan:

"Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan Alquran, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan Edisi Kritis Alquran." 26

Taufik berusaha meyakinkan, bahwa al-Quran saat ini masih bermasalah, tidak kritis, sehingga perlu diedit lagi. Dosen itu pun menulis sebuah buku serius berjudul "Rekonstruksi Sejarah al-Quran" yang juga meragukan keabsahan dan kesempurnaan Mushaf Utsmani.27 Penulis buku ini mencoba meyakinkan bahwa mushaf Utsmani masih bermasalah, dan tidak layak disucikan. Sayangnya, buku ini diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. Quraish Shihab, tanpa memberikan kritik yang berarti. Dalam pengantarnya, Quraish menulis, "Kasarnya, ada sejarah yang hilang untuk menjelaskan beberapa ayat atau susunan ayat al-Quran dari surat al-Fatihah sampai surat al-Nas."

Ada lagi sebuah tesis master di Universitas Islam Negeri Yogyakarta (Dulu: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), ditulis oleh Aksin Wijaya, yang secara terang-terangan juga menghujat Kitab Suci al-Quran. Tesis itu sudah diterbitkan dalam sebuah buku berjudul: "Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan", dan diberi kata pengantar dua orang doktor dalam bidang studi Islam, dosen di pasca sarjana UIN Yogyakarta. Di dalam buku ini, misalnya, kita bisa menikmati hujatan terhadap al-Quran seperti kata-kata berikut ini:

"Setelah kita kembalikan wacana Islam Arab ke dalam dunianya dan melepaskan diri kita dari hegemoni budaya Arab, kini saatnya, kita melakukan upaya pencarian pesan Tuhan yang terperangkap dalam Mushaf Utsmani, dengan suatu metode dan pendekatan baru yang lebih kreatif dan produktif. Tanpa menegasikan besarnya peran yang dimainkan Mushaf Utsmani dalam mentransformasikan pesan Tuhan, kita terlebih dulu menempatkan Mushaf Utsmani itu setara dengan teks-teks lain. Dengan kata lain, Mushaf itu tidak sakral dan absolue, melainkan profan dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita diperkekenankan bermain-main dengan Mushaf tersebut, tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita." 28

Aktivis Islam Liberal, Dr. Luthfi Assyaukanie juga berusaha membongkar konsep dasar Islam tentang al-Quran:

"Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa AlQuran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma'nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan AlQuran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa." 29

Pada bagian lain buku terbitan JIL tersebut, ada juga yang menulis, bahwa 'Al-Quran adalah perangkap bangsa Quraisy', seperti dinyatakan oleh Sumanto Al-Qurtubhy, alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang:

"Di sinilah saya ingin menyebut teks-teks Islam klasik merupakan "perangkap bangsa Arab", dan Alquran sendiri dalam beberapa hal sebetulnya juga bisa menjadi "perangkap" bangsa Quraisy sebagai suku mayoritas. Artinya, bangunan keislaman sebetulnya tidak lepas dari jaring-jaring kekuasaan Quraisy yang dulu berjuang keras untuk menunjukkan eksistensinya di tengah suku-suku Arab lain." 30

Sumanto pun secara terang-terangan menyatakan, bahwa al-Quran adalah karangan Muhammad:

"Dengan demikian, wahyu sebetulnya ada dua: "wahyu verbal" ("wahyu eksplisit" dalam bentuk redaksional bikinan Muhammad) dan "wahyu non verbal" ("wahyu implisit" berupa konteks sosial waktu itu). 31

Jadi, di berbagai penerbitan mereka, kalangan liberal dan sejenisnya memang sangat aktif dalam menyerang al-Quran, secara terang-terangan. Mereka sedang tidak sekedar berwacana, tetapi aktif menyebarkan pemikiran yang destruktif terhadap al-Quran. Itu bisa dilihat dalam buku-buku, artikel, dan jurnal yang mereka terbitkan. Sebagai contoh, Jurnal Justisia Fakultas Syariah, Edisi 23 Th XI, 2003, memuat tulisan yang secara terang-terangan menyerang al-Quran dan sahabat Nabi Muhammad saw:

