Tuesday, December 22, 2009

Siapakah Pribumi di Indonesia?

Siapakah Pribumi di Indonesia?

Dalam berbagai kamus bahasa Indonesia kata pribumi didefinisikan sebagai penduduk asli suatu wilayah, bukan penduduk pendatang. Disini jelas bahwa persoalan waktu kedatangan bukan menjadi parameter, tapi sekali lagi keaslian. Tidak perduli kapan mereka datang dan menetap, selama mereka bukan penduduk asli, mereka adalah non-pribumi.

Sejauh ini, jika kita percaya pada teori evolusi, maka satu-satunya pribumi di dunia ini adalah orang Afrika. Karena itulah Afrika dikenal sebagai cradle of humankind, tempat terlahirnya manusia, yang kemudian menyebar keseluruh penjuru dunia. Memang ada juga teori yang mengatakan bahwa manusia berkembang di dua tempat - Afrika dan Asia - lalu kemudian menyebar ke berbagai wilayah. Dan Indonesia merupakan salah satu tempat berkembangnya manusia di Asia menurut teori tersebut. Apakah ini yang menyebabkan kita mengklaim diri kita sebagai pribumi di Indonesia? Mungkin, tapi tidak valid.

Secara samar-samar kita memang telah diajarkan mengenai keberadaan rumpun kita di wilayah ini. Namun entah disengaja atau tidak, sejak di bangku Sekolah Dasar kita diajarkan bahwa nenek moyang kita (Melayu) berasal dari Cina, titik. Seolah sejak dari daratan Cina nenek moyang kita sudah merupakann rumpun Melayu. Kita tidak diajarkan secara eksplisit bahwa nenek moyang kita tidak saja berasal dari Cina tapi juga orang Cina.

Habgood (1989) mengatakan bahwa manusia modern Indonesia berasal dari Cina daratan. Gelombang migrasi nenek moyang kita yang merupakan para petani Cina dimulai pada 5000 tahun yang lalu dan mencapai bagian barat Indonesia pada 3000 tahun yang lalu. Sebagai petani, nenek moyang kita memiliki teknologi yang lebih maju dibandingkan mereka, kaum negrito, yang terlebih dahulu mendiami wilayah ini dan sumber kehidupannya hanya dari berburu dan mengumpulkan makanan dihutan. Oleh karena memiliki teknologi yang lebih maju, maka dengan mudahnya nenek moyang kita menggusur kaum negrito keluar dari wilayah yang mereka diami selama ini. Keturunan dari kaum negrito yang tergusur ini masih bisa kita temukan diwilayah pedalamam Irian, yang masih tetap mempraktekan pola hidup berburu dan mengumpulkan makanan.

Baik dari sejarah maupun dari konteks kata pribumi itu sendiri, sudah jelas bahwa kita - rumpun Melayu - bukanlah penduduk asli di wilayah nusantara ini. Kita adalah pendatang sebagaimana halnya mereka yang kita labelkan sebagai non-pribumi. Lalu jika demikian mengapa klaim sebagai pribumi tetap ingin kita kibarkan dan kita arak dalam kehidupkan bernegara kita? Mungkin - walaupun dahulunya merupakan virus yang disebarkan oleh penjajah Belanda - istilah ini tetap dikampanyekan karena jika tidak ada klaim sebagai pribumi maka berarti menegasikan keberadaan Orang Indonesia Asli. Mengatakan Orang Indonesia Asli tidak ada berarti menyatakan bahwa UUD 45 harus diubah serta banyak kebijakan di negeri ini harus ditinjau ulang, dan yang jauh lebih berdampak, banyak orang akan kebakaran jenggot karena privilege mereka sebagai 'tuan tanah' akan terpangkas.

Sebaliknya, jika tetap bersikukuh bahwa Orang Indonesia Asli ada dan kita ingin semua berjalan sesuai dengan konstitusi, mungkin kita harus mempersiapkan diri untuk tidak memiliki presiden. Sebab di abad modern ini tak ada satu manusiapun, apalagi sebuah bangsa, di muka bumi ini yang mampu menjaga kemurnian garis keturunannya. Lalu kita mesti bertanya masih adakah sesuatu yang imun dari perubahan di era reformasi ini, sekalipun itu sesuatu yang selama ini kita sakralkan?

Mungkin kita perlu belajar dari negara-negara Amerika Latin akan makna bernegara dalam komponen bangsa yang majemuk. Bahwa bangsa dan nasionalisme adalah suatu idea, bukan pakaian seragam kodian yang dapat dibuktikan keasliannya, sededar dari kenampakan fisik belaka.

Siapakah pribumi asli Nusantara?

Kembali ke masa prasejarah, penduduk wilayah Nusantara hanya terdiri dari dua golongan yakni Pithecantropus Erectus beserta manusia Indonesia purba lainnya dan keturunan bangsa pendatang di luar Nusantara yang datang dalam beberapa gelombang.

Berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan di wilayah Indonesia, dapat dipastikan bahwa sejak 2.000.000 (dua juta) tahun yang lalu wilayah ini telah dihuni. Penghuninya adalah manusia-manusia purba dengan kebudayaan batu tua atau mesolithicum seperti Meganthropus Palaeo Javanicus, Pithecanthropus Erectus, Homo Soloensis dan sebagainya. Manusia-manusia purba ini sesungguhnya lebih mirip dengan manusia-manusia yang kini dikenal sebagai penduduk asli Australia.

Dengan demikian, yang berhak mengklaim dirinya sebagai “penduduk asli Indonesia” adalah kaum Negroid, atau Austroloid, yang berkulit hitam. Manusia Indonesia purba membawa kebudayaan batu tua atau palaeolitikum yang masih hidup secara nomaden atau berpindah dengan mata pencaharian berburu binatang dan meramu. Wilayah Nusantara kemudian kedatangan bangsa Melanesoide yang berasal dari teluk Tonkin, tepatnya dari Bacson-Hoabinh. Dari artefak-artefak yang ditemukan di tempat asalnya menunjukan bahwa induk bangsa ini berkulit hitam berbadan kecil dan termasuk type Veddoid-Austrolaid.

Bangsa Melanesoide dengan kebudayaan mesolitikum yang sudah mulai hidup menetap dalam kelompok, sudah mengenal api, meramu dan berburu binatang.Teknologi pertanian juga sudah mereka genggam sekalipun mereka belum dapat menjaga agar satu bidang tanah dapat ditanami berkali-kali. Cara bertani mereka masih dengan sistem perladangan. Dengan demikian, mereka harus berpindah ketika lahan yang lama tidak bisa ditanami lagi atau karena habisnya makanan ternak. Gaya hidup ini dinamakan semi nomaden. Dalam setiap perpindahan manusia beserta kebudayaan yang datang ke Nusantara, selalu dilakukan oleh bangsa yang tingkat peradabannya lebih tinggi dari bangsa yang datang sebelumnya.

Dari semua gelombang pendatang dapat dilihat bahwa mereka adalah bangsa-bangsa yang mulai bahkan telah menetap. Jika kehidupannya mereka masih berpindah, maka perpindahan bukanlah sesuatu hal yang aneh. Namun dalam kehidupan yang telah menetap, pilihan untuk meninggalkan daerah asal bukan tanpa alasan yang kuat. Ketika kehidupan mulai menetap maka yang pertama dan yang paling dibutuhkan adalah tanah sebagai media untuk tetap hidup. Mereka sangat membutuhkan tanah yang luas karena teknologi pertaniannya masih rendah. Mereka belum sanggup menjaga, apalagi meningkatkan, kesuburan tanah. Mereka membutuhkan sistem pertanian yang ekstensif, dan perpindahan untuk penguasaan lahan-lahan baru setiap jangka waktu tertentu. Sebelum didatangi bangsa-bangsa pengembara dari luar, tanah di Nusantara belum menjadi kepemilikan siapapun.

Hal ini berbeda dengan Manusia Indonesia Purba yang tidak memerlukan tanah sebagai modal untuk hidup karena mereka berpindah-pindah. Ketika sampai di satu tempat yang dilakukannya adalah mengumpulkan makanan (food gathering). Biasanya tempat yang dituju adalah lembah-lembah atau wilayah yang terdapat aliran sungai untuk mendapatkan ikan atau kerang (terbukti dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba di wilayah Nusantara di lembah-lembah sungai) walaupun tidak tertutup kemungkinan ada pula yang memilih mencari di pedalaman. Ketika bangsa Melanesoide datang, mereka mulai menetap walaupun semi nomaden. Mereka akan pindah jika sudah tidak mendapatkan lagi makanan. Maka pilihan atas tempat-tempat yang akan ditempatinya adalah tanah yang banyak menghasilkan. Wilayah aliran sungai pula yang akan menjadi targetannya. Padahal, wilayah ini adalah juga wilayah di mana para penduduk asli mengumpulkan makanannya.

Ini mengakibatkan benturan yang tidak terelakan antara kebudayaan palaeolithikum dengan kebudayaan yang mesolithikum. Alat-alat sederhana seperti kapak genggam atau choppers, alat-alat tulang dan tanduk rusa berhadapan dengan kapak genggam yang lebih halus atau febble, kapak pendek dan sebagainya. Pertemuan ini dapat mengakibatkan beberapa hal yaitu:
1. Penduduk asli ditumpas, atau
2. Mereka diharuskan masuk dan bersembunyi di pedalaman untuk menyelamatkan diri, atau
3. Mereka yang ditaklukkan dijadikan hamba, dan kaum perempuannya dijadikan harem-harem untuk melayani para pemenang perang.

Sekitar tahun 2000 SM, bangsa Melanesoide yang akhirnya menetap di Nusantara kedatangan pula bangsa yang kebudayaannya lebih tinggi yang berasal dari rumpun Melayu Austronesia yakni bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, suatu ras mongoloid yang berasal dari daerah Yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina Selatan. Alasan-alasan yang me-nyebabkan bangsa Melayu tua meninggalkan asalnya yaitu :
1. Adanya desakan suku-suku liar yang datangnya dari Asia Tengah;
2. Adanya peperangan antar suku;
3. Adanya bencana alam berupa banjir akibat sering meluapnya sungai She Kiang dan sungai-sungai lainnya di daerah tersebut.

Suku-suku dari Asia tengah yakni Bangsa Aria yang mendesak Bangsa Melayu Tua sudah pasti memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi lagi. Bangsa Melayu Tua yang terdesak meninggalkan Yunan dan yang tetap tinggal bercampur dengan Bangsa Aria dan Mongol. Dari artefak yang ditemukan yang berasal dari bangsa ini yaitu kapak lonjong dan kapak persegi.Kapak lonjong dan kapak persegi ini adalah bagian dari kebudayaan Neolitikum. Ini berarti orang-orang Melayu Tua, telah mengenal budaya bercocok tanam yang cukup maju dan bukan mustahil mereka sudah beternak. Dengan demikian mereka telah dapat menghasilkan makanan sendiri (food producing). Kemampuan ini membuat mereka dapat menetap secara lebih permanen.

Pola menetap ini mengharuskan mereka untuk mengembangkan berbagai jenis kebudayaan awal. Mereka juga mulai membangun satu sistem politik dan pengorganisasian untuk mengatur pemukiman mereka. Pengorganisasian ini membuat mereka sanggup belajar membuat peralatan rumah tangga dari tanah dan berbagai peralatan lain dengan lebih baik. Mereka mengenal adanya sistim kepercayaan untuk membantu menjelaskan gejala alam yang ada sehubungan dengan pertanian mereka. Sama seperti yang terjadi terdahulu, pertemuan dua peradaban yang berbeda kepentingan ini, mau tidak mau, melahirkan peperangan-peperangan untuk memperebutkan tanah. Dengan pengorganisiran yang lebih rapi dan peralatan yang lebih bermutu, kaum pendatang dapat mengalahkan penduduk asli. Kebudayaan yang mereka usung kemudian menggantikan kebudayaan penduduk asli. Sisa-sisa pengusung kebudayaan Batu Tua kemudian menyingkir ke pedalaman. Beberapa suku bangsa merupakan keturunan dari para pelarian ini, seperti suku Sakai, Kubu, dan Anak Dalam.

Arus pendatang tidak hanya datang dalam sekali saja. Pihak-pihak yang kalah dalam perebutan tanah di daerah asalnya akan mencari tanah-tanah di wilayah lain. Demikian juga yang menimpa bangsa Melayu Tua yang sudah mengenal bercocok tanam, beternak dan menetap. Kembali lagi, daerah subur dengan aliran sungai atau mata air menjadi incaran.

Wilayah yang sudah mulai ditempati oleh bangsa melanesoide harus diperjuangkan untuk dipertahankan dari bangsa Melayu Tua.Tuntutan budaya yang sudah menetap mengharuskan mereka mencari tanah baru. Dengan modal kebudayaan yang lebih tinggi, bangsa Melanesoide harus menerima kenyataan bahwa telah ada bangsa penguasa baru yang menempati wilayah mereka.

Namun kedatangan bangsa Melayu Tua ini juga memungkinkan terjadinya percampuran darah antara bangsa ini dengan bangsa Melanesia yang telah terlebih dahulu datang di Nusantara. Bangsa Melanesia yang tidak bercampur terdesak dan mengasingkan diri ke pedalaman. Sisa keturunannya sekarang dapat didapati orang-orang Sakai di Siak, Suku Kubu serta Anak Dalam di Jambi dan Sumatera Selatan, orang Semang di pedalaman Malaya, orang Aeta di pedalaman Philipina, orang-orang Papua Melanesoide di Irian dan pulau-pulau Melanesia.

