Saturday, March 28, 2009

Fatwakanlah Syariah Islam

Golput haram? Itulah salah satu isu yang mengemuka baru-baru ini. Awalnya adalah Hidayat Nur Wahid (HNW) yang menggagas agar MUI mengeluarkan fatwa 'haram' bagi siapa saja yang atidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2009. HNW, yang mantan Presiden PKS dan kini Ketua MPR-RI, tentu punya alasan. Dalam sebuah acara dialog di sebuah televisi swasta tadi malam (TVOne, 15/12/08), HNW mengulang kembali alasan mengapa dirinya mendorong MUI untuk mengeluarkan fatwa haram bagi golput. Ia menyatakan, berdasarkan UU yang ada, memilih memang hak. Namun, dalam konteks mewujudkan kemaslahatan, menurutnya Pemilu harus terwujud, dan itu tidak mungkin terjadi jika masyarakat ramai-ramai golput. Demikian kira-kira alasan 'rasional' HNW.
Namun, langkah ini kemudian memicu pro-kontra. Sebagian partai peserta Pemilu mendukungnya. Bahkan ada ormas Islam dan sejumlah kyai yang sudah mengeluarkan fatwa tentang haramnya golput. Sebagian yang lain menganggap tindakan demikian 'tidak cerdas'. Bahkan mereka menilai fatwa 'golput haram' menyesatkan serta melanggar hak warga negara dan hak asasi pemilih. "Harusnya politisi menunjukkan mereka ini layak untuk dipilih dan dipercaya. Jadi, jangan lewat fatwa, tetapi lewat karya yang konkret." Demikian komentar pengamat politik Arya Bima (13/12/2008).

Kerisauan Penikmat Demokrasi
Terlepas dari pro-kontra yang segera muncul pasca gagasan HNW ini, boleh jadi, hal itu didorong oleh kerisauan HNW terhadap maraknya golput dalam sejumlah Pilkada di berbagai daerah. Dalam Pilkada yang tiga hari sekali diselenggarakan di seluruh Indonesia, rata-rata jumlah golput di berbagai provinsi mencapai 38-40 persen. Sejumlah Pilkada pada tahun 2008 bahkan "dimenangi" oleh golput. Golput di Pilkada Jawa Barat, misalnya, mencapai 33%; Jawa Tengah 44%; Sumatera Utara 43%; Jatim (putaran I) 39,2% dan (putaran II) 46%. Angka Golput pada sejumlah Pilkada kabupaten/kota pun banyak yang mencapai 30%-40%, bahkan lebih. Gejala ini diperkirakan terus berlangsung hingga Pemilu 2009 nanti. Bahkan dalam Pilpres 2009, golput diperkirakan meningkat menjadi sekitar 40 persen, lebih tinggi daripada saat Pilpres 2004 yang 'hanya' mencapai 20 persen.

Tentu maraknya golput ini sangat merisaukan sebagian pihak yang berkepentingan dengan Pesta Demokrasi 2009. Pasalnya, Pemilu dianggap kurang sukses jika berjalan lancar tetapi minim partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Sebab, jika golput menjadi 'pemenang', penguasa atau wakil rakyat yang terpilih tentu dianggap kurang legitimated.

Wajarlah jika kemudian sebagian politikus menggunakan berbagai cara demi mewujudkan ambisi politiknya pada Pemilu 2009. Kampanye dan iklan politik pun kemudian dilakukan dengan jor-joran. Tujuannya jelas untuk mendulang suara pemilih sebanyak-banyaknya. Namun, sekali lagi, itu tidak akan terjadi jika masyarakat banyak yang golput. Karena itulah, ada yang kemudian 'tergoda' untuk menggunakan 'bahasa agama', yakni 'fatwa' untuk kepentingan politiknya dan partainya dalam Pemilu 2009. Seolah-olah, 'perang terhadap golput' harus dilancarkan, di antaranya melalui fatwa MUI. Fatwa diharapkan menjadi 'jurus ampuh' yang bisa mencairkan kebekuan dan kejumudan sikap masyarakat terhadap demokrasi. Jadinya, 'fatwa' sekadar dijadikan alat untuk kepentingan politik pragmatis individu maupun parpol peserta Pemilu, bukan untuk kemaslahatan umat, apalagi untuk alasan-alasan yang bersifat syar'i; seperti untuk tegaknya syariah Islam di Indonesia.