"Dalam studi kritik Qur'an, pertama kali yang perlu dilakukan adalah kritik historisitas Qur'an. Bahwa Qur'an kini sudah berupa teks yang ketika hadir bukan bebas nilai dan tanpa konteks. Justru konteks Arab 14 abad silam telah mengkonstruk Qur'an. Adalah Muhammad saw, seorang figur yang saleh dan berhasil mentransformasikan nalar kritisnya dalam berdialektika dengan realitas Arab. Namun, setelah Muhammad wafat, generasi pasca Muhammad terlihat tidak kreatif. Jangankan meniru kritisisme dan kreativitas Muhammad dalam memperjuangkan perubahan realitas zamannya, generasi pasca-Muhammad tampak kerdil dan hanya mem-bebek pada apa saja yang asalkan itu dikonstruk Muhammad. Dari sekian banyak daftar ketidakkreatifan generasi pasca-Muhammad, yang paling mencelakakan adalah pembukuan Qur'an dengan dialek Quraisy, oleh Khalifah Usman Ibn Affan yang diikuti dengan klaim otoritas mushafnya sebagai mushaf terabsah dan membakar (menghilangkan pengaruh) mushaf-mushaf milik sahabat lain.
Imbas dari sikap Usman yang tidak kreatif ini adalah terjadinya militerisme nalar Islam untuk tunduk/mensakralkan Qur'an produk Quraisy. Karenanya, wajar jika muncul asumsi bahwa pembukuan Qur'an hanya siasat bangsa Quraisy, melalui Usman, untuk mempertahankan hegemoninya atas masyarakat Arab [dan Islam]. Hegemoni itu tampak jelas terpusat pada ranah kekuasaan, agama dan budaya. Dan hanya orang yang mensakralkan Qur'anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut." 32

Di dalam Jurnal Justisia edisi ini, Sumanto juga menulis sebuah artikel berjudul: "Kesucian Palsu Sebuah Kitab". Maksudnya, al-Quran bukan kitab suci, tetapi kitab suci yang palsu.

Penyerangan terhadap al-Quran di lingkungan perguruan tinggi Islam merupakan hal yang sangat menyedihkan. Dulu, beratus-ratus tahun, wacana itu hanya berkembang di lingkungan orientalis Yahudi dan Kristen. Tetapi, saat ini, suara-suara yang menghujat al-Quran justru lahir dari lingkungan perguruan tinggi Islam, yang hanya menjiplak dan mengulang-ulang lagu lama yang beratus-ratus tahun disuarakan para orientalis. Tentu, masalah ini tidak bisa dianggap sepele, sebab akan menjadi peluru gratis bagi kalangan orientalis untuk menyerang Islam. Mereka sekarang tinggal 'ongkang-ongkang kaki' (istrahat) dan menyaksikan kader-kadernya dari kalangan umat Islam sendiri yang aktif menyerang al-Quran. Bahkan, kadang dilakukan dengan bahasa-bahasa yang lebih vulgar dan lebih biadab dari para orientalis.

Cara yang lebih halus dan tampak akademis dalam menyerang al-Quran juga dilakukan dengan mengembangkan studi kritik al-Quran dan studi hermeneutika di Perguruan Tinggi Islam. Diantara tokoh-tokoh terkenal dalam studi ini adalah Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd dan Mohammed Arkoun. Buku-buku kedua tokoh ini sudah banyak diterjemahkan di Indonesia. Bahkan, Nasr Hamid yang terkenal dengan teorinya "al-Quran merupakan produk budaya Arab (muntaj tsaqafi) sudah memiliki sejumlah murid yang kini mengajar di sejumlah perguruan tinggi Islam di Indonesia. Salah satu murid yang dibanggakannya adalah Dr. Nur Kholish Setiawan, yang baru saja menerbitkan disertasinya dengan judul "Al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar". Buku Arkoun, Rethinking Islam, bahkan dijadikan buku rujukan utama dalam mata kuliah "Kajian Orientalisme terhadap al-Quran dan Hadits" di Program Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta. Padahal, dalam buku ini, Arkoun secara terang-terangan menyesalkan, mengapa para
cendekiawan Muslim tidak mau mengikuti para orientalis Yahudi dan Kristen yang telah melakukan kritik terhadap Bible. Kajian hermeneutika sebagai metode tafsir pengganti ilmu tafsir klasik pun sudah menjadi mata kuliah wajib di Program Studi Tafsir Hadits UIN Jakarta dan sejumlah perguruan tinggi Islam lainnya. Padahal, metode ini jelas-jelas berbeda dengan ilmu tafsir dan bersifat dekonstruktif terhadap al-Quran dan syariat Islam. 33

Kaum Muslim perlu merenungkan masalah ini dengan serius. Jika al-Quran dan ilmu tafsir al-Quran dirusak dan dihancurkan, apa lagi yang tersisa dari Islam?