Pada gelombang migrasi kedua dari Yunan di tahun 2000-300 SM, datanglah orang-orang Melayu Tua yang telah bercampur dengan bangsa Aria di daratan Yunan. Mereka disebut orang Melayu Muda atau Deutero Melayu dengan kebudayaan perunggunya. Kebudayaan ini lebih tinggi lagi dari kebudayaan Batu Muda yang telah ada karena telah mengenal logam sebagai alat perkakas hidup dan alat produksi. Kedatangan bangsa Melayu Muda mengakibatkan bangsa Melayu Tua yang tadinya hidup di sekitar aliran sungai dan pantai terdesak pula ke pedalaman karena kebudayaannya kalah maju dari bangsa Melayu Muda dan kebudayaannya tidak banyak berubah. Sisa-sisa keturunan bangsa melayu tua banyak ditemukan di daerah pedalaman seperti suku Dayak, Toraja, orang Nias, batak pedalaman, Orang Kubu dan orang Sasak. Dengan menguasai tanah, Bangsa Melayu Muda dapat berkembang dengan pesat kebudayaannya bahkan menjadi penyumbang terbesar untuk cikal-bakal bangsa Indonesia sekarang.

Dari seluruh pendatang yang pindah dalam kurun waktu ribuan tahun tersebut tidak seluruhnya menetap di Nusantara. Ada juga yang kembali bergerak ke arah Cina Selatan dan kemudian kembali ke kampung halaman dengan membawa kebudayaan setempat atau kembali ke Nusantara. Dalam kedatangan-kedatangan tersebut penduduk yang lebih tua menyerap bahasa dan adat para imigran. Jarang terjadi pemusnahan dan pengusiran bahkan tidak ada penggantian penduduk secara besar-besaran. Percampuran-percampuran inilah yang menjadi cikal bakal Nusantara yang telah menjadi titik pertemuan dari ras kuning (mongoloid) yang bermigrasi ke selatan dari Yunan, ras hitam yang dimiliki oleh bangsa Melanesoide dan Ceylon dan ras putih anak benua India.

Sehingga tidak ada penduduk atau ras asli wilayah Nusantara kecuali para manusia purba yang ditemukan fosil-fosilnya. Kalaupun memang ada penduduk asli Indonesia maka ia terdesak terus oleh pendatang-pendatang boyongan sehingga secara historis-etnologis terpaksa punah atau dipunahkan dalam arti sesungguhnya atau kehilangan ciri-ciri kebudayaannya dan terlebur di dalam masyarakat baru. Semua adalah bangsa-bangsa pendatang.

Daftar Pustaka:
D. G. E. Hall. Sejarah Asia Tenggara. Cet.I. Surabaya-Usaha Nasional. 1988
Stanley. Makalah Arus Dari Utara. 1998
T. Parakitri Simbolon. Menjadi Indonesia, buku I “Akar-akar kebangsaan Indonesia”. Cet.I. Jakarta-Kompas-Grasindo. 1995.
Dr. M. Prijohutomo & P.J. Reimer. Tentang Orang dan Kejadian Jang Besar Djilid I. Tjet.V. Djakarta-Amnsterdam: W.Versluys N.V.
Pramoedya Ananta Toer. Hoakiau di Indonesia. Jakarta-Garba Budaya.1998

Baca Juga Sejarah Kerajaan Indonesia

http://www.kaskus.us/showthread.php?t=2621150

AWAL PENDARATAN AUSTRONESIA DI PANTAI UTARA JAWA

AWAL PENDARATAN AUSTRONESIA DI PANTAI UTARA JAWA,
SEBUAH PROSPEK MELACAK NENEK MOYANG ETNIS JAWA
Sofwan Noerwidi
Balai Arkeologi Yogyakarta

