Tuesday, December 22, 2009

Siapakah Pribumi di Indonesia?

Siapakah Pribumi di Indonesia?

Dalam berbagai kamus bahasa Indonesia kata pribumi didefinisikan sebagai penduduk asli suatu wilayah, bukan penduduk pendatang. Disini jelas bahwa persoalan waktu kedatangan bukan menjadi parameter, tapi sekali lagi keaslian. Tidak perduli kapan mereka datang dan menetap, selama mereka bukan penduduk asli, mereka adalah non-pribumi.

Sejauh ini, jika kita percaya pada teori evolusi, maka satu-satunya pribumi di dunia ini adalah orang Afrika. Karena itulah Afrika dikenal sebagai cradle of humankind, tempat terlahirnya manusia, yang kemudian menyebar keseluruh penjuru dunia. Memang ada juga teori yang mengatakan bahwa manusia berkembang di dua tempat - Afrika dan Asia - lalu kemudian menyebar ke berbagai wilayah. Dan Indonesia merupakan salah satu tempat berkembangnya manusia di Asia menurut teori tersebut. Apakah ini yang menyebabkan kita mengklaim diri kita sebagai pribumi di Indonesia? Mungkin, tapi tidak valid.

Secara samar-samar kita memang telah diajarkan mengenai keberadaan rumpun kita di wilayah ini. Namun entah disengaja atau tidak, sejak di bangku Sekolah Dasar kita diajarkan bahwa nenek moyang kita (Melayu) berasal dari Cina, titik. Seolah sejak dari daratan Cina nenek moyang kita sudah merupakann rumpun Melayu. Kita tidak diajarkan secara eksplisit bahwa nenek moyang kita tidak saja berasal dari Cina tapi juga orang Cina.

Habgood (1989) mengatakan bahwa manusia modern Indonesia berasal dari Cina daratan. Gelombang migrasi nenek moyang kita yang merupakan para petani Cina dimulai pada 5000 tahun yang lalu dan mencapai bagian barat Indonesia pada 3000 tahun yang lalu. Sebagai petani, nenek moyang kita memiliki teknologi yang lebih maju dibandingkan mereka, kaum negrito, yang terlebih dahulu mendiami wilayah ini dan sumber kehidupannya hanya dari berburu dan mengumpulkan makanan dihutan. Oleh karena memiliki teknologi yang lebih maju, maka dengan mudahnya nenek moyang kita menggusur kaum negrito keluar dari wilayah yang mereka diami selama ini. Keturunan dari kaum negrito yang tergusur ini masih bisa kita temukan diwilayah pedalamam Irian, yang masih tetap mempraktekan pola hidup berburu dan mengumpulkan makanan.

Baik dari sejarah maupun dari konteks kata pribumi itu sendiri, sudah jelas bahwa kita - rumpun Melayu - bukanlah penduduk asli di wilayah nusantara ini. Kita adalah pendatang sebagaimana halnya mereka yang kita labelkan sebagai non-pribumi. Lalu jika demikian mengapa klaim sebagai pribumi tetap ingin kita kibarkan dan kita arak dalam kehidupkan bernegara kita? Mungkin - walaupun dahulunya merupakan virus yang disebarkan oleh penjajah Belanda - istilah ini tetap dikampanyekan karena jika tidak ada klaim sebagai pribumi maka berarti menegasikan keberadaan Orang Indonesia Asli. Mengatakan Orang Indonesia Asli tidak ada berarti menyatakan bahwa UUD 45 harus diubah serta banyak kebijakan di negeri ini harus ditinjau ulang, dan yang jauh lebih berdampak, banyak orang akan kebakaran jenggot karena privilege mereka sebagai 'tuan tanah' akan terpangkas.

Sebaliknya, jika tetap bersikukuh bahwa Orang Indonesia Asli ada dan kita ingin semua berjalan sesuai dengan konstitusi, mungkin kita harus mempersiapkan diri untuk tidak memiliki presiden. Sebab di abad modern ini tak ada satu manusiapun, apalagi sebuah bangsa, di muka bumi ini yang mampu menjaga kemurnian garis keturunannya. Lalu kita mesti bertanya masih adakah sesuatu yang imun dari perubahan di era reformasi ini, sekalipun itu sesuatu yang selama ini kita sakralkan?

Mungkin kita perlu belajar dari negara-negara Amerika Latin akan makna bernegara dalam komponen bangsa yang majemuk. Bahwa bangsa dan nasionalisme adalah suatu idea, bukan pakaian seragam kodian yang dapat dibuktikan keasliannya, sededar dari kenampakan fisik belaka.

Siapakah pribumi asli Nusantara?

Kembali ke masa prasejarah, penduduk wilayah Nusantara hanya terdiri dari dua golongan yakni Pithecantropus Erectus beserta manusia Indonesia purba lainnya dan keturunan bangsa pendatang di luar Nusantara yang datang dalam beberapa gelombang.

Berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan di wilayah Indonesia, dapat dipastikan bahwa sejak 2.000.000 (dua juta) tahun yang lalu wilayah ini telah dihuni. Penghuninya adalah manusia-manusia purba dengan kebudayaan batu tua atau mesolithicum seperti Meganthropus Palaeo Javanicus, Pithecanthropus Erectus, Homo Soloensis dan sebagainya. Manusia-manusia purba ini sesungguhnya lebih mirip dengan manusia-manusia yang kini dikenal sebagai penduduk asli Australia.

Dengan demikian, yang berhak mengklaim dirinya sebagai “penduduk asli Indonesia” adalah kaum Negroid, atau Austroloid, yang berkulit hitam. Manusia Indonesia purba membawa kebudayaan batu tua atau palaeolitikum yang masih hidup secara nomaden atau berpindah dengan mata pencaharian berburu binatang dan meramu. Wilayah Nusantara kemudian kedatangan bangsa Melanesoide yang berasal dari teluk Tonkin, tepatnya dari Bacson-Hoabinh. Dari artefak-artefak yang ditemukan di tempat asalnya menunjukan bahwa induk bangsa ini berkulit hitam berbadan kecil dan termasuk type Veddoid-Austrolaid.