Alasan di Balik Golput
Maraknya golput tentu bukan sekadar gejala kebetulan. Sebab, saat ini masyarakat tampaknya mulai 'melek politik'. Masyarakat mulai sadar, bahwa demokrasi tidak menjanjikan apa-apa; tidak kemakmuran, kesejahteraan apalagi keadilan. Demokrasi hanya menjanjikan kemiskinan dan penderitaan. Demokrasi yang katanya menempatkan kedaulatan rakyat di atas segala-galanya justru sering 'mempecundangi' rakyat. Suara-bahkan jeritan hati-rakyat sering dikalahkan oleh suara para wakilnya di DPR. Misal: saat semua rakyat sepakat menolak kenaikan harga BBM, para wakilnya di DPR justru menyetujuinya. Yang menyakitkan, kebijakan menaikkan harga BBM ini, di samping diberlakukan pada saat kehidupan masyarakat yang serba sulit, juga disinyalir demi memenuhi desakan para pengusaha minyak asing di dalam negeri. Saat rakyat menolak privatisasi dan penjualan BUMN kepada pihak asing, para wakil rakyat di DPR justru semangat mendukungnya. Para wakil rakyatlah yang juga 'berjasa' dalam mengesahkan sejumlah UU yang justru berpotensi merugikan rakyat seperti UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, UU Listrik (meski kemudian dibatalkan oleh MK), dll.

Di sisi lain, penguasa yang dipilih langsung oleh rakyat juga sering lebih berpihak kepada para pemilik modal ketimbang kepada rakyat. Contoh kecil, lihatlah rakyat korban Lumpur Lapindo, yang sudah lebih dari dua tahun diabaikan begitu saja dan dibiarkan menderita. Anehnya, saat sejumlah perusahaan, termasuk Kelompok Bakrie-induk perusahaan PT Lapindo Brantas-kelimpungan diterjang krisis, Pemerintah sigap membantu meski harus mengeluarkan dana triliunan.

Singkatnya, rakyat mulai menyadari bahwa keberadaan penguasa dan wakilnya di parlemen seolah antara ada dan tidaknya sama. Karena itu, dalam pandangan mereka, memilih atau tidak memilih adalah sama saja; tidak berpengaruh terhadap nasib mereka yang semakin tragis. Itulah alasan sebenarnya di balik maraknya golput selama ini, yang diperkirakan semakin meningkat pada Pemilu 2009 nanti.

Sebuah 'Warning'
Di samping beberapa alasan di atas, maraknya golput setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama: Maraknya golput merupakan 'warning' (peringatan) bagi parpol peserta Pemilu. Beberapa survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei nasional menunjukkan bahwa parpol saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Masyarakat sudah mulai memahami bahwa keberadaan parpol lebih dijadikan sebagai 'kuda tunggangan' yang super komersial, siap 'direntalkan' kepada siapa saja yang ingin berkuasa-tentu yang memiliki modal (baca: uang) melimpah-dan bukan unuk memperjuangkan kepentingan rakyat.

Kedua: alasan orang untuk golput memang beragam. Ada yang karena alasan ideologis, misalnya karena para calon/parpol peserta Pemilu tidak ada yang secara jelas dan serius memperjuangkan syariah Islam. Ada juga yang hanya karena alasan teknis, misalnya tidak terdaftar atau saat pencoblosan sedang pergi bekerja sehingga tidak memberikan suaranya. Namun, alasan teknis sekalipun sudah cukup menunjukkan bahwa masyarakat menganggap Pilkada/Pemilu bukanlah hal yang penting bagi mereka. Andaikata hal itu dinilai penting, apalagi bisa memberikan harapan untuk perbaikan, tentu masyarakat akan berduyun-duyun menuju TPS.

Lebih dari itu, Pemilu/Pilkada dalam sistem demokrasi saat ini pada faktanya telah melahirkan dampak negatif: masyarakat terkotak-kotak dan hubungan sosial menjadi renggang. Yang lebih parah, Pemilu/Pilkada bahkan sering melahirkan konflik sosial, yang tidak jarang mengarah pada bentrokan fisik dan tindakan anarkis. Sejumlah konflik berbau kekerasan di berbagai daerah Indonesia tidak jarang dipicu oleh perebutan kekuasaan pada proses Pilkada. Inilah buah nyata demokrasi!

