Oleh : Munarman
Sebuah Harian Nasional, Rabu, 16 Februari 2005 yang lalu, menuliskan berita kecil, tentang skenario global Amerika Serikat untuk menguasai dunia pada tahun 2020. Dalam waktu kurang dari 15 tahun lagi ambisi tersebut menurut rencana sudah harus tercapai. Berita tersebut mengutip pernyataan Presiden Italia, Carlo Azeglio Ciampi, pada saat kunjungan ke New Delhi, India, 15 Februari 2005 yang lalu. Tidak banyak masyarakat atau bahkan pejabat tinggi dari negara-negara yang selama ini menjadi ladang garapan Amerika Serikat, seperti Indonesia dan negara berkembang lainnya dibelahan dunia, memperhatikan berita tersebut, apalagi membahas dan menjadikan hal tersebut sebagai sebuah ancaman nyata.
Harian USA Today juga menuliskan berita tentang thema yang sama pada edisi 13 Februari 2005. Akan tetapi, USA Today mengutip dari laporan National Intelligence Council (NIC), yang diketuai oleh Robert Hutchings dengan judul “Mapping The Global Future”. NIC meluncurkan laporan lima tahunan tentang masa depan dunia. "Kami berusaha menghindari peluncuran skenario buruk, sebagaimana sering dituangkan dalam prediksi dunia intelijen," kata Hutchings.
NIC bermarkas di Kantor Central Intelligence Agency (CIA) di Langley, Virginia. Laporan terbaru itu juga memasukkan pandangan dari badan intelijen 15 negara. Pelibatan badan intelijen dari 15 negara ini tentu saja harus dipahami sebagai upaya AS untuk menggiring dan menggarap badan-badan intelijen negara lain agar mengikuti skenario yang dibangun oleh AS tersebut. Sehingga dengan demikian katika skenario tersebut terwujud, negara-negara yang badan intelijennya telah digarap tidak lagi merasa AS sebagai ancaman, akan tetapi justru menganggap AS sebagai sekutu dan teman dekat, sehingga dengan sukarela akan bekerja dibawah komando AS dalam mewujudkan skenario tersebut, dan akan menerima imbalan tertentu dalam bantuan keuangan dan bantuan kerja sama teknis lainnya untuk negara yang bersangkutan. Praktek yang demikian telah diopersionalkan ketika AS membutuhkan bantuan negara-negara lain dalam War Against Terorism yang dikumandangkan AS.
Jargon War Against Terorism ini merupakan salah satu bentuk rencana operasional AS dalam kerangka skenario 2020, yang dalan hal ini Indonesia sudah dijadikan ladang garapan yang dalam wujud kongkritnya berupa bantuan dana untuk proyek-proyek besar. Proyek besar tersebut dibagi dalam dua level yaitu pada level institusi negara dan level “civil society”. Pada level yang bersifat institusional dilakukan dalam bentuk-bentuk seperti, kerja sama intelijen counter terorism, pembentukan Densus 88 Anti Teror Polri dan Satgas Anti Teror Kejaksaan yang dibiayai oleh AS. Sementara pada level “civil society” kucuran dana tersebut disalurkan melalui ribuan LSM, ormas Islam maupun media massa dan perguruan tinggi yang ada, dilakukan melalui program-program “brain wash” antara lain berupa, perubahan kurikulum pesantern dan public discourse yang terdiri dari : diskusi dan seminar terbuka serta penulisan buku dan artikel dimedia-media, dengan thema anti Islam dan “radikalisme” tetapi pro sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Ujung dari proyek ini adalah memapankan sistem kapitalisme yang dalam bentuk barunya dikenal dengan neo-liberalisme dan mengukuhkan peradaban kufur jahiliyah.