Bangsa Melanesoide dengan kebudayaan mesolitikum yang sudah mulai hidup menetap dalam kelompok, sudah mengenal api, meramu dan berburu binatang.Teknologi pertanian juga sudah mereka genggam sekalipun mereka belum dapat menjaga agar satu bidang tanah dapat ditanami berkali-kali. Cara bertani mereka masih dengan sistem perladangan. Dengan demikian, mereka harus berpindah ketika lahan yang lama tidak bisa ditanami lagi atau karena habisnya makanan ternak. Gaya hidup ini dinamakan semi nomaden. Dalam setiap perpindahan manusia beserta kebudayaan yang datang ke Nusantara, selalu dilakukan oleh bangsa yang tingkat peradabannya lebih tinggi dari bangsa yang datang sebelumnya.

Dari semua gelombang pendatang dapat dilihat bahwa mereka adalah bangsa-bangsa yang mulai bahkan telah menetap. Jika kehidupannya mereka masih berpindah, maka perpindahan bukanlah sesuatu hal yang aneh. Namun dalam kehidupan yang telah menetap, pilihan untuk meninggalkan daerah asal bukan tanpa alasan yang kuat. Ketika kehidupan mulai menetap maka yang pertama dan yang paling dibutuhkan adalah tanah sebagai media untuk tetap hidup. Mereka sangat membutuhkan tanah yang luas karena teknologi pertaniannya masih rendah. Mereka belum sanggup menjaga, apalagi meningkatkan, kesuburan tanah. Mereka membutuhkan sistem pertanian yang ekstensif, dan perpindahan untuk penguasaan lahan-lahan baru setiap jangka waktu tertentu. Sebelum didatangi bangsa-bangsa pengembara dari luar, tanah di Nusantara belum menjadi kepemilikan siapapun.

Hal ini berbeda dengan Manusia Indonesia Purba yang tidak memerlukan tanah sebagai modal untuk hidup karena mereka berpindah-pindah. Ketika sampai di satu tempat yang dilakukannya adalah mengumpulkan makanan (food gathering). Biasanya tempat yang dituju adalah lembah-lembah atau wilayah yang terdapat aliran sungai untuk mendapatkan ikan atau kerang (terbukti dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba di wilayah Nusantara di lembah-lembah sungai) walaupun tidak tertutup kemungkinan ada pula yang memilih mencari di pedalaman. Ketika bangsa Melanesoide datang, mereka mulai menetap walaupun semi nomaden. Mereka akan pindah jika sudah tidak mendapatkan lagi makanan. Maka pilihan atas tempat-tempat yang akan ditempatinya adalah tanah yang banyak menghasilkan. Wilayah aliran sungai pula yang akan menjadi targetannya. Padahal, wilayah ini adalah juga wilayah di mana para penduduk asli mengumpulkan makanannya.

Ini mengakibatkan benturan yang tidak terelakan antara kebudayaan palaeolithikum dengan kebudayaan yang mesolithikum. Alat-alat sederhana seperti kapak genggam atau choppers, alat-alat tulang dan tanduk rusa berhadapan dengan kapak genggam yang lebih halus atau febble, kapak pendek dan sebagainya. Pertemuan ini dapat mengakibatkan beberapa hal yaitu:
1. Penduduk asli ditumpas, atau
2. Mereka diharuskan masuk dan bersembunyi di pedalaman untuk menyelamatkan diri, atau
3. Mereka yang ditaklukkan dijadikan hamba, dan kaum perempuannya dijadikan harem-harem untuk melayani para pemenang perang.

Sekitar tahun 2000 SM, bangsa Melanesoide yang akhirnya menetap di Nusantara kedatangan pula bangsa yang kebudayaannya lebih tinggi yang berasal dari rumpun Melayu Austronesia yakni bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, suatu ras mongoloid yang berasal dari daerah Yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina Selatan. Alasan-alasan yang me-nyebabkan bangsa Melayu tua meninggalkan asalnya yaitu :
1. Adanya desakan suku-suku liar yang datangnya dari Asia Tengah;
2. Adanya peperangan antar suku;
3. Adanya bencana alam berupa banjir akibat sering meluapnya sungai She Kiang dan sungai-sungai lainnya di daerah tersebut.

Suku-suku dari Asia tengah yakni Bangsa Aria yang mendesak Bangsa Melayu Tua sudah pasti memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi lagi. Bangsa Melayu Tua yang terdesak meninggalkan Yunan dan yang tetap tinggal bercampur dengan Bangsa Aria dan Mongol. Dari artefak yang ditemukan yang berasal dari bangsa ini yaitu kapak lonjong dan kapak persegi.Kapak lonjong dan kapak persegi ini adalah bagian dari kebudayaan Neolitikum. Ini berarti orang-orang Melayu Tua, telah mengenal budaya bercocok tanam yang cukup maju dan bukan mustahil mereka sudah beternak. Dengan demikian mereka telah dapat menghasilkan makanan sendiri (food producing). Kemampuan ini membuat mereka dapat menetap secara lebih permanen.

Pola menetap ini mengharuskan mereka untuk mengembangkan berbagai jenis kebudayaan awal. Mereka juga mulai membangun satu sistem politik dan pengorganisasian untuk mengatur pemukiman mereka. Pengorganisasian ini membuat mereka sanggup belajar membuat peralatan rumah tangga dari tanah dan berbagai peralatan lain dengan lebih baik. Mereka mengenal adanya sistim kepercayaan untuk membantu menjelaskan gejala alam yang ada sehubungan dengan pertanian mereka. Sama seperti yang terjadi terdahulu, pertemuan dua peradaban yang berbeda kepentingan ini, mau tidak mau, melahirkan peperangan-peperangan untuk memperebutkan tanah. Dengan pengorganisiran yang lebih rapi dan peralatan yang lebih bermutu, kaum pendatang dapat mengalahkan penduduk asli. Kebudayaan yang mereka usung kemudian menggantikan kebudayaan penduduk asli. Sisa-sisa pengusung kebudayaan Batu Tua kemudian menyingkir ke pedalaman. Beberapa suku bangsa merupakan keturunan dari para pelarian ini, seperti suku Sakai, Kubu, dan Anak Dalam.

