Fatwa MUI dan Pandangan Fuqaha Tentang Nabi Palsu
Dalam Mahzab Syafi’i, jika seseorang mengatakan, “Seandainya fulan itu menjadi nabi, maka aku membenarkannya”, maka, perkataan seperti itu sudah murtad
Oleh:Thoriq*
Fatwa MUI tentang sesatnya aliran Al-Qiyadah disambut positif oleh mayoritas umat Islam Indonesia yang menghendaki kejelasan hukum atas kehadiran kelompok ini. Akan tetapi seperti biasa, kelompok liberal tidak akan rela dengan munculnya fatwa itu. Salah satu diantara mereka adalah penulis “Sesatnya Kriteria Sesat”, Mohamad Guntur Romli. (Jawapos, 14/11). Intinya, ia tidak setuju dengan kriteria sesat yang telah ditetapkan MUI, karena ia berpendapat bahwa penyesatan hanya milik Allah.
Tentu, pernyataan si penulis ini otomatis batal dengan perkataan ia sendiri, karena ia sendiri “menyesatkan” kriteria MUI. Kita bisa pakai logika si penulis juga, mengapa dia berani “menyesatkan” fatwa MUI? Bukankah ia menyatakan bahwa sesat dan tidak sesat adalah hak Allah? Ini menunjukkan bahwa si penulis “plin-plan” terhadap sikapnya. Karena, kalau ia konsisten, tentu ia tidak perlu “menyesatkan” fatwa MUI.
Ia juga berpendapat bahwa para ulama tidak memiliki wewenang untuk menghukumi seseorang kafir atau tidak. Pendapat ini perlu dalil shorih yang menjelaskan bahwa ulama memang tidak boleh mengkafirkan seseorang yang sudah jelas-jelas tidak mengakui seluruh atau sebagian syari’at, atau mengingkari risalah Rasulullah atau mengingkari hal-hal yang mutawatir atau mengingkari bahwa Rasulullah adalah utusan terakhir. Dan tidak cukup sampai di situ, si penulis juga harus bisa menunjukkan dalil sharih yang menyatakan bahwa orang yang sudah melakukan pengingkaran sampai tahap itu masih bisa dianggap Muslim.
Tentu yang ada hanyalah dalil bolehnya ulama mengkafirkan mereka yang sudah jelas kafir. Yaitu dalil-dalil yang memerintahkan agar umat Islam berpegang teguh dengan nash Al Quran dan Sunnah. Dan Al Quran dan Sunnah telah menjelaskan kriteria mukmin dan kafir, yang berfungsi untuk membedakan siapa yang masih disebut mukmin dan siapa yang disebut kafir. Hingga tidak salah jika ulama menghukumi seseorang sebagai kafir, dengan mengambil pedoman dari Al Quruan dan Sunnah, bahkan wajib demi menjaga agama ini.
Nabi Palsu dalam Pendangan Fuqaha
Masalah munculnya nabi-nabi palsu telah direspon serius oleh para ulama sejak dulu. Tak hanya hari ini. Karena hal ini menyangkut masalah yang amat serius pula, yaitu masalah keimanan. Ini disebabkan dalil qath’i baik dari Al Quran, Sunnah, serta ijma telah menyatakan bahwa Rasulullah Muhammad saw. adalah nabi yang terakhir, dan tidak ada syari’at yang harus diikuti kecuali syari’at yang telah beliau bawa.
Atas dasar nash-nash itulah para fuqaha menyatakan bahwa mereka yang mengaku-ngaku sebagai nabi otomatis telah kufur, bagitu juga mereka yang mengikutinya. Al Muthi’i dalam Syarh Al Muhadzab (20/371), salah satu kitab pokok dalam madzhab Syafi’i menyebutkan, “Begitu juga (telah murtad) orang yang mengaku nabi setelah Nabi Muhammad saw. serta orang yang mengikutinya”.