Abstrak
Pulau Jawa merupakan pulau yang paling padat penduduknya di Kepulauan
Nusantara. Berdasarkan kajian linguistik, Robert Blust (1984/1985) berpendapat
bahwa proses pembentukan proto bahasa Jawa, Bali, Sasak dan Sumbawa bagian
barat baru terjadi pada 2500 BP yang kemungkinan berasal dari suatu daerah di
Borneo atau Sumatra. Namun, bukti arkeologis yang dapat digunakan untuk menguji
hipotesis tersebut masih sangat terbatas, sehingga proses awal penghunian pulau
Jawa oleh masyarakat neolitik Austronesia masih menjadi misteri. Mungkin saat ini
situs-situs neolitik awal di pantai utara Pulau Jawa telah terkubur beberapa meter di
bawah endapan aluvial. Data geologi dan geomorfologi memiliki peran yang sangat
penting untuk mengungkap kasus tersebut. Selain itu juga perlu diperhatikan
perubahan muka air laut pada masa lampau. Metode pencarian data dari bidang lain
mungkin sangat membantu dalam hal ini, seperti geoelektrik misalnya.
Abstract
Java Island is the densest island in the Indonesian Archipelago. From linguistic
evidence, Blust (1985) argued that there are the created process of proto Javanese,
Balinese, Sasak and West Sumbawa language took place approx. in the last 2500
years, which came from a language spoken somewhere in Sumatera or Borneo. The
archaeological evidence, which can support these linguistic hypotheses is very rear
uncovered, this causes reconstruction of the process of colonization in Java Island by
Austronesia speaking people to still be a mystery. Maybe, early Neolithic sites along
north coast of Java buried under alluvial deposit at the present time. Geomorphology
and Geological data are very important to answer this case. Another hand, ancient
sea level fluctuation will be an important factor. Survey methodology from other
discipline will very helpful, such as Geo-electric.
Terminologi Austronesia
Rumpun bahasa Austronesia merupakan salah satu rumpun bahasa terbesar yang
digunakan di lebih dari separuh belahan dunia, membentang dari Madagaskar di
barat hingga Pulau Paskah di Timur, serta membujur dari Taiwan dan Hawai�i di
utara hingga Selandia Baru di selatan. Luas persebarannya menjadikan rumpun
bahasa Austronesia sebagai bahasa terbesar sebelum masa kolonialisme bangsa
Eropa. Turunan rumpun bahasa Austronesia beranggotakan sekitar 1200 bahasa yang
berkerabat, serta digunakan oleh lebih dari 350 juta orang, dengan jumlah penutur
terbesar terdiri dari bahasa Melayu-Indonesia, Jawa dan Tagalog. Saat ini, bahasa
Austronesia secara mayoritas digunakan di negara-negara; Indonesia, Malaysia,
Filipina, Singapura, Brunei, serta oleh etnis tertentu di Taiwan (seperti; Atayal, Tsou
dan Paiwan), Vietnam, Kamboja (etnis Cham), Birma (pengembara laut di Kep.
Mergui), Timor Leste (seperti; Tetum, Quemac, dan Tocodede) dan beberapa etnis di
pantai utara Papua (lihat: Tryon, 1995: 17-19 dan Martins, 2000: 78).
Persebaran Berbagai Rumpun Bahasa Manusia (www.wikipedia.com)
Istilah Austronesia pada awalnya diberikan oleh ahli linguistik untuk menyebut suatu
rumpun bahasa yang hampir secara mayoritas dituturkan di Asia Tenggara
Kepulauan, Micronesia, Melanesia Kepulauan dan Polynesia. Pada
perkembangannya, istilah Austronesia juga digunakan untuk menyebut suatu
komunitas yang berbudaya Austronesia serta menuturkan bahasa Austronesia.
Perhatian terhadap kajian rumpun bahasa Austronesia dapat dirunut hingga awal
abad 16, ketika para pengembara mengumpulkan daftar kosa kata bahasa Austronesia
dari tempat-tempat yang mereka kunjungi, seperti misalnya Antonio Pigafetta
(seorang berkebangsaan Italia) yang ikut dalam ekspedisi Magellan 1519-1522 (Fox,
2004: 3). Kapten Cornelis de Houtman seorang kapten kapal Belanda yang berlayar
menuju Hindia Timur (mendarat di Banten) melalui Madagaskar pada tahun 1596,
mengamati berbagai kemiripan antara bahasa Malagasy dan bahasa Melayu
(Tanudirjo, 2001:9).
William von Humboldt adalah tokoh yang pertama kali mengajukan istilah �Malayo-
Polynesia� untuk menyebut bahasa-bahasa di kawasan Malaya sampai Polynesia
yang memiliki kemiripan. Pada tahun 1889, berdasarkan pada kajian linguistik yang
detail dan sistematis, Hendrik Kern membagi rumpun bahasa �Malayo-Polynesia�
menjadi bahasa �Malayo-Polynesia Barat� yang terdiri dari bahasa-bahasa di Asia
Tenggara Kepulauan serta Micronesia bagian barat, dan bahasa �Malayo-Polynesia
Timur� yang terdiri dari bahasa-bahasa di Melanesia Kepulauan dan Polynesia.
Kemudian pada tahun 1906, Wilhelm Schmidt memperkenalkan terminology
�Austronesia�, untuk menyebut bahasa �Malayo-Polynesia�. Selain itu beliau juga
mengajukan hipotesis bahwa pada masa lampau di Asia daratan terdapat bahasa
�Austric� yang merupakan nenek moyang bahasa Austronesia dan Austroasiatic.
Selain itu, di Asia Daratan juga terdapat beberapa rumpun bahasa besar lainnya,
antara lain adalah; Indo-Eropa, Sino-Tibetan, Tai-Kadai, Altaic, Korea, dan Hmong
Mien. Bahasa Austronesia kemudaian menurunkan bahasa-bahasa di Asia Tenggara
Kepulauan dan Pasifik, sedangkan bahasa Austroasiatic berkembang menjadi dua
rumpun besar bahasa yaitu; bahasa Mon-Khmer di Indochina dan bahasa Munda di
India bagian timur (lihat: Anceaux, 1991:73 serta Blench dan Dendo, 2004: 13).
Robert von Heine Geldern adalah ahli arkeologi yang pertama kali mengadopsi
konsep budaya Austronesia dari para linguist. Beliau berpendapat bahwa luas
persebaran budaya Austronesia ditunjukkan dengan persebaran kompleks budaya
Vierkantbeil Adze, dengan ciri utamanya adalah kehadiran beliung berpenampang
lintang persegi. Roger Duff kemudian melakukan kajian berdasarkan hasil penelitian
Geldern. Beliau melakukan klasifikasi tipologi beliung persegi berdasarkan bentuk
irisan, bentuk tajaman dan bentuk pangkal (Duff, 1970:8). Akhirnya Duff sampai
pada kesimpulan bahwa persebaran komunitas Austronesia di Kepulauan Indonesia
(kecuali Papua) yang didukung dengan pola subsistensi pertanian berasal dari
Semenanjung Malaya bagian selatan. Hal tersebut tercermin oleh persebaran beliung
paruh (Malayan Beacked Adze) dan belincung (Indonesian Pick Adze) (Duff,
1970:14). Ahli lainnya adalah Wilhelm G. Solheim II yang mengajukan teori bahwa
wilayah geografis persebaran gerabah Sa-Huynh dan Kalanay di Asia Tenggara
Kepulauan dan Lapita di Melanesia bagian barat memiliki hubungan dengan
persebaran orang Austronesia. Namun, beliau mengajukan istilah Nusantau untuk
menyebut kelompok orang Austronesia dan budayanya tersebut.
Persebaran Austronesia
Sangat mengagumkan melihat persebaran rumpun bahasa Austronesia yang
dituturkan pada hampir seluruh kawasan kepulauan Indo-Pasifik. Banyak ahli yang
berpendapat bahwa persebaran rumpun bahasa Austronesia yang luas disebabkan
oleh proses ekspansi komunitas penutur rumpun bahasa tersebut ke luar dari daerah
asalnya. Hendrik Kern mencoba untuk mencari daerah asal persebaran bahasa
Austronesia menggunakan metode pemilihan kosa kata sebagai bentuk bahasa
Austronesia purba dari kosa kata yang maknanya bersangkutan dengan unsur-unsur
flora, fauna dan lingkungan geografis. Hasil kajian tersebut membawa beliau pada
suatu kesimpulan bahwa tanah asal nenek moyang rumpun bahasa Austronesia
terletak di suatu pantai daerah tropis (Anceaux, 1991: 74-75, Blust, 1984-1985:47-
49).
Robert Blust (1984-1985) seorang linguist, berusaha menyusun silsilah kekerabatan
bahasa Austronesia dengan menggunakan metode �W�rter und Sachen Technique�,
yaitu dengan menggunakan kosa kata sebagai dasar untuk menyimpulkan berbagai
referensi yang diketahui oleh penutur bahasa yang direkonstruksi. Kosa kata tersebut
juga digunakan sebagai dasar untuk merekonstruksi budaya dan lingkungan alam
penutur bahasa yang direkonstruksi. Hasil reksonstruksi Blust adalah; nenek moyang
bahasa Austronesia dituturkan di sekitar daerah yang tidak jauh dari Pulau Taiwan
(Formosa) pada kurun sebelum 4.500 SM. Kemudian bahasa tersebut memisahkan
diri menjadi bahasa Austronesia Formosa (Atayal, Tsou dan Paiwan) dan Proto
Melayu-Polynesia (seluruh bahasa Austronesia di luar Taiwan) pada 4.500 SM.
Melayu-Polynesia kemudian berkembang menjadi Melayu-Polynesia Barat dan
Melayu-Polynesia Timur-Tengah pada 3.500 SM. Pada 3.000 SM, bahasa Melayu-
Polynesia Barat berkembang menjadi bahasa-bahasa Austronesia di kawasan antara
Filipina Selatan, Sumbawa bagian Barat dan Sumatra, sedangkan Melayu-Polynesia
Timur-Tengah berkembang menjadi Melayu-Polynesia Tengah dan MelayuPolynesia
Timur. Akhirnya, pada 2.500 SM bahasa Melayu-Polynesia Timur
berkembang menjadi bahasa Halmahera Selatan-Nugini Barat dan bahasa Oseania.
Silsilah Rumpun Bahasa Austronesia (Blust, 1978)
Saat ini berkembang beberapa teori persebaran Austronesia yang diajukan oleh para
ahli dari berbagai sudut pandang yang berbeda, diantaranya adalah; The Express
Train from Taiwan to Polynesia (Bellwood), The Taiwan Homeland concept (Reed),
Island Southeast Asia Origin (Solheim), From South America via Kon Tiki
(Heyerdahl), An Entangled Bank (Terrell), The Geneflow Model (Devlin), The
Genetic Bottleneck in Polynesia (Flint), The Eden in the East concept
(Oppenheimer), Voyaging Corridor Triple I account (Green) (lihat Chambers,
2006:303). Berdasarkan beberapa teori yang berkembang tersebut, pada intinya
terdapat tiga kubu model persebaran Austronesia yang berbeda, yaitu; (1)
Austronesia berasal dari Pulau Taiwan, (2) Austronesia berasal dari dari kawasan
Asia Tenggara Kepulauan dan (3) Austronesia berasal dari dari kawasan Melanesia.
Diantara beberapa teori tersebut, salah satunya yang terkuat dan mendapat banyak
dukungan dari berbagai sudut pandang keilmuan adalah model yang diajukan oleh
Bellwood. Beliau menyarankan bahwa Austronesia berasal dari Taiwan dan Pantai
Cina bagian selatan. Kawasan tersebut oleh berberapa ahli linguistik dianggap
sebagai tempat asal bahasa proto-Austronesia. Disamping itu, secara arkeologis
daerah tersebut menghasilkan bukti pola subsistensi bercocok tanam dan aspek
budaya Austronesia lainnya yang paling tua di kawasan ini berupa beliung persegi
dan gerabah, seperti yang ditemukan di situs Hemudu di Teluk Hangzou, Propinsi
Zhejiang yang berumur 7000 tahun (Bellwood, 1995:97-98).
Kolonisasi Austronesia di Jawa
Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang paling padat penduduknya di
Kepulauan Nusantara. Dari sudut pandang genetik dan linguisik, pada saat ini
mayoritas penduduk Pulau Jawa adalah masyarakat dengan ciri genetik Mongoloid
serta menuturkan bahasa yang termasuk dalam rumpun Austronesia. Sampai saat ini,
penjelasan yang paling luas diterima bagi kasus penyebaran masyarakat penutur
bahasa Austronesia adalah Blust-Bellwood model yang dibangun berdasarkan
gabungan antara data linguistic historis dan arkeologi. Teori yang diajukan mereka
disebut juga model Out of Taiwan atau Express Train from Taiwan to Polynesia yang
intinya bahwa masyarakat penutur bahasa Austronesia berekspansi dari Taiwan sejak
5.000 BP menuju Asia Tenggara Kepulauan, Melanesia Kepulauan, Micronesia
hingga Polynesia, dengan cepat selama satu millennium berikutnya via Filipina. Pada
masa sebelumnya, Taiwan dikoloni oleh sekelompok populasi petani dari daratan
Cina Selatan via Pulau Peng Hu (Pascadores) pada sekitar 6.000 BP akibat tekanan
demografi (Tanudirjo, 2006: 87).
Persebaran Geografis Bahasa Austronesia (Diamond, 2000)
Berdasarkan kajian linguistik, Robert Blust (1984/1985) berpendapat bahwa
kelompok bahasa Jawa-Bali-Sasak memiliki hubungan yang erat dengan kelompok
bahasa Malayo-Chamic dan Bahasa Barito di Kalimantan Selatan (termasuk
Madagaskar). Beliau menduga bahwa proto kelompok bahasa-bahasa tersebut
dituturkan di bagian tenggara Kalimantan pada periode 1000-1500 SM. Kemudian
mengalami pemisahan yang pertama menjadi nenek moyang Bahasa Barito, Bahasa
Malayo-Chamic dan Bahasa Jawa-Bali-Sasak. Proses pemisahan berikutnya yang
dialami oleh proto bahasa-bahasa tersebut terjadi pada 800-1000 SM. Namun proses
pembentukan proto bahasa Jawa, Bali, Sasak dan Sumbawa bagian barat baru terjadi
pada 2500 tahun terakhir yang kemungkinan berasal dari suatu daerah di Borneo atau
Sumatra.
Beberapa Permasalahan
Berdasarkan kajian arkeologi, �paket� budaya neolitik yang dapat diasosiasikan
dengan penyebaran komunitas Austronesia awal dari Taiwan antara lain adalah;
pertanian padi-padian, domestikasi anjing dan babi, gerabah berdasar membulat
berhias slip merah, cap, gores dan tera tali dengan bibir melipat ke luar, kumparan
penggulung benang dari tanah liat, beliung batu dengan potongan lintang persegi
empat yang diasah, artefak dari batu sabak (lancipan) dan nephrite (aksesoris), batu
pemukul kulit kayu, serta batu pemberat jala. Beberapa dari kategori tersebut,
terutama gerabah slip merah berlanjut hingga Indonesia timur kemudian menuju
Oseania dalam bentuk komplek budaya Lapita (3.350-2.800 BP) (lihat: Bellwood,
2000: 313 dan 2006: 68). Namun, bukti arkeologis tersebut di atas yang dapat
digunakan untuk menguji hipotesis linguistik Blust masih sangat terbatas ditemukan
di Pulau Jawa, sehingga proses awal penghunian pulau ini oleh masyarakat neolitik
penutur bahasa Austronesia sampai sekarang masih menjadi misteri.
Data arkeologis yang mengindikasikan adanya kolonisasi Austronesia di Jawa adalah
persebaran berbagai macam tipologi beliung persegi yang telah dicatat oleh H.R van
Heekeren (1974), antara lain dari daerah; Banten, Kelapa Dua, Pejaten, Kampung
Keramat, dan Buni (Jakarta dan Tangerang), Pasir Kuda (Bogor), Cibadak, Cirebon,
Tasikmalaya (Priangan), Pekalongan, Gunung Karangbolang (Banyumas),
Semarang, Yogyakarta, Punung dan Wonogiri, Madiung, Surabaya, Madura, Malang,
Kendeng Lembu dan Pager Gunung (Besuki). Namun sayangnya, sebagian besar dari
temuan tersebut berasal dari laporan penduduk dan situs yang tidak jelas asalusulnya,
kecuali beberapa situs yang saat ini telah di teliti secara intensif seperti
misalnya Punung.
Bukti arkeologis yang langsung dapat digunakan untuk mendukung hipotesis
linguistik masih sangat sedikit yang ditemukan, sehingga proses awal penghunian
Pulau Jawa oleh masyarakat penutur bahasa Austronesia sampai saat ini masih
menjadi misteri. Proses transformasi data arkeologi berpengaruh sangat besar bagi
proses pembentukan dan ditemukannya bukti-bukti arkeologis tersebut. Mungkin
keadaannya pada saat ini situs-situs neolitik awal di pantai utara Pulau Jawa telah
terkubur beberapa meter di bawah endapan aluvial, sehingga sukar untuk ditemukan
dan diteliti (Bellwood, 2000: 337). Hal tersebut disebabkan karena di pulau Jawa
terdapat beberapa sungai besar yang bermuara ke pantai utara, antara lain adalah;
Sungai Cisadane, Sungai Ciliwung dan Sungai Citarum di bagian barat, Sungai Kuto,
Sungai Tuntang, dan Sungai Lusi di bagian Tengah, serta Sungai Bengawan Solo dan
Sungai Brantas yang mengalir ke timur dan bermuara di Selat Madura. Permasalahan
yang serupa mungkin juga terjadi pada situs-situs di pantai timur Sumatra yang
diperkirakan menjadi lokasi pendaratan Austronesia di pulau tersebut.
Prospek Penelitian
Untuk menyiasati permasalahan belum banyaknya bukti arkeologis akibat proses
transformasi tersebut, maka harus dicari situs-situs di kawasan yang diperkirakan
selamat dari proses pengendapan yang cepat oleh material alluvial kegiatan vulkanik
beberapa gunung berapi yang dimulai sejak Jaman Kuarter. Data geologi dan
geomorfologi memiliki peran yang sangat penting dalam hal ini. Selain itu juga perlu
diperhatikan perubahan tinggi muka air laut pada masa lampau. Berdasarkan pada
indicator biogenic dan inorganic untuk merekonstruksi muka air laut pada masa
lampau, dapat dikatahui bahwa di Semenanjung Malaysia dan Thailand yang gerak
tektoniknya stabil, muka air laut lebih tinggi 5 meter dari muka air laut sekarang
yang terjadi pada 5.000 BP (lihat: Tjia, 2006). Jika hal ini juga terjadi di pantai utara
Jawa, maka situs-situs pendaratan Austronesia antara 3.000-2.500 BP harus dicari
pada kawasan pantai yang konturnya lebih tinggi dari 3-4 meter di atas permukaan
laut saat ini.
Berdasarkan pada persyaratan tersebut di atas, maka beberapa kawasan pantai utara
Pulau Jawa bagian tengah dan timur yang memiliki potensi sebagai lokasi pendaratan
Austronesia adalah pantai-pantai di sepanjang Semenanjung Blambangan, Tuban,
Semarang dan Batang. Oleh karena itu, harus dicari situs permukiman neolitik
terbuka di sekitar kawasan pantai-pantai tersebut. Metode pencarian data dari bidang
keilmuan lain mungkin sangat membantu dalam hal ini, seperti geoelektrik misalnya
yang berguna untuk membantu menemukan garis pantai masa lampau sesuai dengan
kronologi yang diinginkan (3.000-2.500 BP untuk awal pendaratan Austronesia di
Pulau Jawa berdasarkan hipotesis linguistik).
Punung
Purbalingga
Kendenglembu
Kondisi Geomorfologi Pulau Jawa, dan Hipotesis pendaratan Austronesia
Mahirta (2006) mengembangkan beberapa model migrasi-kolonisasi yang diajukan
oleh Moore untuk diujikan pada kasus persebaran Austronesia. Beliau berpendapat
bahwa di Kepulauan Indonesia bagian timur terdapat dua macam pola permukiman
prasejarah Austronesia, yaitu (1) permukiman tersebar di sepanjang pantai jika
mengkoloni pulau yang tidak terlalu besar, seperti misalnya Pulau Kayoa dan Pulau
Gebe di Maluku Utara dan (2) permukiman berkembang memanjang ke pedalaman
sejajar dengan alur sungai, seperti misalnya situs-situs Kalumpang di Sulawesi Barat
dan permukiman tradisional etnis Dayak di Kalimantan yang masih bisa kita
saksikan hingga saat ini (lihat: Mahirta, 2006). Melihat beberapa kasus tersebut,
maka sebaiknya dalam eksplorasi situs-situs di pantai utara Jawa juga
memperhatikan keberadaan sungai yang dapat berpotensi sebagai jalur akses menuju
ke pedalaman. Hal tersebut disebabkan karena Pulau Jawa terlalu luas bagi
komunitas Austronesia jika hanya dikoloni pada bagian sekeliling garis pantainya
saja. Selain itu, komunitas petani dan peternak Austronesia tentunya membutuhkan
dataran alluvial gunung berapi yang subur di lokasi yang lebih ke pedalaman untuk
mengembangkan pola subsistensi bercocok tanam biji-bijian di Pulau Jawa. Dalam
hal ini, beberapa sungai besar yang bermuara ke pantai utara Jawa harus mendapat
perhatian khusus, seperti misalnya Sungai Tuntang di Semarang.
Sebagai referensi lainnya, pada situs-situs Austronesia awal di Cina daratan dan
Taiwan, rupa-rupanya telah dikenal sistem pemukiman menetap, dan berkelompok di
tempat terbuka dalam bentuk perkampungan. Situs-situs pemukiman rumah
panggung antara lain terdapat di Xitou, Kequitou dan Tanshishan di Fujian, situs
Hemudu di Zhejiang dan di Guangdong. Situs-situs tersebut berumur 5200 dan 4200
SM. Rumah-rumah tersebut berdenah persegi yang dibangun dengan teknik lubang
dan pasak yang amat rapi dan didirikan di atas deretan tumpukan kayu kecil.
Kemudian pada masa selanjutnya muncul situs desa seluas 40-80 hektar di Peinan
yang bertarik 1500 dan 800 SM. Situs rumah panggung juga terdapat di Feng pi t�ou
di Taiwan yang dihuni 2500-500 SM dan situs Dimolit di Luzon utara, yang dihuni
2500-1500 SM (Bellwood, 2000: hlm. 309, 315, 319, dan 323). Di Pasifik, pola
permukiman budaya Lapita pada umumnya terdiri atas beberapa rumah panggung
yang berada di pinggir pantai atau pulau kecil diseberangnya, seperti di Kepulauan
Mussau dengan luas 7 hektar. Indikasi mengenai situs tersebut biasanya ditandai
dengan sebaran pecahan gerabah, tungku dari tanah, dan bekas perapian (Spriggs,
1995: 118).
Berdasarkan data linguistik, kosa kata Austronesia mengenai rumah dan unsurunsurnya
permukiman lainnya ditemukan di seluruh kawasan barat dan timur
persebaran bahasa ini. Bahkan kata *Rumaq (Ind. Rumah) telah muncul sejak awal
perkembangan bahasa Austronesia di Taiwan (Blust, 1984-1985: 220). Sedangkan
berdasarkan bukti etnografi, sampai saat ini sistem permukiman terbuka tradisional
dengan rumah panggung masih banyak ditemukan pada masyarakat tradisional
Austronesia, seperti: Rumah Gadang (Minangkabau), Lamin (Dayak), Tongkonan
(Toraja).
Implikasi
Banyak situs permukiman neolitik telah ditemukan di Indonesia, dan beberapa
diantaranya telah dilakukan penelitian secara intensif, seperti misalnya; Tipar Ponjen,
Purbalingga (1.180-870 BP), Nangabalang, Kalimantan Barat (2.871 BP), Minanga
Sipakko, Sulawesi Barat (2.570 BP) dan Punung, Pacitan (2.100-1.100 BP)
(Simanjuntak, 2002). Namun dari beberapa situs tersebut hanya Situs Kendenglembu
di Pulau Jawa, yang merupakan satu di antara dua (yang baru ditemukan) kompleks
situs permukiman pure (murni) neolitik di Indonesia berdasarkan kerangka kronologi
(bukan tradisi). Situs sejenis lainnya adalah situs-situs di sepanjang Sungai Karama,
Kalumpang di Sulawesi Barat, mulai dari Tasiu, Sikendeng dan Lattibung di hilir
hingga Minanga Sipakko, Kamassi dan Tambing-tambing di hulu (lihat: Simanjuntak
2006).
Namun, berbeda dengan situs-situs Kalumpang yang terletak di sepanjang Sungai
Karama dari hilir hingga hulu, Situs Kendenglembu merupakan situs pedalaman di
selatan Jawa bagian timur yang kelihatannya tidak memiliki akses sungai menuju ke
pantai utara Jawa, tempat diperkirakannya awal pendaratan Austronesia di pulau ini.
Walaupun demikian, melihat perkembangan yang cukup signifikan dari hasil
penelitian Situs Kalumpang, maka perlu juga dilakukan penelitian secara sistematis
di Situs Kendenglembu dan eksplorasi situs-situs permukiman terbuka neolitik
lainnya di pantai utara, yang diperkirakan merupakan situs koloni awal (pendaratan)
Austronesia di Pulau Jawa, sebagai cikal bakal atau nenek moyang etnis Jawa di
pulau ini.
REFERENSI
Anceaux, J.C. 1991, �Beberapa Teori Linguistik Tentang Tanah Asal Bahasa
Austronesia�, dalam Harimurti Kridalaksana, ed. Masa Lampau Bahasa
Indonesia: Sebuah Bunga Rampai, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm.
72-92.
Bellwood, Peter. 1995. �Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland,
Expansion and Transformation�, dalam Peter Bellwood, James J. Fox,
Darrell Tryon (eds), The Austronesians: Historical and Comparative
Perspectives, Canberra: ANU, hlm. 96-111.
2000. Prasejarah kepulauan Indo-Malaysia, edisi revisi, Jakarta:
PT.Gramedia Pustaka Utama.
2006 �The Early Movement of Austronesian-speaking-peoples in the
Indonesian Region�, dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian
Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago,
Jakarta: LIPI Press. hlm. 61-82.
Blench, Roger dan Mallam Dendo. 2004. �Stratification in the Peopling of China:
How Far Does the Linguistic Evidence Match Genetics and Archaeology?�,
Paper for the Symposium : Human migrations in continental East Asia
and Taiwan: genetic, linguistic and archaeological evidence, Gen�ve:
Universit� de Gen�ve
Blust, Robert. 1984-1985. �The Austronesian Homeland: A Linguistic Perspective�,
Asian Perspectives 26 (1), hlm. 45-68.
Chambers, Geoffrey K. 2006. �Polynesian Genetic and Austronesian Prehistory�,
dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian Diaspora and the
Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago, Jakarta: LIPI Press.
hlm. 299-319.
Diamond, Jared. M. 2000. �Taiwan�s gift to the world�, Nature, Vol. 403, Macmillan
Magazines Ltd
Duff, Roger. 1970. Stone Adze of Southeast Asia, New Zealand: Centerbury
Museum
Fox, James J. 2004. �Current Developments in Comparative Austronesian Studies�,
makalah disampaikan dalam Symposium Austronesia, Pascasarjana
Linguistik dan Kajian Budaya, Universitas Udayana, Bali
Heekeren, H.R. van. 1972. �The Stone Age of Indonesia�, Verhandelingen van
het Koninklijk Instituut voor Tall-, Land-, en Volkenkunde, 61, Revised
Edition, The Hague: Martinus Nijhoff
Mahirta. 2006. �The Prehistory of Austronesian Dispersal to the Southern Island of
Eastern Indonesia�, dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian
Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago,
Jakarta: LIPI Press. hlm. 129-145.
Martins, F.M. 2000. �Susunan Beruntun dalam Bahasa Bunac� dalam Sudaryanto
dan Alex Horo Rambadeta (eds), Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di
Kawasan Non-Austronesia, Yogyakarta: PSAP-UGM, hlm. 77-89.
Simanjuntak, Truman, ed. 2000. Gunung Sewu in Prehistoric Times, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Simanjuntak, Truman. 2006. �Advance of Research on the Austronesian in
Sulawesi�, dalam dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed, Austronesian
Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian Archipelago,
Jakarta: LIPI Press. hlm. 223-231.
Spriggs, Matthew. 1995. �The Lapita Culture and Austronesian Prehistory in
Oceania�, dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds), The
Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, Canberra: ANU,
hlm. 112-133.
Tanudirjo, Daud Aris. 2001. �Island In-Between: the Prehistory of Northeastern
Indonesia. Ph.D. Thesis, Canberra: ANU.
2006. �The Dispersal of Austronesian-speaking-people and the
Ethnogenesis Indonesian People� dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed,
Austronesian Diaspora and the Ethnogeneses of People in Indonesian
Archipelago, Jakarta: LIPI Press. hlm. 83 - 98.
Tjia, H.D. 2006. �Geological Evidence for Quaternary Land Bridge in Insular
Southeast Asia�, dalam Truman Simanjuntak, dkk. ed. Archaeology:
Indonesian Perspective, R.P. Soejono�s Festschrift, Jakarta: LIPI Press.
hlm. 71-82.
Tryon, Darrel. 1995. �Proto-Austronesian and the Major Austronesian Subgroup�,
dalam Peter Bellwood, James J. Fox, Darrell Tryon (eds.), The
Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, Canberra: ANU,
hlm. 17-38.