Kembali ke persoalan skenario 2020, menurut versi NIC, ada empat skenario hipotetis (hypothetical scenarios) yang akan terjadi. Skenario pertama adalah Asia akan menjadi motor penggerak ekonomi dunia dengan China dan India sebagai pemain utama. Skenario kedua adalah AS memimpin, membentuk dan mengorganisasikan perubahan global. Skenario ketiga adalah bangkitnya Kekhalifahan Islam (Islamic Caliphate) baru, sebuah pemerintahan Islam yang mampu memberi tantangan pada norma-norma dan nilai-nilai Barat. Skenario keempat adalah munculnya lingkaran ketakutan (cycle of fear). Di dalam skenario ini, respons agresif pada ancaman teroris mengarah kepada pelanggaran atas aturan dan sistem keamanan yang berlaku. Hal itu kemungkinan akan melahirkan dunia Orwellian. Itu adalah julukan bagi dunia dengan situasi atau ide yang sama dengan isi dari fiksi novel politik karya George Orwell berjudul Nineteen Eighty-Four. Isinya kurang lebih, di masa depan semua manusia menjadi budak-budak bagi satu dari tiga negara totaliter.
Sesungguhnya rencana busuk dan jahat AS untuk menguasai dunia ini telah dimulai jauh sebelum War Against Teorism dikumandangkan AS. Dari berbagai dokumen yang dimiliki Suara Islam, keberadaan rencana tersebut terdiri dari berbagai dokumen yang diproduksi oleh berbagai lembaga think thank, yang menjadi penyuplai utama dari rencana-rencana jahat tersebut. Paling tidak tercatat empat lembaga Think Thank yang secara aktif memasok gagasan dan ide yang dijadikan sebagai pijakan politik luar negeri AS, yaitu RAND Coorporation, Council on Foreign Relation (CFR), The Heritage Foundation dan Project for New Amerca Century (PNAC). Lembaga-lembaga think thank tersebut pada umumnya dikuasi oleh kelompok-kelompok yang berbasiskan ideologi Neo-Konservatif, Neo-liberal dan berafiliasi pada gerakan zionisme internasional atau bahkan merupakan bagian dari kelompok politik yahudi Amerika.
Orang-orang yang berada di belakang proyek tersebut adalah para pelaku utama dalam pemerintahan Bush, dan beberapa orang dari mereka—yang paling menonjol adalah Wakil Presiden Dick Cheney dan Menteri Pertahanan, Donald Rumsfeld—merupakan nama yang tidak asing lagi. Sesuai apa yang mereka persaksikan bahwa target Project for New America Empire (PNAE) adalah mengamankan dominasi global Amerika pada beberapa abad ke depan.
Pada tahun 1989, ketika akhirnya Uni Soviet ambruk, sehingga masa itu dapat mengakhiri “cerita” dunia bipolar yang eksis sejak berakhirnya Perang Dunia ke II. Amerika tumbuh menjadi “lone superpower”. Eks ideolog kebijakan luar negeri dan militer era Reagan yang kerap dipanggil dengan julukan “Neo-Conservative” baik yang berada di luar ataupun di dalam pemerintahan George Bush Senior, mulai merancang bangun strategi agar dapat mempertahankan situasi demikian yaitu keberadaan adidaya tunggal hingga masa yang panjang ke depan.
Akar-akar proyek ini —baik secara ideologis ataupun mereka yang teridentifikasi denganya— adalah orang-orang yang bercokol di era Ronald Reagan. Dengan kombinasi antara kebijakan luar negeri yang agresif kemudian pengerahan militer yang tidak ada preseden sebelumnya, mereka yang berhasil mendorong invasi terhadap Panama dan Grenada, perang counter-insurgency di Amerika Tengah, pagelaran Perang Dingin dengan Uni-Soviet, dan mempersenjatai Irak sebagai aksi counter terhadap Islam “radikal” di Iran.
Sebuah majalah Inggris menyebut mereka yang berada di belakang proyek yang mereka klaim sebagai “the Project for a New American Empire (PNAE)” sebagai “the weird men behind George W.Bush’s war.” Proyek yang mereka gagas dan jalankan banyak bermuatan berbagai teori konspirasi yang tidak dapat dihitung. Prinsip-prinsip mereka menjadi pengendali kebijakan luar negeri dan militer pemerintahan Bush—sebuah cetak biru yang menyatukan kekuatan militer Amerika yang berpangkalan di seluruh dunia dengan doktrin pre-emptive war dan pengembangan persenjataan nuklir.
