WAWASAN AL-QUR’AN TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA
WAWASAN AL-QUR’AN TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA
(Suatu Kajian Tafsir Tematik)
Oleh: Masruhan
A. Pendahuluan
Islam merupakan agama yang ajaran-ajarannya bersifat universal. Rangkaian ajarannya yang meliputi bidang hukum, keimanan, etika dan sikap hidup menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan (al-insaniyah). Salah satu ajaran Islam yang dengan sempurna menampilkan nilai-nilai universalnya adalah 5 buah jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok. Satu dari kelima jaminan dasar itu adalah kebebasan berkeyakinan (beragama) tanpa ada paksaan untuk pindah agama.
Jaminan dasar akan kebebasan berkeyakinan (beragama) bagi masing-masing warga masyarakat melandasi hubungan antar warga masyarakat atas dasar sikap saling menghormati, yang akan mendorong timbulnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan, kesempitan pandangan dan kezaliman terhadap kelompik minoritas yang berbeda keyakinan agamanya dari keyakinan mayoritas, sejarah umat manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian intern dari kehidupan manusia. Akibatnya, toleransilah yang melakukan transformasi sosial dalam skala massif sepanjang sejarah.
Bahkan sejarah agama membuktikan, munculnya agama sebagai dobrakan moral atas kungkungan ketat dari pandangan yang dominan dan berwatak menindas. Hal ini telah dibuktikan oleh Islam dengan dobrakannya atas ketidak adilan wawasan hidup jahiliyah yang dianut mayoritas orang Arab waktu itu. Dengan tauhid, Islam menegakkan penghargaan kepada perbedaan pendapat dan perbenturan keyakinan. Dengan demikian, Islam telah dapat mentolerir perbedaan pandangan dalam hal yang paling mendasar, yaitu keimanan. Dengan kata lain bahwa Islam melalui ajarannya memiliki pandangan universal yang berlaku untuk umat manusia secara keseluruhan.
Atas dasar proposisi-proposisi seperti di atas, dalam makalah ini hendak dikemukakan wawasan Al-Qur’an tentang kebebasan beragama dan implikasinya terhadap tata interaksi sosial. Pembahasan tentang hal tersebut di bagi ke dalam beberapa sub bahasan. Bagian pertama berupa pendahuluan, sedangkan kedua membahas kebebasan beragama. Selanjutnya adalah bagian ketiga yang mengemukakan konsekuensi logis dari adanya prinsip kebebasan beragama bagi interaksi sosial. Sebagai bagian terakhir dikemukakan penutup, yang memungkasi pembahasan dalam makalah ini.
Pembahasan masalah-masalah sebagaimana tersebut diatas bertitik tolak pada ayat-ayat sebagai berikut :
La ikraha fi al-din, Qad tabyyana al-rusydu min al-ghayyi
Fa dzakkir, innama anta mudzakkir, lasta ‘alaihim bi mushaithirin
Afa anta tukrihu al-nasa hatta yakunu mu’minin
Qul ya ahla al-kitabi ta’alau ila kalimatin sawa’in bainana wa bainakum an la na’buda illa Allaha wa la nusyrika bihi syai’an wa la yattakhidza ba’dluna ba’dlan arbaban min duni Allahi, fa in tawallau fa qulu isyhadu bi anna muslimun
Qul man yarzuqukum min al-samawati wa al-ardli, qul Allahu wa inna wa iyyakum la’ala hudan au fi dlalalin mubin
La yanhakum Allahu ‘an alladzina lam yuqathilukum fi al-dini wa lam yukhrijukum min diyarikum an tabrruhum wa tuqsithu ilaihim, inna Allaha yuhibbu almuqsithin
B. Kebebasan Beragama
Diantara jaminan dasar yang dijaga dan dilindungi oleh Islam ialah hak kebebasan; dan yang terpenting adalah kebebasan beragama. Setiap orang berhak memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. Dalam Islam, tidaklah boleh ada pemaksaan kepada pemeluk agama lain untuk berkonversi kepada Islam. Alasannya, karena keyakinan agama yang dipaksakan tidak akan bisa menimbulkan keyakinan yang sebenarnya.