Friday, October 2, 2009

THE SAUDI DYNASTY? HAVE JEWS ANCESTOR???

THE SAUDI DYNASTY: FROM WHERE IS IT? AND WHO IS THE REAL ANCESTOR OF THIS FAMILY?



RESEARCH AND PRESENTATION OF: MOHAMMAD SAKHER , who was ordered killed by the Saudi Regime for the following findings:

1. Are the Saudi Family members belonging to the Tribe of ANZA BEN WA'EL as they allege to be?
2. Is Islam their actual religion?
3. Are they of an ARAB ORIGIN at all?

In the year 851 A.H. a group of men from AL MASALEEKH CLAN, which was a branch of ANZA Tribe, formed a caravan for buying cereals (wheat and corn) and other food stuff from IRAQ, and transporting it back to NAJD. The head of that group was a man called SAHMI BIN HATHLOOL. The caravan reached BASRA, where the members of the group went to a cereal merchant who was a Jew, Called MORDAKHAI BIN IBRAHIM BIN MOSHE'. During their bargaining with that merchant, the Jew asked them : "Where are you from?" They answered: "From ANZA TRIBE; a clan of AL MASALEEKH." Upon hearing that name, the Jew started to hug so affectionately each one of them saying that he, himself, was also from the clan of AL MASALEEKH, but he had come to reside in BASRA (IRAQ) in consequence to a family feud between his father and some members of ANZA Tribe.

After he recounted to them his fabricated narrative, he ordered his servants to load all the camels of the clan's members with wheat, dates and tamman; a remarkable deed so generous that astonished the MASALEEKH men and aroused their pride to find such an affectionate (cousin) in IRAQ- the source of their sustenance; they believed each word he said , and , because he was a rich merchant of the food commodities which they were badly in need, they liked him (even though he was a Jew concealed under the garb of an Arab from AL MASALEEKH clan).

When the caravan was ready to depart returning to NAJD, that Jewish Merchant asked them to accept his company, because he intended to go with them to his original homeland, NAJD. Upon hearing that from him, they wholeheartedly welcomed him with a very cheerful attitude.

So that (concealed) Jew reached NAJD with the caravan. In NAJD, he started to promulgate a lot of propaganda for himself through his companions (his alleged cousins), a fact, which gathered around him a considerable number of new supporters; but, unexpectedly, he confronted a campaign of opposition to his views led by SHEIKH SALEH SALMAN ABDULLA AL TAMIMI, who was a Muslem religious preacher in AL-QASEEM. The radius of his preaching area included Najd, Yemen, and Hijaz, a fact which compelled the Jew (the Ancestor of the present SAUDI FAMILY to depart from AL QASEEM to AL IHSA, where he changed his name (MORDAKHAI) To MARKHAN BIN IBRAHIM MUSA. Then he changed the location of his residence and settled at a place called DIR'IYA near AL-QATEEF, where he started to spread among the inhabitants a fabricated story about the shield of our Prophet MOHAMMAD (p.b.u.h), that it was taken as a booty by an Arab Pagan in consequence of OHOD Battle between the Arab pagans and the Muslems. "That shield, he said, was sold by the Arab Pagan to a Jewish Clan called BANU QUNAIQA' who preserved it as a treasure! He gradually enhanced his position among the Bedouins through such stories which indicated how the Jewish clans in Arabia were so influential and deserved high esteem. He gained some personal importance among the Bedouins, and decided to settle permanently there, at DIR'IYA town, near AL QATEEF, which he decided to be his (Capital) on the Persian Gulf. He aspired to make it his spring board for establishing a Jewish Kingdom in Arabia.
In order to fulfill his ambitious scheme, he started to approach the desert Arab Bedouins for support of his position, them gradually, he declared himself as their king!

At that juncture, AJAMAN Tribe together with BANU KHALED Tribe became fully aware of that Jewish cunning plan after they had verified his true identity, and decided to put an end to him. They attacked his town and conquered it, but before arresting him he had escaped by the skin of his teeth.

That Jewish Ancestor of the SAUDI FAMILY, (MORDAKHAI), sought shelter in a farm called at that time AL-MALIBEED-GHUSAIBA near AL-ARID, which is called at our present time : AL-RIYADH.

He requested the owner of that farm to grant him an asylum. The farmer was so hospitable that he immediately gave him sanctuary. But that Jew (MORDAKHAI), no longer than a month had he stayed there, when he assassinated the land lord and all members of his family, pretending that all were killed by an invading band of thieves. Then he pretended that he had bought that real estate from them before that catastrophe happened to them! Accordingly, he had the right to reside there as a land lord. He then gave a new name to that place: He named it AL-DIRIYA - the same name as that he had lost.

That Jewish Ancestor of the SAUDI FAMILY (MORDAKHAI), was quick to establish a "GUEST HOUSE" called "MADAFFA" on the land he usurped from his victims, and gathered around him a group of hypocrites who started to spread out false propaganda for him that he was a prominent Arab Sheikh. He plotted against Sheikh SALEH SALMAN ABDULLA AL TAMIMI, his original enemy, and caused his assassination in the mosque of the town called (AL-ZALAFI).

After that, he felt satisfied and safe to make (AL-DIRIYA) his permanent home. There he practiced polygamy at a wide scale, and indeed, he begot a lot of children whom he gave pure Arab names.

Eversince his descendants grew up in number and power under the name of SAUDI CLAN, they have followed his steps in practicing under ground activities and conspiracies against the Arab Nation. They illegally seized rural sectors and farm lands, and assassinated every person who tried to oppose their evil plans. They used all kinds of deceit for reaching their goals: they bought the conscience of their dissidents; they offered their women and money to influential people in that area, particularly to those who started to write the true biography of that Jewish Family; they bribed writers of history in order to purify their ignominious history, and make their lineage related to the most prominent Arab Tribes such as RABI'A, ANZA and ALMASALEEKH.

A conspicuous hypocrite in our era whose name is MOHAMMAD AMIN AL TAMIMI- Director/Manager of the contemporary Libraries of the SAUDI KINGDOM, made up a genealogical tree (FAMILY TREE) for this JEWISH FAMILY (THE SAUDIS), connecting them to our Great Prophet, MOHAMMAD (P.B.U.H) For his false work, he received a reward of 35 (THIRTY FIVE) THOUSAND EYPTIAN POUNDS from the then SAUDI AMBASSADOR TO CAIRO, EGYPT, in the year 1362 AH.- 1943 A.D. The name of that Ambassador is : IBRAHIM AL-FADEL.

As aforementioned, the Jewish Ancestor of the SAUDI FAMILY, (MORDAKHAI), practiced polygamy by marrying a lot of Arab women and begot many children; his polygamous practice is, at the present time, being carried out " to the letter" by his descendants; they cling to his marital heritage!

One of MORDAKHAI'S sons called AL-MAQARAN, arabized from the Jewish root (MACK-REN) begot a son called Mohammad, then another son called SAUD, which is the name of the present day SAUDI DYNASTY.

Descendants of SAUD (the present day SAUDI FAMILY )started a campaign of assassination of the prominent leaders of the Arab Tribes under the pretence that those leaders were apostates; renegading from the Islamic Religion, and deserting their Koranic doctrines; so they deserved the SAUDI condemnation and slaughter!

