The Crusades: A Muslim Perspective
The Crusades: A Muslim Perspective
http://www.youtube.com/watch?v=8V27zTikDzw&feature=BF&list=ULYHypdt022RQ&index=7
http://www.youtube.com/watch?v=8RxmrAY0C_c&feature=related
Islam tidak terbatas pada submission (la illaha ilallah), tapi Islam mengajarkan submission yang benar (muhammadar rasulullah). Islam is not stop in submission only (la illaha ilallah), but Islam is guide book of life to teach how the right submission to Allah SWT by following prophet Muhammad as ideal to all human.
The Crusades: A Muslim Perspective
http://www.youtube.com/watch?v=8V27zTikDzw&feature=BF&list=ULYHypdt022RQ&index=7
http://www.youtube.com/watch?v=8RxmrAY0C_c&feature=related
Diposkan oleh Silmy's Blog di 8:08 PM 0 komentar Label: History
Sesungguhnya, sistem pemerintahan dalam Islam adalah sistem Khilafah, bukan yang lain. Inilah sistem pemerintahan yang telah dijelaskan oleh Rasululah SAW, yang telah menjadi ijma’ para sahabatnya ridhwanallah ‘alaihim, yang telah dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin dan para Khalifah sesudahnya. Khilafah tidak lain adalah Imamah. Khilafah dan Imamah ini maknanya sama.
Khilafah akan menjaga agama, kehormatan, jiwa dan harta benda; menjaga perbatasan; menghilangkan hambatan dan penghalang yang berusaha menghalangi sampainya risalah Islam, sehingga kalimat Allah dijunjung tinggi di muka bumi ini. Khilafah adalah metode praktis yang ditetapkan syariah untuk menegakkan hukum-hukum Islam dan menerapkannya di dalam negeri, serta mengemban dakwah ke seluruh dunia. Namun, semuanya itu tidak akan terwujud kecuali dengan menjadikan hak membuat hukum diserahkan kepada Allah semata, dan kedaulatan hanya di tangan syariah (Lihat: al-Maidah [5]: 49).
Kaum Muslim sejak masa Sahabat ridhwanull?h ‘alayhim telah menyadari betul akan besarnya peran dan fungsi Khilafah. Karena itu, setelah Nabi saw. wafat dan sebelum jenazah beliau dikebumikan, mereka segera memilih seorang khalifah pengganti beliau. Mereka lebih mendahulukan aktivitas memilih khalifah ketimbang mengebumikan jenazah Rasulullah saw.
Kita semua tahu, Rasulullah saw. diutus dengan membawa agama Islam yang agung ini tidak untuk disambut hanya dengan lisan, melainkan juga untuk diterapkan kepada manusia di muka bumi ini. Untuk itu, diperlukan sebuah negara yang akan menegakkan semua ketentuannya, menerapkan semua hukumnya, berjihad dengan sungguh-sunguh demi mewujudkan semuanya, menegakkan keadilan, dan menyebarkan kebaikan ke seluruh penjuru dunia.
Semua ini jelas sekali dalam sirah Rasulullah saw. Beliau tak henti-hentinya meminta dukungan dan pertolongan kepada berbagai kabilah serta orang-orang yang memiliki pengaruh dan kekuatan hingga akhirnya Allah SWT menolongnya dengan dukungan dan pertolongan dari penduduk Madinah al-Munawwarah. Kemudian beliau hijrah dan mendirikan negara. Setelah itu, beliau melakukan pembebasan (fut?h?t) dan menyebarkan Islam dengan dakwah dan jihad.
Selanjutnya, apa yang beliau ajarkan dan contohkan terus dilaksanakan oleh para Khulafaur Rasyidun sesudahnya. Mereka berjihad di jalan Allah dengan sungguh-sungguh sampai ajal menjemputnya. Negara Khilafah itu pun terus berlanjut pada masa Bani Umayah, Bani Abbasiyah dan Utsmaniyah hingga akhirnya kaum kafir penjajah yang dipimpin Inggris ketika itu dengan bantuan para pengkhianat bangsa Arab dan Turki berhasil melenyapkan Khilafah. Lalu antek Inggris, sang penjahat, Mustafa Kemal mengumumkan berakhirnya Khilafah, mengisolasi Khalifah dan mengusirnya. Itu semua terjadi 88 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 28 Rajab 1342 H/3 Maret 1924 M.
Sejarah membuktikan, Khilafah adalah pemelihara dan penjaga. Adakah orang yang tidak tahu akan kondisi bangsa Arab sebelum dan setelah datangnya Islam? Bahkan keadaan komunitas kaum Muslim sebelum dan setelah berdirinya Daulah Islam di Madinah al-Munawwarah? Ataukah memang dia tidak mengetahui perubahan yang begitu menakjubkan itu; tentang penaklukkan dunia di segala penjuru, tegaknya keadilan, dan penyebaran hidayah dan cahaya ke seluruh penjuru dunia? Begitu pula dengan sambutan masyarakat yang berbondong-bondong terhadap agama Islam ini; atau kemuliaan dan keagunggan yang telah diraih oleh umat Islam dalam berbagai bidang, mulai dari perundang-undangan, pemikiran, ilmu pengetahuan, perekonomian, militer, seni dan administrasi!
Khalifah benar-benar menjadi pemelihara bagi kaum Muslim. Khalifah belum merasa tenang hatinya, dan belum merasa sejahtera selama di tengah-tengah kaum Muslim masih ada kezaliman dan kemiskinan. Khalifah adalah penjaga bagi wilayah Islam dan kaum Muslim dari setiap serangan musuh. Khalifah mengemban Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad dengan tetap menjaga kemuliaan, keadilan dan kebaikan.
Kaum Muslim di bawah naungan Khilafah benar-benar bisa merasakan kehidupan yang mulia dan terhormat. Mereka diselimuti perasaan aman dan nyaman serta diwarnai kewajaran dan keadilan. Semuanya merasa hidup makmur dan sejahtera. Bahkan pernah ada suatu masa saat tidak ada lagi yang mau mengambil zakat, karena semua merasa telah kaya!
Al-Faruq, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., berkata, “Sekiranya ada seekor domba yang terperosok di tepi sungai Dajlah, niscaya saya yakin bahwa Allah pasti akan menghisabku akan hal itu pada Hari Kiamat. Jadi, mengapa kamu belum juga meratakan jalan itu untuknya?”
Beliau berkata pula, “Demi Allah, aku tidak akan merasakan kenyang, sebelum seorang Muslim yang terakhir di Madinah merasa kenyang!”
Khalifah Umar bin Abdul Aziz, menulis surat kepada amilnya (kepala daerah) di Samarkand, Sulaiman bin Abi as-Samri: “Hendaklah kamu membangun beberapa penginapan di wilayahmu. Jika ada di antara kaum Muslim yang melewati wilayahmu maka biarkan mereka tinggal sehari semalam dan uruslah kendaraannya. Jika ia masih punya alasan untuk tinggal maka biarkan ia tinggal sehari dua malam. Jika ada seseorang yang kehabisan bekal maka berilah ia harta yang cukup untuk sampai ke daerah tempat tinggalnya.”
Bukankah ini sebuah bentuk pengurusan yang sesungguhnya? Apakah mungkin itu terjadi tanpa Khalifah yang memiliki kekuasaan untuk menerapkan Islam?
Khilafah senantiasa menjaga wilayah Islam dan kaum Muslim. Apakah kaum Muslim lupa dengan kisah Khalifah al-Mu’tashim Billah, ketika seorang Muslimah yang dizalimi oleh seorang Romawi meminta pertolongannya, “Wahai Mu’tashim, di manakah Engkau!”
Berita itu sampai kepadanya pada malam hari. Beliau tidak menunggu hingga pagi. Beliau segera berangkat memimpin sendiri pasukannya. Sesampainya di Amuria, beliau meminta agar orang Romawi pelaku kezaliman itu diserahkan untuk di-qishash. Saat penguasa Romawi menolaknya, beliau pun menyerang kota, menghancurkan benteng pertahanannya, dan menerobos pintu-pintunya dan tampil sebagai pemenangnya.