Berkaitan dengan hal ini, Al-Qur’an menyatakan: "La ikraha fi al-din qad tabayyan al-rusydu min al-ghayyi..." (Tidak ada paksaan untuk [memasuki] agama [Islam]; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah ...).
Sehubungan dengan ayat tersebut, Yusuf Ali memberikan komentar bahwa iman merupakan prestasi moral, dan sebagai kelengkapannya maka orang beriman harus memiliki kesabaran, tidak marah bila berhadapan dengan orang kafir. Disamping itu, yang lebih penting lagi adalah mereka tidak boleh memaksakan imannya kepada orang lain, baik dengan tekanan fisik maupun sosial, bujukan kekayaan maupun kedudukan serta keunggulan-keunggulan lainnya. Iman yang dipaksakan, pada hakekatnya, bukanlah iman. Orang harus berjalan secara spiritual, sebagaimana rencana Tuhan berjalan seperti yang Dia kehendaki.
Dalam menafsirkan ayat diatas, Ibnu Katsir berkata : "Jangan memaksa siapapun untuk memeluk agama Islam. Sebab, sudah cukup jelas petunjuk dan bukti-buktinya, sehingga tidak perlu ada pemaksaan terhadap seseorang untuk memasukinya". Para ahli tafsir menginformasikan kepada kita bahwa sebab turunnya ayat tersebut tampak menunjukkan kepada kita akan kebebasan beragama. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Abbas berkata:
"Ada seorang wanita yang mandul atau kurang subur menetapkan atas dirinya sendiri bahwa jika ia melahirkan seorang anak yang dapat terus hidup kelak, maka anak tersebut akan di yahudikannya (Hal ini merupakan kebiasaan wanita-wanita Anshar di jaman Jahiliyah, pen). Maka, ketika bani Nadhir --suatu suku kaum Yahudi-- diusir dari perkampungannya, diantara mereka terdapat beberapa putera dari keluarga Anshar. Ayah-ayah mereka berkata: "Kita tidak akan membiarkan anak-anak kita" (Maksudnya, mereka tidak akan membiarkan anak-anaknya tetap beragama Yahudi agar mereka tidak ikut terusir, pen). Maka Allah menurunkan ayat ini "Tidak ada paksaan dalam agama".
Dengan demikian, sekalipun ada pemaksanaan dari orang tuanya sendiri, Al Qur’an tetap menolak pemaksaan agama itu. Karena, iman --sebagaimana dikenal dalam kalangan Islam-- bukan hanya merupakan kalimat yang diucapkan secara lisan atau gerakan dalam upacara keagamaan yang dilaksanakaan oleh anggota tubuh semata-mata, tapi pokok iman adalah pengakuan hati, kepatuhan serta penyerahan sepenuhnya. Jadi, tidak dibolehkannya memaksakan suatu agama adalah karena manusia dianggap sudah mampu dan harus diberi kebebasan untuk membedakan dan memilih sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Dengan kata lain, manusia kini dianggap telah dewasa, sehingga ia bisa menentukan sendiri jalan hidupnya yang benar, dan tidak perlu lagi dipaksa-paksa seperti orang yang belum dewasa.
Oleh karena Tuhan telah "percaya " kepada kemampuan manusia, maka Dia tidak lagi mengirimkan utusan atau rasul untuk mengajari mereka tentang kebenaran. Dengan deretan para nabi rasul, serta Muhammad saw. sebagai rasul penutupnya, Nabi Muhammad Saw. membawa dasar-dasar pokok ajaran yang terus menerus dapat dikembangkan untuk segala zaman dan tempat. Maka, sekarang terserah kepada manusia yang telah "dewasa" itu untuk secara kreatif menangkap pesan dari pokok ajaran Nabi penutup tersebut dan memfungsikannya dalam kehidupan nyata mereka.