Arus pendatang tidak hanya datang dalam sekali saja. Pihak-pihak yang kalah dalam perebutan tanah di daerah asalnya akan mencari tanah-tanah di wilayah lain. Demikian juga yang menimpa bangsa Melayu Tua yang sudah mengenal bercocok tanam, beternak dan menetap. Kembali lagi, daerah subur dengan aliran sungai atau mata air menjadi incaran.

Wilayah yang sudah mulai ditempati oleh bangsa melanesoide harus diperjuangkan untuk dipertahankan dari bangsa Melayu Tua.Tuntutan budaya yang sudah menetap mengharuskan mereka mencari tanah baru. Dengan modal kebudayaan yang lebih tinggi, bangsa Melanesoide harus menerima kenyataan bahwa telah ada bangsa penguasa baru yang menempati wilayah mereka.

Namun kedatangan bangsa Melayu Tua ini juga memungkinkan terjadinya percampuran darah antara bangsa ini dengan bangsa Melanesia yang telah terlebih dahulu datang di Nusantara. Bangsa Melanesia yang tidak bercampur terdesak dan mengasingkan diri ke pedalaman. Sisa keturunannya sekarang dapat didapati orang-orang Sakai di Siak, Suku Kubu serta Anak Dalam di Jambi dan Sumatera Selatan, orang Semang di pedalaman Malaya, orang Aeta di pedalaman Philipina, orang-orang Papua Melanesoide di Irian dan pulau-pulau Melanesia.

Pada gelombang migrasi kedua dari Yunan di tahun 2000-300 SM, datanglah orang-orang Melayu Tua yang telah bercampur dengan bangsa Aria di daratan Yunan. Mereka disebut orang Melayu Muda atau Deutero Melayu dengan kebudayaan perunggunya. Kebudayaan ini lebih tinggi lagi dari kebudayaan Batu Muda yang telah ada karena telah mengenal logam sebagai alat perkakas hidup dan alat produksi. Kedatangan bangsa Melayu Muda mengakibatkan bangsa Melayu Tua yang tadinya hidup di sekitar aliran sungai dan pantai terdesak pula ke pedalaman karena kebudayaannya kalah maju dari bangsa Melayu Muda dan kebudayaannya tidak banyak berubah. Sisa-sisa keturunan bangsa melayu tua banyak ditemukan di daerah pedalaman seperti suku Dayak, Toraja, orang Nias, batak pedalaman, Orang Kubu dan orang Sasak. Dengan menguasai tanah, Bangsa Melayu Muda dapat berkembang dengan pesat kebudayaannya bahkan menjadi penyumbang terbesar untuk cikal-bakal bangsa Indonesia sekarang.

Dari seluruh pendatang yang pindah dalam kurun waktu ribuan tahun tersebut tidak seluruhnya menetap di Nusantara. Ada juga yang kembali bergerak ke arah Cina Selatan dan kemudian kembali ke kampung halaman dengan membawa kebudayaan setempat atau kembali ke Nusantara. Dalam kedatangan-kedatangan tersebut penduduk yang lebih tua menyerap bahasa dan adat para imigran. Jarang terjadi pemusnahan dan pengusiran bahkan tidak ada penggantian penduduk secara besar-besaran. Percampuran-percampuran inilah yang menjadi cikal bakal Nusantara yang telah menjadi titik pertemuan dari ras kuning (mongoloid) yang bermigrasi ke selatan dari Yunan, ras hitam yang dimiliki oleh bangsa Melanesoide dan Ceylon dan ras putih anak benua India.

Sehingga tidak ada penduduk atau ras asli wilayah Nusantara kecuali para manusia purba yang ditemukan fosil-fosilnya. Kalaupun memang ada penduduk asli Indonesia maka ia terdesak terus oleh pendatang-pendatang boyongan sehingga secara historis-etnologis terpaksa punah atau dipunahkan dalam arti sesungguhnya atau kehilangan ciri-ciri kebudayaannya dan terlebur di dalam masyarakat baru. Semua adalah bangsa-bangsa pendatang.

Daftar Pustaka:
D. G. E. Hall. Sejarah Asia Tenggara. Cet.I. Surabaya-Usaha Nasional. 1988
Stanley. Makalah Arus Dari Utara. 1998
T. Parakitri Simbolon. Menjadi Indonesia, buku I “Akar-akar kebangsaan Indonesia”. Cet.I. Jakarta-Kompas-Grasindo. 1995.
Dr. M. Prijohutomo & P.J. Reimer. Tentang Orang dan Kejadian Jang Besar Djilid I. Tjet.V. Djakarta-Amnsterdam: W.Versluys N.V.
Pramoedya Ananta Toer. Hoakiau di Indonesia. Jakarta-Garba Budaya.1998

Baca Juga Sejarah Kerajaan Indonesia

http://www.kaskus.us/showthread.php?t=2621150

AWAL PENDARATAN AUSTRONESIA DI PANTAI UTARA JAWA

AWAL PENDARATAN AUSTRONESIA DI PANTAI UTARA JAWA,
SEBUAH PROSPEK MELACAK NENEK MOYANG ETNIS JAWA
Sofwan Noerwidi
Balai Arkeologi Yogyakarta