Apakah kaum Muslim lupa dengan sikap Harun ar-Rasyid terhadap Nakfur Raja Romawi yang telah merusak perjanjian yang diadakan dengan kaum Muslim dan sikap permusuhannya terhadap kaum Muslim. Ar-Rasyid mengirim surat kepada Nakfur, yang isinya: “Dari Harun, Amirul Mukminin kepada Nakfur, anjing Romawi. Jawaban atas sikap permusuhanmu adalah apa yang akan kamu lihat, bukan apa yang akan kamu dengar.”
Nakfur pun benar-benar bisa melihat tentara kaum Muslim, ketika mereka masih di perbatasan Romawi, sebelum surat ar-Rasyid sampai kepadanya.
Khilafah juga mengemban Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad demi kemuliaan, keadilan dan kebaikan. Lihatlah berbagai pembebasan yang telah menyebarluaskan Islam dan membersihkan semua bentuk kezaliman yang terjadi di berbagai penjuru dunia sejak masa Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin sesudah beliau dan para Khalifah sesudahnya. Semuanya itu merupakan mencusuar kebaikan di dunia. Hanya dalam satu abad saja Islam telah tersebar luas dan kekuasaan Islam meliputi negeri-negeri Arab, Syam, Irak, Mesir, Afrika Utara, Andalusia, Bukhara dan Samarkand, Sind, India, dan wilayah barat laut India (Pakistan bagian Barat). Islam terus menyebar hingga sampai di Asia Tenggara dan menyinari Indonesia. Selanjutnya, berbagai penaklukkan meluas hingga ke Asia Kecil, menaklukkan Konstantinopel dan Balkan; serta banyak lagi wilayah di muka bumi ini. Kumandang azan pun membelah di seluruh penjuru bumi dan bumi pun disinari cahaya Khilafah.
Khilafah benar-benar menyandang kebesaran dan keagungan. Di antara contohnya, salah seorang Raja Prancis berada dalam kekuasaan musuhnya sebagai tawanan. Rakyat Prancis lalu meminta bantuan kepada Sultan. Sultan mengabulkan permintaan itu dan membebaskan Raja Prancis itu.
Amerika pernah mengadakan perjanjian pada tanggal 21 Shafar 1210 H/5 September 1785 M dengan Daulah Khilafah untuk mendapatkan jaminan keamanan di Laut Mediterania. Untuk itu, Amerika harus membayar 642 dolar emas dan setiap tahunnya membayar 12.000 lira emas Utsmani. Bahkan perjanjian ini dianggap sebagai satu-satunya perjanjian sepanjang sejarah Amerika, yang dilakukan bukan dengan bahasanya. Ini merupakan bukti kebesaran dan kewibawaan yang dinikmati kaum Muslim selama mereka berada di bawah naungan Khilafah.
Khilafah juga menjadi mercusuar ilmu pengetahuan dan gudang para ulama dan ilmuwan. Ketika itu kaum Muslim menjadi umat yang pertama dan pendahulu dalam bidang fisika, kimia, matematika, dan astronomi. Negeri-negeri kaum Muslim menjadi pusat ilmu pengetahuan sehingga banyak pelajar berdatangan dari negar-negara Barat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan di lembaga-lembaga pendidikan di Baghdad dan Andalusia.
George II, Raja Inggris, Swedia dan Norwegia, pernah menulis surat kepada Amirul Mukminin, Khalifah Hisyam III, di Andalusia Spanyol agar menerima utusan anak-anak bangsawan Inggris yang dipimpin oleh putri saudaranya guna menuntut ilmu di lembaga-lembaga pendidikan yang ada di negeri-negeri Islam. Surat itu diabadikan di dalam buku, Bangsa Arab: Faktor Hegemonik pada Abad Pertengahan, karya John Danport.
Semua keagungan itu tetap ada dan terpelihara eksistensinya hingga lenyapnya Khilafah pada hari yang menyakitkan, yaitu 28 Rajab 1342 H/3 Maret 1924 M, sebagaimana yang kita peringati. Sejak saat itulah, umat Islam yang dulunya hebat dan kuat, kini menjadi santapan lezat yang menjadi rebutan berbagai umat, persis yang digambarkan di dalam sabda Rasul saw.
Begitu jelas perbedaan kondisi kita ketika pada masa Khilafah dan ketika lenyapnya Khilafah. Tidakkah semua itu bisa mendorong kita untuk bersungguh-sungguh dan tetap bersungguh-sungguh dalam perjuangan untuk mengembalikan Khilafah, yang tidak lain adalah kewajiban di atas kewajiban yang manapun. Kemudian dengan kembalinya Khilafah akan membangkitkan kembali kebesaran demi kebesaran Islam dan kaum Muslim?
Sesungguhnya dakwah kepada Khilafah, mengembalikan kehidupan berdasarkan Islam, berhukum dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan menghilangkan dominasi serta pengaruh kaum kafir penjajah di negeri-negeri kaum Muslim, telah marak dan tersebar luas di seluruh penjuru dunia. Hizbut Tahrir berjalan tanpa memiliki senjata apapun selain senjata keimanan dan keteguhan dalam mengikuti jalan dan metode Rasulullah saw. Hizbut Tahrir terus maju dan berkembang hingga menjadikan terhibur orang-orang yang ingin menegakkan kekuasaan Islam dan meninggikan kalimah Allah. Sebaliknya, semua itu menjadikan hilangnya kekuatan setan dari kalangan jin dan manusia, sehingga menjadi hal yang sangat menyakitkan bagi kehidupan mereka.
Kaum kafir?mulai dari Amerika, Inggris, Perancis, Rusia, bahkan negara-negara Eropa lain, juga Cina?sangat takut dan gelisah dengan kembalinya lagi negara Khilafah. Mereka merasakan adanya tekad yang kuat dari kaum Muslim demi tegaknya Khilafah. Sesungguhnya janji kembalinya Khilafah sudah sangat dekat sehingga ini sangat mengganggu pikiran musuh-musuh Islam hingga menjelang berdirinya Khilafah.
Surat kabar Turki, Miliyat (13/12/2005) mengutip dari koran The New York Times bahwa, “Para pejabat tinggi pemerintahan Amerika sudah biasa mengucapkan kata khilafah akhir-akhir ini seperti mengunyah permen karet. Pemerintahan Bush sudah biasa menggunakan sebutan khilafah, maksudnya adalah imperium Islam yang pada abad ke-7 kekuasaannya terbentang dari Timur Tengah hingga Asia Selatan, dan dari Afrika Utara hingga Spanyol”.
Pada tanggal 14/01/2006 seorang komentator Amerika, Karl Vick, menulis di koran Washington Post sebuah laporan panjang yang di antara isinya adalah, “Usaha menghidupkan kembali Khilafah Islam yang diserang oleh Presiden Amerika George W. Bush sedang bergaung di tengah-tengah mayoritas kaum Muslim.”
Selain itu, ada berbagai pernyataan dari Perdana Menteri Rusia yang sekarang dan mantan Presiden Rusia, Vladimir Putin, yang mengingatkan akan bahaya Khilafah Islam. Begitu juga peringatan yang disampaikan oleh Presiden Prancis Nicolas Sarkozy pada pembukaan pidatonya tanggal 27/8/2008 tentang bahaya Khilafah; bahwa Khilafah yang direncanakan itu kekuasaannya terbentang mulai dari Indonesia hingga Nigeria. Hal yang sama disampaikan juga oleh Zalmay Khalilzad yang menduduki beberapa jabatan di Departemen Luar Negeri Amerika kepada majalah Austria De Prest pada tanggal 27/8/2008.