Firman di atas (QS. Al Baqarah: 256), menurut Nurcholis Majid, menegaskan bahwa jalan hidup tiranik adalah lawan dari jalan hidup beriman kepada Allah. Hal ini berarti bahwa jalan hidup berdasarkan iman kepada Tuhan adalah kebalikan dari sikap memaksa-maksa. Sebaliknya, iman kepada Tuhan sebagai jalan hidup menghasilkan moderasi atau sikap "tengah" dan tanpa ekstremitas. Beriman kepada Allah --sebagai kebalikan tiranisme-- melahirkan sikap yang selalu menyediakan ruang bagi pertimbangan akal sehat untuk membuat penilaian yang jujur atau fair terhadap setiap persoalan.
Karena iman kepada Allah dan penentangan terhadap tirani mempunyai kaitan logis dengan prinsip kebebasan beragama, maka Nabi pun diingatkan oleh Allah dalam firman-Nya: "Wa lau sya'a rabbuka la amana man fi al-ardli kulluhum jami'a. Afa anta tukrihu al-nasa hatta yakunu mu'minin" (Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka, apakah kamu [hendak] memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya).
Menurut Muhammad Abduh, ayat diatas mengingatkan Nabi Muhammad bahwa jika Tuhan menghendaki penduduk bumi semuanya beriman, tentulah tidaklah sulit bagi-Nya menghujamkan rasa iman ke dalam lubuk hati mereka, sehingga kondisi mereka laksana malaikat tanpa ada penyediaan pada fitrahnya untuk selain beriman. Ayat tersebut, menurut Abduh, semakna dengan ayat "wa lau sya'allahu ma asyraku" dan ayat "wa lau sya'arabbuka laja'ala al-nasa ummatan wahidatan". Ayat-ayat ini mengandung pengertian bahwa jika Allah menghendaki untuk tidak menciptakan manusia dengan fitrah akan keimanan dan kekufuran, kebaikan dan kejahatan yang dengan kehendak dan pilihannya (manusia) dapat menerima dan memiliki, maka tentu Allah mewujudkannya itu. Ketika manusia diciptakan untuk mewujud di bumi sebagai khalifah, maka Allah pun menciptakan sebagian dari mereka beriman dan sebagian lainnya tidak beriman.
Dalam menafsirkan ayat "Afa anta tukrihu al-nasa hatta yakunu mu'minin," Abduh menyatakan bahwa pemaksaan keimanan bukanlah merupakan otoritas rasul dan bukan pula sebagai bagian dari tugas-tugas kerasulan yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. dan rasul-rasul sebelumnya. Kewajiban mereka hanyalah menyampaikan ajaran tanpa ada unsur-unsur pemaksaan terhadap obyek dakwah untuk memeluk agama Islam. Hal ini seperti tercermin pada pernyataan Al Qur’an sendiri dalam surat Al Ghasiyah ayat 21-22, Al-Ankabut ayat 18, Qaf ayat 45 dan lain sebagainya.
Dengan demikian, prinsip kebebasan beragama merupakan kehormatan bagi manusia dari Tuhan, karena Tuhan mengakui hak manusia untuk memilih sendiri jalan hidupnya. Tentu tidak perlu lagi ditegaskan bahwa semua resiko pilihan adalah tanggung jawab sepenuhnya manusia sendiri.
Para ahli, menurut Nurcholis Majid, sepakat bahwa pelembagaan prinsip kebebasan beragama dalam sejarah umat manusia pertama kali dibuat oleh Rasulullah saw. sesudah beliau hijrah ke Madinah dan harus berhadapan dengan keadaan masyarakat yang majemuk (plural). Saat ini, prinsip kebebasan beragama telah dijadikan salah satu sendi tatanan sosial politik modern. Prinsip itu dijabarkan oleh Thomas Jefferson sebagai "Deist" dan "Uniterianist-Universalist", namun ia menolak agama formal. Prinsip ini dijabarkan pula oleh Robes Piere, seorang yang percaya akan "wujud yang Maha Tinggi", tetapi ia juga menolak agama formal. Sikap mereka seperti itu mungkin dikarenakan agama yang mereka kenal di sana waktu itu tidak mengajarkan kebebasan beragama.
