Demokrasi itu...
Demokrasi Itu….
Sekadar pengalaman pribadi, selalu saya katakan karena berangkat dari tulisan yang termasuk dalam katagori “meragukan” untuk dipublish, maka sangat terbuka untuk berbeda pendapat. Namanya juga sedang belajar…
Pernah terjadi dalam sebuah diskusi “demokrasi dalam Islam”, seseorang menyudutkan salah satu pembicara yang menentang demokrasi, yang bersangkutan mengatakan : “kalau demokrasi itu haram, bapak punya KTP kan? mengapa bapak memiliki KTP? Bukankah itu produk pemerintahan demokratis? “kalau bapak tidak setuju, mengapa organisasi bapak melakukan demonstrasi, bukankan pemerintah dan anggota DPR yang didemo produk dari demokrasi?”. Di sisi lain juga saya sering mendengar para penentang demokrasi mengatakan bahwa karena demokrasi itu produk Barat maka harus ditolak, seakan-akan semua yang dari barat itu tidak bisa diterima. Entahlah ya, saya merasakan bahwa ada nuansa kedangkalan sebagian ummat Islam, entah ia pro atau kontra pada sesuatu, sikapnya bukan berasal pada hasil belajar, namun produk indoktrinasi, produk emosi, produk “pokoknya kata ustadz gua begini”.
Dalam menyikapi realitas, seorang muslim tidak bisa melepaskan diri dari pandangan hidup yang sudah tertanam dalam pikirannya. Pandangan hidup ini memiliki kemiripan dengan antivirus dalam computer, tugasnya melakukan scanning pada semua hal yang ia definisikan sebagai “Virus”. Bedanya, antivirus harus selalu diupdate, sedangkan pandangan hidup Islam tidak, yang mungkin terjadi adalah proses aktualisasi baru. Menurut al-Attas, pandangan hidup Islam adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and truth), atau pandangan Islam mengenai keberadaan (ru’yat al-Islam lil wujud). Al-Attas menegaskan, bahwa pandangan hidup Islam bersifat final dan telah dewasa sejak lahir. Islam tidak memerlukan proses ’pertumbuhan’ menuju kedewasaan mengikuti proses perkembangan sejarah. Jadi, karakteristik pandangan hidup Islam adalah sifatnya yang final dan otentik sejak awal. Ini sangat berbeda dengan sifat agama-agama lainnya maupun kebudayaan/peradaban umat manusia yang berkembang mengikuti dinamika sejarah. Jadi dalam pandangan hidup dan pembentukan peradaban Islam tidak ada proses dialektika : tesis, anti-tesis, sintesis seperti peradaban Barat. Proses yang tidak jelas arahnya menuju ke mana. Karena peradaban Barat tidak berdasarkan kepada wahyu tidak memiliki ’uswah hasanah’ dalam seluruh aspek kehidupan, maka mereka juga tidak memiliki konsep hukum yang final. Dalam Islam, sebatas pemahaman saya, yang ada proses seleksi dan adaptasi. Atau seperti kata DR. Hamid Fahmy: “Islam dapat "mengadapsi" atau meminjam konsep-konsep asing yang sesuai atau disesuaikan terlebih dulu dengan pandangan hidup Islam, dan di sisi lain Islam dapat menolak ide asing yang tidak diperlukan, dengan kesadaran bahwa realitas ajaran Islam memang berbeda secara asasi dari kebudayaan manapun, termasuk Barat”.
Menarik sekali ketika saya mendapatkan kuliah pandangan hidup Islam dari DR. Phil Hamid Fahmy, beliau mengilustrasikannya seperti gambar berikut:
Nah, demikian juga ketika kita berhadapan dengan apapun yang berasal dari barat atau dari luar Islam secara umum. Hendaknya kita tidak berada diantara dua ekstrim, yakni yang berusaha memaksakan diri menyocokannya dengan pandangan hidup Islam, atau di kutub yang lain menolak segala hal berbau barat. Ketika realitas itu (mungkin berupa ide, konsep, produk, dsb) itu memiliki cacat bawaan yang permanent dan fundamental, maka pandangan hidup akan membawanya pada “quarantine” atau “delete”. Namun jika cacat itu bukan fundamental, maka realitas masih bisa diterima dengan terlebih dahulu mengalami proses perlucutan, dan dilengkapi dengan pandangan hidup Islam, kata orang-orang pinter, inilah yang disebut dengan “islamisasi”. Bahkan jika realitas itu hanya berbeda pada aspek luar, maka ia bisa diterima dan dipersilakan masuk ke dalam Islam tanpa ragu. Nah, demikian juga ketika kita menyikapi masalah demokrasi.