Fatwakanlah Syariah Islam!
Jika sistem demokrasi sudah terbukti kebobrokannya dan banyak madaratnya, maka ini saja sebetulnya sudah cukup menjadi alasan, bahwa umat ini tidak layak terus-menerus berharap pada sistem demokrasi. Apalagi demokrasi sangat mudah dijadikan sebagai 'pintu masuk' oleh para pemilik modal dan para penjajah asing untuk menguasai sumber-sumber kekayaan milik rakyat. Bukankah leluasanya pihak asing menguasai BUMN dan sumber-sumber kekayaan alam milik rakyat adalah karena hal itu memang dilegalkan atas nama privatisasi oleh UU-yang notebene dibuat dan disahkan oleh Pemerintah dan DPR-melalui proses demokrasi?

Karena itu, para tokoh, ulama, politikus dan parpol seharusnya cerdas menangkap keinginan masyarakat saat ini, yang notabene mayoritas Muslim, yakni keinginan mereka untuk hidup diatur dengan syariah Islam; bukan justru memperalat agama untuk memuaskan syahwat kekuasaan mereka, dengan alasan demi kemaslahatan umat. Padahal sudah nyata-nyata umat tidak mendapatkan kemaslahatan dari hajatan demokrasi yang hendak difatwakan.

Sementara itu, umat Islam sendiri tampak semakin teguh pilihannya untuk kembali pada syariah agama mereka. Sejumlah survei memperlihatkan bahwa dukungan masyarakat pada penerapan syariah Islam dari hari ke hari makin menguat. Survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah tahun 2001 menunjukkan, 57,8% responden berpendapat bahwa pemerintahan yang berdasarkan syariah Islam adalah yang terbaik bagi Indonesia. Survey tahun 2002 menunjukkan sebanyak 67% (naik sekitar 10%) berpendapat yang sama (Majalah Tempo, edisi 23-29 Desember 2002). Survey tahun 2003 menunjukkan sebanyak 75% setuju dengan pendapat tersebut.

Sebanyak 80% mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara (Hasil survey aktivis gerakan nasionalis pada 2006 di Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya, Kompas, 4/3/'08).

Survey Roy Morgan Research yang dirilis Juni 2008 memperlihatkan, sebanyak 52% orang Indonesia mengatakan, syariah Islam harus diterapkan di wilayah mereka. (The Jakarta Post, 24/6/'08). Survey terbaru yang dilakukan oleh SEM Institute juga menunjukkan sekitar 72% masyarakat Indonesia setuju dengan penerapan syariah Islam.

Kenyataan inilah yang seharusnya ditangkap oleh para tokoh, ulama, politikus, ormas, dan terutama parpol peserta Pemilu.

Lebih dari sekadar keinginan mayoritas umat Islam di atas, penegakkan syariah Islam adalah kewajiban dari Allah, Pencipta alam raya ini, yang dibebankan kepada setiap Muslim.

Dengan syariah buatan Allahlah, Zat Yang Mahatahu, seharusnya negara dan bangsa ini diatur; bukan dengan aturan-aturan produk manusia yang serba lemah dan sarat kepentingan, sebagaimana selama ini terjadi. Dengan syariah Islamlah seharusnya kekayaan negeri-negeri Muslim yang luar biasa melimpah, termasuk di negeri ini, dikelola melalui tangan-tangan para pemimpin yang bertakwa dan amanah. Hanya dengan cara inilah umat Islam di negeri ini akan mampu mengakhiri kesengsaraannya.

Inilah penjelasan yang (sejelas-jelasnya) bagi manusia supaya mereka mendapatkan peringatan dengannya. (QS Ibrahim [14]: 52). []


http://ji-indonesia.com/pipermail/an-nuur_ji-indonesia.com/2008-December/000955.html

Thursday, March 12, 2009

Memperjuangkan Islam Lewat Parlemen

Ada sebagian partai yang menamakan diri partai Islam yang memperjuangkan tegaknya Islam melalui cara bergabung dengan sistem pemerintahan (yang ada). Mereka bergabung dengan sistem pemerintahan yang tegak di atas dasar bukan Islam dan menerapkan sistem hukum bukan Islam. Bagaimanakah pandangan syariat Islam tentang bergabungnya partai-partai tersebut dalam sistem pemerintahan yang tidak menerapkan syariat Islam, malahan menegakkan sistem hukum kufur?
Allah Swt telah menjadikan Dînul Islam ini sebagai agama yang paripurna. Nikmat-Nya pun telah Dia sempurnakan. Semua ini merupakan ketetapan Zat Maha Mulia yang tidak akan pernah berubah. Allah Swt berfirman:

]وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً لاَ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ[
Telah sempurnalah kalimat Rabb-mu (al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimat-kaliamat-Nya. Dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (TQS. al-An’aam [6]: 115) 9)

Demikian pula firman-Nya:
]الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا[
Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian din kalian, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku, serta Aku ridlai hanya Islam menjadi dien bagi kalian. (TQS. al-Maidah [5]: 3 )

Sungguh, kesempurnaan din dan kecukupan nikmat ini merupakan karunia tak terhingga dari Allah Swt bagi hamba-hamba-Nya. Tidak hanya itu, karunia lainnya adalah Dia-lah Zat Maha Gagah menjaga dan memelihara al-Quran dari tangan-tangan yang mencoba untuk merubah atau menggantinya.

]إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ[
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran (adz-Dzikr), dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (TQS. al-Hijr [15]: 9)
Penyempurnaan dan pemeliharaan Allah Swt ini menunjukkan bahwa al-Quran tersebut merupakan hujjah bagi manusia hingga hari kiamat. Oleh sebab itu, setiap muslim berkewajiban mengikuti semua yang dibawa Rasulullah saw dengan cara berpegang teguh kepada al-Quran dan terikat dengan as-Sunnah sekuat-kuatnya, termasuk di dalam metode dakwah untuk menegakkan Islam. Rasulullah saw telah diberi oleh Allah Swt suatu jalan (sabil/thariqah) dalam upayanya menegakkan Islam.

]قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ[
Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik. (TQS. Yusuf [12]: 108)

Di dalam sirah Rasulullah saw, yang diriwayatkan secara mutawatir bahwa beliau saw tidak pernah bergabung dengan pemerintahan/kekuasaan yang menerapkan hukum-hukum kufur. Ini saja cukup menjelaskan bahwa tauladan yang diberikan oleh utusan pilihan Allah Swt tersebut berupa tidak bergabung dengan (sistem) pemerintahan mana pun yang tidak menerapkan Islam, apalagi menerapkan hukum-hukum kufur. Padahal, Allah Swt menegaskan:
]لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ[
Sungguh, di dalam diri Rasulullah itu terdapat tauladan baik bagi kalian. (TQS. al-Ahzab [33] : 21)

Ada sedikit orang yang terpengaruh cara berpikir Barat mengatakan, dengan alasan kemaslahatan boleh bergabung dengan pemerintahan yang menerapkan hukum selain Islam. Padahal, kemaslahatan bukanlah sumber hukum Islam. Lagi pula yang lebih mengetahui kemaslahatan bagi manusia adalah Pencipta Manusia, bukan manusia itu sendiri. Jadi, dalam kacamata Islam kemaslahatan sejati justru terletak dalam pelaksanaan hukum syara. Kaidah ushul menyebutkan: ‘Dimana ada hukum syara, di situlah ada kemaslahatan’.

Begitu juga dalih bahwa pemerintahan jahiliyah pada zaman Nabi berbeda dengan pemerintahan masa sekarang, tidak dapat dijadikan sebagai alasan kebolehan bergabung dengan sistem pemerintahan yang menerapkan hukum kufur. Sebab, bila dilihat dengan jeli dan teliti inti keduanya itu sama; yaitu sama-sama tegak di atas dasar bukan Islam dan menerapkan hukum-hukum kufur. Realitasnya, pemerintahan dimana pun saat ini dasarnya berpijak pada ‘kedaulatan berada di tangan rakyat’ (Demokrasi). Artinya, rakyatlah yang menentukan hukum macam apa yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat, bukan Allah Swt. Anggota-anggota lembaga perwakilan rakyatlah (MPR/DPR) –termasuk anggota yang mengaku beragama Islam- yang membuat dasar negara, UUD, dan berbagai macam produk hukum atas dasar kehendak mereka sendiri. Sebab, lembaga itulah yang dianggap sebagai lembaga legislatif yang membuat undang-undang dan peraturan. Jadi, hukum-hukum yang diterapkan tersebut bukan berpijak atas dasar ruhiy (atas dasar iman kepada Allah Swt).