Masih banyak lagi komentar para politisi dan kritikus yang tersebar luas di sejumlah negara-negara Kafir. Begitu juga berbagai penelitian, kajian, dan rekomendasi yang dikeluarkan oleh sejumlah pemikir Barat melalui pusat-pusat kajian dan penelitian yang mengingatkan akan bahaya Khilafah dan pengusungnya, Hizbut Tahrir; seperti Nixon Center serta berbagai lembaga dan institut seperti Ronald, Heritage, Carnegie, Hudson, dan lainnya.
Karena itu, kita semua, khususnya para ulama, hendaklah bersegera dalam melakukan perjuangan yang serius dan sungguh-sungguh untuk menegakkan Khilafah. Perkara besar ini adalah jalan menuju kemuliaan umat dan kebesarannya di dunia, juga jalan menuju Surga Firdaus yang tertinggi dan jalan meraih ridha Allah terbesar di akhirat. Itulah kemenangan yang besar. Untuk itu, bergembiralah, wahai orang-orang yang beriman!
Kabar gembira itu juga datang melalui nash-nash al-Quran dan as-Sunnah. Allah SWT menjanjikan hal itu dalam firman-Nya:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal salih di antara kalian bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka; dan benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku (QS an-Nur [24]: 55).
Rasulullah saw. juga bersabda:
?تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ?
Fase kenabian ada di tengah-tengah kalian. Dengan kehendak Allah ia akan tetap ada, lalu Dia akan mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada fase Khilafah berdasarkan metode kenabian. Dengan kehendak Allah ia akan tetap ada, lalu Dia akan mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudia akan ada fase penguasa yang zalim. Dengan kehendak Allah ia akan tetap ada, lalu Dia akan mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada fase penguasa diktator. Dengan kehendak Allah ia akan tetap ada, lalu Dia akan mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Selanjutnya akan datang kembali Khilafah berdasarkan metode kenabian.” Kemudian beliau diam. (HR Ahmad)
Diposkan oleh Silmy's Blog di 7:00 PM 0 komentar Label: History, Politik
Panta Rei Ouden Menei. Semuanya mengalir dan berputar. Demikian kata Herakleitos. Hal ini merupakan sunnatullah kehidupan. Demikian pula Sriwijaya. Kerajaan besar Budha yang berpusat di selatan Sumatera ini pada akhir abad ke-14 M mulai memasuki masa suram. Invasi Majapahit (1377) atas Sriwijaya mempercepat kematiannya. Satu persatu daerah-daerah kekuasaan Sriwijaya mulai lepas dan menjadi daerah otonom atau bergabung dengan yang lain. Raja, adipati, atau penguasa setempat yang telah memeluk Islam lalu mendirikan kerajaan Islam kecil-kecil. Beberapa kerajaan Islam di Utara Sumatera bergabung menjadi Kerajaan Aceh Darussalam.
Di Eropa, akibat Perang Salib yang berlarut dan persinggungannya dengan para pedagang Islam, Eropa mulai bernafsu mencari emas, rempah-rempah, kain, dan segala macam barang ke dunia lain yang selama ini belum pernah dijangkaunya. Kaum Frank?rb mendengar adanya suatu dunia baru di selatan yang sangat kaya.
Pada 1494 Paus Alexander VI memberikan mandat resmi gereja kepada Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol. Mandat ini dikenal sebagai Perjanjian Tordesillas [1] yang seenaknya membagi dua dunia selatan untuk dirampok sekaligus target penyebaran salib, satu untuk Portugis dan yang lainnya untuk Spanyol.
Menyaksikan Portugis dan Spanyol sukses merampok, bangsa-bangsa Eropa lainnya tertarik untuk ikutan merampok. Perancis, Inggris, dan Jerman kemudian juga mencoba untuk mengirimkan armadanya masing-masing untuk menemukan dunia baru yang kaya-raya. Misi imperialisme Fropa ini sampai sekarang kita kenal dengan sebutan “Tiga G”: Gold, Glory, dan Gospel. Emas yang melambangkan Eropa tengah mencari daerah kaya untuk dirampok, Glory dan Gospel dinisbatkan untuk penyebaran dan kejayaan agama Kristen.
Jalan penuh darah ini diikuti dengan penyebaran salib. Sejarahwan Belanda J. Wils mencatat jika pendirian pos-pos misionaris awal di Nusantara selalu mengikuti gerak maju armada Portugis-Spanyol, “…pos-pos misi yang pertama-tama di Indonesia secara praktis jatuh bersamaan dengan garis-garis perantauan pencarian rempah-rempah dan ‘barang-barang kolonial’. Dimulai dari Malaka, yang ditaklukkan pada tahun 1511, perjalanan menuju ke Maluku (Ambon, Ternate, Halmahera), dan dari situ selanjutnya ke Timor (1520), Solor dan Flores, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (1544, 1563), dan berakhir di paling Timur Pulau Jawa (1584-1599).” [2]
Kesultanan Aceh Darussalam
Peran Sriwijaya digantikan oleh Kesultanan Aceh Darussalam yang berasal dari penggabungan kerajaan-kerajaan Islam kecil seperti Kerajaan Islam Pereulak, Samudera Pase / Pasai, Benua, Lingga, Samainra, Jaya, dan Darussalam. Ketika Portugis merebut Goa di India, lalu Malaka pun akhirnya jatuh ke tangan Portugis, maka kerajaan-kerajaan Islam yang telah berdiri di pesisir utara Sumatera seperti kerajaan Aceh, Daya, Pidie, Pereulak (Perlak), Pase (Pasai), Teumieng, dan Aru dengan sendirinya merasa terancam armada Salib Portugis.
A. Hasjmi mengutip M. Said (Aceh Sepanjang Abad, ha1.92-93) menulis, “Untuk mencapai nafsu jahatnya, dari Malaka yang telah dirampoknya, Portugis mengatur rencana perampokan tahap demi tahap. Langkah yang diambilnya, yaitu mengirim kaki tangan?-kaki tangan mereka ke daerah-daerah pesisir utara Sumatera untuk menimbulkan kckacauan dan perpecahan dalam negeri yang akan dirampoknya itu, kalau mungkin menimbulkan perang saudara, seperti yang terjadi di Pase, sehingga ada pihak-pihak yang meminta bantuan kepada mereka, hal mana menjadi alasan bagi mereka untuk melakukan intervensi.”[3]
Strategi licik Portugis ini dikemudian hari dicontoh Snouck Hurgronje. Akibatnya, Portugis menjelang akhir abad ke 15 dan awal abad ke 16 telah menguasai kerajaan Aru (Pulau Kampai), Pase, Pidie, dan Daya. Di wilayah yang didudukinya, Portugis mendirikan kantor-kantor dagang dengan penjagaan ketat sejumlah pasukan.
Perkembangan yang kurang menguntungkan ini terus dipantau oleh Panglima Perang Kerajaan Islam Aceh, Ali Mughayat Syah. Panglima Prang yang juga putera mahkota Kerajaan Aceh ini yakin jika Portugis pasti akan menyerang kerajaannya. Mughayat Syah memaparkan hal ini kepada Sultan Alaiddin Syamsu Syah yang sudah uzur. Sultan sadar, untuk menghadapi Portugis, maka Kerajaan Aceh harus dipimpin oleh seorang yang muda, cekatan, dan cakap. Akhirnya Sultan Alaiddin Syamsu Syah segera melantik anaknya sebagai penggantinya. Ali Mughayat Syah pun menjadi raja baru dengan gelar Sultan Alaiddin Mughayat Syah.
Sultan yang baru ini memandang, untuk mengusir Portugis dari seluruh daratan pantai utara Sumatera, dari Daya hingga ke Pulau Kampai, seluruh kerajaan-kerajaan Islam yang kecil-kecil itu harus bersatu dalam kerajaan yang besar dan kuat. Maka begitu jadi sultan, Alaiddin Mughayat segera mengumumkan berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam yang wilayah kekuasaannya meliputi Aru hingga ke Pancu di pantai utara, dan dari Daya hingga ke Barus di pantai Barat dengan beribukota kerajaan di Banda Aceh Darussalam. Padahal saat itu kerajaan-kerajaan Aru, Daya, Pase, Pidie, dan sebagainya masih diperintah oleh raja-raja lokal. Lewat peperangan yang gigih akhirnya laskar Islam ini berhasil menghalau Portugis bersama para sekutu lokalnya.