Ia juga menyebutkan bahwa para ulama telah bersepakat, jika ada seseorang mengatakan, “Seandainya fulan itu menjadi nabi, maka aku membenarkannya”, maka, menurut Al Muthi’i, ia telah murtad. Al Muthi’i juga merujuk perkataan Imam Syafi’i yang menyatakan,”Ada beberapa orang yang murtad setelah Islam, mereka adalah Thalhah, Musailamah, ‘Ansa beserta para pengikut mereka”.
Ulama dari kalangan madzhab Hambali pun memiliki pendapat yang serupa, Ibnu Al Qudamah dalam Al Mughni (2/2181), rujukan pokok madzhab Hambali, menyatakan,”Barang siapa mengaku-ngaku sebagai nabi atau membenarkan seruannya, maka ia telah murtad!”.
Imam Al Qurthubi dan “bisikan” hati
Ulama dari Madzhab Maliki, Imam Al Qurthubi dalam Al Jami’ li Ahkami Al Quran (4/37) menyatakan,”Termasuk dalam golongan ini (Musailamah dan sejenisnya) seseorang yang menolak fiqih dan sunnah yang dipegang para salaf, dan ia mengatakan, ”Hatiku berbisik kepadaku begini”, lalu dia jadikan bisikan hatinya itu sebagai hukum dan ia menganggap bahwa itu disebabkan kesucian hatinya dari kotoran, hingga nampaklah ilmu-ilmu ilahiyah dan hakikat rabaniyah, akhirnya ia mencukupkan bisikan hatinya daripada hukum syari’at. Lalu ia mengatakan, “Syari’at hanya berlaku kepada orang awam, sedangkan orang-orang istimewa tidak perlu menggunakannya”… Ini adalah perkataan zindiq dan orang yang mengatakannya telah kafir, pelakunya harus dibunuh, tanpa diminta bertaubat terlebih dahulu, karena dengan begitu otomatis ia menetapkan bahwa ada nabi setelah Nabi kita Muhammad saw.
Muhammad Syafi’, ulama madzhab Hanafi yang sekaligus menjadi mufti Pakistan menyatakan juga dalam At Tasyrih bima Tawatara fi Nuzul Al Masih,”Ketika tidak ada nash yang menunjukkan adanya kenabian bagi seseorang, setelah Rasulullah, bahkan sebaliknya (yang ada adalah penafian adanya kenabian setelah Rasulullah) maka orang yang mengaku nabi telah kafir menurut Al Quran, Sunnah mutawatir serta ijma’.
Dalil bahwa Rasulullah saw. Rasul terakhir
Penetapan bahwa Rasulullah adalah rasul sekaligus nabi terakhir oleh para ulama berdasarkan surat Al Ahzab, ayat 40: ”Bukanlah Muhammad itu bapak salah seorang laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah Rasulullah dan khatam (penutup) nabi-nabi”. Imam Al Qurthubi dalam Al Jami’ Al Ahkam-nya (7/496), mengatakan bahwa jama’ah salaf dan khalaf menyatakan, ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada nabi setelah Rasulullah. Para mufasirin dan fuqaha seperti Imam Syafi’i dalam Al Umm, Ibnu Katsir, Imam As Syaukani dalam Fathu Al Qadir beserta ahli tafsir kontemporer seperti Al Maraghi, As Shabuni serta Muhammad Abduh dalam Al Manar menyatakan hal yang sama.
Beberapa hadits pun memiliki makna bahwa Rasulullah saw. adalah rasul terakhir, salah satunya adalah hadits: “Sesungguhnya saya mempunyai nama-nama, saya Muhammad, saya Ahmad, saya Al-Mahi, yang mana Allah menghapuskan kekafiran karena saya, saya Al-Hasyir yang mana manusia berkumpul di kaki saya, saya Al-Aqib yang tidak ada Nabi setelahnya” (HR. Muslim)
Karena amat banyak jalan periwayatannya, maka Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya (6/452) menyatakan bahwa hadits ini mencapai derajat mutawatir. Pernyataan ini diamini oleh mufti Pakistan Muhammad Syafi’.