C. Konsekuensi Logis Dari Kebebasan Beragama Bagi Tata Interaksi Sosial
Pengakuan atas kebebasan beragam tersebut diatas menimbulkan konsekuensi-konsekuensi logis bagi penerapan Islam dalam kehidupan keseharian. Karena itu, sejarah tidak pernah mengenal suatu bangsa muslim memaksa ahludz-dzimmah untuk memeluk agama Islam. Hal tersebut telah diakui oleh para ahli sejarah dari Barat sendiri. Demikian pula, Islam menjaga dan memelihara secara baik rumah-rumah ibadah milik orang-orang non muslim serta menghargai kesucian upacara-upacara ritual mereka.
Memang benar, salah satu sasaran yang hendak dicapai dalam menjalin hubungan dengan penganut agama lain adalah mengajak mereka untuk memeluk Islam sesuai dengan misi Islam sebagai agama dakwah. Islam sebagai jalan keselamatan dunia-akherat menganjurkan umat Islam untuk mengajak obyek dakwah menganut Islam, dengan diikat oleh satu tali aqidah atau keimanan yang telah diturunkan kepada Rasul sebelum Nabi Muhammad saw. Al-Qur’an menegaskan: "Qul ya ahla al-kitab ta’alau ila kalimatin sawa’in bainana wa bainakum an la na’buda illa Allah wa nusyrika bihi syai’a wa la yattakhidza ba’dluna ba’dlan arbaban min dunillahi. Fa in tawallau faqulu isyhadu bi anna muslimun" (Katakanlah hai ahlul Kitab: "Marilah kepada suatu kalimat [ketetapan] yang tidak ada perselisihan antara kami dengan kamu bahwa kita tidak sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak [pula] sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain dari pada Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri [kepada Allah] ").
Ibnu Jarir al-Thabary dalam menafsirkan ayat diatas menyatakan bahwa ayat tersebut mengajak kaum Yahudi dan Nasrani (Ahlul Kitab) agar kembali kepada pegangan yang lurus di antara kaum muslimin dengan mereka, yaitu mentauhidkan Allah dan tidak menyembah selain Dia, tidak menganut suatu keyakinan atau mempertuhankan sesuatu (selain Allah), membesarkan-Nya dan sujud kepada-Nya. Menurut Muhammad Abduh, ketika Ahlul Kitab dalam keadaan tidak yakin dan atau keyakinan mereka atas ketuhanan Isa as. mengalami kegoncangan, maka ayat ini datang mengajak mereka untuk kembali kepada ruh dan pokok agama, yaitu tauhid, suatu keyakinan yang telah didakwahkan oleh Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad saw.
Setelah Allah menjelaskan perlunya mengajak Ahlul Kitab kepada tauhid, maka sebagian dari mereka menerima ajakan itu dan sebagian yang lain menolaknya, sebagaimana dijelaskan oleh Alqur’an: "Laisu sawa’an min ahli al-kitab ummatun qaimatun yatluna ayat Allahi ana’ al-laili wa hum yasjudun" (Mereka itu tidak sama, diantara Ahlul Kitab ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud).
Menurut Abduh, ayat tersebut menunjukkan bahwa diantara Ahlul Kitab ada yang berpegang teguh pada ajaran agamanya yang haq, sehingga ketika diajak memasuki Islam mereka dengan sukarela menerimanya. Sementara sebagian Ahlul Kitab yang lain menolak. Penolakan mereka terhadap ajakan kepada tauhid tidak berarti bahwa eksistensi mereka diingkari oleh Islam. Mereka tetap sebagai suatu kelompok yang memiliki keyakinan dan aturan-aturan keagamaan yang wajib mereka laksanakan sendiri.
Karena itu, berkenaan dengan tata interaksi sosial dengan penganut agama lain, Islam membuka cakrawala pandang yang lebih luas yang membuka peluang besar dalam interaksi sosial dengan umat lain. Hal ini tercermin pada universalisme Islam yang termanifestasi dalam keluasan wilayah risalah rasulnya untuk semua umat manusia, seperti tersebut dalam surat An Nahl ayat 36. Disamping itu, Islam mengajarkan pula tentang kesatuan nubuwwah dan umat yang percaya kepada Tuhan. Allah SWT. berfirman: "Inna hadzihi ummatukum ummatan wahidatan, wa ana rabbukum fa’budun" (Sesungguhnya [agama tauhid] ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu maka sembahlah Aku).