In the History Book of the SAUDI FAMILY pages (98-101), their private family historian declares that the SAUDI DYNASTY considers all the people of NAJD blasphemous; so their blood must be shed, their properties confiscated, and their females be taken as concubines; no muslem is authentic in his /her belief unless he/she belongs (affiliates) to the sect of MOHAMMAD BIN ABDUL WAHAB, (whose origins are also Jewish from TURKEY.) His doctrines give authority to the SAUDI FAMILY to destroy the villages with all their inhabitants-males including children, and to sexually assault their women; stab the bellies of the pregnant, and cut off the hands of their children, then burn them! They are further authorized by such a BRUTAL DOCTRINE to plunder all the properties of whom they call renegades (not following their Wahabi Sect).Their hideous Jewish Family has, in fact, done all that kind of atrocities in the name of their false religious sect (the Wahabi), which has actually been invented by a Jew so as to sow the seeds of terror in the hearts of people in towns and villages. This Jewish Dynasty has been committing such brutal atrocities eversince 1163 A.H. They have named the whole Arabian Peninsula after their family name (SAUDI ARABIA) as if the whole region is their own personal real estate, and that all other inhabitants are their mere servants or slaves, toiling day and night for the pleasure of their masters (THE SAUDI FAMILY).

They are completely holding the natural wealth of the country as their own property. If any poor person from the common people raises his/her voice complaining against any of the despotic rules of this Jewish Dynasty, (the Dynasty) cuts off his/her head in the public square. A princess of theirs once visited FLORIDA, USA, with her retinue; she rented 90 (NINETY) Suite rooms in a Grand Hotel for about One Million Dollars a night! Can anyone of their subjects comment about that extravagant event If he/she does, his/her fate is quite known: DEATH WITH THE EDGE OF THE SAUDI SWORD IN THE PUBLIC SQUARE!!!!!!

Witnesses on the Jewish Ancestry of this Saudi Family:

In the 1960's the "SAWT AL ARAB" Broadcasting Station in Cairo, Egypt, and the YEMEN Broadcasting Station in SANA'A confirmed the Jewish Ancestry of the SAUDI Family.

King FAISAL AL-SAUD at that time could not deny his family's kindred with the JEWS when he declared to the WASHINGTON POST on Sept. 17, 1969 stating: "WE, THE SAUDI FAMILY, are cousins of the Jews: we entirely disagree with any Arab or Muslem Authority which shows any antagonism to the Jews; but we must live together with them in peace. Our country (ARABIA) is the Fountain head from where the first Jew sprang, and his descendants spread out all over the world." That was the declaration of KING FAISAL AL-SAUD BIN ABDUL AZIZ!!!!!

HAFEZ WAHBI, The SAUDI Legal Adviser, mentioned in his book entitled: "THE PENINSULA OF ARABIA" that KING ABDUL AZIZ AL-SAUD, who died in 1953, had said : "Our Message (SAUDI MESSAGE) encountered the opposition of all Arab Tribes; my grandfather, SAUD AWAL, once imprisoned a number of the Sheikhs of MATHEER Tribe; and when another group of the same tribe came to intercede for the release of the prisoners, SAUD AWAL gave orders to his men to cut off the heads of all the prisoners, then, he wanted to humiliate and derogate the interceders by inviting them to eat from a banquet he prepared from the cooked flesh of his victims whose cut off heads he placed on the top of the food platters!! The interceders became so alarmed and declined to eat the flesh of their relatives; and, because of their refusal to eat, he ordered his men to cut off their heads too. That hideous crime was committed by that self imposed king to innocent people whose guilt was their opposition to his most cruel and extremely despotic rules.

HAFEZ WAHBI, states further that King ABDUL AZIZ AL-SAUD related that bloody true story to the Sheikhs of the MATHEER Tribe, who visited him in order to intercede for their prominent leader at that time, FAISAL AL DARWEESH, who was the king's prisoner. He related that story to them in order to prevent them from interceding for the release of their Sheikh; otherwise, they would face the same fate; He killed the Sheikh and used his blood as an ablution liquid for him just before he stood up for his prayer (after the false sect doctrine of the Wahabi); The guilt of FAISAL DARWEESH at that time was that he had criticized King ABDUL AZIZ AL-SAUD when the king signed the document which the English Authorities prepared in 1922 as a declaration for giving PALESTINE to the Jews; his signature was obtained in the conference held at AL AQEER in 1922.

That was and still is the system of this Regime of the JEWISH FAMILY (SAUDI FAMILY): All its goals are : plundering the wealth of the country, robbing, falsifying, and committing all kinds of atrocity, iniquity, and blasphemy-all are executed in compliance with their self invented Wahabi Sect which legalizes the chopping of the heads of their opposing subjects.

http://www.fortunecity.com/boozers/bridge/632/history.html

Wednesday, July 22, 2009

Monday, July 13, 2009

Penebar Islam Liberal = Domba Kaum Zionis

Penebar Islam Liberal = Domba Kaum Zionis


Peran yang dimainkan oleh orang-orang liberal, para pemimpi utopis
itu, pada akhirnya akan dimainkan ketika pemerintah kita mereka akui.
Sampai saat itu, mereka akan tetap melayani kita dengan baik.


Oleh karena itu, kita akan terus mengarahkan pemikiran-pemikiran
mereka kepada segala macam konsepsi dengan teori-teori fantastis,
baru, dan nampak progresif: yang akan sia-sia, karena kita tidak akan
mengisi kepala-kepala kosong para goyim (istilah Ibrani bagi orang
non-Yahudi atau gentile menurut istilah Latin) itu dengan kemajuan
ataupun dengan keberhasilan yang sempuma; hingga tidak satu pun dari
otak para goyim itu yang mampu memahami, bahwa di dalam kata liberal
ini tersembunyi pengertian tentang keberangkatan untuk meninggalkan
segala aspek kebenaran, karena hal itu bukanlah masalah tentang
penemuan-penemuan materi, dan karena kebenaran itu hanya satu, yang di
dalamnya sudah tidak ada lagi tempat bagi kemajuan (progress).
Kemajuan itu bagaikan sebuah gagasan yang keliru, bekerja untuk
menutupi kebenaran, sehingga tak seorang pun dapat mengetahui tentang
kebenaran itu, kecuali kita, Manusia Pilihan Tuhan, yaitu
wali-wali-Nya.” (Kutipan Protokol Ke-13 dari Protocols of the
Learned Elders of Zion).

Pencipta Isme-Isme

Bila Anda pernah membaca Protocols of the Learned Elders of Zion
(Protokol Panatua Panutan Kaum Zionis), yang lazim juga disebut
Protocols of Zion, maka dengan gamblang kita akan memahami bahwa para
Panatua Panutan Zionis di abad ke-18 â€"yang mereka sebut Abad
Pencerahan (Enlightment Era), yang hampir secara bersamaan lahir
gagasan-gagasan tentang nasionalisme sebagai antithesis terhadap
feodalisme dan sosialisme sebagai antithesis terhadap kapitalisme
serta sekularisme sebagai antithesis theokratismeâ€" adalah pencipta
isme-isme dunia yang saling bertentangan itu. Jadi, semua isme dunia
yang pernah kita kenal â€"yang sebagian di antaranya sempat dianut
oleh berbagai golongan atau partai politik di Indonesiaâ€" pada
hakikatnya lahir dari Satu Ibu Kandung yang sama.

Lalu, mengapa mereka harus menciptakan dan mempromosikan isme-isme
yang saling bertabrakan itu?

Untuk mencoba mengerti hal itu, kita harus mampu memahami sistem,
struktur, dan budaya yang mereka anut. Sistem yang mereka anut disebut
Fertile Crescent System, struktur yang mereka gunakan disebut The
Golden Triangle Structure dan budaya yang mereka pakai adalah Conflict
Culture. Artinya, konflik merupakan budaya yang terkandung di dalam
sistem dan struktur yang mereka anut dan gunakan. Tanpa konflik,
struktur yang mereka gunakan akan runtuh dan secara serta-merta sistem
yang mereka anut pun akan hancur (catastrophic level). Oleh karena
selama puluhan abad sistem peradaban yang kita anut mengacu pada
Fertile Crescent System â€" yang konon didesain oleh Raja Babylonia,
Nimrod atau Namrud, 4 millennium yang laluâ€" maka dengan sendirinya
dunia kita selama puluhan pula tak pernah damai, alias selalu
terjerumus dari satu peperangan ke peperangan yang lain. Di Eropa,
Fertile Crescent System dikenal dengan Labyrinth/Knossos dan di China
disebut San Kuo.

Kebenaran Mutlak

Kalau kita berbicara tentang kebenaran, maka tentu saja hanya ada satu
kebenaran, yaitu Kebenaran dengan K besar (uppercase) yang artinya
Kebenaran Mutlak. Tentu saja Kebenaran dengan K besar hanya milik Yang
Satu pula, yaitu Sang Maha Pencipta.
Sebaliknya, bila kita berbicara tentang ‘kebenaran’ dengan ‘k’
kecil (lowercase), kita akan menemukan banyak ‘kebenaran’. Nah, di
sinilah para pemikir, penabur, penganjur, dan penganut Islam Liberal
bermain. Bermain-main dengan ‘kebenaran’ (‘k’ kecil), tetapi
mencoba menghujat Kebenaran (K besar). Tentu saja hal itu bukan
maqom-nya. Artinya tidak sepadan.

Kalau ada cendekiawan yang melayani perdebatan dengan penganut Islam
Liberal, sama dengan mereka bermain gaple, permainan akal-akalan.

Bagaimana tidak? Seorang pemain gaple yang pada gebrakan awal
mengeluarkan kartu balak empat, berharap lawan-lawannya berfikir bahwa
dialah memegang banyak kartu gacoan empat. Ketika lawan-lawannya
menutup kedua pintu empat itu, ia senang sekali, karena pada
kenyataannya kartu gacoan empatnya cuma satu itu. Tentu saja yang
‘main’ adalah kartu lain yang bukan gacoan empat. Lawan-lawannya
kecele, karena kartu empat yang ada di tangan mereka justeru tak
pernah bisa keluar lagi, karena tak diberi kesempatan untuk muncul.

Begitu pula dengan para penganut Islam Liberal, mereka menafikan hukum
wajib menutup aurat dengan pernyataan bahwa pakaian yang tertutup
merupakan budaya Bangsa Arab. Jadi, hukum menutup aurat bukan
Kebenaran, sehingga perintah tersebut boleh-boleh saja tidak diikuti.
Apalagi sekarang ini, wanita-wanita telanjang atau setengah telanjang
atau mempertontonkan pusarnya bertebaran di mana-mana. Dan, hal itu
telah ‘diterima’ zaman, karena tidak ada yang protes dan banyak
pula diikuti oleh kaum wanita dari perkotaan hingga ke pedesaan.
Konsekuensinya, agar Islam dan al-Qur’an tetap eksis, maka Islam dan
al-Qur’an harus mengintil-ngintil di belakang zaman. Inilah
pemahaman mengenai ‘kebenaran’ penganut Islam Liberal, yang
sesungguhnya bukanlah Kebenaran.
Bagi mereka yang cukup mengerti tentang hukum-hukum Islam, tentu saja
akan mampu membaca ‘permainan gaple’ tersebut. Para penganut Islam
Liberal menafikan Kebenaran Mutlak. Kata mereka, “Tidak ada itu
Kebenaran Mutlak, yang ada adalah kebenaran relatif.”

Tetapi, entah karena licik atau idiot, mereka memberikan postulat
(dalil) bahwa zaman ini pasti menuju kepada Kebenaran Mutlak,
karenanya Islam maupun al-Qur’an harus ‘mengikuti’
(mengintil-ngintil) zaman. Terbuktilah bahwa perdebatan tentang ini
hanya ‘akal-akalan’.
Sama persis dengan ‘akal-akalan’-nya para Panatua Panutan Kaum
Zionis, yang menciptakan ide liberal sebagaimana yang dikutip dari
Protocols of Zion di awal tulisan ini. Mereka mengatakan, bahwa untuk
mencapai Kebenaran Mutlak harus melalui proses liberalisasi. Padahal
mereka mengetahui dengan pasti, bahwa di dalam kata liberal itu
terkandung pengertian tentang keberangkatan untuk meninggalkan
Kebenaran yang Satu.
Kemudian, mari kita tengok postulat mereka yang lain, yakni Umat Islam
dilarang memandang dirinya sebagai masyarakat yang terpisah dari
golongan yang lain. Kata ‘terpisah’ dalam hal ini dibuat tidak
jelas. Para penganjur Islam Liberal menganggap wanita muslim yang
mengenakan pakaian tertutup (menutup aurat) sebagai ‘memisahkan
diri’ dari golongan yang lain, sementara yang mempertontonkan paha,
pusar, dan sebagian payudaranya, tidak dianggap ‘memisahkan diri’
dari golongan yang lain; dan bahkan golongan kedua ini tidak
dipermasalahkan, kalau tidak bisa dikatakan ‘didukung’.

Sebagai konsekuensi tidak memisahkan diri dari golongan yang lain,
Umat Islam harus menjadi bagian dari keluarga universal yang
berlandaskan humanisme, demikian pandangan para penganut Islam
Liberal. Humanisme adalah landasan ideal kaum Yahudi-Illuminati
(periksa Piramida Illuminati Bertingkat 13), sama dengan al-Qur’an
yang merupakan landasan ideal bagi Ummat Islam dari dulu hingga
sekarang dan nanti. Jadi, Ummat Islam diminta meninggalkan al-Qur’an
dan menggantinya dengan humanisme, agar bisa menjadi anggota keluarga
universal. Dengan demikian, secara induktif dapat disimpulkan, bahwa
Islam Liberal sama dengan Yahudi-Illuminati. Setidak-tidaknya,
penganut Islam Liberal adalah para goyim yang digembalakan oleh Kaum
Yahudi-Illuminati, atau Domba-domba Kaum Zionis. Betul, nggak ?