Setelah Perang Teluk I, Paul Wolfowitz, yang kemudian ditunjuk sebagai wakil Menteri Pertahanan bidang kebijakan (saat ini menjaabat sebagai Presiden Bank Dunia), mendrafkan dokumen rancangan pertahanan yang dituangkan sebagai ide-ide pokok yang menjadi esensi dari visi the Project for the New American Century (PNAC). Hal itu merupakan strategi mempertahankan dan memperkuat superioritas militer Amerika yang tidak tertandingi oleh rival potensial pada masa yang akan datang dan kekacauan di seluruh dunia. Yang demikian menurut Wolfowitz hanya dapat dilakukan dengan doktrin “pre-emption” dan bukan “containment”, dan “unilateral military action” dan bukan “multilateral internationalism” . Namun rumusan tersebut ditolak oleh pejabat-pejabat lain di pemerintahan Bush Senior karena dianggap terlalu “radikal”.
Ketika ide-ide radikal mereka tidak diakomodir dalam pemerintahan Clinton, maka lahirlah PNAC pada bulan Juni 1997. Garis besar ide dan visi institusi ini jelas dapat dibaca dari “statement of principle” yang dirumuskan oleh mereka-mereka yang berada di balik pemerintahan Reagan dan para think-tank konservatif atau Neo-Con’s. Mereka mengkritisi pemerintahan Clinton sebagai “incoherent policies,” “squandering the opportunity,” dan “inconstant leadership,” dan mereka pun menawarkan alternatif-alternat if yang tertuang dalam strategi PNAC.
Dalam statemen itu, mereka mengatakan : “….Sebagaimana abad ke 21 sudah hampir dekat, Amerika berdiri sebagai kekuatan utama dunia. Tidakkah Amerika berkewajiban untuk menjadikan abad baru nanti yang berpihak kepada prinsip-prinsip Amerika dan maslahat-maslahatny a?” Kemudian statemen itu pun berakhir dengan “kebijakan Reagan bersandar pada kekuatan militer dan kekuatan moral.”
AS juga menganut doktrin control theory yang dikembangkan oleh Cooper, mantan penerbang Perang Dunia I yang kemudian jadi guru besar. Teori Cooper mengatakan policy Amerika ditentukan oleh kekuatan fisik (tempur) dan ilmiah (penguasaan ruang angkasa). Intinya, selama "saya" mampu, maka batas negara "saya" itu berada di mana saja. "Kamu" boleh cegat "saya", tapi "kamu" mampu tidak menembak "saya"? Itu pula sebabnya AS menempatkan armadanya di seluruh pelosok dunia.
Skenario Timur Tengah
Dari awal, PNAC sangat terobsesi dengan Irak. Pada bulan Januari 1998, sebuah surat melayang ke Presiden Clinton, mereka menulis “Kami mendorong anda untuk memfokuskan perhatian pemerintahan anda ke pelaksanaan strategi untuk menggulingkan rezim Saddam Husein dari pucuk kekuasaan.” Surat itu ditandatangani oleh, di antara mereka adalah Donald Rumsfeld (Menhan sekarang), Paul Wolfowitz (wakil Menhan), John Bolton (Gedung Putih), Elliot Abrams (Gedung Putih), dan Richard Armitage (wakil Menlu).
Pada bulan September 2000, PNAC mengeluarkan sebuah Cetak Biru buat masa depan dalam tulisan panjang berjudul “Rebuilding America’s Defenses : Strategy, Forces, and Resources for a New Century.” Tulisan ini bermula dari premis bahwa “Amerika adalah superpower tunggal di dunia, dengan kombinasi kekuatan militer tunggal, keunggulan teknologi, dan kekuatan ekonomi terbesar. Strategi besar Amerika harus bertujuan untuk memelihara dan memperluas posisi menguntungkan sebesar-besarnya di masa yang akan datang.”