Lebih jauh dari itu, bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad saw. adalah kelanjutan langsung dari agama-agama sebelumnya, yang secara "genealogis" paling dekat, yakni agama Semitik Ibrahimik. Tambahan lagi, Al-Qur’an secara tegas memerintahkan umat Islam untuk menjaga hubungan baik dengan orang-orang beragama lain, khususnya Ahlul Kitab, sebagaimana pernyataan Al-Qur’an: "Wa la tujadilu ahl al-kitab illa billati hiya ahsan illa alladzina dlalamu minhum wa qulu amanna billadzi unzila ilaina wa unzila ilaikum wa ilahuna wahid wa nahnu lahu muslimun" (Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahlul Kitab melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang dzalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada [kitab-kitab] yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu. Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nyalah berserah diri).
Uraian di atas memberikan pengertian kepada kita bahwa asas yang harus dipegangi dalam berinteraksi dengan penganut agama lain adalah sikap menghormati agama atau kepercayaan mereka. Dalam hubungan ini, Al-Qur’an memberikan petunjuk: "Qul man yarzuqukum min al-samawati wa al-ardli qul Allahu wa inna wa iyyakum la’ala hudan au fi dlalalin mubin" (Katakanlah: "Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan dari bumi? Katakanlah: "Allah", dan sesungguhnya kami atau kamu [orang-orang musyrik] pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata).
Ayat tersebut pertama-tama mengajak kaum musyrikin untuk menyadari bahwa sembahan-sembahan mereka tidak mampu memberikan rizki. Allahlah yang memberikan rizki dengan menurunkan hujan dari langit dan menyiapkan berbagai sumber rizki lainnya untuk menghidupkan tumbuh-tumbuhan guna dimakan manusia dan binatang ternak. Kemudian, ayat yang menyatakan "wa inna wa iyyakum la’ala hudan au fi dlalalin mubin" memberikan kesan seolah-olah belum ada kepastian bagi orang yang mengucapkan kata itu (Nabi), apakah dia yang mendapat petunjuk (karena agama yang dianutnya yakni Islam) atau orang lain ( kaum musyrikin), sebagai lawan bicaranya, yang justru mendapat petunjuk (karena agamanya, yakni berhala). Dengan kata lain, belum ada kepastian siapakah sebenarnya dari kedua belah pihak yang mendapat petunjuk dan siapa pula yang tersesat.
Al-Qurthuby menafsirkan ayat tersebut dengan menyatakan bahwa makna sebenarnya dari ayat tersebut adalah bahwa Rasulullah berkeyakinan bahwa agamanyalah yang benar, sedang orang-orang musyrik salah atau tersesat, sehingga seolah-olah ayat itu berbunyi: "Inna ‘ala hudan wa iyyakum fi dlalalin mubin".
Penafsiran al-Qurthuby di atas sejalan dengan yang dikemukakan al-Thabary. Menurutnya, bahwa orang yang mengucapkan kata itu sebenarnya tidak meragukan sedikit pun akan akan kebenaran agamanya, dan ia mengetahui bahwa dirinya dalam petunjuk, sedangkan orang lain berada dalam kesesatan yang nyata.
Jadi, apabila ayat di atas memberikan kesan seolah-olah belum ada kepastian tentang siapa di antara kedua belah pihak yang selamat dan siapa pula yang sesat, maka hal itu dimaksudkan untuk digunakan dalam interaksi sosial. Sebab, bila pihak pertama menyatakan hanya dengan agamanya ia mendapatkan keselamatan dan yang lain sesat, akan menimbulkan bibit-bibit perselisihan yang dapat merusak hubungan sosial antara umat beragama dalam masyarakat.
Konsekuensi logis yang lain dari prinsip kebebasan beragama bagi tata interaksi sosial dengan penganut agama lain adalah bahwa umat Islam wajib menjalin hubungan secara baik dengan mereka apabila mereka menghormati umat Islam dan menghargainya serta tidak menghalangi kebebasan beragama umat Islam. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh al-Qur’an: "La yanhakum Allau ‘an alladzina lam yuqatilukum fi al-din wa lam yukhrijukum min diyarikum an tabarruhum wa tuqsithu ilaihim. Inna Allaha yuhibbu al-muqsithin" (Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak [pula] mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil).