Abstrak
Pulau Jawa merupakan pulau yang paling padat penduduknya di Kepulauan
Nusantara. Berdasarkan kajian linguistik, Robert Blust (1984/1985) berpendapat
bahwa proses pembentukan proto bahasa Jawa, Bali, Sasak dan Sumbawa bagian
barat baru terjadi pada 2500 BP yang kemungkinan berasal dari suatu daerah di
Borneo atau Sumatra. Namun, bukti arkeologis yang dapat digunakan untuk menguji
hipotesis tersebut masih sangat terbatas, sehingga proses awal penghunian pulau
Jawa oleh masyarakat neolitik Austronesia masih menjadi misteri. Mungkin saat ini
situs-situs neolitik awal di pantai utara Pulau Jawa telah terkubur beberapa meter di
bawah endapan aluvial. Data geologi dan geomorfologi memiliki peran yang sangat
penting untuk mengungkap kasus tersebut. Selain itu juga perlu diperhatikan
perubahan muka air laut pada masa lampau. Metode pencarian data dari bidang lain
mungkin sangat membantu dalam hal ini, seperti geoelektrik misalnya.
Abstract
Java Island is the densest island in the Indonesian Archipelago. From linguistic
evidence, Blust (1985) argued that there are the created process of proto Javanese,
Balinese, Sasak and West Sumbawa language took place approx. in the last 2500
years, which came from a language spoken somewhere in Sumatera or Borneo. The
archaeological evidence, which can support these linguistic hypotheses is very rear
uncovered, this causes reconstruction of the process of colonization in Java Island by
Austronesia speaking people to still be a mystery. Maybe, early Neolithic sites along
north coast of Java buried under alluvial deposit at the present time. Geomorphology
and Geological data are very important to answer this case. Another hand, ancient
sea level fluctuation will be an important factor. Survey methodology from other
discipline will very helpful, such as Geo-electric.
Terminologi Austronesia
Rumpun bahasa Austronesia merupakan salah satu rumpun bahasa terbesar yang
digunakan di lebih dari separuh belahan dunia, membentang dari Madagaskar di
barat hingga Pulau Paskah di Timur, serta membujur dari Taiwan dan Hawai�i di
utara hingga Selandia Baru di selatan. Luas persebarannya menjadikan rumpun
bahasa Austronesia sebagai bahasa terbesar sebelum masa kolonialisme bangsa
Eropa. Turunan rumpun bahasa Austronesia beranggotakan sekitar 1200 bahasa yang
berkerabat, serta digunakan oleh lebih dari 350 juta orang, dengan jumlah penutur
terbesar terdiri dari bahasa Melayu-Indonesia, Jawa dan Tagalog. Saat ini, bahasa
Austronesia secara mayoritas digunakan di negara-negara; Indonesia, Malaysia,
Filipina, Singapura, Brunei, serta oleh etnis tertentu di Taiwan (seperti; Atayal, Tsou
dan Paiwan), Vietnam, Kamboja (etnis Cham), Birma (pengembara laut di Kep.
Mergui), Timor Leste (seperti; Tetum, Quemac, dan Tocodede) dan beberapa etnis di
pantai utara Papua (lihat: Tryon, 1995: 17-19 dan Martins, 2000: 78).
Persebaran Berbagai Rumpun Bahasa Manusia (www.wikipedia.com)
Istilah Austronesia pada awalnya diberikan oleh ahli linguistik untuk menyebut suatu
rumpun bahasa yang hampir secara mayoritas dituturkan di Asia Tenggara
Kepulauan, Micronesia, Melanesia Kepulauan dan Polynesia. Pada
perkembangannya, istilah Austronesia juga digunakan untuk menyebut suatu
komunitas yang berbudaya Austronesia serta menuturkan bahasa Austronesia.
Perhatian terhadap kajian rumpun bahasa Austronesia dapat dirunut hingga awal
abad 16, ketika para pengembara mengumpulkan daftar kosa kata bahasa Austronesia
dari tempat-tempat yang mereka kunjungi, seperti misalnya Antonio Pigafetta
(seorang berkebangsaan Italia) yang ikut dalam ekspedisi Magellan 1519-1522 (Fox,
2004: 3). Kapten Cornelis de Houtman seorang kapten kapal Belanda yang berlayar
menuju Hindia Timur (mendarat di Banten) melalui Madagaskar pada tahun 1596,
mengamati berbagai kemiripan antara bahasa Malagasy dan bahasa Melayu
(Tanudirjo, 2001:9).
William von Humboldt adalah tokoh yang pertama kali mengajukan istilah �Malayo-
Polynesia� untuk menyebut bahasa-bahasa di kawasan Malaya sampai Polynesia
yang memiliki kemiripan. Pada tahun 1889, berdasarkan pada kajian linguistik yang
detail dan sistematis, Hendrik Kern membagi rumpun bahasa �Malayo-Polynesia�
menjadi bahasa �Malayo-Polynesia Barat� yang terdiri dari bahasa-bahasa di Asia
Tenggara Kepulauan serta Micronesia bagian barat, dan bahasa �Malayo-Polynesia
Timur� yang terdiri dari bahasa-bahasa di Melanesia Kepulauan dan Polynesia.
Kemudian pada tahun 1906, Wilhelm Schmidt memperkenalkan terminology
�Austronesia�, untuk menyebut bahasa �Malayo-Polynesia�. Selain itu beliau juga
mengajukan hipotesis bahwa pada masa lampau di Asia daratan terdapat bahasa
�Austric� yang merupakan nenek moyang bahasa Austronesia dan Austroasiatic.
Selain itu, di Asia Daratan juga terdapat beberapa rumpun bahasa besar lainnya,
antara lain adalah; Indo-Eropa, Sino-Tibetan, Tai-Kadai, Altaic, Korea, dan Hmong
Mien. Bahasa Austronesia kemudaian menurunkan bahasa-bahasa di Asia Tenggara
Kepulauan dan Pasifik, sedangkan bahasa Austroasiatic berkembang menjadi dua