Dalam dokumen itu dinyatakan, "AS harus mencegah negara-negara industri maju yang lain jangan sampai bisa menantang kepemimpinan AS, atau bahkan bercita-cita untuk dapat menjalankan peran regional atau global yang lebih besar." Tulisan strategis itu juga merekomendasikan misi-misi baru bagi kekuatan militer Amerika, termasuk kapabalitas nuklir yang dominan dengan senjata-senjata nuklir generasi terbaru, kekuatan tempur yang siap tempur yang cukup dan memenangkan berbagai pertempuran besar, dan kekuatan-kekuatan menjalankan “tugas-tugas kepolisian” di seluruh dunia dengan komando Amerika dan bukan Perserikatan Bangsa Bangsa. Hal itu juga menegaskan bahwa “keberadaan kekuatan militer Amerika di wilayah-wilayah kritis di seluruh dunia merupakan bentuk aksi yang paling visible sebagai perwujudan dari status Amerika selaku superpower tunggal.”
Secara spesifik Cetak Biru itu menyebutkan kawasan Teluk Parsia sebagai tempat bidikan pertama. Mereka mencatat bahwa “Amerika beberapa dekade lalu terus berusaha untuk menjadi pemain utama di bidang keamanan di Teluk. Sementara konflik yang tidak terselesaikan dengan Irak memberi justifikasi yang cepat, kebutuhan akan kehadiran kekuatan militer Amerika di Teluk melampau isu rezim Saddam Husein. Sejak lama, Iran menjadi ancaman utama bagi bergagai maslahat Amerika di kawasan Teluk. Begitu juga dengan Irak.”
Tulisan Cetak Biru itu diakhiri dengan catatan yang sangat provokatif bahwa “kegagalan dalam mempersiapkan jawaban tantangan-tantangan esok akan menjamin bahwa Pax Americana sekarang ini akan segera menemui ajalnya.”
Beberapa orang dari anggota PNAC pada pemilihan kepresidenan lalu menjadi penyokong George W.Bush. Mereka khawatir dengan pengalaman Bush Junior yang minim, kebijakan luar negeri AS akan banyak didominasi oleh kaum Republikan yang moderat yang menguasai administrasi pemerintahan Bush Senior. Dan Dick Richard Cheney, salah satu pendiri PNAC dinominasikan sebagai wakil Presiden dan ditempatkan sebagai penanggung jawab masa transisi. Namun seiring dengan makin kuatnya posisi kelompok ini di AS maupun dunia, sebagian besar para partisipan PNAC dapat lolos menduduki jabatan-jabatan strategis di departemen luar negeri dan militer, bahkan dubes Amerika untuk PBB dan posisi Presiden Bank Dunia pun dikuasai oleh kelompok gila perang dan gila kuasa ini.
Dari sejak awal pemerintahan Bush Junior, para Neo-Con’s ini mulai mengimplementasikan rencana strategis mereka—keluar dari Anti-Ballistic Missile Treaty, meningkatkan pembelanjaan bidang militer, dan mulai dengan program pertahanan rudal. Tapi sampai akhir Musim Panas 2001, pemerintahan Bush berada dalam kondisi kesulitan. Peringkat persetujuan Presiden anjlok menjadi 51%, dan kelompok demokrat telah dapat mengontrol kembali Senat dengan “tombol”-nya Senator James Jeffords, dan ekonomi memasuki masa resesi.
Namun kondisi ini berubah total saat peristiwa 11 September 2001 terjadi, bentuk kehancuran yang diharapkan oleh PNAC terjadi guna memuluskan realisasi agenda mereka. Bagi mereka peristiwa itu memang seharusnya terjadi.
Kesempatan ini benar-benar dimanfaatkan oleh PNAC. Hanya beberapa hari setelah peristiwa 11/9, PNAC mengeluarkan surat bahwa “kalau pun nanti tidak ditemukan bukti keterkaitan Irak dengan penyerangan, strategi apa pun yang bertujuan menghabisi terorisme dan sponsornya harus memuat upaya penggulingan Saddam Husein dari kekuasaan di Irak.” Upaya determinan itu memuncak pada perang di Musim Semi lalu. Akhirnya alasan sebenarnya dari penyerangan Irak bukanlah persoalan Senjata Pemusnah Massal, minyak, pelanggaran HAM, atau apapun alasan lain yang dikemukakan secara publik. Namun sebagaimana yang telah ditulis dua tahun silam adalah keinginan besar untuk merebut peran permanen di wilayah strategis dunia, kawasan Teluk.