----------
Sumber: Indonesia NEWSNET, Juni 2005

HAKIKAT DAJJAL (Dari Darwinisme Hingga Huru Hara Akhir Zaman)

Teman-teman, kita adalah manusia yang ditakdirkan Allah hidup di zaman penghabisan, yaitu zaman dimana dunia hampir saja tutup usia. Zaman dimana Allah dan Rosul-Nya berkali-kali menubuwwatkannya dalam Al Qur`an dan Hadist-hadistnya, dan salah satu tanda akan datangnya hari akhir tersebut adalah munculnya setan besar bernama Dajjal. Tidak ada fitnah yang lebih besar, selain fitnah yang ditimbulkan oleh Dajjal.

Sebagai generasi penerus peradaban Islam, kita mesti tahu dan menyadari dimana posisi kita sebagai mahluk akhir zaman. Apakah kita termasuk orang-orang yang istiqomah ditengah kesesatan yang dahsyat ini dan tetap bergabung dalam pasukan Muhammad, atau menjelma menjadi manusia yang memenuhi kepentingan Dajjal dan antek-anteknya? Karena dengan menyadari posisi ini, kita bisa mengetahui tugas apa yang mesti kita kerjakan.

Panglima besar kita Muhammad SAW bersabda dalam hadistnya bahwa di akhir zaman nanti, kekuatan jahat akan muncul, yang ciri utama kekuatan itu adalah mengacaukan perdamaian, menimbulkan peperangan, dan merusak ketertiban dikalangan umat manusia. Hadist Rosul yang lain mengatakan “tidak akan ada ciptaan (yang menciptakan masalah) melebihi Dajjal, dari penciptaan Adam hingga hari akhir…(shahih Muslim). Dajjal akan muncul ketika masyarakat sudah tidak mampu lagi hidup dengan akhlak yang dituntunkan agama, mengingkari keberadaan Allah secara terang-terangan, merebaknya kebejatan moral, isme-isme sesat, kekacauan, peperangan, bangkitnya penguasa zhalim dan diktator (mulkan jabariyyan), timbulnya kebingungan dan keruwetan yang begitu dahsyat dalam masyarakat. Sehingga banyak manusia yang linglung dan kehilangan pegangan, dikarenakan banyaknya pertentangan pemikiran, sehingga kebenaran menjadi rancu. Dahsyatnya keadaan itu sampai-sampai munculnya sebuah perumpamaan bahwa manusia dizaman itu yang tetap berusaha istiqomah pada diennya, ibarat menggenggam bara api yang sangat panas yang tentu sangat sulit mempertahankannya. Keinginan untuk ‘melepaskannya’ selalu datang mengganggu jiwanya.

Apakah Dajjal itu…?

Dilihat dari asal katanya, bahasa Arab. Dajjal memiliki beragam arti, diantaranya “pembohong dan penyamar”, seseorang yang berbohong, memenuhi dunia dengan pengikut-pengikutnya, dan menyelubungi kebenaran dengan keingkaran (lisanul `Arab). Dalam beberapa hadist rosul lainnya menyebutkan ciri-ciri dajjal, seperti bermata satu, ada tulisan ka far o dijidatnya alias kafir, rambutnya keriting, bentuk badannya jelek, buruk, pokoknya sesosok mahluk yang nggak sedap dipandang mata lah. Dari gambaran hadist-hadist tersebut kita mungkin beranggapan bahwa Dajjal adalah sesosok manusia, akan tetapi selain sebagai sosok manusia secara zahir, Dajjal juga dapat diartikan sebagai sebuah ideology atau paham sesat yang cenderung dengan kekerasan, kekacauan, dan tipu muslihat. Kita bisa menyebutnya dengan istilah “System Dajjal” yang tujuan utamanya adalah menimbulkan huru hara besar, kekacauan, mendorong manusia mengingkari keberadaan Allah, merusak system Islam yang sudah baku, dan kemudian mengganti sepenuhnya dengan system tersebut yakni system perwujudan Dajjal.

Kehadiran Dajjal memiliki tujuan yang sangat besar untuk merekrut manusia agar mau menjadi pengikutnya, untuk kemudian akan bersama-sama masuk ke dalam neraka Jahannam. Ia menyediakan “syurga” dan “neraka” sendiri. Seperti yang digambarkan dalam hadist nabi dibawah ini : “Ketika Dajjal muncul, dia akan membawa api & air bersamanya. Apa yang disebut manusia air yang dingin, sesungguhnya adalah api yang membakar. Jadi barangsiapa diantara kamu menemuinya, dia harus memilih yang tampak olehnya sebagai api, karena sesungguhnya, itu adalah air yang segar dan dingin…(shahih Bukhari)

Itulah salahsatu gambaran tipu muslihat Dajjal. Kita jangan sampai lupa kalau Dajjal itu adalah duta besar Iblis alaihi laknatullah. Musuh abadi kita dari awal kehidupan. Bukankah kinerja Iblis dan setan adalah menjadikan manusia memandang baik perbuatan buruk, dan memandang buruk perbuatan baik? “Air dan api” dajjal dalam hadist tersebut, bisa saja merupakan sebuah perumpamaan untuk pemutarbalikan nilai kebaikan dan keburukan tsb. Allahu a`lam.

Sedikit flash back...”.

Sebelum kita melanjutkan pembahasan ini, kita sebaiknya mengingat kembali tentang perseteruan abadi antara Iblis dan manusia hingga akhir zaman, bermula dari keengganan Iblis ketika disuruh bersujud pada nabi Adam, karena Iblis merasa lebih unggul dari Adam yang hanya diciptakan dari tanah. Murkalah Allah kepada mereka, lalu Allah mengusir dan melaknat bani Iblis dari syurga, Iblis pun menyetujui perintah Allah, namun sebelumnya ia minta diberi tenggang waktu sampai hari akhir agar dapat mengganggu dan menyesatkan anak Adam sebanyak-banyaknya, Allah pun mengabulkan permintaan Iblis. Konspirasi Iblis pertama terjadi di surga, Adam dan Hawa tergoda untuk memakan buah yang menimbulkan penyesalan dihati mereka, atas kehendak Allah, mereka diperintahkan untuk turun ke bumi. Sebelum turun ke bumi, Allah berpesan kepada mereka. “Turunlah kalian semuanya dari syurga, kemudian jika datang petunjuk dariKu (melalui Rosul & kitab-kitab yang diturunkan pada mereka) maka barangsiapa yang mengikuti petunjukku niscaya tidak ada kebimbangan terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati…”. Dari sini sudah jelas, bahwa diantara kita dan memang setan memiliki perseteruan abadi hingga akhir zaman. Iblis dan antek-anteknya akan senantiasa berusaha mengajak manusia pada kesesatan, dan mencabut manusia dari akar tauhid.

Dari cerita diatas kita juga bisa melihat perbedaan antara Adam dan Iblis. Adam tidaklah diusir dari syurga ke bumi, akan tetapi diperintahkan Allah turun ke bumi untuk menjadi khalifah pemakmur bumi, karena Adam ketika ia berbuat khilaf (memakan buah khuldi), dia langsung menyadari perbuatannya dan bertobat kepada Allah dengan penyesalan yang sangat mendalam, sedangkan Iblis, ia diusir Allah dari syurga dengan kemurkaan-Nya, karena ketika ia diperintahkan bersujud pada Adam, ia menolaknya dengan sangat sombong, bahkan ketika Allah mengulangi perintahnya, Iblis tetap bertahan pada pendiriannya. Boro-boro mau bertobat, merasa bersalah saja tidak. Dari sini kita bisa mengambil sebuah pelajaran bahwa KERAS KEPALA & SOMBONG adalah PANGKAL/INDUK SEGALA DOSA yang tidak diampuni Allah, kecuali jika ia mau bertobat dan mengakui kesalahannya. Dosa yang berpangkal dari nafsu memiliki harapan ampunan yang lebih besar. Sedang dosa yang berpangkal dari kesombongan akan sulit mendapatkan ampunan Allah selama ia tetap keras kepala.

Dajjal dan Hubungannya Dengan Darwinisme...”

Selama kehidupan masih digelar, pertentangan antara kebaikan dan keburukan akan terus terjadi. Sebagaimana tujuan para nabi diutus adalah untuk menegakan kalimat tauhid, maka sebaliknya, agenda utama Iblis didunia ini adalah mengajak manusia agar berpaling dari tauhid.

Kemunculan Dajjal adalah salah satu rencana dan skenario Iblis (dengan kehendak-Nya). Iblis yang menggenggam erat dendam abadinya, terus berupaya mencari cara agar manusia tercebur dalam lubang kekufuran.

Saat ini, paham materialis (paham kebendaan) menguasai iklim kehidupan dunia, sebenarnya apa akar dari paham tersebut? Mari kita telusuri. Materialisme mengajarkan pada manusia tentang kesegala-galaan materi dalam hidup ini. semua berasal dari materi dan akan kembali pada materi. Itulah pengertian sederhananya. Hal ini selaras dengan Darwinisme, Pencetus teori ini adalah Charles Darwin, pada tahun 1859, dia mengarang sebuah buku berjudul “The Origin Spesies” asal usul manusia. Ia mengatakan bahwa semua spesies mahluk hidup berasal dari sel tunggal 3,8 milyar tahun yang lalu yang muncul secara kebetulan, dan berevolusi (berubah) menjadi bermacam-macam spesies baru yang memenuhi alam ini... (sekilas info : kakeknya Charles Darwin, Erasmus Darwin adalah salah seorang Grand Master Freemason). Meskipun teori ini telah terbantah oleh penemuan-penemuan baru setelahnya, karena tidak memiliki dasar ilmiah, akan tetapi masih ada sekelompok orang yang masih mempertahankannya sampai saat ini , meskipun mereka mengetahui kecacatan teori ini, karena mereka masih memiliki kepentingan dengan teori ini, karena titik tolak Darwinisime adalah pengingkaran menyeluruh terhadap sang pencipta.

Jika kita cermati teori ini, kita akan memahami tujuan sesungguhnya paham ini adalah ingin membuat manusia lupa darimana mereka berasal dan akan kembali kemana? Dalam Islam sudah jelas bahwa manusia adalah ciptaan Allah, berasal dari satu Bapak, yakni Adam dan akan kembali pada Allah (membawa serta tanggung jawab perbuatannya di dunia). Sedangkan orang yang telah terdoktrin dengan pemikiran ini akan beranggapan bahwa dia berasal dari alam (materi) dan akan kembali ke alam pula. Jadi Tuhan sang pencipta tidak memiliki posisi dalam kehidupannya, otomatis orang yang berpikir seperti ini akan menjadi sesosok manusia yang tidak peduli dengan amal perbuatannya, ia akan melakukan segala hal yang disukainya, tidak peduli dengan akibat yang timbul, karena ia tidak merasa akan bertanggung jawab pada siapapun. Inilah sebenarnya akibat yang paling berbahaya dari paham materialisme. Materialisme dengan teori evolusinya tidak hanya menjadikan manusia sebagai Atheis (anti Tuhan) akan tetapi dari paham evolusi ini, lahirlah isme-isme sesat lainnya seperti komunisme, fasisme, dan rasisme. Isme-isme sesat ini lah yang menjadi penyebab kehancuran, kekerasan, peperangan, dan kekacauan sistem kehidupan manusia abad ini. Mari kita lihat hubungan isme-ime ini.



A. Darwinisme

1. Titik tolak Darwinisme adalah pengingkaran menyeluruh terhadap sang pencipta. Tujuan utamanya adalah pembentukan mayarakat yang benar-benar terlepas dari agama. Akibatnya, Darwinisme telah menjadi agama yang bertuhankan kesempatan dan kebetulan



2. Darwinisme berpandangan bahwa ada perjuangan untuk bertahan hidup di alam ini. (ingatlah seleksi alam-nya darwinisme, hanya yang kuat lah yang dapat bertahan) Sehingga kekejaman pun berlaku. Menurut pernyataan ini, perjuangan tanpa kenal kasihan yang terjadi diantara mahluk hidup lainnya juga berlaku pada manusia. Dalam lingkungan tempat seseorang melihat orang lainnya sebagai musuhnya, perasaan yang paling sering muncul adalah kemarahan, kerserakahan, dan kebencian.



3. Jika hanya yang kuat saja yang dapat bertahan hidup, kekacauan dan peperangan akan sangat mudah terjadi. Sebab, masing-masing pribadi memiliki kepentingan sendiri untuk mempertahankan eksistensinya, sehingga sifat egois manusialah yang menonjol. Tenggang rasa, saling menghormati, dan toleransi sangat sulit diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, ujung-ujungnya yang ada hanyalah bahasa PEPERANGAN



4. Darwinisme adalah kebohongan dan tipu daya ilmiah terbesar abad ini, semua pernyataannya telah disangkal ilmu pengetahuan modern, akan tetapi racun-racun yang ditinggalkan masih kita rasakan hingga saat ini, dan telah memiliki bentuk lain bernama komunisme, rasisme, fasisme, dll. Ingat, salah satu arti dari Dajjal adalah KEBOHONGAN BESAR.