Dalam menafsirkan ayat di atas, Mahmud al-Nasafy menyatakan bahwa umat yang lain yang tidak memerangi atau menghalangi umat Islam dalam menjalankan ajaran agamanya, maka hendaknya umat Islam memuliakan mereka dan berbuat baik kepadanya dalam interaksi sosial, baik dalam perkataan maupun perbuatan.
Meskipun demikian, di kalangan ahli tafsir terdapat beberapa pendapat tentang ayat tersebut. Menurut Qatadah bahwa ayat tersebut menasakh ayat 89 dari surat al-Nisa’ yang berbunyi: "waqtuluhum haitsu wajadtumuhum". Alasannya adalah bahwa hukum boleh bergaul dengan penganut agama lain merupakan suatu keringanan karena ada sebab, yaitu saat damai. Sedangkan setelah damai, yaitu saat fathu Makkah, maka hukumannya terhapus, sungguhpun tulisannya tetap terbaca. Menurut Mujahid, ayat tersebut berlaku secara khusus bagi orang-orang yang beriman tetapi tidak ikut berhijrah. Mereka adalah para wanita dan anak-anak yang tidak termasuk orang yang diperangi.
Akan tetapi, kebanyakan ahli ta’wil berpendapat bahwa ayat tersebut tidak termansukh, dengan alasan dari sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim: "Inna asma’a binta Abi Bakr sa’alat al-nabiyya SAW.: "Hal tashilu ummuha hina qadimat ‘alaiha musyrikah? Qala: "Na’am" (Bahwa Asma’ binti Abu Bakar bertanya kepada nabi saw apakah ia harus berbudi baik kepada ibunya yang datang kepadanya dalam keadaan musyrik, Nabi menjawab: "Ya").
Qadli Abu Bakar menjelaskan, bahwa ayat ini dapat dipakai sebagai dalil atas orang yang mempunyai hubungan darah bahwa anak harus memberi nafkah kepada orang tuanya yang kafir, meskipun dari segi kewarisan telah terputus.
Dengan demikian, ayat tersebut dapat dijadikan salah satu dasar bagi interaksi sosial umat Islam dengan penganut agama lain. Hal ini telah dipraktekkan pada masa Rasulullah di Madinah. Ketika itu, umat Islam hidup dalam komunitas sosial dengan penganut agama lain. Salah satu hal yang pertama diperhatikan oleh Nabi adalah pembuatan perjanjian dengan penganut agama lain (Yahudi) untuk hidup berdampingan secara damai.
Perjanjian di atas dikenal dengan "Piagam Madinah" yang berisi antara lain: Pertama, bahwa kaun Yahudi hidup damai bersama-sama dengan kaum muslimin; kedua belah pihak bebas memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing; Kedua, kaum muslimin dan kaum Yahudi wajib tolong menolong untuk melawan siapa saja yang memerangi Islam. Orang Yahudi memikul tanggung jawab belanja sendiri, dan orang Islam memikul belanja mereka sendiri; Ketiga, kaum muslimin dan kaum Yahudi wajib nasehat-menasehati dan tolong-menolong dalam melaksanakan kebajikan serta keutamaan.
Keempat, bahwa kota Madinah adalah kota suci yang wajib dihormati oleh mereka yang terkait dengan perjanjian itu. Bila terjadi perselisihan antara kaun Yahudi dengan kaum Muslimin, sekiranya dikhawatirkan akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, maka urusan itu hendaknya diserahkan kepada Allah dan Rasul.
Kelima, bahwa siapa saja yang tinggal di dalam atau di luar kota Madinah wajib dilindungi keamanan dirinya kecuali orang yang zalim dan bersalah, sebab Allah menjadi pelindung bagi orang-orang yang berbaik hati.