Maka dari itu, Presiden Bush dalam pidato kenegaraannya di tahun 2002 mendeklarasikan “Perang kita terhadap teror telah dimulai, tapi ini baru permulaan.” Ia memilih Irak, Iran dan Korea Utara sebagai “Poros Kejahatan, bersenjata untuk mengancam keamanan dunia.” Pada bulan Juni, Bush memberi signal dukungannya untuk strategi pre-emptive war dengan mengatakan bahwa AS “siap untuk aksi pre-emptive bila diperlukan untuk mempertahankan kebebasan kita dan mempertahankan hidup kita.” (gaya hidup orang Amerika- red). Pada akhir tahun, hal ini menjadi kebijaksanaan resmi pemerintahan Bush, yang tercantum dalam 2 dokumen perencanaan Gedung Putih.
Strategi itu membuat perang pre-emptive terhadap “negara-negara jahat” menjadi kebijakan resmi dengan alasan potensial mengembangkan senjata-senjata pemusnah massal. “Untuk mencegah aksi-aksi jahat dan bermusuhan dari lawan-lawan kita,” tegas dokumen Gedung Putih itu, “Amerika akan, bila perlu, bergerak secara pre-emptive.” Untuk memerangi negara-negara yang dituding oleh pemerintahan AS mendapat (atau bahkan mencari) senjata-senjata pemusnah massal, dokumen perencanaan itu mengancam negara-negara tersebut, mungkin dengan cara mendahului (first use) menggunakan dengan senjata-senjata nuklir. Gedung Putih mengakui bahwa ini “perubahan fundamental bila dibanding dengan yang lalu,” yang membolehkan kekuatan militer melakukan serangan “pre-emptive” terhadap negara-negara yang dianggap musuh, termasuk “dengan kapabalitas operasional yang lengkap.” Benar, bahwa undang-undang pertahanan yang keluar tahun ini (2003) telah memberi otoritas senjata-senjata kecil termasuk penghancur bungker yang disebut dengan “bunker buster.”
Strategi membesar-besarkan isu terorisme yang diobral sekarang ini dalam rangka menyeret militerisasi dalam politik luar negeri Amerika. Sekarang ini tidak kurang dari 130 negara di dunia yang ditempati oleh pasukan Amerika dengan 40 negara di antaranya menetap secara permanen. Dan banyak lagi negara lain yang menyediakan hak-hak bagi pasukan Amerika untuk berbasis. Dalam tulisan yang dimuat di Wall Street Journal menggambarkan bahwa perubahan besar dalam strategi militer Amerika dalam 50 tahun terakhir ini akan mengarah pada upaya “mendorong kekuatan militer Amerika ke dalam areal yang jauh lebih dalam dan pojokan dunia yang paling berbahaya.” Menteri Pertahanan, Donald Rumsfeld, seorang arsitek strategi ini, “telah mempersiapkan pasukan Amerika untuk masa depan yang dapat melibatkan banyak tempat pertempuran yang kecil, kotor dan paling berbahaya.”
Kata Chris Matthews, kelompok konservatif itu telah "membajak" kebijaksanaan luar negeri Amerika. Karena apa yang dimulai sebagai perang melawan terror dan punya tujuan jelas, sekarang telah diperluas menjadi semacam perang ideologi untuk melawan "negara-negara poros kejahatan" seperti yang selalu disebut oleh Presiden Bush maupun Presiden AS lainnya dalam pidato kenegaraannya.
Kata Matthews lagi, kelompok neo-konservatif yang dipimpin oleh Paul Wolfowitz, sedang menyeret Amerika ke dalam suatu perang yang tidak berkesudahan, sambil terus memberikan dukungan kepada Israel.
Dalam kontek inilah agresi Israel terhadap Lebanon baru-baru ini dilakukan, yaitu untuk membangun apa yang disebut oleh Amerika dan Israel sebagai Tata Timur tengah baru. Yaitu tatanan politik yang menjadikan Israel sebagai kekuatan utama di kawasan Timur Tengah sambil terus memberangus kekuatan politik umat Islam, termasuk Hizbullah dan Hamas.