Berhasil mengusir Portugis, Sultan menciptakan bendera kerajaan Islam Aceh Darussalam yang dinamakan “Alam Zulfigar” (Bendera Pedang) berwarna dasar merah darah dengan bulan sabit dan bintang di tengah serta sebilah pedang yang melintang di bawah berwarna putih. Merah putih. Sultan yang hebat ini menemui Sang Khaliq pada 12 Dzulhijah 936 H (Sabtu, 6 Agustus 1530).
Bersatu Dengan Kekhalifahan Turki Utsmani
Diikat kesatuan akidah yang kuat, Aceh Darusalam mengikatkan diri dengan kekhalifahan Islam Turki Ustmaniyah. Sebuah arsip Utsmani berisi petisi Sultan Alaiddin Riayat Syah kepada Sultan Sulayman Al-Qanuni, yang dibawa Huseyn Effendi, membuktikan jika Aceh mengakui penguasa Utsmani di Turki sebagai kekhalifahan Islam. Dokumen tersebut juga berisi laporan soal armada Salib Portugis yang sering mengganggu dan merompak kapal pedagang Muslim yang tengah berlayar di jalur pelayaran Turki-Aceh dan sebaliknya. Portugis juga sering menghadang jamaah haji dari Aceh dan sekitarnya yang hendak menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Sebab itu, Aceh mendesak Turki Utsmaniyah mengirim armada perangnya untuk mengamankan jalur pelayaran tersebut dari gangguan armada kafir Farangi (Portugis). [4]
Sultan Sulayman Al-Qanuni wafat pada 1566 M digantikan Sultan Selim II yang segera memerintahkan armada perangnya untuk melakukan ekspedisi militer ke Aceh. Sekitar bulan September 1567 M, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh membawa sejumlah ahli senapan api, tentara, dan perlengkapan artileri. Pasukan ini oleh Sultan diperintahkan berada di Aceh selama masih dibutuhkan oleh Sultan Aceh. [5] Walau berangkat dalam jumlah amat besar, yang tiba di Aceh hanya sebagiannya saja, karena di tengah perjalanan, sebagian armada Turki dialihkan ke Yaman guna memadamkan pemberontakan yang berakhir pada 1571 M [6]
Di Aceh, kehadiran armada Turki disambut meriah. Sultan Aceh menganugerahkan Laksamana Kurtoglu Hizir Reis sebagai gubernur (wali) Nanggroe Aceh Darussalam, utusan resmi Sultan Selim II yang ditempatkan di wilayah tersebut.[7] Pasukan Turki tiba di Aceh secara bergelombang (1564-1577) berjumlah sekitar 500 orang, namun scluruhnya ahli dalam seni bela diri dan mempergunakan senjata, seperti senjata api, penembak jitu, dan mekanik. Dengan bantuan tentara Turki, Kesultanan Aceh menyerang Portugis di pusatnya, Malaka. [8]
Agar aman dari gangguan perompak, Turki Ustmani juga mengizinkan kapal-kapal Aceh mengibarkan bendera Turki Utsmani di kapalnya. Laksamana Turki untuk wilayah Laut Merah, Selman Reis, dengan cermat terus memantau tiap pergerakan armada perang Portugis di Samudera Hindia. Hasil pantauannya itu dilaporkan Selman ke pusat pemerintahan kekhalifahan di Istanbul, Turki. Salah satu bunyi laporan yang dikutip Saleh Obazan sebagai berikut:
“(Portugis) juga menguasai pelabuhan (Pasai) di pulau besar yang disebut Syamatirah (Sumatera)… Dikatakan, mereka mempunyai 200 orang kafir di sana (Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka juga menguasai pelabuan Malaka yang berhadapan dengan Sumatera…. Karena itu, ketika kapal-kapal kita sudah siap dan, Insya Allah, bergerak melawan mereka, maka kehancuran total mereka tidak akan terelakkan lagi, karena satu benteng tidak bisa menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk perlawanan yang bersatu.”
Namun Portugis tetap sombong. Raja Portugis Emanuel I dengan angkuh berkata, “Sesungguhnya tujuan dari pencarian jalan laut ke India adalah untuk menyebarkan agama Kristen, dan merampas kekayaan orang-orang Timur”.
Futuhat Pedalaman Sumatera
Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Qahhar dilantik pada 1537 M dan bertekad untuk membebaskan pedalaman Sumatera dari kaum kafir. Dengan bantuan pasukan Turki, Arab, Malabar, dan Abesinia, Aceh masuk ke pedalaman Sumatera. Sekitar 160 mujahidin Turki dan 200 Mujahidin Malabar menjadi tulang punggung pasukan. Mendez Pinto, pengamat perang antara pasukan Aceh dengan Batak, melaporkan komandan pasukan seorang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasya Utsmani dari Kairo. Sejarahwan Universitas Kebangsaan Malaysia, Lukman Thaib, memperkuat Pinto dan menyatakan ini merupakan bentuk nyata ukhuwah lslamiyah antar umat Islam yang memungkinkan bagi Turki melakukan serangan langsung terhadap tentara Salib di wilayah sekitar Aceh. [10]
Turki Utsmani bahkan diizinkan membangun satu akademi militer, ‘Askeri Beytul Mukaddes” yang di lidah orang Aceh menjadi “Askar Baitul Makdis’ di wilayah Aceh. Akademi pendidikan militer inilah yang kelak dikemudian hati melahirkan banyak pahlawan Aceh yang memiliki keterampilan dan keuletan tempur yang dalam sejarah perjuangan Indonesia dicatat dalam dalam goresan tinta emas.[11]
Intelektual Aceh Nurudin Ar-Raniri dalam kitab monumentalnya berjudul Bustanul Salathin meriwayatkan, Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Qahhar mengirim utusan ke Istanbul untuk menghadap “Sultan Rum”. Utusan ini bernama Huseyn Effendi yang fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan ibadah haji.” Pada Juni 1562 M, utusan Aceh tersebut tiba di Istanbul untuk meminta bantuan militer Utsmani guna menghalau Portugis. Di perjalanan, Huseyn Effendi sempat dihadang armada Portugis. Setelah berhasil lolos, ia pun sampai di Istanbul yang segera mengirimkan bala‑bantuan yang diperlukan, guna mendukung Kesultanan Aceh membangkitkan izzahnya sehingga mampu membebaskan Aru dan Johor pada 1564 M.
Dalam peperangan di laut, armada perang Kesultanan Aceh terdiri dari kapal perang kecil yang mampu bergerak dengan gesit dan juga kapal berukuran besar. Sejarahwan Court menulis, kapal-kapal ini sangat besar, berukuran 500 sampai 2000 ton. Kapal?-kapal besar dari Turki yang dilengkapi meriam dan persenjataan lainnya dipergunakan Aceh untuk menyerang penjajah dari Eropa yang ingin merampok wilayah-wilayah Muslim di seluruh Nusantara. Aceh benar-benar tampil sebagai kekuatan maritim yang besar dan sangat ditakuti Portugis di Nusantara karena mendapat bantuan penuh dari armada perang Turki Utsmani dengan segenap peralatan perangnya.[13]
Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), di mana Kerajaan Aceh Darussalam mencapai masa kegemilangan, juga pernah mengirimkan satu armada kecil, terdiri dari tiga kapal, menuju Istanbul. Rombongan ini tiba di Istanbul setelah berlayar selama 12,5 tahun lewat Tanjung Harapan. Ketika misi ini kembali ke Aceh, mereka diberi bantuan sejumlah senjata, dua belas penasehat militer Turki, dan sepucuk surat yang merupakan sikap resmi Kekhalifahan Utsmaniyah yang menegaskan bahwa antara kedua negara tersebut merupakan satu keluarga dalam Islam. Kedua belas pakar militer itu diterima dengan penuh hormat dan diberi penghargaan sebagai pahlawan Kerajaan Islam Aceh. Mereka tidak saja ahli dalam persenjataan, siasat, dan strategi militer, tetapi juga pandai dalam bidang konstruksi bangunan sehingga mereka bisa membantu Sultan Iskandar Muda dalam membangun benteng tangguh di Banda Aceh dan istana kesultanan.