3.4. Liberalisasi Syariat Islam
Inilah aspek liberalisasi yang paling banyak muncul dan menjadi pembahasan dalam bidang liberalisasi Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah qath'iy dan pasti, dibongkar dan dibuat hukum baru yang dianggap sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti disebutkan oleh Dr. Greg Barton, salah satu program liberalisasi Islam di Indonesia adalah ''kontekstualisasi ijtihad''. Para tokoh liberal biasanya memang menggunakan metode 'kontekstualisasi' sebagai salah satu mekanisme dalam merombak hukum Islam. Sebagai contoh, salah satu hukum Islam yang banyak dijadikan objek liberalisasi adalah hukum dalam bidang keluarga. Misalnya, dalam masalah perkawinan antar-agama, khususnya antara Muslimah dengan laki-laki non-Muslim.

Dalam sebuah tulisannya, Azyumardi Azra menjelaskan metode kontekstualisasi yang dilakukan oleh gerakan pembaruan Islam di Indonesia, yang dipelopori Nurcholish Madjid:

"Bila didekati secara mendalam, dapat ditemui bahwa gerakan pembaruan yang terjadi sejak tahun tujuh puluhan memiliki komitmen yang cukup kuat untuk melestarikan 'tradisi' (turats) dalam satu bingkai analisis yang kritis dan sistematis.. . Pemikiran para tokohnya didasari kepedulian yang sangat kuat untuk melakukan formulasi metodologi yang konsisten dan universal terhadap penafsiran al-Quran; suatu penafsiran yang rasional yang peka terhadap konteks kultural dan historis dari teks Kitab Suci dan konteks masyarakat modern yang memerlukan bimbingannya. " 34

Menjelaskan pendapat Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra menulis, bahwa al-Quran menunjukkan bahwa risalah Islam - disebabkan universalitasnya - adalah selalu sesuai dengan lingkungan kultural apa pun, sebagaimana (pada saat turunnya) hal itu telah disesuaikan dengan kepentingan lingkungan semenanjung Arab. Karena itu, al-Quran harus selalu dikontekstualisasik an dengan lingkungan budaya penganutnya, di mana dan kapan saja."

Kontekstualisasi para pembaru agama Islam ala Nurcholish Madjid ini tidaklah sama dengan teori asbabun nuzul yang dipahami oleh kaum Muslimin selama ini dalam bidang ushul fiqih. Tetapi, Azyumardi Azra memberikan legitimasi dan pujian berlebihan terhadap metode Nurcholish Madjid:

"Cak Nur berpegang kuat kepada Islam tradisi hampir secara keseluruhan, pada tingkat esoteris dan eksoteris. Dengan sangat bagus dan distingtif, ia bukan sekedar berpijak pada aspek itu, namun ia juga memberikan sejumlah pendekatan dan penafsiran baru terhadap tradisi Islam itu. Maka, hasilnya adalah apresiasi yang cukup mendalam terhadap syariah atau fiqih dengan cara melakukan kontekstualisasi fiqih dalam perkembangan zaman." 35

Apa yang dikatakan Azra sebagai bentuk apresiasi syariat atau fiqih yang mendalam oleh Nurcholish Madjid adalah sebuah pujian yang sama sekali tidak berdasar. Nurcholish sama sekali tidak pernah menulis tentang metodologi fiqih dan hanya melakukan dekonstruksi terhadap beberapa hukum Islam yang tidak disetujuinya. Ia pun hanya mengikuti jejak gurunya, Fazlur Rahman, yang menggunakan metode hermeneutika untuk menafsirkan al-Quran. 36 Misalnya, saat pidato di Taman Ismail Marzuki, 21 Oktober 1992, Nurcholish mempromosikan pendapat yang lemah tentang Ahlul Kitab, dengan mengataakan:

"Dan patut kita camkan benar-benar pendapat Sayyid Muhammad Rasyid Ridla sebagaimana dikutip 'Abdul Hamid Hakim bahwa pengertian sebagai Ahlul Kitab tidak terbatas hanya kepada kaum Yahudi dan Kristen seperti tersebut dengan jelas dalam al- Quran serta kaum Majusi (pengikut Zoroaster) seperti tersebutkan dalam sebuah hadits, tetapi juga mencakup agama-agama lain yang mempunyai suatu bentuk kitab suci."