B. KOMUNISME

1. Komunisme menggambarkan agama sebagai candu bagi masyarakat. Titik perjuangan paham ini adalah menentang semua kepercayaan dan keberadaan Tuhan (Atheisme), sedang Atheisme bermuara dari paham materialis yang dimotori oleh Darwinisme.



2. Komunisme menyatakan bahwa kemajuan hanya bisa terjadi dengan cara pertentangan. Tidak mungkin ada kemajuan tanpa pertumpahan darah (ini Lenin yang bilang)



3. Pemberontakan senjata dan revolusi merupakan unsur penting dari komunisme



4. Komunisme bertekad melawan setiap penentangan dan perbedaan. Perbedaan berarti hanya satu hal: pertentangan. Hanya boleh ada satu jenis untuk segala hal didalam pemerintahan komunis, termasuk manusia. (artinya manusia yang boleh hidup hanyalah manusia yang memiliki keyakinan komunis)



5. Dalam pelaksanaannya, komunisme menjadi petunjuk yang jelas tentang betapa menipunya pemikiran seperti persamaan, keadilan sosial, dan kebebasan. Inilah ideologi Dajjal abad ini. Sistem yang penuh dengan kepalsuan yang terbungkus dengan kata-kata indah



C. FASISME & RASISME

1. Fasisme dan semua cara yang ditempuhnya, bertentangan langsung dengan akhlak agama. Salah satu sifat yang membedakan fasisme adalah kecendrungannya untuk membunuh orang yang tidak bersalah atas sesuatu yang dinamakan ”nilai-nilai suci” dan menganggap pembantaian sebagai kebajikan. Itulah sebabnya, perang merupakan bagian yang tak bisa dipisahkan dari fasisme.



2. kemarahan dan kebencian yang ditujukan kepa ras yang berbeda merupakan salah satu unsur mendasar dari fasisme, dan ini berhubungan dengan ideologi rasisme. Kecendrungan rasis ini telah mengilhami banyak peperangan, pertentangan, kematian, dan PEMBERSIHAN ETNIS. Keyakinan atas keunggulan ras ini (terutama ras kulit putih) diilhami dari Darwinisme pula, Darwin mengemukakan bahwa ras tertentu, ras Eropa contohnya, telah berkembang melebihi ras lainnya selama proses evolusi. Yang lainnya tidak beranjak jauh dari moyang primitif manusia yaitu KERA. Nauzubillah...akhirnya karena mereka merasa lebih unggul, mereka dengan seenaknya membantai manusia dari ras lainnya, mereka menganggap bahwa ras diluar ras kulit putih (berarti termasuk ras kita, melayu) adalah ras yang terbelakang, bodoh, tidak berguna, jelek, dan cuma menyempit-nyempitkan bumi saja, menghabiskan persediaan makanan, oleh karena itu mereka berangapan, sebaiknya ras lain dimusnahkan saja daripada mengancam keberadaan ras kulit putih, nauzubillah. Dan sebagai perwujudan dari renana itu adalah diciptakanlah peperangan dan pembantaian ras lain.



Semua isme-isme sesat ini pada hakikatnya bermuara dari satu hal yaitu kesombongan Iblis alaihi laknatullah. Iblis dilaknat Allah karena kesombongannya, merasa lebih unggul dari Adam karena Iblis diciptakan dari api, sedang Adam dari Thurab (tanah). (nggak beda dengan sekarang. Ras kulit putih merasa lebih ganteng, cantik, bagus, pintar, sehingga mereka menindas ras lainnya) dan Iblis adalah musuh kita hingga akhir zaman, dan pada zaman sekarang ini, Iblis dan pengikutnya dari golongan manusia semakin berkuasa mencengkram dunia dengan propaganda dan misi-misinya. Tampaknya semua yang diberitakan Rosulullah 15 abad yang lampau telah menjadi kenyataan satu persatu, dan aroma kedatangan akhir zaman mulai tercium oleh hidung-hidung kita.



Temen-temen, kita telah saksikan bersama, bahwa keadaan saat ini betul-betul sesuai dengan yang diprediksikan Rosulullah, jika memang Dajjal adalah sebuah Ideology (bukan hanya berbentuk sesosok mahluk) berarti Dajjal memang akan segera muncul, atau memang benar-benar sudah muncul di zaman ini???. Itu artinya KIAMAT MEMANG BENAR-BENAR SUDAH DEKAT!!!



Allahualam bisshowab

By : Aishawasholihat

Sunday, July 12, 2009

T h e U i g h u r s

The Uighurs

Toward the end of the 19th century and into the first decades of the 20th, scientific and archaeological expeditions to the region of Eastern Turkestan’s Silk Road discovered numerous cave temples, monastery ruins, wall paintings, as well as valuable miniatures, books and documents. Explorers from Europe, America and even Japan were amazed by the art treasures found there, and soon their reports were capturing attention of an interested public around the world. These relics of the Uighur culture constitute today major collections in the museums of Berlin, London, Paris, Tokyo, Leningrad (St-Petersburg) and the Museum of Central Asian Antiquities in New Delhi. The manuscripts and documents discovered in Eastern Turkestan reveal very high degree of civilization attained by the Uighurs.



Throughout the centuries the Uighurs used the following scripts.

1. Confederated with the Kok Turks in the 6th and 7th centuries, they used the Orkhon script, which was developed from the Sogdian alphabet.

2. In the 5th century they adopted Sogdian italic script which became known as the Uighur script. This script was used for almost 800 years not only by the Uighurs, but also by other Turkic peoples, the Mongols, and by the Manchus in the early stage of their rule in China.

3. After embracing Islam in the 10th century the Uighurs adopted the Arabic alphabet, and its use became common in the 11th century.

4. The Uighurs of the former Soviet Union use Cyrillic.

5. The Uighurs of Eastern Turkestan use the Arabic and Latin alphabets and the Uighurs of Turkey use the Latin alphabet.



Most of the early Uighur literary works were represented by translations of Buddhist and Manichean religious texts, but there were also narrative, poetic and epic works. Some of these were translated into German, English, Russian and Turkish.



After embracing Islam the Uighurs continued to preserve their cultural dominance in Central Asia. World-renowned Uighur scholars emerged, and Uighur literature flourished. Among hundreds of important works surviving from that era are "Qutatqu Bilik" by Yüsüp Has Hajip (1069-70), Mähmut Qäşqäri's "Divan-i Lugat-it Türk", and Ähmät Yüknäki's "Atabetul Hakayik".



The Uighurs had an extensive knowledge of medicine and medical practice. Chinese Sung Dynasty (906-960) sources indicate that a Uighur physician Nanto traveled to China and brought with him many kinds of medicine not known to the Chinese. There are 103 different herbs for use in the Uighur medicine recorded in a medical compendium by Li Shizhen (1518-1593), a Chinese medical authority. Tartar scholar, professor Rashid Rahmeti Arat in Zur Heilkunde der Uighuren (Medical Practices of the Uighurs) published in 1930 and 1932, in Berlin, discussed the Uighur medicine. Relying on a sketch of a man with an explanation of acupuncture, he and some Western scholars suspect that acupuncture was not a Chinese, but a Uighur discovery.



The Uighurs were also advanced in fields such as architecture, art, music and printing. Western scholars who have studied Uighur history, culture and civilization have often expressed a high regard for the cultural level of the Uighurs. For instance, according to Ferdinand Sassure, "Those who preserved the language and written culture in Central Asia were the Uighurs". Albert von Lecoq wrote, "The Uighur language and script contributed to the enrichment of civilizations of the other peoples in Central Asia. Compared to the Europeans of that time the Uighurs were far more advanced. Documents discovered in Eastern Turkestan prove that a Uighur farmer could write down a contract, using legal terminology. How many European farmers could have done that at that period? This shows the extent of Uighur civilization of that time". Prof. Dr. Laszlo Rasonyi wrote, "the Uighurs knew how to print books centuries before Gutenberg invented his press". In the judgment of Prof. Dr. Wolfram Eberhard, "in the Middle Ages, Chinese poetry, literature, theatre, music and painting were greatly influenced by the Uighurs".



Chinese envoys such as Hsuan Chang, Wang Yen De and Chang Chun who traveled through Eastern Turkestan within the seventh to the thirteenth centuries reported that they were impressed by the high degree of the Uighur power, prestige and culture they encountered there.



Wang Yen De, who served as an ambassador to the Qarakhoja Uighur Kingdom between the years 981 and 984, wrote in his memoirs: "I was impressed with the extensive civilization I found in the Uighur Kingdom. The beauty of the temples, monasteries, wall paintings, statues, towers, gardens, houses and the palaces built throughout the kingdom cannot be described. The Uighurs are very skilled in handicrafts of gold and silver, vases and potteries. Some say God has infused this talent into this people only".



This Uighur power, prestige, and culture dominated Central Asia for more than 1000 years went into a steep decline after the Manchu invasion in Eastern Turkestan in 1759, and under the rule of the Nationalist and especially the Communist Chinese.

Source: Eastern Turkestan Information, Volume 1, No.2, July 1991

Uighur Architecture


Xinjiang Berdarah, Ummat Digugah

Xinjiang Berdarah, Ummat Digugah
Oleh Prince of Jihad pada Sabtu 11 Juli 2009, 02:34 PM

Kaum Muslimin di Cina, tepatnya di daerah Xinjiang, China barat laut tewas mengenaskan dibantai oleh suku Han China. Jumlah korban kekejian ini diperkirakan mencapai 600 hingga 800 orang. Pimpinan Kongres Uighur (Muslim di China), Dunia, Asgar Can, menyatakan: “Orang yang bertanggung jawab atas serangan ini adalah Wang Leguan, Kepala Partai Komunis Xinjiang, dan juga kebijakan pemerintah,” katanya. Seperti apa kekejaman pemerintah Komunis China ini memperlakukan minoritas kaum Muslimin di China ? Bantuan apa yang harus diberikan oleh kaum Muslimin saat ini ? Berikut kami postingkan kembali artikel tentang Muslim di China!

Apabila mereka (umat Islam) meminta pertolongan kepadamu dalam urusan pembelaan (dikarenakan adanya invansi, dan sejenisnya) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan. “ (QS.8:72)

14 Abad yang lalu Islam datang ke tanah Cina, pada masa pemerintahan Kholifah Ustman ibn Affan (ra), beliau mengirimkan sebuah delegasi di bawah komando Sa’ad ibn Abi Waqqas (ra), paman Nabi (dari garis ibu) ke Cina. Jarak yang ditempuh sekitar 5000 mil mengemban tugas untuk menyebarkan pesan tauhid (agama Islam) ke daerah kekuasaan Cina dan masyarakat cina yang pada waktu itu menganut kepercayaan paganisme. Utusan tersebut berlayar menuju Cina melalui lautan India dan laut Cina sampai di daerah Portugal dari Guangzhou, mereka kemudian berjalan melewati Chang’an (saat ini dikenal dengan Xi’an), perjalanan mereka dikemudian hari dikenal dengan nama Jalur Sutra.

Negara-negara yang terlewati dengan jalur tersebut didakwahi dengan Islam, sehingga orang-orang Muslim tersebar ke setiap bagian Cina, akan tetapi kebanyakan dari mereka bertempat tinggal di Cina bagian barat. Jumlah tertinggi dari ummat Muslim baru-baru ini dapat ditemukan di Xinjiang, Gansu, Ningxia, Yunan dan propinsi Henan. Saat ini jumlah ummat Muslim yang hidup di Cina sekitar 150 juta orang, dengan jumlah masjid lebih dari 30 ribu masjid.

Hari ini, dengan sengaja dan sistematik rezim Cina menyembunyikan keadaan buruk ummat Muslim yang pada kenyataannya berada dalam kondisi disiksa, dianiaya, dan didzolimi. Secara historis rezim buatan manusia ini (Republik Rakyat Cina) secara dahsyat telah memiliki sistem jahat yang tersistematis untuk membersihkan negaranya dari orang-orang Muslim. Berikut rekam sejarah kekejaman rezim Cina kepada Muslim:

- Antara tahun 1949 dan 1965, di bawah rezim komunis Mao, ummat Muslim yang tinggal di Barat laut Cina sejumlah kurang lebih 26 juta Muslim dibunuh oleh tentara Cina atau mati kelaparan karena ulah dari rezim.

- Tahun 1964, peraturan Cina menggunakan orang-orang Muslim di propinsi Xiang untuk percobaan nuklir sebagai akibatnya, orang-orang di daerah tersebut ditemukan meninggal karena penyakit dan lebih dari 20.000 anak-anak dilahirkan cacat. 210.000 orang-orang Muslim kehilangan hidup mereka sebagai akibat dari percobaan nuklir tersebut dan ribuan lainnya mengidap kanker atau lumpuh.

- Sejak tahun 1966, 10.000 orang Muslim ditahan, ditawan di camp-camp selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun mendekam sebagai tahanan di penjara Cina, disiksa dengan kejam hanya kerena mereka ingin hidup dengan hukum agama mereka yaitu Islam.

- Antara tahun 1995-1997 lebih dari 500.000 orang muslim ditahan tanpa alasan oleh penguasa Cina. Selama periode yang sama lebih dari 5.000 orang meninggal akibat dari siksaan oleh rezim Cina atau dinyatakan hilang. 119 pemuda Muslim dieksekusi secara terbuka dan 5000 muslim ditelanjangi dan diletakkan dihadapan publik untuk dipertontonkan kepada 50 grup/kelompok.