Dengan bimbingan skenario inilah, menurut sumber dari Lebanon, Mossad dan CIA terlibat dalam pembunuhan mantan Perdana Menteri Rafiq Hariri yang kemudian dibebankan pertanggungjawabann ya kepada Suriah. Dengan taktik maling teriak maling, maka Amerika dan Israel berhasil mengeksploitasi sentimen rakyat Lebanon untuk melakukan demontrasi anti Suriah yang berujung keluarnya pasukan Suriah dari Lebanon. Tanpa keberadaan pasukan Suriah di Lebanon maka Israel secara jumawa dan kebiadaban luar biasa melakukan agresi ke Lebanon untuk menghilangkan eksistensi Hizbullah, walaupun pada akhirnya menderita kegagalan total dalam misi ini.
Skenario Asia Tenggara
Seperti halnya dokumen CFR dan RAND, dokumen PNAC itu pun secara khusus menyoroti bangkitnya Cina yang perlu dihadapi oleh AS dengan menyatakan, "Kini sudah tiba waktunya untuk meningkatkan kehadiran balatentara AS di Asia Tenggara." (Michael Meacher, "This War on Terrorism is Bogus', the Guardian, London, edisi September 6, 2003. Meacher adalah mantan menteri lingkungan hidup dalam kabinet Tony Blair). Pada waktu yang bersamaan berbagai kelompok analis dan perumus politik strategi keamanan Amerika Serikat, melihat naiknya Bush (2000) sebagai peluang emas untuk mendorong aksi AS yang lebih ofensiff di Asia Tenggara.
Sebuah laporan dari Dewan Hubungan Luar Negeri AS menyatakan “issue utama dalam agenda AS pada pertemuan dengan Presiden Megawati (yang lalu) adalah kerja sama militer kedua belah pihak. Laporan terakhir yang dikeluarkan Dewan Hubungan Luar Negeri dan Rand Corporation merekomendasikan Pemerintahan Bush, untuk meningkatkan hubungan kerja sama pada umumnya dan kerja sama militer dengan Indonesia khususnya. Rekomendasi juga menyarankan secara khusus agar Pemerintah kedua negara memerangi dan menghilangkan pengaruh kelompok “Islam radikal” dan sekaligus mempersiapkan Indonesia untuk menjadi basis guna menghadang pengaruh China di kawasan Asia tenggara. Laporan ini diberi judul : The United States and Southeast Asia: A Policy Agenda for the New Administration. Disusun oleh Dov Zakheim, salah seorang yang bekerja di Pentagon pada era Pemerintahan Reagan.
Sebelum 11-9, semua rencana mereka menabrak tembok rintangan yang sama, tidak satu pun pemerintahan di Asia Tenggara, bahkan yang konservatif sekalipun seperti Indonesia, yang bersedia memikul risiko menghadapi oposisi anti-Amerika di dalam negeri, atau membuat Cina marah, karena langkah bodoh membangun hubungan dengan militer AS. Dengan kata lain, tanpa adanya bukti adanya ancaman Cina terhadap kawasan Asia Tenggara, para pemimpin ASEAN akan berpikir dua kali untuk memperkenankan kehadiran balatentara AS dalam jarak pukul, bukan hanya terhadap Laut Cina Selatan, terlebih-lebih terhadap daratan Cina. Peristiwa 11-9 membukakan peluang emas untuk mewujudkan usulan dokumen-dokumen tersebut.
Pemerintah Bush dengan sigap memenuhi saran-saran yang diajukan oleh think-tanks seperti RAND, CFR, dan PNAC. "Perang membasmi terorisme global" kemudian oleh pemerintahan Bush ditangkap sebagai dalih par-excellence untuk menghadapi sikap sebagian negara-negara ASEAN yang menolak peningkatan kehadiran balatentara AS di Asia Tenggara. Presiden Bush menyatakan dalam laporannya yang berjudul, The US National Security Strategy (2002) kepada DPR AS menyatakan, "AS akan mengambil langkah-langkah untuk menghalangi Cina meningkatkan pengaruhnya, dan akan bekerja untuk mencegah negara tersebut jangan sampai menyamai atau melampaui kekuatan AS, sehingga dapat mengancam negara-negara di kawasan Asia-Pasifik" (?).