Pendapat Nurcholish ini sangat lemah, dan telah dibuktikan kelemahannya, misalnya, oleh Dr. Muhammad Galib dalam disertasinya di IAIN Jakarta (yang juga diterbitkan oleh Paramadina) dan oleh Dr. Azizan Sabjan, dalam disertasinya di ISTAC, Malaysia. Namun, Nurcholish Madjid tidak peduli dengan koreksi dan kritik, dan tidak pernah merevisi pendapatnya. Prestasi kaum pembaru di Paramadina dalam merombak hukum Islam lebih jelas lagi dengan keluarnya buku Fiqih Lintas Agama, yang sama sekali tidak apresiatif terhadap syariat. Bahkan, merusak dan menghancurkannya. Misalnya, dalam soal perkawinan antar-agama, buku Fiqih Lintas Agama menulis:

"Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya. " 37

Jadi, pendapat Azyumardi Azra tentang hebatnya kaum pembaru Islam yang dimotori Nurcholish Madjid adalah sama sekali tidak terbukti. Sebagai salah seorang cendekiawan yang sangat populer, Azra telah melakukan kekeliruan besar dengan cara memberikan legitimasi berlebihan terhadap gerakan pembaruan yang telah terbukti sangat destruktif terhadap khazanah pemikiran Islam. Dengan alasan melakukan kontekstualisasi, maka kaum liberal melakukan penghancuran dan perombakan terhadap hukum-hukum Islam yang sudah pasti (qath'iy), seperti hukum perkawinan muslimah dengan laki-laki non-Muslim.

Prof. Musdah Mulia, tokoh feminis, juga melakukan perombakan terhadap hukum perkawinan dengan alasan kontekstualisasi. Tapi, berbeda dengan buku Fiqih Lintas Agama, yang menekankan faktor jumlah umat Islam sebagai konteks yang harus dijadikan pertimbangan hukum, Musdah melihat konteks "peperangan" sebagai hal yang harus dijadikan dasar penetapan hukum. Ia menulis:

"Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu (QS 60:10. pen.), larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara kaum Mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan sendirinya." 38

Nuryamin Aini, seorang dosen Fakultas Syariah UIN Jakarta, juga membuat pernyataan yang menggugat hukum perkawinan antar-agama:

"Maka dari itu, kita perlu meruntuhkan mitos fikih yang mendasari larangan bagi perempuan muslim untuk menikah dengan laki-laki nonmuslim... Isu yang paling mendasar dari larangan PBA (Perkawinan Beda Agama. Red) adalah masalah sosial politik. Hanya saja, ketika yang berkembang kemudian adalah logika agama, maka konteks sosial-politik munculnya larangan PBA itu menjadi tenggelam oleh hegemoni cara berpikir teologis." 39

Entah kenapa, di Indonesia, yang mayoritas Muslim, kaum Liberal berusaha keras untuk menghancurkan hukum perkawinan antar-agama ini, seolah-olan ada kebutuhan mendesak kaum Muslim harus kawin dengan non-Muslim. Ulil Abshar Abdalla, di Harian Kompas edisi 18 November 2002, juga menulis: "Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi." Bahkan, lebih maju lagi, Dr. Zainun Kamal, dosen UIN Jakarta, kini tercatat sebagai 'penghulu swasta' yang menikahkan puluhan - mungkin sekarang sudah ratusan - pasangan beda agama.

Padahal, perlu dicatat, larangan muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim sudah menjadi Ijma' ulama dengan dalil-dalil yang sangat meyakinkan (seperti QS 60: 10). Buku Ensiklopedi Ijma' yang diterjemahkan oleh KH Sahal Mahfudz juga menyebutkan bahwa soal ini termasuk masalah Ijma' yang tidak menimbulkan perbedaan di kalangan kaum Muslim. Memorandum Organisasi Konferensi Islam (OKI) menyatakan: "Perkawinan tidak sah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak, dengan tetap memegang teguh keimanannya kepada Allah bagi setiap muslim, dan kesatuan agama bagi setiap muslimat."

