Absurditas Pengakuan atas Israel
Absurditas Pengakuan atas Israel
Sabtu, 01 Desember 2007
Pengantar Redaksi: Pertemuan Mekkah, pada Maret 2007, yang digagas Arab Saudi berhasil menelurkan kesepakatan politik antara Fatah dan Hamas, dua faksi terbesar Palestina, yang bertikai. Namun, efektifitas pertemuan itu tampaknya menemui anti-klimaksnya ketika, di lapangan, pertikaian antara Fatah dan Hamas terus terjadi. Apalagi, Barat tak kunjung menghapuskan boikot finansial mereka atas Palestina, sebagaimana yang diharapkan melalui pertemuan Mekkah. Apakah penyebab semua ini? Terkait dengan hal itu, maka berikut ini redaksi memuat kembali analisis yang pernah dimuat Republika, Senin, 12 Februari 2007.
Pertemuan Makkah antara Hamas dan Fatah menghasilkan kesepakatan yang melegakan. Kedua faksi di Palestina itu sepakat untuk berbagi kursi di kabinet, yang segera akan mengakhiri konflik yang sempat meruncing di antara keduanya. Konflik ini telah menelan banyak sekali korban jiwa.
Namun, nasib bangsa Palestina, ironisnya, tidak hanya ditentukan oleh wakil-wakil mereka dalam kedua faksi tersebut. Nasib bangsa ini, lagi-lagi ironis, ditentukan oleh pihak-pihak asing yang tidak ada kaitan historis dengan negeri ini: Yahudi-Eropa (Israel) dan Anglo-Amerika (Amerika Serikat). Para analis berpandangan bahwa efektif tidaknya kesepakatan Makkah bergantung kepada penerimaan Amerika dan Israel dalam pertemuan dengan Mahmoud Abbas, yang dijadwalkan berlangsung pada 19 Februari di Yerusalem.
Jika demikian, tampaknya ada dua hal yang mungkin menjadi kendala (barrier) dalam proses terbebasnya warga Palestina dari boikot finansial Barat, dan terutama dari berbagai penindasan Israel. Pertama, kata 'menghormati' (bukan 'berkomitmen' seperti yang diinginkan Fatah) perjanjian-perjanjian sebelumnya dengan Israel, yang disepakati dalam kesepakatan tersebut. Kata ini tampaknya adalah hasil negosiasi maksimal yang dapat disepakati. Potensi kata ini menjadi kendala mulai tampak ketika Mahmoud Abbas, sekali lagi ironis, meminta bantuan Arab Saudi untuk menanyakan kepada Washington apakah kata tersebut dapat diterima ataukah tidak.
Kedua, soal pengakuan resmi pemerintahan baru nanti terhadap keberadaan dan keabsahan Israel untuk eksis. Tidak adanya pengakuan ini berpotensi menjadi kendala mengingat Gedung Putih, sebelum pertemuan ini, menegaskan bahwa kesepakatan yang dihasilkan harus sesuai dengan prinsip-prinsip kuartet mediator perdamaian --Amerika, PBB, Uni-Eropa, dan Rusia. Dan, salah satu butir prinsip itu adalah adanya pengakuan pemerintah Palestina terhadap keberadaan dan keabsahan Israel untuk eksis.
Absurditas pengakuan
Ada dua proposisi yang berbeda dalam hal pengakuan terhadap Israel: [1] mengakui keberadaan Israel; dan [2] mengakui keabsahan Israel untuk eksis. Proposisi pertama adalah ranah politik dalam konteks hubungan internasional antar dua negara. Sementara itu, yang kedua berkaitan dengan aspek pengakuan secara moral. Dalam konteks konflik Israel-Palestina, kedua-duanya sama-sama absurd. Mengapa demikian?
Proposisi pertama, 'mengakui keberadaan Israel', menurut seorang pengacara internasional, John V Whitbeck, mengandung problem linguistik. Persoalannya adalah apa itu Israel, dan dalam batas-batas geografis yang mana? Apakah 55 persen tanah Palestina yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada 1947 sebagai negara Israel? Apakah 78 persen tanah Palestina yang dijarah gerakan Zionis pada 1948 (tragedi Nakba), dan kini dipandang sebagian besar masyarakat dunia sebagai 'Israel'? Ataukah 100 persen tanah Palestina yang dikuasai Israel sejak Juni 1967 dan disebut sebagai 'Israel' (tanpa batas-batas geografis) dalam peta-peta yang diajarkan di sekolah-sekolah Israel?
Tidak pernah ada satu negara pun yang tidak menetapkan batas-batasnya kecuali Israel. Adakah ini karena batas-batas 'Israel' ada dalam benak-benak fasis para pemimpin mereka? Entahlah.
Proposisi kedua, 'mengakui keabsahan (right) Israel untuk eksis -- jauh lebih absurd daripada proposisi pertama. Menuntut bangsa Palestina untuk melakukan hal ini, dan menjadikannya sebagai syarat bagi perdamaian, adalah sama gilanya dengan memaksa Yahudi untuk mengakui keabsahan tragedi holocaust atas mereka. Mengakui realitas peristiwa (fact) holocaust adalah berbeda dengan mengakui keabsahan (right) tragedi itu atas mereka. Pengakuan yang kedua ini sama saja dengan memaksa mereka untuk mengakui bahwa mereka berhak dibakar hidup-hidup dengan gas zyklon dalam kamp-kamp konsentrasi.
Begitu pula halnya dengan bangsa Palestina. Menuntut bangsa Palestina untuk mengakui 'keabsahan (right) Israel untuk eksis' sama saja dengan menuntut sebuah bangsa yang diperlakukan layaknya manusia kelas dua, karena dirampas hak-hak dasar kemanusiaan mereka, untuk mengakui bahwa mereka memanglah demikian. Maknanya sama saja dengan memaksa bangsa Palestina untuk menerima bahwa mereka layak untuk diusir dari tanah-tanah mereka, ditembaki, diblokade, dan ditindas sehabis-habisnya. Lagi pula, ini pun tidak memiliki preseden dalam sejarah.
Amerika Serikat sendiri tidak pernah menuntut penduduk asli Amerika, suku-suku Indian, untuk mengakui 'keabsahan' penjarahan tanah dan pembersihan etnis yang diderakan kepada mereka oleh kaum kolonialis Eropa. Meskipun demikian, etnis Indian kini tidaklah hidup dalam blokade ekonomi dan ancaman kelaparan, seperti halnya bangsa Palestina.
Banyak pihak sayangnya menganggap bahwa tuntutan Israel dan Amerika ini sebagai sesuatu yang rasional, sehingga penolakan terhadapnya dinilai irasional, keras kepala, dan bahkan radikal. Siapa pun yang menganggap terwujudnya perdamaian di Palestina sebagai titik krusial bagi perdamaian regional dan internasional, haruslah menyadari bahwa tuntutan untuk mengakui 'keabsahan Israel untuk eksis' adalah absurd, tidak bermoral, dan, secara praktis, tidaklah menyumbang apa pun bagi proses perdamaian.