Akhirnya The Heritage Foundation, think-tank dari kelompok ultra-sayap kanan Yahudi yang memiliki hubungan erat dengan Partai Republik, menyatakan dengan tegas, bahwa, "alasan melancarkan perang membasmi terorisme di Asia Tenggara pada akhirnya harus dikerjakan dengan atau tanpa persetujuan pemerintah-pemerint ah di kawasan ini."
Untuk keperluan mewujudkan agenda “perang melawan terorisme” di kawasan Asia Tenggara ini, Pemerintahan Bush telah setuju untuk menyiapkan dana yang disampaikan pada saat kunjungan ke Indonesia pada tahun 2002 lalu. Sebagimana di umumkan oleh Menlu Collin Powel pada saat itu, rincian dana tersebut terdiri dari; US $50 juta untuk program memperkuat institusi keamanan dalam kampanye melawan terorisme. Kongres AS juga telah menyetujui untuk membantu memperkuat Kepolisian RI dengan bantuan dana sebesar US $16 juta, termasuk didalamnya US $ 12 juta guna membentuk Detasemen Khusus 88 Anti teror. Akan tetapi dana tersebut dilarang untuk digunakan bagi Indonesia untuk membeli senjata mematikan baik secara komersial maupun melalui jalur hubungan antar pemerintahan.
Peristiwa "Bom Bali" 12-10 -- tanpa ada seorang pun warga negara Amerika yang jadi korban -- oleh AS telah ditampilkan sebagai "bukti" adanya jaringan teroris internasional JI di Indonesia. Setelah peristiwa 12-10 itu semuanya berubah sudah, seluruh kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, siap berada di bawah komando AS untuk "membasmi terorisme". Dan untuk itu AS menuntut agar balatentaranya di Pasifik meronda Selat Malaka, di kemudian hari diniscayakan akan melebar ke Selat Lombok dan alur-alur laut chocke points penting lainnya, dengan dalih "membasmi pembajakan dan terorisme di laut". Udang di balik batu dari akal-akalan tersebut akan memberikan posisi strategis kepada AS bagi mengembangkan hedging strategy-nya untuk mengepung Cina.
Guna memuluskan rencana ini, Amerika Serikat telah membentuk National Clandestein Service yang bertugas merekrut agen dan informan dari kawasan Asia tenggara dan Asia Selatan sejumlah 500 ribu orang. Tugas utama dari badan ini adalah operasi intelijen dengan cara propaganda, counter propaganda dan disinformasi serta stigmatisasi, pada intinya proyek ini ditujukan untuk melakukan perang psikologis. Program ini dinamakan dengan Misi perception Management yang didukung oleh lembaga propaganda Office of Global Communication dan Office of the Assistant to the President National Security Affair. Dukungan dana untuk program ini akan diperoleh dari Emegency Response Fund dan Emergency Supplemental Fund. Informasi menjadi hal yang utama dalam perang psikologis ini. Oleh karenanya taktik Amerika adalah dengan mengontrak sebuah “perusahaan” untuk menjalankan perang informasi tersebut. Sebagaimana yang telah dijalankan dalam misi mereka di Irak. Dimana perusahaan tersebut bertugas memasok berita keberbagai media di Irak dan bertugas menterjemahkan propaganda Amerika ke dalam bahasa arab. “Perusahaan yang ditunjuk untuk mengelola proyek ini adalah Randon Group.
Yang tepenting dari semua ini adalah bahwa Indonesia adalah salah satu wilayah dan target operasi perang psikologis yang dilancarkan oleh Amerika Serikat dalam upayanya membangun Imperium Amerika sebagaimana telah diuraikan dalam awal tulisan. Dalam rencananya terhadap Indonesia ini, issue kebebasan beragama, pluralisme dan toleransi menjadi instrumen yang mereka mainkan untuk mengacaukan situasi dan kondisi ummat Islam di Indonesia. Oleh karenanya umat muslim mestilah waspada dan merapatkan barisan agar dapat menghadapi rencana jahat tersebut.
************ *
Munarman
Ketua An Nashr Institue (Lembaga Kajian Strategis dan Advokasi Ummat)
Ketua YLBHI Periode 2002 – 2006
Koordinator Kontras Periode 2000 - 2001