Sebelum menolaknya dengan kejam atau menerimanya dengan mesra, sebagai seorang muslim yang telah menerima Islam sebagai pandangan hidup dan bukan hanya ritus, etos, dan spirit, maka langkah awal adalah melakukan ”scanning” apakah demokrasi memiliki cacat bawaan yang fundamental atau tidak? Jika iya, maka kita harus karantina dia atau bahkan di ”recycle bin”, namun ketika problematikanya ada pada wilayah teknis, maka tinggal diadaptasi, jika setelah diislamkan ternyata melanggar aspek fundamental demokrasi, maka harus kita katakan tidak ada pernah ada demokrasi-Islam, namun jika wajah demokrasi masih bisa diselamatkan maka harus kita stempel ”verfied” dan bolehlah kita sematkan padanya ”demokrasi-islam”.
Jadi, proses inilah yang pertama-tama harus dilakukan oleh seorang muslim, yang menjadikan agamanya sebagai pandangan hidup. Bukan menjadikan Islam sebagai agama di satu sisi, namun pandangan hidupnya telah diisi bermacam konsep yang bercampur baur, mungkin saling kontradiktif. Jika dikepala anda belum apa-apa sudah bercampur berbagai macam pandangan-hidup, maka proses ”islamisasi” menjadi gagal. Anda akan mungkin mengidentifikasi ”virus” sebagai ”program” atau ”file”, dan sebaliknya. Itulah mengapa sering terjadi, belum apa-apa sudah kalah oleh realitas dengan mengatakan ”ya gimana ya realitasnya begini?” atau belum apa-apa sudah kompromistik dan mengatakan ”inilah yang terbaik yang kita punya”.
Kompromi terhadap realitas mungkin bisa saja terjadi, tapi bukan di gerbang pertama, proses ini ada di pintu terakhir. Kalau anda membalikan proses, hasilnya adalah kekacauan, sebagai hasilnya terjadi ”system failure”.
Sebagai contoh, saya ambil kasus ekonomi syariah. Suksesnya ekonomi syariah di Indonesia mungkin adalah hasil dari proses yang benar, berangkat dari pemahaman konsep-konsep ideal Islam tentang ekonomi. Konsep-konsep digali, training-training diselenggarakan, sekolah-sekolah didirikan, semua itu untuk menanamkan pandangan hidup Islam tentang ekonomi. Setelah itu, proses ’islamisasi’ dilakukan dengan cara melakukan proses scanning satu persatu produk-produk ekonomi, seperti tabungan, asuransi, simpan-pinjam, konsep uang, transaksi elektronik, ATM, jual beli saham, valas, dll. Produk-produk ini ada sebagian yang ditolak, sebagian lagi direkonstruksi, bahkan mungkin ada yang dipersilahkan masuk, tentu harus ”assalamu ’alaikum” dulu. Ada juga produk-produk inovatif, seperti shar-e, canggih memang. Lalu, lahirlah produk-produk bank Islam, asuransi Islam, dan lain-lain. Memang belum semua ideal barangkali, namun prosesnya sudah baik. Setelah produknya siap, lalu ditawarkan kepada ummat, kampanye lalu dilakukan, berat memang pada awalnya, hingga pernah saya menerima keluhan dari seorang aktivis Islam ”menabung di Bank syariah malah rugi”.
Ummat tak boleh lagi melakukan tawar-menawar konsep, jika tidak mau ya tidak usah. Kompromi terhadap realitas bukannya tidak dilakukan, tapi dalam proses akhir, misalnya dengan kompromi dibolehkannya membuka dua jendela ”syariah” dan ”konvensional” dalam sebuah bank yang sama, namun jangan main-main dengan idealisme konsep, sebab ada dewan pakar yang mengawasi. Baragkali karena barakah, banyak ummat Islam lalu mulai tertarik, dan bahkan Barat mulai melirik ”seksi”nya ekonomi syariah, tidak sedikit bank Islam didirikan justru oleh orang non-muslim, terlebih lagi rivalnya, yakni sistem ekonomi kapitalis, tengah dalam perawatan serius di UGD. Lalu para anggota legislatif yang semula alergi dengan kata ”syariah” pun sukarela atau terpaksa menyambutnya dengan undang-undang. Semoga Allah memberikan ganjaran berlipat ganda kepada para mujahid ekonomi syariah, sebutlah K.H. DR. Didin Hafidudin, DR. Syafi’i Antonio, Syakir Sula, Bapak Ahmad Riawan, Umer Chapra, dan banyak lagi.