Demikianlah cara kaum liberal dalam merombak hukum Islam, dengan mengubah metodologi ijtihad yang lebih menekankan aspek konteks, ketimbang makna teks itu sendiri. Gagasan-gagasan mereka bisa berlangsung sangat liar tanpa batasan dan teori yang jelas. Mereka bisa menyusun teori konteks itu sekehendak hati mereka. Itu bisa dilihat dalam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang disusun oleh Tim Pangarusutamaan Gender Departemen Agama - yang telah dibubarkan - garapan Prof. Dr. Musdah Mulia dkk. Ada beberapa gagasan konsep hukum yang sangat kontroversial :

Pertama, asas perkawinan adalah monogami (pasal 3 ayat 1), dan perkawinan di luar ayat 1 (poligami) adalah tidak sah dan harus dinyatakan batal secara hukum (pasal 3 ayat 2). Kedua, batas umur calon suami atau calon istri minimal 19 tahun (pasal 7 ayat 1). Ketiga, perkawinan beda agama antara muslim atau muslimah dengan orang non muslim disahkan (pasal 54). Keempat, calon suami atau istri dapat mengawinkan dirinya sendiri (tanpa wali), asalkan calon suami atau istri itu berumur 21 tahun, berakal sehat, dan rasyid/rasyidah. (pasal 7 ayat 2). Kelima, ijab-qabul boleh dilakukan oleh istri-suami atau sebaliknya suami-istri. (pasal 9). Keenam, masa iddah bukan hanya dimiliki oleh wanita tetapi juga untuk laki-laki. Masa iddah bagi laki-laki adalah seratus tiga puluh hari (pasal 88 ayat 7(a)). Ketujuh, talak tidak dijatuhkan oleh pihak laki-laki, tetapi boleh dilakukan oleh suami atau istri di depan Sidang Pengadilan Agama (pasal 59). Kedelapan, bagian waris anak laki-laki dan
wanita adalah sama (pasal 8 ayat 3, bagian Kewarisan). 40

Ketika hukum-hukum yang pasti dirombak, maka terbukalah pintu untuk membongkar seluruh sistem nilai dan hukum dalam Islam. Dari IAIN Yogyakarta, muncul nama Muhidin M. Dahlan, yang menulis buku memoar berjudul "Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur", yang memuat kata-kata berikut:

"Pernikahan yang dikatakan sebagai pembirokrasian seks ini, tak lain tak bukan adalah lembaga yang berisi tong-tong sampah penampung sperma yang secara anarkis telah membelah-belah manusia dengan klaim-klaim yang sangat menyakitkan. Istilah pelacur dan anak haram pun muncul dari rezim ini. Perempuan yang melakukan seks di luar lembaga ini dengan sangat kejam diposisikan sebagai perempuan yang sangat hina, tuna, lacur, dan tak pantas menyandang harga diri. Padahal, apa bedanya pelacur dengan perempuan yang berstatus istri? Posisinya sama. Mereka adalah penikmat dan pelayan seks laki-laki. Seks akan tetap bernama seks meski dilakukan dengan satu atau banyak orang. Tidak, pernikahan adalah konsep aneh, dan menurutku mengerikan untuk bisa kupercaya." 41

Dari Fakultas Syariah IAIN Semarang, bahkan muncul gerakan legalisasi perkawinan homoseksual. Mereka menerbitkan buku berjudul: Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual. Buku ini adalah kumpulan artikel di Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 25, Th XI, 2004. Dalam buku ini ditulis strategi gerakan yang harus dilakukan untuk melegalkan perkawinan homoseksual di Indonesia:

"Bentuk riil gerakan yang harus dibangun adalah (1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut hak-haknya yang telah dirampas oleh negara, (2) memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (3) melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual, (4) menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita." 42

Pada bagian penutup buku tersebut, anak-anak fakultas Syariah IAIN Semarang tersebut menulis kata-kata yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh seorang Muslim pun:

"Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan."

Bersambung ke 2/2