Dampak keberhasilan Khilafah Utsmaniyah menghadang armada Salib Portugis di Samudera Hindia tersebut amatlah besar. Di antaranya mampu mempertahankan tempat-tempat suci dan rute ibadah haji dari Asia Tenggara ke Mekkah; memelihara kesinambungan pertukaran perniagaan antara India dengan pedagang Eropa di pasar Aleppo, Kairo, dan Istambul; dan juga mengamankan jalur perdagangan laut utama Asia Selatan, dari Afrika dan Jazirah Arab-India ? Selat Malaka ? Jawa ? dan ke Cina. Kesinambungan jalur-jalur perniagaan antara India dan Nusantara dan Timur Jauh melalui Teluk Arab dan Laut Merah juga aman dari gangguan[14]
Bukan Hanya Aceh
Selain Aceh, sejumlah kesultanan di Nusantara juga telah bersekutu dengan kekhalifahan Turki Utsmaniyah, seperti Kesultanan Buton, Sulawesi Selatan. Salah satu Sultan Buton, Lakilaponto, dilantik menjadi `sultan’ dengan gelar Qaim ad-Din yang memiliki arti “penegak agama”, yang dilantik langsung oleh Syekh Abdul Wahid dari Mekkah. Sejak itu, Sultan Lakiponto dikenal sebagai Sultan Marhum. Penggunaan gelar `sultan’ ini terjadi setelah diperoleh persetujuan dari Sultan Turki (ada juga yang menyebutkan dari penguasa Mekkah).
Jika kita bisa menelusuri lebih dalam literatur klasik dari sumber-sumber Islam, maka janganlah kaget bila kita akan menemukan bahwa banyak sekali kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara ini sesungguhnya merupakan bagian dari kekhalifahan Islam di bawah Turki Utsmaniyah. Jadi bukan sekadar hubungan diplomatik seperti yang ada di zaman sekarang, namun hubungan diplomatik yang lebih didasari oleh kesamaan iman dan ukhuwah Islamiyah. Jika satu negara Islam diserang, maka negara Islam lainnya akan membantu tanpa pamrih, semata-mata karena kecintaan mereka pada saudara seimannya. Bukan tidak mungkin, konsep “Ukhuwah Islamiyah” inilah yang kemudian diadopsi oleh negara-negara Barat-Kristen (Christendom) di abad-20 ini dalam bentuk kerjasama militer (NATO, North Atlantic Treaty Organization), dan bentuk-bentuk kerjasama lainnya seperti Uni-Eropa, Commonwealth, G-7, dan sebagainya.
Qanun Meukuta alam
Salah satu keunggulan lain dari Kesultanan Aceh Darussalam adalah konstitusi negara yang disebut Qanun Meukuta Alam yang bersumberkan dari Qur’an dan hadits, yang sangat lengkap dan rinci. Kesultanan Brunei Darussalam merupakan salah satu kesultanan yang mengadopsi hukum ini dari Aceh.
Salah satu yang diatur adalah perayaan hari besar agama Islam. Di akhir bulan Sya’ban, misalnya, ketika shalat tarawih akan diadakan untuk pertama kalinva, maka di halaman Masjid Raya Baiturahman, raja memerintahkan agar dipasang meriam 21 kali pada pukul lima lebih sedikit. Tiap 1 Syawal, pukul lima pagi setelah sholat Subuh, juga dipasang meriam 21 kali sebagai tanda Hari Raya Idul Fitri. Hari Raya Haji pun demikian. Setiap hari besar Islam, kerajaan mengadakan acara yang semarak yang sering dikunjungi oleh tamu-tamu agung dari negeri lain.
(Footnotes)
1. Ahmed Mansyur Suryanegara, Ulama dan Perkembangan Islam di Nusantara, Suara Hidayatullah, Juli, 2001.
2. J. Wils, artikel berjudul “Kegiatan Penyiaran Agama Katolik”, salah satu tulisan dalam buku “Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan”; Obor Indonesia; Jakarta; cet 1; 1987,hal 356.
3. A. Hasjmi, 59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu, Bulan Bintang, cet 1, 1977, hal 13-14.
4.? Farooqi, “Protecting the Routhers to Mecca”, hal. 215-216.
5. Metin Innegollu, ‘The Early Turkish-Indonesian Relation,” dalam Hasan M. Ambary dan Bachtiar Aly (ed.), Aceh dalam Retrospeksi dan Refleksi Budaya Nusantara, (Jakarta: Informasi Taman Iskandar Muda, tt), hal. 54.
6. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII”, Edisi Revisi, Jkt 2004, h. 44
7. Metin Innegollu, ibid, hal. 54
8. Marwati Djuned Pusponegoro (eds.), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hal 54.
9. Dr. Yusuf als-Tsaqall, Mawqif Uruba min ad-Daulat al-Utsmaniyyah, hal. 37
10. Lukman Thaib, ‘Aceh Case: Possible Solution to Festering Conflict, ” Journal of Muslim Minorrity Affairs, Vol. 20, No. 1, tahun 2000 hal 106
11. Metin Inegollu, ibid, haL 53-55.
12. Ibid, hal. 53.
13. Marwati Djuned Puspo dan Nugroho Notosusanto, ibid, hal. 257
14. Ali Muhammad Ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (Terj.), Pustaka Al Kautsar, tahun 2003, hal. 258-259.
Diposkan oleh Silmy's Blog di 6:57 PM 0 komentar Label: History
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.
Ada bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini.
*Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi
oHadits Mutawatir
oHadits Ahad
+Hadits Shahih
+Hadits Hasan
+Hadits Dha'if
*Menurut Macam Periwayatannya
oHadits yang bersambung sanadnya (hadits Marfu' atau Maushul)
oHadits yang terputus sanadnya
+Hadits Mu'allaq
+Hadits Mursal
+Hadits Mudallas
+Hadits Munqathi
+Hadits Mu'dhol
*Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi
oHadits Maudhu'
oHadits Matruk
oHadits Mungkar
oHadits Mu'allal
oHadits Mudhthorib
oHadits Maqlub
oHadits Munqalib
oHadits Mudraj
oHadits Syadz
*Beberapa pengertian dalam ilmu hadits
*Beberapa kitab hadits yang masyhur / populer
I. Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya Perawi
I.A. Hadits Mutawatir
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir:
1.Isi hadits itu harus hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera.
2.Orang yang menceritakannya harus sejumlah orang yang menurut ada kebiasaan, tidak mungkin berdusta. Sifatnya Qath'iy.
3.Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi yang sama.
I.B. Hadits Ahad
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah "zhonniy". Sebelumnya para ulama membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha'if. Namun Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu:
I.B.1. Hadits Shahih
Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu'allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
1.Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur'an.
2.Harus bersambung sanadnya
3.Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.
4.Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)
5.Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)
6.Tidak cacat walaupun tersembunyi.
I.B.2. Hadits Hasan
Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz.
I.B.3. Hadits Dha'if
Ialah hadits yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat.
II. Menurut Macam Periwayatannya
II.A. Hadits yang bersambung sanadnya
Hadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad SAW. Hadits ini disebut hadits Marfu' atau Maushul.
II.B. Hadits yang terputus sanadnya
II.B.1. Hadits Mu'allaq
Hadits ini disebut juga hadits yang tergantung, yaitu hadits yang permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits dha'if.