Sebagaimana disebutkan juga oleh Ibnu Katsir, bahwa hadits-hadist mutawatir itu disamping menunjukkan bahwa tidak ada rasul setelah Muhammad saw. ia juga menginformasikan bahwa, jika ada seseorang yang mengaku-ngaku nabi maka bisa dipastikan bahwa orang itu adalah pembohong besar, sesat dan menyesatkan, walau ia bisa menunjukkan hal-hal yang aneh atau memiliki ilmu sihir. Informasi ini adalah salah satu bentuk kecintaan Allah kepada hambanya (hingga mereka tidak tersesat).
Selain Al Quran dan Sunnah, ijma’ juga menyatakan bahwa Rasulullah adalah nabi terakhir. Ini disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al Maratib Al Ijma’ yang dinukil oleh Ibnu Al Qathan Al Fasi dalam Al Iqna’ fi Masa’il Al Ijma (1/33).
Kekufuran Para Pengingkar Syari’at yang Mutawatir
Tentu yang namanya nabi palsu pasti menyeru kepada hal-hal yang mungkar dan bathil, sebagaimana fakta yang terjadi di lapangan, mereka mengajak penganutnya untuk meninggalkan ajaran-ajaran Rasulullah saw, seperti shalat, zakat atau ibadah-ibadah lain yang sudah disepakati kewajibannya dalam Islam. Atau menghalalkan apa yang diharamkan Allah serta mengharamkan apa yang dihalalkan Allah.
Mengamalkan ajaran-ajaran mereka itu tidak sebatas maksiat biasa, karena hal itu pun sudah masuk kepada wilayah kekufuran. Ibnu Al Qudamah dalam Al Mughni (2/2172) mengatakan,”Bagitu juga (dihukumi murtad, bagi mereka yang mengingkari) dasar-dasar Islam seperti zakat, puasa, haji, karena dalil yang menunjukkan fardhunya amalan-amalan itu hampir tidak bisa dihitung dan ijma’ pun menyatakan hal yang serupa”.
Ibnu Hazm menyebutkan dalam Maratib Al Ijma’,sesuai dengan nukilan Ibnu Al Qathan Al Fasi dalam Al Iqna’ fi Masa’il Al Ijma (1/126): “Umat bersepakat, barang siapa beriman kepada Allah dan Rasulnya, serta hal-hal yang dibawanya yang dinukil secara mutawatir darinya dan tidak ragu dalam masalah tauhid atau kenabian beliau serta tiap-tiap huruf dari hal-hal yang beliau bawa yang dinukil secara mutawatir. Dan barang siapa menolak sesuatu dari hal-hal yang telah kami sebutkan atau ragu atasnya dan mati kadalam keadaan itu, maka ia telah kafir dan kekal di neraka”.
Kesimpulannya, bahwa ijma’ telah menyatakan bahwa hal-hal yang dinukil secara mutawatir dalam Islam seperti kewajiban shalat, zakat, haji, termasuk khabar yang menyatakan bahwa Rasulullah adalah nabi terakhir atau yang lain, wajib diimani. Dan barang siapa yang menolak maka ia telah kafir.
Berpedoman dari dalil-dalil di atas maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan dalam fatwa MUI, karena pendapat lembaga ini sesuai dengan nash Al Quran, Sunnah dan Ijma. Kalau sudah masuk ranah ijma’ maka tidak mungkin terjadi kesalahan atau kesesatan karena Rasulullah sendiri bersabda:” Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan”. Hadist ini mencapai derajat mutawatir dari segi makna menurut Al Fahru Ar Razi dalam Al Mahshul (1/35), juga Al Khatib Al Baghdadi dalam Faqih wa Al Mutafaqqih (2/167).
Jika pengkafiran terhadap mereka yang menyelisihi pokok-pokok agama Islam tidak mungkin sesat, maka tentu para pembaca bisa menilai, siapa yang sesat sebenarnya, MUI atau pihak yang “menyesatkan” MUI? Wallahu’alam bishowab.
*) Penulis adalah lulusan Al-Azhar, Kairo
http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=5831&Itemid=60