rumpun besar bahasa yaitu; bahasa Mon-Khmer di Indochina dan bahasa Munda di
India bagian timur (lihat: Anceaux, 1991:73 serta Blench dan Dendo, 2004: 13).
Robert von Heine Geldern adalah ahli arkeologi yang pertama kali mengadopsi
konsep budaya Austronesia dari para linguist. Beliau berpendapat bahwa luas
persebaran budaya Austronesia ditunjukkan dengan persebaran kompleks budaya
Vierkantbeil Adze, dengan ciri utamanya adalah kehadiran beliung berpenampang
lintang persegi. Roger Duff kemudian melakukan kajian berdasarkan hasil penelitian
Geldern. Beliau melakukan klasifikasi tipologi beliung persegi berdasarkan bentuk
irisan, bentuk tajaman dan bentuk pangkal (Duff, 1970:8). Akhirnya Duff sampai
pada kesimpulan bahwa persebaran komunitas Austronesia di Kepulauan Indonesia
(kecuali Papua) yang didukung dengan pola subsistensi pertanian berasal dari
Semenanjung Malaya bagian selatan. Hal tersebut tercermin oleh persebaran beliung
paruh (Malayan Beacked Adze) dan belincung (Indonesian Pick Adze) (Duff,
1970:14). Ahli lainnya adalah Wilhelm G. Solheim II yang mengajukan teori bahwa
wilayah geografis persebaran gerabah Sa-Huynh dan Kalanay di Asia Tenggara
Kepulauan dan Lapita di Melanesia bagian barat memiliki hubungan dengan
persebaran orang Austronesia. Namun, beliau mengajukan istilah Nusantau untuk
menyebut kelompok orang Austronesia dan budayanya tersebut.
Persebaran Austronesia
Sangat mengagumkan melihat persebaran rumpun bahasa Austronesia yang
dituturkan pada hampir seluruh kawasan kepulauan Indo-Pasifik. Banyak ahli yang
berpendapat bahwa persebaran rumpun bahasa Austronesia yang luas disebabkan
oleh proses ekspansi komunitas penutur rumpun bahasa tersebut ke luar dari daerah
asalnya. Hendrik Kern mencoba untuk mencari daerah asal persebaran bahasa
Austronesia menggunakan metode pemilihan kosa kata sebagai bentuk bahasa
Austronesia purba dari kosa kata yang maknanya bersangkutan dengan unsur-unsur
flora, fauna dan lingkungan geografis. Hasil kajian tersebut membawa beliau pada
suatu kesimpulan bahwa tanah asal nenek moyang rumpun bahasa Austronesia
terletak di suatu pantai daerah tropis (Anceaux, 1991: 74-75, Blust, 1984-1985:47-
49).
Robert Blust (1984-1985) seorang linguist, berusaha menyusun silsilah kekerabatan
bahasa Austronesia dengan menggunakan metode �W�rter und Sachen Technique�,
yaitu dengan menggunakan kosa kata sebagai dasar untuk menyimpulkan berbagai
referensi yang diketahui oleh penutur bahasa yang direkonstruksi. Kosa kata tersebut
juga digunakan sebagai dasar untuk merekonstruksi budaya dan lingkungan alam
penutur bahasa yang direkonstruksi. Hasil reksonstruksi Blust adalah; nenek moyang
bahasa Austronesia dituturkan di sekitar daerah yang tidak jauh dari Pulau Taiwan
(Formosa) pada kurun sebelum 4.500 SM. Kemudian bahasa tersebut memisahkan
diri menjadi bahasa Austronesia Formosa (Atayal, Tsou dan Paiwan) dan Proto
Melayu-Polynesia (seluruh bahasa Austronesia di luar Taiwan) pada 4.500 SM.
Melayu-Polynesia kemudian berkembang menjadi Melayu-Polynesia Barat dan
Melayu-Polynesia Timur-Tengah pada 3.500 SM. Pada 3.000 SM, bahasa Melayu-
Polynesia Barat berkembang menjadi bahasa-bahasa Austronesia di kawasan antara
Filipina Selatan, Sumbawa bagian Barat dan Sumatra, sedangkan Melayu-Polynesia
Timur-Tengah berkembang menjadi Melayu-Polynesia Tengah dan MelayuPolynesia
Timur. Akhirnya, pada 2.500 SM bahasa Melayu-Polynesia Timur
berkembang menjadi bahasa Halmahera Selatan-Nugini Barat dan bahasa Oseania.
Silsilah Rumpun Bahasa Austronesia (Blust, 1978)
Saat ini berkembang beberapa teori persebaran Austronesia yang diajukan oleh para
ahli dari berbagai sudut pandang yang berbeda, diantaranya adalah; The Express
Train from Taiwan to Polynesia (Bellwood), The Taiwan Homeland concept (Reed),
Island Southeast Asia Origin (Solheim), From South America via Kon Tiki
(Heyerdahl), An Entangled Bank (Terrell), The Geneflow Model (Devlin), The
Genetic Bottleneck in Polynesia (Flint), The Eden in the East concept
(Oppenheimer), Voyaging Corridor Triple I account (Green) (lihat Chambers,
2006:303). Berdasarkan beberapa teori yang berkembang tersebut, pada intinya
terdapat tiga kubu model persebaran Austronesia yang berbeda, yaitu; (1)
Austronesia berasal dari Pulau Taiwan, (2) Austronesia berasal dari dari kawasan
Asia Tenggara Kepulauan dan (3) Austronesia berasal dari dari kawasan Melanesia.
Diantara beberapa teori tersebut, salah satunya yang terkuat dan mendapat banyak
dukungan dari berbagai sudut pandang keilmuan adalah model yang diajukan oleh
Bellwood. Beliau menyarankan bahwa Austronesia berasal dari Taiwan dan Pantai
Cina bagian selatan. Kawasan tersebut oleh berberapa ahli linguistik dianggap
sebagai tempat asal bahasa proto-Austronesia. Disamping itu, secara arkeologis
daerah tersebut menghasilkan bukti pola subsistensi bercocok tanam dan aspek
budaya Austronesia lainnya yang paling tua di kawasan ini berupa beliung persegi
dan gerabah, seperti yang ditemukan di situs Hemudu di Teluk Hangzou, Propinsi
Zhejiang yang berumur 7000 tahun (Bellwood, 1995:97-98).
Kolonisasi Austronesia di Jawa
Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang paling padat penduduknya di
Kepulauan Nusantara. Dari sudut pandang genetik dan linguisik, pada saat ini
mayoritas penduduk Pulau Jawa adalah masyarakat dengan ciri genetik Mongoloid
serta menuturkan bahasa yang termasuk dalam rumpun Austronesia. Sampai saat ini,
penjelasan yang paling luas diterima bagi kasus penyebaran masyarakat penutur
bahasa Austronesia adalah Blust-Bellwood model yang dibangun berdasarkan
gabungan antara data linguistic historis dan arkeologi. Teori yang diajukan mereka
disebut juga model Out of Taiwan atau Express Train from Taiwan to Polynesia yang
intinya bahwa masyarakat penutur bahasa Austronesia berekspansi dari Taiwan sejak
5.000 BP menuju Asia Tenggara Kepulauan, Melanesia Kepulauan, Micronesia
hingga Polynesia, dengan cepat selama satu millennium berikutnya via Filipina. Pada
masa sebelumnya, Taiwan dikoloni oleh sekelompok populasi petani dari daratan
Cina Selatan via Pulau Peng Hu (Pascadores) pada sekitar 6.000 BP akibat tekanan
demografi (Tanudirjo, 2006: 87).
Persebaran Geografis Bahasa Austronesia (Diamond, 2000)
Berdasarkan kajian linguistik, Robert Blust (1984/1985) berpendapat bahwa
kelompok bahasa Jawa-Bali-Sasak memiliki hubungan yang erat dengan kelompok
bahasa Malayo-Chamic dan Bahasa Barito di Kalimantan Selatan (termasuk
Madagaskar). Beliau menduga bahwa proto kelompok bahasa-bahasa tersebut
dituturkan di bagian tenggara Kalimantan pada periode 1000-1500 SM. Kemudian
mengalami pemisahan yang pertama menjadi nenek moyang Bahasa Barito, Bahasa
Malayo-Chamic dan Bahasa Jawa-Bali-Sasak. Proses pemisahan berikutnya yang
dialami oleh proto bahasa-bahasa tersebut terjadi pada 800-1000 SM. Namun proses
pembentukan proto bahasa Jawa, Bali, Sasak dan Sumbawa bagian barat baru terjadi
pada 2500 tahun terakhir yang kemungkinan berasal dari suatu daerah di Borneo atau
Sumatra.
Beberapa Permasalahan
Berdasarkan kajian arkeologi, �paket� budaya neolitik yang dapat diasosiasikan
dengan penyebaran komunitas Austronesia awal dari Taiwan antara lain adalah;
pertanian padi-padian, domestikasi anjing dan babi, gerabah berdasar membulat
berhias slip merah, cap, gores dan tera tali dengan bibir melipat ke luar, kumparan
penggulung benang dari tanah liat, beliung batu dengan potongan lintang persegi
empat yang diasah, artefak dari batu sabak (lancipan) dan nephrite (aksesoris), batu
pemukul kulit kayu, serta batu pemberat jala. Beberapa dari kategori tersebut,
terutama gerabah slip merah berlanjut hingga Indonesia timur kemudian menuju
Oseania dalam bentuk komplek budaya Lapita (3.350-2.800 BP) (lihat: Bellwood,
2000: 313 dan 2006: 68). Namun, bukti arkeologis tersebut di atas yang dapat
digunakan untuk menguji hipotesis linguistik Blust masih sangat terbatas ditemukan
di Pulau Jawa, sehingga proses awal penghunian pulau ini oleh masyarakat neolitik
penutur bahasa Austronesia sampai sekarang masih menjadi misteri.
Data arkeologis yang mengindikasikan adanya kolonisasi Austronesia di Jawa adalah
persebaran berbagai macam tipologi beliung persegi yang telah dicatat oleh H.R van
Heekeren (1974), antara lain dari daerah; Banten, Kelapa Dua, Pejaten, Kampung
Keramat, dan Buni (Jakarta dan Tangerang), Pasir Kuda (Bogor), Cibadak, Cirebon,
Tasikmalaya (Priangan), Pekalongan, Gunung Karangbolang (Banyumas),
Semarang, Yogyakarta, Punung dan Wonogiri, Madiung, Surabaya, Madura, Malang,
Kendeng Lembu dan Pager Gunung (Besuki). Namun sayangnya, sebagian besar dari
temuan tersebut berasal dari laporan penduduk dan situs yang tidak jelas asalusulnya,
kecuali beberapa situs yang saat ini telah di teliti secara intensif seperti
misalnya Punung.
Bukti arkeologis yang langsung dapat digunakan untuk mendukung hipotesis
linguistik masih sangat sedikit yang ditemukan, sehingga proses awal penghunian
Pulau Jawa oleh masyarakat penutur bahasa Austronesia sampai saat ini masih
menjadi misteri. Proses transformasi data arkeologi berpengaruh sangat besar bagi
proses pembentukan dan ditemukannya bukti-bukti arkeologis tersebut. Mungkin
keadaannya pada saat ini situs-situs neolitik awal di pantai utara Pulau Jawa telah
terkubur beberapa meter di bawah endapan aluvial, sehingga sukar untuk ditemukan
dan diteliti (Bellwood, 2000: 337). Hal tersebut disebabkan karena di pulau Jawa
terdapat beberapa sungai besar yang bermuara ke pantai utara, antara lain adalah;
Sungai Cisadane, Sungai Ciliwung dan Sungai Citarum di bagian barat, Sungai Kuto,
Sungai Tuntang, dan Sungai Lusi di bagian Tengah, serta Sungai Bengawan Solo dan
Sungai Brantas yang mengalir ke timur dan bermuara di Selat Madura. Permasalahan
yang serupa mungkin juga terjadi pada situs-situs di pantai timur Sumatra yang
diperkirakan menjadi lokasi pendaratan Austronesia di pulau tersebut.
Prospek Penelitian
Untuk menyiasati permasalahan belum banyaknya bukti arkeologis akibat proses
transformasi tersebut, maka harus dicari situs-situs di kawasan yang diperkirakan
selamat dari proses pengendapan yang cepat oleh material alluvial kegiatan vulkanik