II.B.2. Hadits Mursal
Disebut juga hadits yang dikirim yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'in dari Nabi Muhammad SAW tanpa menyebutkan sahabat tempat menerima hadits itu.
II.B.3. Hadits Mudallas
Disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
II.B.4. Hadits Munqathi
Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi selain sahabat dan tabi'in.
II.B.5. Hadits Mu'dhol
Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'it dan tabi'in dari Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat tanpa menyebutkan tabi'in yang menjadi sanadnya. Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di atas adalah termasuk hadits-hadits dha'if.
III. Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi
III.A. Hadits Maudhu'
Yang berarti yang dilarang, yaitu hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta atau dituduh dusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits.
III.B. Hadits Matruk
Yang berarti hadits yang ditinggalkan, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu dituduh berdusta.
III.C. Hadits Mungkar
Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya / jujur.
III.D. Hadits Mu'allal
Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma'lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu'tal (hadits sakit atau cacat).
III.E. Hadits Mudhthorib
Artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan.
III.F. Hadits Maqlub
Artinya hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).
III.G. Hadits Munqalib
Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.
III.H. Hadits Mudraj
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya.
III.I. Hadits Syadz
Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya) yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut sebagian ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz.
IV. Beberapa pengertian (istilah) dalam ilmu hadits
IV.A. Muttafaq 'Alaih
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, atau dikenal juga dengan Hadits Bukhari - Muslim.
IV.B. As Sab'ah
As Sab'ah berarti tujuh perawi, yaitu:
1.Imam Ahmad
2.Imam Bukhari
3.Imam Muslim
4.Imam Abu Daud
5.Imam Tirmidzi
6.Imam Nasa'i
7.Imam Ibnu Majah
IV.C. As Sittah
Yaitu enam perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal.
IV.D. Al Khamsah
Yaitu lima perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Bukhari dan Imam Muslim.
IV.E. Al Arba'ah
Yaitu empat perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
IV.F. Ats tsalatsah
Yaitu tiga perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.
IV.G. Perawi
Yaitu orang yang meriwayatkan hadits.
IV.H. Sanad
Sanad berarti sandaran yaitu jalan matan dari Nabi Muhammad SAW sampai kepada orang yang mengeluarkan (mukhrij) hadits itu atau mudawwin (orang yang menghimpun atau membukukan) hadits. Sanad biasa disebut juga dengan Isnad berarti penyandaran. Pada dasarnya orang atau ulama yang menjadi sanad hadits itu adalah perawi juga.
IV.I. Matan
Matan ialah isi hadits baik berupa sabda Nabi Muhammad SAW, maupun berupa perbuatan Nabi Muhammad SAW yang diceritakan oleh sahabat atau berupa taqrirnya.
V. Beberapa kitab hadits yang masyhur / populer
1.Shahih Bukhari
2.Shahih Muslim
3.Riyadhus Shalihin
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/hadits
Diposkan oleh Silmy's Blog di 3:41 AM 0 komentar Label: Study
Banyak musuh-musuh Islam yang menyerang Islam dengan melontarkan fitnahan kepada Nabi Muhammad saw yang mereka tuduh sebagai pedofilia, karena menikahi ‘Aisyah ra saat belum baligh, yaitu pada usia 6 tahun. Kemudian dikait-kaitkan dengan peristiwa Syekh Pujiono yang menikahi Ulfa diusia 13 tahun.
Yang memang sangat mengherankan, justru banyak orang Islam yang ikut larut dalam polemik ini, padahal inilah yang dikehendaki oleh musuh-musuh Islam, yakni menjatuhkan reputasi Nabi saw dan orang-orang yang dianggap ahli agama di mata para pemeluk Islam sendiri, untuk selanjutnya menyerang jantung agama ini, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Maka pada kesempatan kali ini, kami sengaja mengangkat tema ini dalam rangka meluruskan pemahaman seputar ini agar tidak ada celah lagi bagi orang-orang kafir dalam mencela agama yang mulia ini. Supaya lebih jelas duduk permasalahannya, terlebih dahulu kita mesti mengetahui arti dari pedofilia.
Kata Pedofilia berasal dari bahasa Yunani : paidophilia, pais berarti : “anak-anak” dan philia berarti “cinta, persahabatan”, sehingga pedofilia adalah kondisi orang yang mempunyai ketertarikan atau hasrat seksual terhadap anak-anak yang belum memasuki masa remaja. Departemen Kesehatan RI memberikan definisi singkat tentang Pedofilia, yaitu : dorongan seksual yang kuat dan berulang-ulang terdapat anak-anak. Dan berbagai definisi lainnya yang intinya sama.
Sekarang mari kita perhatikan kisah pernikahan Rosululloh saw de-ngan ‘Aisyah ra lalu kita ukur dengan definisi tersebut di atas : Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan dengan sanad yang hasan bahwasannya Khoulah binti Hakim menanyakan kepada Rosululloh saw sepeninggal Khodijah ra :
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلا تَزَوَّجُ قَالَ مَنْ قَالَتْ إِنْ شِئْتَ بِكْرًا وَإِنْ شِئْتَ ثَيِّبًا قَالَ فَمَنْ الْبِكْرُ قَالَتْ ابْنَةُ أَحَبِّ خَلْقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْكَ عَائِشَةُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ قَالَ وَمَنْ الثَّيِّبُ قَالَتْ سَوْدَةُ ابْنَةُ زَمْعَةَ قَدْ آمَنَتْ بِكَ وَاتَّبَعَتْكَ عَلَى مَا تَقُولُ
“Wahai Rosululloh, tidakkah engkau menikah ?” Rosul menjawab : “Dengan siapa ?” Kholah menjawab : “Terserah engkau, mau gadis atau janda ?” Rosul bertanya : “Siapa yang gadis ?” Khoulah menjawab : “Puteri hamba Alloh yang paling kamu cintai, yaitu ‘Aisyah puteri Abu Bakar.” Rosul bertanya lagi : “Siapa yang janda ?” Kholah menjawab : “Saudah binti Zam’ah, sesungguhnya dia telah beriman kepadamu dan mengikuti semua apa yang engkau sabdakan.”
Dari kisah ini jelas sekali bahwa Rosululloh saw hanya sekedar ditawari, bukan keinginan pribadi beliau. Itu pun baru beliau penuhi setelah mendapatkan wahyu berupa mimpi berkenaan dengan itu.
Peristiwa pernikahan Rosululloh saw dengan ‘Aisyah pun baru terjadi setelah terlebih dahulu beliau menikah dengan Saudah binti Zam’ah. Ini menunjukkan bahwa beliau bukan pedofil sebagaimana tuduhan musuh-musuh Islam. Memang pernikahan Rosululloh saw dengan ‘Aisyah ra terjadi pada saat ‘Aisyah berusia 6 tahun. Tetapi perlu diketahui bahwa Rosululloh saw belum melakukan apa pun, bahkan belum tinggal seatap dengan ‘Aisyah sampai ‘Aisyah beranjak dewasa.
Kedewasaan dalam pengertian agama adalah ketika seorang wanita telah datang haidh. Tingkat kedewasaan tiap-tiap wanita berbeda-beda. Ada yang 9 tahun sudah kedatangan haidh, tetapi ada yang 16 tahun baru mengalami haidh. Dan ‘Aisyah ra mengalami haidh ketika berusia 9 tahun. Maka pada usia 9 tahun ‘Aisyah diserahkan oleh pihak keluarga kepada Rosululloh saw .
Ini menunjukkan bahwa Rosululloh saw bukan pedofil seperti yang disangkakan oleh musuh-musuh Islam. Seandainya Rosululloh saw seorang pedofil, tidak mungkin Ro-sululloh saw mau menunggu selama 3 tahun, padahal ‘Aisyah sudah resmi menjadi isterinya. Secara hukum formal sebenarnya tidak berdosa seorang suami melakukan hubungan seksual dengan isterinya sendiri. Tetapi mengingat ‘Aisyah belum baligh, maka beliau menunda untuk melakukannya hingga ‘Aisyah beranjak dewasa.