- Kebijakan rasisme dan pembunuhan masal terus berlangsung sampai abad ke 21:

o Wanita Muslim yang hamil tua, diambil dari rumah-rumah mereka dan dipaksa untuk disterilkan/dimandulkan dibawah kondisi yang tidak higienis (tidak bersih) dan anak-anak yang dilahirkan di luar kuota pemerintah dibunuh.

o Disekolah-sekolah pemerintah guru-guru wanita Muslim dilarang memakai kerudung dan guru laki-laki Muslim harus memotong jenggot mereka.

o Masjid-masjid dihancurkan secara bertahap.

o Murid-murid Muslim dengan sengaja disediakan makan siang selama bulan Ramadan sebagai bujukan untuk membatalkan puasa di siang hari.

o Penduduk Muslim diminta untuk tinggal di rumah-rumah mereka pada jam-jam sholat dan dilarang membawa Al-Qur’an pada waktu kerja.

o Siaran radio yang berisi ceramah-ceramah Islam di Masjd dilarang.

o Hampir setiap Masjid di Cina dipasang tanda peringatan larangan untuk sholat rutin berjamaah bagi mereka yang berumur kurang dari 18 tahun.

o Petani-petani Muslim menjual hasil panen mereka kepada agen-agen pemerintah di bawah harga standar karena mereka dilarang menjual ke pasar secara bebas, adapun penduduk Han (penduduk asli Cina) diperbolehkan berdagang tanpa campur tangan pemerintah.

Di bulan Agustus 2006, polisi masuk secara paksa ke rumah wanita Muslim Aminan Momixi ketika dia mengajar Al-Qur’an kepada 37 muridnya, dia ditahan dan murid-muridnya yang terdiri dari anak-anak yang berusia sangat muda sekitar 7 tahunan juga ikut ditahan. Beberapa anak tidak dibebaskan hingga orang tua mereka membayar denda yang berkisar 7000-10.000 yuan (renmibi), padahal gaji rata-rata setiap tahun untuk seorang Muslim berkisar antara 2400 yuan.

Pada minggu terakhir terjadi serangan yang mematikan di sebuah pos polisi disebabkan banyaknya problem atas pelayanan keamanan Cina khususnya berkaitan atas tindakan rezim terhadap Muslim minoritas. Kelompok Mujahidin (yang berada di Turkistan Timur) berada di belakang operasi tersebut melontarkan kasus-kasus Muslim agar menjadi pusat perhatian dunia dan berusaha mengungkap kejahatan rezim Cina, juga menuntut tegaknya negara Islam di Cina atau kekhilafahan di Cina.

Bukan hal yang mengherankan lagi jika seruan serupapun timbul untuk tegaknya sistem kekhilafahan secara internasional oleh ummat Muslim yang ada di Burma, Kasymir, Kazakhstan, Kyrgyztan, Mongolia, Nepal dan Tibet, semua negara tersebut berbatasan dengan Cina atau mereka dapat dikatakan bertetangga. Sistem kekhilafahan ini bukan isapan jempol belaka dari sebuah imajinasi atau hayalan akan tetapi sistem ini telah tegak selama 1302 tahun dimana orang-orang (Muslim maupun non muslim) hidup di bawah hukum-hukum Allah (SWT) dengan damai, keamanan mereka terjaga dan semua kebutuhan dasarnya tersedia dengan harga yang umum.

Seorang muslim di Cina mengatakan, “Jika kamu mengatakan atau bercerita sedikit tentang rezim Cina maka mereka akan memotong lenganmu dan jika kamu bercerita banyak maka mereka akan membunuhmu.”, Muslim yang lain mengatakan, “Jika kamu mengatakan kebenaran tentang mereka (rezim Cina) maka mereka akan memotong keluar lidah saya.” Semua penyiksaan ini yang terjadi di Cina atas orang-orang Muslim (laki-laki, wanita dan anak-anak) maka itu adalah tanggung jawab dan kewajiban orang-orang Muslim seluruhnya secara global untuk membantu satu sama lain dalam rangka membebaskan diri kita sendiri dari belenggu hukum dan kekuasaan manusia.

Rasulullah Salallahu Alaihi Wasalam bersabda:

‘Umat Muslim adalah satu ummat satu sama lain tanah mereka adalah satu, perang mereka adalah satu, perdamaian mereka adalah satu dan kebenaran mereka adalah satu.’ (HR. Muslim).

Jadi baik ummat Muslim yang hidup di Cina atau di manapun, kita berkewajiban untuk mendukung mereka sebab Allah (SWT) menyatakan kepada kita dalam Al-Qur’an al Karim :

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada Perjanjian antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Anfaal: 72).

Source: Almuhajirun

Cina Larang Diadakannya Sholat Jumat di Masjid Urumqi

Cina Larang Diadakannya Sholat Jumat di Masjid Urumqi
Oleh Hanin Mazaya pada Jum'at 10 Juli 2009, 03:52 PM

URUMQI (Arrahmah.com) - Otoritas musyrik Cina memerintahkan beberapa masjid di daratannya, tepatnya di wilayah Urumqi, untuk tidak menggelar sholat jumat pada hari ini (10/7), mereka menutup masjid-masjid tersebut sehari penuh.

Salah seorang pejabat negara cina mengatakan bahwa tujuan menutup masjid tersebut adalah untuk menciptakan "keamanan", ia menambahkan "penduduk Muslim dapat berdiam diri di rumah mereka pada hari ini dan melaksanakan sholat di sana," ujarnya seperti yang dilansir AP.

Pejabat di Kashgar, kota lain di provinsi Xinjiang telah melarang turis asing mendatangi wilayah tersebut. Mereka telah memerintahkan turis asing dan para jurnalis untuk meninggalkan kota tersebut.

Unjuk rasa yang terjadi baru-baru ini dan berujung pada bentrokan yang menewaskan sedikitnya 156 orang dan melukai lebih dari 1.100 lainnya, menjadikan otoritas Cina semakin "ketat" memperlakukan Muslim di sana.



Terdapat lebih dari delapan juta kaum muslimin Uighur, yang kebanyakan dari mereka harus menerima pendzaliman secara politik, ekonomi, bahkan untuk menjalankan aturan agama mereka sendiri oleh suku Han Cina selama puluhan tahun.

Selama periode yang panjang ini, muslim Uighur berusaha untuk mempertahankan diri dengan melalui kampanye melawan kekuasaan musyrik Cina. (haninmazaya/prtv/arrahmah.com)

Muslim Uighur di Xinjiang, China, Dilarang Tarawih

Muslim Uighur di Xinjiang, China, Dilarang Tarawih
Written by Redaksi2
Monday, 08 September 2008 18:37
BEIJING -- Pada saat seluruh ummat Islam di dunia menyelenggarakan shalat tarawih usai berbuka puasa, Muslim Uighur di Xinjiang, China, malah bersedih. Ummat Islam di wilayah ini dilarang untuk menyelenggarakan shalat tarawih oleh pemerintah setempat.

Pemerintah setempat juga melarang laki-laki muslim Uighur memelihara janggut dan juga tidak membolehkan para muslimatnya memakai jilbab bercadar.

"Kami harus melakukan ini. Sebab penyelenggaraan ibadah dengan jamaah yang banyak sangat rawan menyulut ketidak
stabilan sosial," kata seorang pejabat setempat dalam lamannya yang dikutip AFP, Jumat (5/9)

Perintah larangan untuk menyelenggarakan ritual keagamaan selama ramadhan ini dikeluarkan pemerintah lokal terhadap
Muslim Uighur karena alasan "untuk mencegah tejadinya kekerasan" di dalam masyarakat.

Sementara bagi laki-laki muslim Uighur yang memelihara jenggot dan wanita yang menutupi wajahnya dengan jilbab," kami akan berusaha dengan cara apapun agar si laki-laki itu harus mencukur jenggotnya dan si wanita harus membuka cadarnya," kata seorang pejabat tanpa merinci bagaimana hal tersebut akan dilakukan.

Untuk mengawasi jalannya larangan tersebut, pemerintah kota setempat telah meningkatkan patroli di sekitar masjid di
wilayah tersebut. " Propaganda agama dalam bentuk apapun dilarang, " katanya. Pemerintah lokal juga mengawasai dengan ketat peredaran video tape recorder, loud speaker, dan tabuhan bedug.

Phelim Kyne, anggota Human Rights Watch yang berbasis di Hongkong menilai larangan yang dikeluarkan oleh pemerintah
lokal Xinjuan, hanya akan menjauhkan Muslim Uighur dengan budaya setempat dan ritual agama mereka.

Sementara itu, Dilxat Raxit, juru bicara the World Uighur Congress, mengingatkan bahwa larangan itu hanya akan lebih
meningkatkan ketegangan di antara Muslim di Xinjiang.

Muslim Uighur , yang berada di barat laut Xinjiang sejak lama berada di bawah pengawasan ketat pemerinah China. "Kami seperti orang Indian di Amerika. Kami menderita di tanah leluhur kami," ujar seorang Muslim Uighur. Xinjiang sendiri
merupakan aset yang tak ternilai bagi Beijing karena mengandungan cadangan minyak dan gas yang sangat besar.

(republika)

Muslim Xinjiang dan Sejarah Ratusan Tahun


Muslim Xinjiang dan Sejarah Ratusan Tahun

Islam is not the Enemy - Islamphobia

Tuesday, 17 May 2005 06:05

Tahun 650 menandai kelahiran agama Islam di daratan Cina. Saat itu, seperti tertulis dalam sebuah catatan kuno dari Dinasti Tang, diketahui adanya kunjungan agung dari Saad ibn Abi Waqqas RA --salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW -- ke negara tersebut. Saad membawa pesan dari Rasulullah untuk memperkenalkan Islam kepada rakyat negeri itu. Dia pun lantas memaparkan inti ajaran Islam di kerajaan yang disaksikan langsung oleh kaisar Cina.

Dari sejak itu, Islam berkembang di Cina. Hubungan antara Cina dan negara-negara Islam di Timur Tengah maju pesat terutama di bidang perdagangan. Banyak pedagang Muslim datang ke Cina.
Umat Muslim secara perlahan tapi pasti mulai mendominasi bidang ekspor dan impor selama masa Dinasti Sung (960 - 1279). Masa pemerintahan Dinasti Ming (1368 - 1644), merupakan masa kejayaan Islam di Cina.
'c2~
Namun Islam mulai mengalami masa suram pada saat Dinasti Ching memerintah tahun 1644 - 1911. Sentimen anti-Islam merebak. Dari sejak itu, Muslim terus mengalami penderitaan dan dianggap sebagai warga negara kelas dua.
'c2~
Ketika keruntuhan Dinasti Manchu tahun 1911, Sun Yat Sen tampil sebagai pemimpin baru Republik Rakyat Cina. Dia memproklamirkan persamaan hak dan kewajiban di antara etnis Han, Hui (Muslim), Man (Manchu), Meng (Mongol), and the Tsang (Tibet). Kebijakan yang pada akhirnya menghadirkan hubungan lebih baik di antara kelompok etnis tersebut.
'c2~
Potret Muslim Uighur/XinJiang di KasgarNamun penderitaan umat Muslim terulang kembali setelah terjadi revolusi pimpinan Mao Zedong dan masa pemerintahan komunis di Cina. Mereka harus berjuang melawan pengaruh komunis. Tahun 1953, meletus perlawanan Muslim yang menginginkan pembentukan negara Islam sendiri. Hal ini dilawan secara represif oleh militer Cina. Disusul kemudian dengan kegiatan propaganda anti-Muslim di seluruh wilayah negeri.
'c2~
Jumlah Muslim di Cina kini diperkirakan sekitar 20 juta jiwa. Mereka terdiri dari beragam etnik. Yang terbesar adalah etnis Hui Cina dengan hampir separo jumlah populasi Muslim Cina. Mereka tinggal di provinsi Ningsha di utara. Etnis lain adalah Uighur (keturunan Turki) yang mendiami wilayah provinsi Kansu dan Xinjiang. Etnis Uygur ini terdiri dari komunitas Uighur, Uzbek, Kazakh, Kirgiz, Tatar, dan Dongshiang.
'c2~
Etnis Uighur mendominasi populasi di Xinjiang atau sebanyak 60 persen. Akan tetapi, angka ini kian lama kian tidak berarti seiring kedatangan orang-orang non-Muslim Cina ke provinsi itu. Situasi tersebut menimbulkan masalah asimilasi dan meningkatkan keprihatinan terhadap gerakan de-Islamisasi di provinsi itu.
'c2~
Arus migrasi ini menuai masalah di wilayah provinsi Muslim tersebut lantaran jumlahnya telah mencapai angka rata-rata 200 ribu orang/tahun. Di banyak tempat di mana sebelumnya Islam mendominasi, sekarang justru menjadi minoritas.
'c2~
Sepanjang pemerintahan rezim Mao Zedong dan Revolusi Budayanya, umat Muslim kerap hidup di bawah tekanan. Dan saat teror dari kaum komunis berlangsung, sekaligus pula muncul upaya untuk menghilangkan jejak-jejak peradaban Islam dan identitas etnis Muslim di Cina.
'c2~
Bahasa Uighur, contohnya, yang selama berabad-abad menggunakan tulisan Arab, dipaksa untuk mengadopsi tulisan alfabet latin. Etnis Uygur dan kaum Muslim lainnya menjadi obyek utama pekerja paksa di sejumlah provinsi yang jumlahnya sekitar 30 ribu jiwa.
'c2~
Pemerintah juga telah menutup paksa sebanyak 29 ribu masjid di sana. Di bawah tekanan pula, di bidang pendidikan sejumlah sekolah Islam ditutup dan murid-muridnya dipindahkan ke sekolah yang hanya mengajarkan ajaran Mao dan Marxis. Belum lagi sekitar 360 ribu Muslim yang ditangkap.