Demikian juga ketika saya sebagai muslim berhadapan dengan demokrasi. Langkah yang saya harus lakukan adalah pertama, kita harus membaca prinsip-prinsip politik dalam Islam, hakikat kekuasaan, fiqh-fiqh yang berkaitan dengan kekuasaan, apa prinsip-prinsip yang harus dipegang. Singkatnya bagaimana konsep Islam tentang politik
Setelah itu. Kita juga harus mempelajari hakikat demokrasi. Ya, meskipun bukan berlatarbelakang ilmu politik, ”terpaksa” saya harus membaca buku-buku teks demokrasi untuk mengetahui apa itu demokrasi, mengapa ia lahir, apa prinsip-prinsip pokoknya, apa niali-nilai dasarnya, atas reaksi apa demokrasi muncul, bagaimana situasi dan lingkungan kelahiran demokrasi, pandangan hidup apa yang ada di balik demokrasi, dll. Memang banyak PR, namun ya itu tadi, namanya juga belajar, mungkin tak cukup satu hingga dua tahun untuk meyakinkan diri sendiri. Sehingga jangan sampai kita mengatakan : ”demokrasi tidak harus diartikan ideologis, kita juga bisa memandang demokrasi dari segi praktis”. Karena peryataan terakhir ini pasti muncul dari orang yang salah dalam prosesnya, belum apa-apa ia sudah menyerah pada realitas. Atau jangan sampai ada yang mengasosiasikan demokrasi dengan KTP atau demonstrasi. Atau jangan sampai ada yang mengatakan karena demokrasi bukan dari Islam maka belum apa-apa, kita katakan harus ditolak semuanya.
Sekarang proses scanning dilakukan, hasilnya apa? Bandingkan dengan pendapat dan fatwa ’ulamaa, karena hujjah mereka lebih berhak dihormati, sedangkan hasil belajar kita hanyalah salah satu perangkat untuk memilih. Dari situ diambil kesimpulan pribadi, jangan dulu yakin dengan kesimpulan, karena proses belajar masih akan terus terjadi. Mungkin saya berpindah dari satu kesimpulan ke kesimpulan lain. Ini terjadi pada saya, dari seorang yang awalnya terpesona dan merasa gagah dengan jargon ”vox populii vox dei” saat zaman reformasi, hingga kini menjadi orang yang hati-hati pada demokrasi.
Simpanlah kesimpulan-kesimpulan ini dalam arsip sebagai hujjah pribadi, jangan gunakan untuk menyerang orang lain karena saya masih sangat jauh dari maqam seorang mujtahid, saya baru seorang pembelajar. Jadikan saja ini sebagai argumen ketika dimintai pendapat, atau jika ada orang yang mengajak diskusi atau bahkan ada pemikiran yang menantang dan menyerang, kita sudah siap dengan jawaban hasil belajar ini. Jadikan juga ini sebagai referensi pribadi, misalnya ketika dihadapkan aspek praktis seperti musim pikada, pemilu, kontroversi golput, dan lain-lain.
Proses ini harus saya tempuh karena kadang menemui seseorang yang melalui proses belajar yang keliru, berangkat dari asumsi karena indoktrinasi tanpa proses belajar, lebih karena komando, bendera atau ikatan emosi, lalu mencari-cari hujjah dan fatwa yang sesuai dengan asumsi. Atau sebagian lain mentah-mentah menolak fatwa ’ulama karena tidak sesuai dengan hawa nafsunya.
Untuk sekadar menegaskan, tulisan ini bukan tentang menghakimi demokrasi, ini tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi sesuatu. Semoga saja dengan proses yang mungkin benar ini, jika saya salah, masih memperoleh 1 kebaikan.
Wallahu a’lam bishawab.
http://ishacovic.multiply.com/journal/item/104/DEMOKRASI_ITU....