Ada beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh orang-orang yang tidak faham tentang Islam, yakni : “Kenapa Rosululloh saw mau menikahi ‘Aisyah saat usianya baru 6 tahun ?” Jawabnya adalah banyak pesan yang hendak Rosululloh saw sampaikan dalam peristiwa tersebut. Di antaranya :
1. Tanggung jawab sebuah rumah tangga ada di pundak suami, karena mereka adalah kepala rumah tangga. Sehingga seorang wanita diperbolehkan menikah meski belum baligh, tetapi laki-laki tidak diperbolehkan menikah kecuali setelah baligh, sebagaimana sabda Rosululloh saw :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ “Hai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mampu melakukan hubungan seksual, hendaklah dia menikah !” ( HR. Al-Bukhori, Muslim, Ibnu Majah, Ad-Darimi dan Ahmad )
2. Peringatan bagi orang tua atau wali yang menikahkan anak gadisnya, bahwa pernyataan “ijab” yang mereka katakan berarti penyerahan tanggung jawab atas anak perempuannya kepada laki-laki yang menjadi suami anak gadisnya. Kalau sampai salah dalam memilih menantu bisa berakibat derita berkepanjangan bagi anak gadisnya.
3. Peringatan bagi para orang tua atau wali bahwasannya mereka harus menjaga anak gadisnya walaupun terhitung belum baligh, karena meskipun belum baligh, sudah bisa dinikahi. Sehingga jangan sampai membiarkan anak-anak gadisnya bermain-main sendirian dengan seorang laki-laki yang sudah faham akan aurat wanita mes kipun terhitung usianya masih muda atau pun sudah tua.
4. Larangan melakukan hubungan seks dengan gadis yang belum baligh / dewasa meskipun sudah menjadi isterinya, walaupun hubungan seks yang ringan, seperti sekedar bercumbu. Karena Rosulul loh saw tidak pernah melakukannya sampai ‘Aisyah dinyatakan baligh / dewasa.
Di samping itu ada hikmah lain dari pernikahan Rosululloh saw dengan ‘Ai syah ra , yaitu upaya pengkaderan Rosululloh saw terhadap ‘Aisyah sehingga mampu menyampaikan ilmu dari beliau kepada kaum muslimin. Hal ini mengingat bahwa mempelajari ilmu di saat usia muda bagaikan mengukir di atas batu, sementara mempelajari ilmu di usia tua bagaikan melukis di atas air.
Oleh karena itu ‘Aisyah ra termasuk perowi hadits terbanyak setelah Abu Huroiroh ra , bahkan perowi wanita terbanyak di bandingkan isteri-isteri Nabi saw yang lain maupun para shahabat wanita yang lain. Terutama hadits-hadits yang terkait dengan keseharian Rosululloh saw di dalam rumah.
Dari semua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Allah swt tidak pernah menyuruh atau pun membolehkan Rosululloh saw melakukan tindakan pedofilia. Sekali pun terjadi pernikahan antara Rosululloh saw dengan ‘Aisyah ketika ‘Aisyah baru berusia 6 tahun, tetapi Rosululloh saw tidak pernah melakukan sedikit pun tindakan pedofilia. Bahkan pada peristiwa tersebut mengajarkan kepada kita tentang banyak perkara penting dan memuat berbagai hikmah yang seandainya orang mau berfikir sehat tentu akan mengakuinya dan tidak akan melontarkan tuduhan dusta kepada beliau. Karena ciri yang mana pun dari ciri-ciri pedofilia tidak akan di dapati pada diri Rosululloh saw .
[ ’Abdulloh A. Darwanto ]
Diposkan oleh Silmy's Blog di 12:14 AM 0 komentar Label: Study
Pernikahan Rasulullah dengan Aisyah binti Abu Bakar ash Shiddiq ra.
Ibnu Qoyyim al Jauziyah menyebutkan tentang perkawinan Nabi saw dengan Aisyah. Ia adalah seorang wanita yang disucikan dari langit ketujuh. Ia adalah kekasih Rasulullah saw yang disodorkan oleh para malaikat dengan tertutupi secarik kain sutera sebelum beliau saw menikahinya, dan malaikat itu mengatakan,”Ini adalah isterimu.” (HR. Bukhori dan Muslim). Beliau saw menikahinya pada bulan Syawal yang pada saat itu Aisyah berusia 6 tahun dan mulai digaulinya pada bulan syawal setahun setelah hijrah pada usianya 9 tahun. Rasulullah saw tidak menikahi seorang perawan pun selain dirinya, tidak ada wahyu yang turun kepada Rasulullah saw untuk menikahi seorang wanita pun kecuali Aisyah ra.” (Zaadul Ma’ad juz I hal 105 – 106)
Beberapa dalil lainnya tentang pernikahan Rasulullah saw dengan Aisyah telah dijelaskan dalam hadits-hadits shohih berikut :
1. Dari Aisyah ra bahwasanya Nabi saw berkata kepadanya, ”Aku telah melihat kamu di dalam mimpi sebanyak dua kali. Aku melihat kamu tertutupi secarik kain sutera. Dan Malaikat itu mengatakan, ’Inilah isterimu, singkaplah.” Dan ternyata dia adalah kamu, maka aku katakan, ’Bahwa ini adalah ketetapan dari Allah.” (HR. Bukhori)
2. Diceritakan oleh Ubaid bin Ismail, diceritakan oleh Abu Usamah dari Hisyam dari Ayahnya berkata, ”Khodijah ra telah meninggal dunia tiga tahun sebelum Rasulullah saw berhijrah ke Madinah. Kemudian beliau saw berdiam diri dua tahun atau seperti masa itu. Beliau saw menikah dengan Aisyah ra pada usia 6 tahun. Dan Rasulullah saw menggaulinya pada saat Aisyah berusia 9 tahun” (HR. Bukhori)
3. Dari Aisyah ra berkata, ”Rasulullah saw menikahiku di bulan syawal dan menggauliku juga di bulan syawal. Maka siapakah dari isteri-isteri Rasulullah saw yang lebih menyenangkan di sisinya dari diriku? Dia berkata, ’Sesungguhnya Aisyah menyukai jika ia digauli pada bulan syawal.” (HR. Muslim)
Disebutkan di dalam kitab Usdul Ghobah, ”Aisyah binti Abu Bakar ash Shiddiq. Ia adalah ash-Shiddiqoh binti ash Shiddiq, ibu orang-orang beriman, isteri Nabi saw dan yang paling terkenal dari semua istrinya saw. Ibunya bernama Ummu Ruman putri dari ‘Amir bin Uwaimir bin Abdisy Syams bin ‘Attab bin Udzainah bin Suba’i bin Duhman bin al Harits bin Ghonam bin Malik bin Kinanah al Kinanah. Rasulullah menikahinya pada saat 2 tahun sebelum hijrah dan dia masih anak-anak, Abu Ubaidah mengatakan : 3 tahun, ada yang mengatakan : 4 tahun ada yang mengatakan : 5 tahun. Umurnya saat dinikahi oleh Rasulullah saw adalah 6 tahun, ada yang mengatakan 7 tahun. Dan mulai digauli oleh Rasulullah saw pada usia 9 tahun di Madinah…… Aisyah meninggal di usia 57 tahun, ada yang mengatakan 58 tahun di malam Selasa pada tanggal 17 malam di bulan Ramadhan dan dia meminta agar dimakamkan di Baqi’ pada waktu malam hari… Usianya tatkala Nabi saw meninggal baru 18 tahun.” (Usdul Ghobah juz III hal 383 – 385, Maktabah Syamilah)
Ibnu Ishaq mengatakan, ”Kemudian Nabi saw menikahi Aisyah setelah Saodah binti Zam’ah setelah tiga tahun meninggalnya Khodijah. Dan Aisyah pada saat itu berusia 6 tahun dan digauli oleh Rasulullah saw pada usia 9 tahun. Rasulullah saw meninggal pada saat usia Aisyah 18 tahun.” (as Siroh an Nabawiyah liibni Ishaq juz I hal 90, Maktabah Syamilah)
Perkataan bahwa Rasulullah saw menikahi Aisyah pada usia 6 tahun dan menggaulinya pada usia 9 tahun adalah hal yang tidak ada perbedaan di kalangan ulama—karena telah diterangkan dalam banyak hadits-hadits shohih—dan Rasulullah saw menggaulinya pada tahun ke-2 setelah hijrah ke Madinah. (al Bidayah wan Nihayah juz III hal 137)
Berdasarkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim serta pendapat para ahli sejarah islam, menunjukkan bahwa usia perkawinan Aisyah dengan Rasulullah saw adalah 6 tahun meskipun kemudian digauli pada usianya 9 tahun. Pernikahan beliau saw dengan Aisyah adalah dalam rangka menjalin kasih sayang dan menguatkan persaudaraan antara beliau saw dengan ayahnya, Abu Bakar ash Shiddiq, yang sudah berlangsung sejak masa sebelum kenabian.