Selain itu, kebijakan politik suatu pemerintahan ditetapkan oleh negara secara kolektif. Suara seorang menteri muslim -yang katakan saja akan memperjuangkan Islam- tidak lebih dari satu suara yang hanyut oleh mayoritas suara lainnya. Bahkan, dalam prakteknya, pada saat seseorang dipilih menjadi menteri, kebijakan (haluan) politik pemerintah tentang kementriannya tersebut sudah tersedia dan dibuat oleh kepala negara maupun oleh lembaga legislatif. Menteri terpilih itu hanya memiliki dua pilihan: menjadi menteri atas dasar haluan politik yang sudah tersedia, atau menolaknya. Dia tidak berhak membuat haluan politik kementriannya itu. Sementara itu setiap menteri bertanggung jawab atas seluruh keputusan dan tindakan yang dilakukan pemerintah. Sebab, di dalam undang-undang dinyatakan bahwa pertanggungjawaban kabinet bersifat kolektif. Dengan demikian, dalam sistem pemerintahan yang ada saat ini, baik MPR/DPR, kepala negara, menteri, atau lembaga tinggi lainnya, sama-sama terlibat dalam proses pembuatan, penerapan, dan pelanggengan perundang-undangan dan hukum buatan akal dan hawa nafsu manusia. Inilah realitas sistem pemerintahan dewasa ini.

Mensikapi persoalan itu, Allah Swt dalam banyak ayat al-Quran menegaskan keharaman seorang muslim bergabung dalam sistem pemerintahan demikian. Diantaranya adalah:
1. Allah Swt mewajibkan hukum Allah-lah yang menjadi dasar pembentukan berbagai perundang-undangan dan peraturan, melarang kaum mukmin berhukum kepada syariat selain syariat Allah Swt.

]فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا[
Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (TQS. an-Nisa [4]: 65)

]وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا
أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا[
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (TQS. al-Ahzab [33]: 36)

2. Allah Zat Maha Penghisab mewajibkan penguasa muslim untuk menerapkan sistem hukum Islam. Jika tidak, Allah Swt mengkategorikannya sebagai kafir, fasik, atau zalim.
]وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ[
Barangsiapa yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir. (TQS. al-Maidah [5]: 44)

]وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ[
Barangsiapa yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang zhalim. (TQS. al-Maidah [5]: 45)


]وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ[
Barangsiapa yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang fasik. (TQS. al-Maidah [5]: 47)

]وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ
أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ[
Dan hendaklah engkau memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah supaya mereka tidak memalingkan engkau dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (TQS. al-Maidah [5]: 49)

3. Penentuan hukum merupakan hak Allah Swt semata.
]إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ[
Hukum itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar engkau tidak menyembah selain Dia. (TQS. Yusuf [12]: 40)

4. Salah satu karakter orang munafik adalah mengaku beriman tetapi berhukum pada hukum thâghut (hukum selain hukum Islam). Padahal Allah Swt mengharamkan berhukum kepada thâghut.
]أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا
أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا[
Apakah engkau tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya beriman kepada apa yang diturunkan kepada engkau dan kepada apa yang diturunkan sebelum engkau? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka tela diperintahkan mengingkari thaghut itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. (TQS. an-Nisa [4] : 60)

5. Tidak boleh meninggalkan hukum Allah beralih kepada hukum selain-Nya.

]أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ[
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS. al-Maidah [5]: 50)

6. Allah Swt mengharamkan seorang muslim menjadi teman dekat (bithânah) penguasa yang memerintah bukan dengan sistem hukum Islam.

]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ[
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian ambil menjadi teman dekatmu orang-orang yang di luar kalanganmu (tidak beriman kepada apa yang diturunkan Allah). (TQS. Ali Imran [3]: 118)

7. Allah Swt mengharamkan kaum Muslim bermuwâlât kepada selain orang-orang Islam.

]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ % فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ فَعَسَى اللهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ[
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali kalian; sebagian mereka wali bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kalian mengambil mereka sebagai wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zhalim. Maka kalian akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: ‘Kami takut akan mendapat bencana’. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. (TQS. al-Maidah [5]: 51 – 52)

Ayat-ayat itu dengan tegas melarang orang Yahudi, Nasrani, dan orang yang bermuwâlât kepada mereka, sebagai wâli. Memang benar, para penguasa yang ada di negeri-negeri muslim sekarang bukan Yahudi, Nasrani ataupun kaum musyrik. Namun, sikap mereka menunjukkan secara gamblang adanya muwâlât mereka kepada kaum kafir tersebut. Oleh sebab itu, siapa saja yang bermuwâlât kepada orang yang berwâli kepada Yahudi dan Nasrani, maka berarti ia telah bermuwâlât kepada Yahudi dan Nasrani.
Berdasarkan pemaparan di atas, nash-nash al-Quran secara qath’i tsubut (pasti sumber pengambilan dalilnya) dan qath’i dilalah (pasti penunjukkan dalilnya) menetapkan haram hukumnya bergabung dengan sistem pemerintahan yang menerapkan sistem hukum selain Islam.

(speed has posted a new blog entry to *Dakwah & Jihad Untuk Islam)