beberapa gunung berapi yang dimulai sejak Jaman Kuarter. Data geologi dan
geomorfologi memiliki peran yang sangat penting dalam hal ini. Selain itu juga perlu
diperhatikan perubahan tinggi muka air laut pada masa lampau. Berdasarkan pada
indicator biogenic dan inorganic untuk merekonstruksi muka air laut pada masa
lampau, dapat dikatahui bahwa di Semenanjung Malaysia dan Thailand yang gerak
tektoniknya stabil, muka air laut lebih tinggi 5 meter dari muka air laut sekarang
yang terjadi pada 5.000 BP (lihat: Tjia, 2006). Jika hal ini juga terjadi di pantai utara
Jawa, maka situs-situs pendaratan Austronesia antara 3.000-2.500 BP harus dicari
pada kawasan pantai yang konturnya lebih tinggi dari 3-4 meter di atas permukaan
laut saat ini.
Berdasarkan pada persyaratan tersebut di atas, maka beberapa kawasan pantai utara
Pulau Jawa bagian tengah dan timur yang memiliki potensi sebagai lokasi pendaratan
Austronesia adalah pantai-pantai di sepanjang Semenanjung Blambangan, Tuban,
Semarang dan Batang. Oleh karena itu, harus dicari situs permukiman neolitik
terbuka di sekitar kawasan pantai-pantai tersebut. Metode pencarian data dari bidang
keilmuan lain mungkin sangat membantu dalam hal ini, seperti geoelektrik misalnya
yang berguna untuk membantu menemukan garis pantai masa lampau sesuai dengan
kronologi yang diinginkan (3.000-2.500 BP untuk awal pendaratan Austronesia di
Pulau Jawa berdasarkan hipotesis linguistik).
Punung
Purbalingga
Kendenglembu
Kondisi Geomorfologi Pulau Jawa, dan Hipotesis pendaratan Austronesia
Mahirta (2006) mengembangkan beberapa model migrasi-kolonisasi yang diajukan
oleh Moore untuk diujikan pada kasus persebaran Austronesia. Beliau berpendapat
bahwa di Kepulauan Indonesia bagian timur terdapat dua macam pola permukiman
prasejarah Austronesia, yaitu (1) permukiman tersebar di sepanjang pantai jika
mengkoloni pulau yang tidak terlalu besar, seperti misalnya Pulau Kayoa dan Pulau
Gebe di Maluku Utara dan (2) permukiman berkembang memanjang ke pedalaman
sejajar dengan alur sungai, seperti misalnya situs-situs Kalumpang di Sulawesi Barat
dan permukiman tradisional etnis Dayak di Kalimantan yang masih bisa kita
saksikan hingga saat ini (lihat: Mahirta, 2006). Melihat beberapa kasus tersebut,
maka sebaiknya dalam eksplorasi situs-situs di pantai utara Jawa juga
memperhatikan keberadaan sungai yang dapat berpotensi sebagai jalur akses menuju
ke pedalaman. Hal tersebut disebabkan karena Pulau Jawa terlalu luas bagi
komunitas Austronesia jika hanya dikoloni pada bagian sekeliling garis pantainya
saja. Selain itu, komunitas petani dan peternak Austronesia tentunya membutuhkan
dataran alluvial gunung berapi yang subur di lokasi yang lebih ke pedalaman untuk
mengembangkan pola subsistensi bercocok tanam biji-bijian di Pulau Jawa. Dalam
hal ini, beberapa sungai besar yang bermuara ke pantai utara Jawa harus mendapat
perhatian khusus, seperti misalnya Sungai Tuntang di Semarang.
Sebagai referensi lainnya, pada situs-situs Austronesia awal di Cina daratan dan
Taiwan, rupa-rupanya telah dikenal sistem pemukiman menetap, dan berkelompok di
tempat terbuka dalam bentuk perkampungan. Situs-situs pemukiman rumah
panggung antara lain terdapat di Xitou, Kequitou dan Tanshishan di Fujian, situs
Hemudu di Zhejiang dan di Guangdong. Situs-situs tersebut berumur 5200 dan 4200
SM. Rumah-rumah tersebut berdenah persegi yang dibangun dengan teknik lubang
dan pasak yang amat rapi dan didirikan di atas deretan tumpukan kayu kecil.
Kemudian pada masa selanjutnya muncul situs desa seluas 40-80 hektar di Peinan
yang bertarik 1500 dan 800 SM. Situs rumah panggung juga terdapat di Feng pi t�ou
di Taiwan yang dihuni 2500-500 SM dan situs Dimolit di Luzon utara, yang dihuni
2500-1500 SM (Bellwood, 2000: hlm. 309, 315, 319, dan 323). Di Pasifik, pola
permukiman budaya Lapita pada umumnya terdiri atas beberapa rumah panggung
yang berada di pinggir pantai atau pulau kecil diseberangnya, seperti di Kepulauan
Mussau dengan luas 7 hektar. Indikasi mengenai situs tersebut biasanya ditandai
dengan sebaran pecahan gerabah, tungku dari tanah, dan bekas perapian (Spriggs,
1995: 118).
Berdasarkan data linguistik, kosa kata Austronesia mengenai rumah dan unsurunsurnya
permukiman lainnya ditemukan di seluruh kawasan barat dan timur
persebaran bahasa ini. Bahkan kata *Rumaq (Ind. Rumah) telah muncul sejak awal
perkembangan bahasa Austronesia di Taiwan (Blust, 1984-1985: 220). Sedangkan
berdasarkan bukti etnografi, sampai saat ini sistem permukiman terbuka tradisional
dengan rumah panggung masih banyak ditemukan pada masyarakat tradisional
Austronesia, seperti: Rumah Gadang (Minangkabau), Lamin (Dayak), Tongkonan
(Toraja).
Implikasi
Banyak situs permukiman neolitik telah ditemukan di Indonesia, dan beberapa
diantaranya telah dilakukan penelitian secara intensif, seperti misalnya; Tipar Ponjen,
Purbalingga (1.180-870 BP), Nangabalang, Kalimantan Barat (2.871 BP), Minanga
Sipakko, Sulawesi Barat (2.570 BP) dan Punung, Pacitan (2.100-1.100 BP)
(Simanjuntak, 2002). Namun dari beberapa situs tersebut hanya Situs Kendenglembu