Dan pernikahan Aisyah pada usia yang masih 6 tahun dan mulai digauli pada usia 9 tahun bukanlah hal yang aneh, karena bisa jadi para wanita di satu daerah berbeda batas usia balighnya dibanding dengan para wanita di daerah lainnya. Hal ini ditunjukan dengan terjadinya perbedaan di antara para ulama mengenai batas minimal usia wanita mendapatkan haidh sebagai tanda bahwa ia sudah baligh.
1. Imam Malik, al Laits, Ahmad,. Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat bahwa batas usia baligh adalah tumbuhnya bulu-bulu di sekitar kemaluan, sementara kebanyakan para ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa batasan usia haidh untuk perempuan dan laki-laki adalah 17 tahun atau 18 tahun.
2. Abu Hanifah berpendapat bahwa usia baligh adalah 19 tahun atau 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita.
3. Syafi’i, Ahmad, Ibnu Wahab dan jumhur berpendapat bahwa hal itu adalah pada usia sempurna 15 tahun. Bahkan Imam Syafi’i pernah bertemu dengan seorang wanita yang sudah mendapat monopouse pada usia 21 tahun dan dia mendapat haidh pada usia persis 9 tahun dan melahirkan seorang bayi perempuan pada usia persis 10 tahun. Dan hal seperti ini terjadi lagi pada anak perempuannya. (Disarikan dari Fathul Bari juz V hal 310)
Perbedaan para imam madzhab di atas mengenai usia baligh sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan kultur di tempat mereka tinggal. Imam Abu Hanifah tinggal di Kufah, Iraq. Imam Malik tinggal di kota Rasulullah saw, Madinah. Imam Syafi’i tinggal berpindah-pindah mulai dari Madinah, Baghdad, Hijaz hingga Mesir dan ditempat terakhir inilah beliau meninggal. Sedangkan Imam Ahmad tinggal di Baghdad.
Wallahu A’lam, inilah yang saya fahami dari nash-nash tersebut, kalau pun ada yang berpendapat lain dalam hal ini tentunya tidaklah dipersalahkan sebagaimana perbedaan yang sering terjadi diantara para imam dalam suatu permasalahan fiqih namun sikap saling menghargai dan tidak memaksakan pendapatnya tetap terjalin diantara mereka. Perbedaan pendapat dikalangan kaum muslimin selama bukan masuk wilayah aqidah adalah rahmat dan sebagai khazanah ilmiyah yang harus disyukuri untuk kemudian bisa terus menjadi bahan kajian kaum muslimin.
Hukum pernikahan anak yang belum baligh.
Adapun hukum menikahkan wanita yang belum sampai usia baligh (anak-anak) maka jumhur ulama termasuk para imam yang empat, bahkan ibnul Mundzir menganggapnya sebagai ijma adalah boleh menikahkan anak wanita yang masih kecil dengan yang sekufu’ (sederajat/sepadan), berdasarkan dalil-dalil berikut :
1. Firman Allah swt, ”Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (QS. Ath Tholaq : 4) Sesungguhnya Allah swt membatasi iddah seorang anak kecil yang belum mendapatkan haidh adalah 3 bulan seperti wanita-wanita yang monopouse. Dan tidak akan ada iddah kecuali setelah dia diceraikan. Dan ayat ini menunjukkan wanita itu menikah dan diceraikan tanpa izin darinya.
2. Perintah menikahkan para wanita, di dalam firman-Nya, ”Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” (QS. An Nuur : 32) Hamba-hamba sahaya perempuan ini bisa yang sudah dewasa atau yang masih kecil.
3. Pernikahan Nabi saw dengan Aisyah sedangkan dia masih kecil, dia mengatakan, ”Nabi saw menikahiku sedangkan aku masih berusia 6 tahun dan menggauliku pada usiaku 9 tahun.” (Muttafaq Alaih). Abu Bakar lah yang menikahkannya. Begitu juga Rasulullah saw telah menikahkan putri pamannya, Hamzah, dengan anak dari Abi Salamah yang kedua-duanya masih anak-anak.
4. Dari Atsar Sahabat; Ali ra telah menikahkan putrinya Ummu Kaltsum pada saat dia masih kecil dengan Urwah bin Zubeir. Urwah bin Zubeir telah menikahkan putri dari saudara perempuannya dengan anak laki-laki dari saudara laki-lakinya sedangkan keduanya masih anak-anak.
Meskipun menikahi anak pada usia belum baligh diperbolehkan secara ijma’, namun demikian tetaplah memperhatikan batas usia minimal baligh kebanyakan wanita di daerah tersebut dan juga kesiapan dia baik dari aspek kesehatan maupun psikologi.
Adapun yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan jumhur ulama atau orang-orang yang mengatakan boleh menikahkan anak-anak wanita yang masih kecil adalah pada siapa yang berhak menikahkannya :
1. Para ulama madzhab Maliki dan Syafi’i berpendapat tidak boleh menikahkannya kecuali ayahnya atau orang-orang yang diberi wasiat untuknya atau hakim. Hal itu dikarenakan terpenuhinya rasa kasih sayang seorang ayah dan kecintaan yang sesungguhnya demi kemaslahatan anaknya. Sedangkan Hakim dan orang yang diberi wasiat oleh ayahnya adalah pada posisi seperti ayahnya karena tidak ada selain mereka yang berhak memperlakukan harta seorang anak yang masih kecil demi kemaslahatannya, berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Anak yatim perlu dimintakan izinnya dan jika dia diam maka itulah izinnya dan jika dia menolak maka tidak boleh menikahkannya.” (HR. Imam yang lima kecuali Ibnu Majah)
2. Para ulama madzhab Hanafi berpendapat diperbolehkan seorang ayah atau kakek atau yang lainnya dari kalangan ashobah untuk menikahkan seorang anak laki-laki atau anak perempuan yang masih kecil, berdasarkan firman Allah swt,”Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya).” (QS. An Nisa : 3)
3. Para ulama Syafi’i berpendapat bahwa tidak diperbolehkan selain ayahnya dan kakeknya untuk menikahkan anak laki-laki atau anak perempuan yang masih kecil, berdasarkan dalil dari ad Daruquthni,”Seorang janda berhak atas dirinya daripada walinya, seorang perawan dinikahkan oleh ayahnya.” Dan juga yang diriwayatkan Imam Muslim,”Seorang perawan hendaklah diminta persetujuannya oleh ayahnya.” Sedangkan kakek pada posisi seperti ayah ketika ayahnya tidak ada karena ia memiliki hak perwalian dan ashobah seperti ayah. (al Fiqhul islami wa Adillatuhu juz IX hal 6682 – 6685)
Diposkan oleh Silmy's Blog di 12:03 AM 0 komentar Label: Study