Perjanjian tersebut merupakan sekelumit bukti bahwa perjanjian politik yang dibuat oleh Nabi Muhammad saw sejak 15 abad yang silam telah menjalin kemerdekaan beragama dan berfikir serta hak-hak kehormatan jiwa dan harta golongan non muslim. Sebaliknya, Islam melarang umatnya bergaul dengan penganut agama lain yang berusaha menghalangi umat Islam dalam menjalankan agamanya atau mengusirnya dari negeri mereka sendiri. Al-Qur’an menyatakan: "Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."
Dari uraian diatas, dapatlah diketahui bahwa Islam sangat memperhatikan toleransi dalam pergaulan sosial dengan penganut agama lain. Betrand Russel memandang ajaran toleransi dalam Islam berasal dari hakekat Islam itu sendiri. Ajaran inilah yang menyebabkan Islam mampu memerintah dan menguasai wilayah yang begitu luas dari berbagai bangsa.
Sikap toleransi yang inheren dalam watak Islam itu dikarenakan Islam lebih mementingkan perdamaian dan kedamaian dari pada permusuhan dan peperangan. Sikap toleran itu telah dipraktekkan oleh Rasulullah saw. Rasulullah menerapkan dasar toleransi dalam hubungan beliau dengan kaum musyrikin, baik dalam naskah perjanjian maupun di medan perang. Perjanjian Hudaibiyah, yakni perjanjian antara Nabi dan kaum musyrikin, adalah salah satu contoh.
Perjanjian itu menunjukkan sikap yang keterlaluan dari kaum musyrikin dan toleransi yang mengesankan dari pihak Nabi, karena pada perjanjian itu mereka bersikeras melarang Nabi menunaikan ibadah haji tahun itu juga. Meskipun Nabi waktu itu memiliki kekuatan perang yang sanggup menghancurkan negeri mereka, namun Nabi menerima syarat tersebut. Dalam pada itu, mereka mensyaratkan lagi bahwa barang siapa keluar dari Makkah dan masuk Islam serta menggabungkan diri pada Nabi tanpa ijin keluarganya, haruslah dikembalikan ke Makkah. Sebaliknya, barang siapa memisahkan diri dari Nabi dan kembali ke Makkah serta murtad dari agama Islam, mereka (orang musyrik Makkah) boleh menerima dan tak diharuskan kembali ke Madinah. Syarat itu diterima oleh Nabi sehingga sejumlah sahabat merasa perjanjian itu terlalu berat sebelah. Tetapi, Nabi mengutamakan kesabaran dan toleransi serta untuk menghindarkan terjadinya pertumpahan darah. Kebijakan Nabi itu bukan pertanda kelemahan melainkan petunjuk Islam yang menganjurkan kesabaran sebagai pengganti peperangan, dan lemah lembut pengganti kekerasan.
D. Penutup
Untuk mengakhiri pembahasan dalam makalah ini rasanya perlu dikemukakan kesimpulan, yaitu :
Jaminan dasar akan kebebasan beragama merupakan kebutuhan dasar manusia, bahkan kebutuhan yang paling asasi dalam kehidupan. Kebutuhan akan kebebasan beragama ini mendapatkan perhatian besar dari Al Qur’an, yang oleh para fuqaha’ dikategorikan sebagai salah satu dari kebutuhan dlarury manusia. Karena itu, Islam sebagai agama dakwah harus disebarkan di tengah masyarakat dengan cara bijaksana tanpa tekanan dan paksanaan dalam bentuk apapun. Sebab, keimanan tidak akan tumbuh dari tekanan dan paksaan.
Jaminan dasar akan kebebasan beragama memberi implikasi terhadap tata interaksi sosial antar umat Islam dengan umat non Islam. Yaitu, bahwa dalam pergaulan sosial dengan penganut agama lain, Islam memerintahkan untuk berlaku baik dan adil terhadap mereka. Umat Islam dapat bekerjasama dalam berbagai kegiatan sosial sepanjang tidak mengorbankan prinsip akidah. Semuanya itu dilakukan demi tercapainya perdamaian.
Sungguhpun demikian, sikap permusuhan boleh dilakukan apabila umat Islam dihalangi dalam menjalankan kewajiban agamanya.
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-16.html