di Pulau Jawa, yang merupakan satu di antara dua (yang baru ditemukan) kompleks
situs permukiman pure (murni) neolitik di Indonesia berdasarkan kerangka kronologi
(bukan tradisi). Situs sejenis lainnya adalah situs-situs di sepanjang Sungai Karama,
Kalumpang di Sulawesi Barat, mulai dari Tasiu, Sikendeng dan Lattibung di hilir
hingga Minanga Sipakko, Kamassi dan Tambing-tambing di hulu (lihat: Simanjuntak
2006).
Namun, berbeda dengan situs-situs Kalumpang yang terletak di sepanjang Sungai
Karama dari hilir hingga hulu, Situs Kendenglembu merupakan situs pedalaman di
selatan Jawa bagian timur yang kelihatannya tidak memiliki akses sungai menuju ke
pantai utara Jawa, tempat diperkirakannya awal pendaratan Austronesia di pulau ini.
Walaupun demikian, melihat perkembangan yang cukup signifikan dari hasil
penelitian Situs Kalumpang, maka perlu juga dilakukan penelitian secara sistematis
di Situs Kendenglembu dan eksplorasi situs-situs permukiman terbuka neolitik
lainnya di pantai utara, yang diperkirakan merupakan situs koloni awal (pendaratan)
Austronesia di Pulau Jawa, sebagai cikal bakal atau nenek moyang etnis Jawa di
pulau ini.
REFERENSI
Anceaux, J.C. 1991, �Beberapa Teori Linguistik Tentang Tanah Asal Bahasa
Austronesia�, dalam Harimurti Kridalaksana, ed. Masa Lampau Bahasa
Indonesia: Sebuah Bunga Rampai, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm.
72-92.
Bellwood, Peter. 1995. �Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland,
Expansion and Transformation�, dalam Peter Bellwood, James J. Fox,
Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative
Perspectives, Canberra: ANU, hlm. 96-111.
2000. Prasejarah kepulauan Indo-Malaysia, edisi revisi, Jakarta:
PT.Gramedia Pustaka Utama.
2006 �The Early Movement of Austronesian-speaking-peoples in the
Indonesian Region�, dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian
Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago,
Jakarta: LIPI Press. hlm. 61-82.
Blench, Roger dan Mallam Dendo. 2004. �Stratification in the Peopling of China:
How Far Does the Linguistic Evidence Match Genetics and Archaeology?�,
Paper for the Symposium : Human migrations in continental East Asia
and Taiwan: genetic, linguistic and archaeological evidence, Gen�ve:
Universit� de Gen�ve
Blust, Robert. 1984-1985. �The Austronesian Homeland: A Linguistic Perspective�,
Asian Perspectives 26 (1), hlm. 45-68.
Chambers, Geoffrey K. 2006. �Polynesian Genetic and Austronesian Prehistory�,
dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian Diaspora and the
Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago, Jakarta: LIPI Press.
hlm. 299-319.
Diamond, Jared. M. 2000. �Taiwan�s gift to the world�, Nature, Vol. 403, Macmillan
Magazines Ltd
Duff, Roger. 1970. Stone Adze of Southeast Asia, New Zealand: Centerbury
Museum
Fox, James J. 2004. �Current Developments in Comparative Austronesian Studies�,
makalah disampaikan dalam Symposium Austronesia, Pascasarjana
Linguistik dan Kajian Budaya, Universitas Udayana, Bali
Heekeren, H.R. van. 1972. �The Stone Age of Indonesia�, Verhandelingen van
het Koninklijk Instituut voor Tall-, Land-, en Volkenkunde, 61, Revised
Edition, The Hague: Martinus Nijhoff
Mahirta. 2006. �The Prehistory of Austronesian Dispersal to the Southern Island of
Eastern Indonesia�, dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian
Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago,
Jakarta: LIPI Press. hlm. 129-145.
Martins, F.M. 2000. �Susunan Beruntun dalam Bahasa Bunac� dalam Sudaryanto
dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di
Kawasan Non-Austronesia, Yogyakarta: PSAP-UGM, hlm. 77-89.
Simanjuntak, Truman, ed. 2000. Gunung Sewu in Prehistoric Times, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Simanjuntak, Truman. 2006. �Advance of Research on the Austronesian in
Sulawesi�, dalam dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian
Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago,
Jakarta: LIPI Press. hlm. 223-231.
Spriggs, Matthew. 1995. �The Lapita Culture and Austronesian Prehistory in
Oceania�, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The
Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, Canberra: ANU,
hlm. 112-133.
Tanudirjo, Daud Aris. 2001. �Island In-Between: the Prehistory of Northeastern
Indonesia. Ph.D. Thesis, Canberra: ANU.
2006. �The Dispersal of Austronesian-speaking-people and the
Ethnogenesis Indonesian People� dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed,
Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian
Archipelago, Jakarta: LIPI Press. hlm. 83 - 98.
Tjia, H.D. 2006. �Geological Evidence for Quaternary Land Bridge in Insular
Southeast Asia�, dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed. Archaeology:
Indonesian Perspective, R.P. Soejono�s Festschrift, Jakarta: LIPI Press.
hlm. 71-82.
Tryon, Darrel. 1995. �Proto-Austronesian and the Major Austronesian Subgroup�,
dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds.), The
Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, Canberra: ANU,
hlm. 17-38.